16 Februari 2012

Karya Plagiat Paling Legendaris di Indonesia

Jiplak menjiplak bukan kasus baru di Indonesia. Hal ini bahkan dianggap sebagai sebuah seni, trik, atau kebiasaan untuk mencapai suatu tujuan. Umumnya, kasus jiplakan atau plagiat sering menerpa di dunia pendidikan.

Kita tentu masih ingat dengan kasus plagiarisme yang melibatkan Profesor Anak Agung Banyu Perwita PhD, dosen Universitas Parahyangan Bandung. Kasus ini merebak setelah surat kabar The Jakarta Post memasang pengumuman bahwa artikel Prof Banyu menjiplak. Tulisannya yang berjudul ”RI as a New Middle Power?” dimuat The Jakarta Post pada 16 November 2009. Namun, setelah diusut redaktur koran itu, tulisan Prof Banyu ternyata menjiplak karya tulis ilmiah milik Carl Ungerer, ”The Middle Power Concept in Australian Foreign Policy”. Artikel tersebut diterbitkan Australian Journal of Politics and History: Volume 53, Number 4, pada 2007. Tak pelak, berita ini menghebohkan dunia pendidikan Indonesia. Apalagi, Universitas Parahyangan menemukan fakta bahwa Prof Banyu empat kali menjiplak (Detik.com, 9/2/2010). Busyet!
Belum reda kasus tersebut, alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) tersangkut kasus serupa. Empat warga ITB itu dilaporkan IEEE Xplore menjiplak paper berjudul ”3D Topological Relations for 3D Spatial Analysis” karya Siyka Zlatanova (Kompas, April 2010). Empat orang tersebut adalah Mochammad Zuliansyah, Suhono Harso Supangkat, Yoga Priyana, dan Carmadi Machbub. ITB berang bukan main dan merasa dibohongi. Sebagai sanksi, gelar doktor Zuliansyah dicabut. Sebelumnya, pada Januari 2010, di Riau pangkat sekitar 1.700 guru golongan 3B diturunkan menjadi 3A karena terbukti menjiplak karya tulis ilmiah (JPNN, 31/1/2010). Kasus serupa yang terkait dengan sertifikasi terjadi di beberapa daerah di Indonesia.

Plagiator Legendaris
Namun, kasus-kasus plagiarisme semacam itu bukan baru-baru ini terjadi. Jauh pada masa mempertahankan kemerdekaan RI, kasus plagiat telah terjadi. Yang heboh, kasus ini melibatkan salah seorang penyair ternama Indonesia, Chairil Anwar. Dugaan plagiat itu terjadi pada puisi berjudul Karawang-Bekasi. Puisi legendaris yang ditulis Chairil tersebut dituding menjiplak karya Archibald Mac Leish. Puisi Mac Leish itu berjudul The Young Dead Soldiers Do Not Speak. Siapa sih yang tak kenal Chairil Anwar? Sang maestro puisi angkatan ’45 itu wafat dalam usia 27 tahun. Penyair kelahiran Medan, 26 Juli 1922 tersebut menghabiskan tujuh tahun untuk berkarya. Menurut H.B. Jassin, dalam jangka waktu tujuh tahun masa berkarya tersebut, Chairil menghasilkan sekitar 94 karya. H.B. Jassin mengategorikannya dalam tiga jenis karya. Yakni, karya saduran (4 sajak), karya terjemahan (10 sajak, 4 prosa), dan karya asli (70 sajak, 6 prosa).Salah satu karya plagiat Chairil yang paling legendaris adalah puisi Karawang-Bekasi. Ada beberapa bait yang mirip (saduran) dengan puisi The Young Dead Soldiers. Berikut beberapa bait yang mirip itu.
(-) Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami?
(+) Nevertheless they are heard in the still houses: who has not heard them?

(-) Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
(+) They have a silence that speaks for them at night and when the clock counts.

(-) Kami mati muda.Yang tinggal tulang diliputi debu. Kenang, kenanglah kami.
(+) They say, We were young. We have died. Remember us.

(-) Kami sudah coba apa yang kami bisa
(+) They say, We have done what we could but until it is finished it is not done.

(-)  Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
(+) They say, We have given our lives but until it is finished no one can know what our lives gave.

Kendati ada karyanya yang saduran, Indonesia berterima kasih kepada Chairil Anwar. Dia dinilai mampu menggelorakan semangat juang mempertahankan kemerdekaan RI lewat puisi-puisinya yang bergelora. Meski demikian, perlu ditanamkan pula kepada generasi muda saat ini bahwa tindakan menyadur dan menjiplak bisa merugikan, bahkan mencederai suatu institusi atau bangsa.

