09 Maret 2014

Seri Jurnalistik 1: BATASAN DAN SEJARAH SINGKAT JURNALISTIK


A. Pengantar
Materi untuk jurnalistik, memang menjadi dasar bagi pengkhususan jurnalistik di bidang olahraga, atau disingkat Jurnalistik Olahraga. Oleh karena bidang keilmuan langsung yang membawahi jurnalistik adalah komunikasi, maka demikian juga dengan jurnalistik olahraga. Perbedaan (atau pembedaan?) karakter pemberitaan media massa tentang olahraga dengan tema lainnya (politik, pendidikan, dan sebagainya), mengikuti “warna” komunikasi yang terbangun dalam olahraga, baik dari sisi penulisan, ilustrasi/foto, hingga sisi suasana psikologis tulisan/laporan. Di beberapa bagian buku ini, pemakaian istilah jurnalistik olahraga sengaja ditekankan untuk membedakan secara khusus dari istilah jurnalistik. Misalnya, ketika berbicara tentang sejarah jurnalistik olahraga, maka hal tersebut merupakan kekhususan dari sejarah jurnalistik secara umum.
Penggunaan media massa elektronik (TV, Radio, internet) juga paralel dengan hal tersebut. Media massa elektronik sengaja diabaikan di tulisan ini, dan lebih mengedepankan media massa cetak sebagai kajian utama. Hal ini semata-mata disebabkan karakter tulisan yang memang diperuntukkan bagi mahasiswa penempuh mata kuliah jurnalistik olahraga yang tidak secara khusus di bawah program studi kejurnalistikan atau komunikasi.

B. Apa Jurnalistik Olahraga itu?
Jurnalisme adalah bidang disiplin dalam mengumpulkan, memastikan, melaporkan, dan menganalisis informasi yang dikumpulkan mengenai kejadian sekarang, termasuk tren, masalah, dan tokoh. Orang yang mempraktekkan kegiatan jurnalistik disebut jurnalis atau wartawan.
Di Indonesia, istilah ini dulu dikenal dengan publisistik. Dua istilah ini tadinya biasa dipertukarkan, hanya berbeda asalnya. Beberapa kampus di Indonesia sempat menggunakannya karena berkiblat kepada Eropa. Seiring waktu, istilah jurnalistik muncul dari Amerika Serikat dan menggantikan publisistik dengan jurnalistik. Publisistik juga digunakan untuk membahas Ilmu Komunikasi.
Jurnalisme dapat dikatakan "coretan pertama dalam sejarah". Meskipun berita seringkali ditulis dalam batas waktu terakhir, tetapi biasanya diedit sebelum diterbitkan. Jurnalis seringkali berinteraksi dengan sumber yang kadangkala melibatkan konfidensialitas. Banyak pemerintahan Barat menjamin kebebasan dalam pers.
Aktivitas utama dalam jurnalisme adalah pelaporan kejadian dengan menyatakan siapa, apa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana (dalam bahasa Inggris dikenal dengan 5W+1H) dan juga menjelaskan kepentingan dan akibat dari kejadian atau trend. Jurnalisme meliputi beberapa media: koran, televisi, radio, majalah dan internet sebagai pendatang baru.
Tentang jurnalistik olahraga. ada sebagian pandangan yang menganggap jurnalistik olahraga merupakan profesi kuno, mengingat Homer, seorang penulis yang hidup di zaman Yunani Kuno, sudah menuliskan event atletik pada masanya di The Iliad. Sebagian pandangan lagi menganggap jurnalistik olahraga berawal sejak abad 19 dengan dasar catatan Bat Masterson, seorang cowboy dan warga barat yang termasyhur, yang menjadi seorang jurnalis olahraga paling awal. Masterson (1853-1921) merupakan anggota pramuka, petarung Indian, pemburu sapi liar, dan deputy sheriff di Dodge City, Kansas. Tahun 1902 dia mulai bekerja sebagai wartawan olahraga di kota New York. Masterson disebut sebagai “Tim Jurnalis Cetak Impian” oleh Associated Press Managing Editors (APME) dalam edisi "Eternal Journal"nya (Mereka juga menamai John Steinbeck sebagai editor olahraga di tim impian tersebut).
Definisi jurnalistik olahraga pada tulisan ini mengikuti Mulligan (1999: 5):
Jurnalistik olahraga adalah penelitian, kompilasi, dan diseminasi informasi olahraga dalam bentuk tulisan, ucapan, ataupun bentuk visual untuk kepentingan pembaca, pemirsa, dan pendengar. Selain cerita fiksi, karya jurnalistik olahraga ini bersifat faktual. Tersedia bagi penggemar olahraga di surat kabar, majalah, liputan khusus olahraga, film dokumenter, publikasi online, periklanan, literatur dan perencanaan pemasaran, laporan berkala, siaran berita, serta gambar.


C. Tantangan Profesi Jurnalistik
Kemajuan teknologi komunikasi selama 50 tahun terakhir, telah membawa dampak perubahan yang luarbiasa terhadap kegiatan jurnalistik di dunia. Koran yang terbit di Paris atau New York, hari ini juga edisi Asianya bisa dibaca di Jakarta seperti halnya kita membaca Kompas. Duapuluh tahun yang lalu, koran Jakarta baru bisa dibaca di Jawa Tengah atau Jawa Timur setelah pukul 12.00 tengah hari. Selain karena faktor teknologi, waktu itu juga ada pembatasan (regulasi) dari Departemen Penerangan. Namun sekarang secara serentak, Kompas dicetak di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Makasar, Banjarmasin, Palembang dan Medan. Hingga koran Jakarta itu bisa dibaca di Lubuk Pakam, Plei Hari atau Maros, bersamaan dengan saat orang Menteng membacanya.
Itu semua bisa terjadi berkat adanya teknologi komunikasi jarak jauh melalui satelit. Hingga pengiriman halaman dengan huruf dan gambar siap cetak itu bisa dilakukan dalam hitungan detik dari satu tempat ke tempat lainnya. Teknologi digital dengan komunikasi melalui satelit, saat ini juga memungkinkan seorang jurnalis yang berada di tengah hutan belantara Zaire, Brasil atau Papua bisa memotret perang, binatang buas atau pemandangan alam, dan saat itu juga dengan bantuan Notebook, Modem dan HP, gambar