Kita tentu tak mau disebut sebagai kreator yang cuma bisa menjiplak. Kalaupun ingin mengutip, ada cara yang lebih elegan. Yakni, menyebutkan sumbernya. Kita bangsa yang beretika. Salah satunya, etika dalam menghargai karya diri sendiri dan orang lain. Apa artinya karya kita dipuji orang lain kalau itu merupakan hasil menjiplak.

Sumber: Eko Prasetyo,www.samuderaislam.blogspot.com
Baca Selengkapnya →Karya Plagiat Paling Legendaris di Indonesia

06 Februari 2012

“BARAT: TIDAK!, TIMUR: BINGUNG...”

By: Made Pramono

Tulisan ini terinspirasi kritik saya sendiri ke seorang pembicara yang demikian bangganya bisa mereview puluhan teori kepemimpinan Barat, dan menggunakan hasil review dia untuk meneropong, mengkritik, dan menelanjangi kondisi negeri sendiri. Tanpa bermaksud menyudutkan hak dia untuk bebas berpetualang di lautan permasalahan intelektualitas, saya hanya sedikit mengingatkan di tulisan saya ini, bahwa kelatahan berteori a la Barat sesungguhnya dapat terjerumus ke penjajahan model baru yang mengikis kebanggaan kita untuk mengeksplorasi kearifan-kearifan Timur beserta sistem pemikirannya. Bisa saja ini akan terkait dengan konsep-konsep postkolonialisme, neoliberalisme, dll, tetapi saya mencoba menghindar berteori dari semua itu dan mengajukan pemikiran saya (murni logika pemikiran, yang mungkin juga sudah terjangkit virus westerisasi itu), untuk memotivasi akademisi yang hendak merevitalisasi local wisdom ketimuran.

Sebagian besar akademisi/peneliti di negeri ini memprodusir olahan teori Barat. Tak bisa dipungkiri, bahwa Barat dalam hal keilmuan (natural sciences maupun social sciences) lebih dulu beberapa langkah dari Timur. Suasana demokratisasi ilmu, keberlimpahan sistem dan fasilitas untuk melakukan riset, dan penghargaan atas terobosan ilmiah baru memang lebih unggul Barat. Hal ini (disadari atau tidak) merembes dan mengepung tradisi berpikir Timur. Sikap yang revivalis, akomodatif, dan yang hendak mengawinkan tradisi berpikir Barat dan Timur, ditampakkan oleh akademisi/peneliti Timur. Namun tampaknya memang kultur barat dengan dibantu oleh berbagai media dan teknologi yangmenyertai, pada akhirnya sampai di masa sekarang ini dengan kemilaunya yang menyudutkan pemikiran-pemikiran yang revivalis. Bahasan tentang ini sudah banyak yang menggali dan memetakan, saya mungkin generasi kesekian yang kemudian angkat bicara di level yang tidak megah ini, berharap minimal terurainya keresahan intelektual saya akan rangsekan tradisi Barat yang semoga tidak meninabobokan kita untuk kemudian “bangga dengan Barat, malu sebagai orang Timur”.

Masalahnya memang kultur Indonesia masih jauh dari ideal untuk melahirkan berbagai langkah terobosan untuk disegani pemikiran-pemikiran anak bangsa ini di dunia pemikiran internasional, apalagi di segani di negeri sendiri! Eksplorasi kearifan dan pemikiran Timur/Indonesia memang terus digencarkan, dan tentu diharapkan muncul teori-teori anak bangsa ini yang dirujuk, disitasi oleh akademisi-akademisi seantero dunia. Sembari terus berupaya ke arah itu, mengerem berteori full Barat adalah langkah yang bisa dilakukan sebisa mungkin untuk menyelamatkan generasi pendidikan kita (mahasiswa, siswa) dari rembesan kultur Barat ke dalam sistem dan pola pikir.

Sangat sedikitnya sitasi internasional kepada produk pemikiran Indonesia, bukan berarti terus kita kemudian malu sebagai akademisi Indonesia kan? Menurut saya, saatnya kita justru mengarahkan seluruh topik riset, perkuliahan, percobaan akademik kita kepada eksplorasi dan revitalisasi local wisdom..

(mungkin bersambung...)
Baca Selengkapnya →“BARAT: TIDAK!, TIMUR: BINGUNG...”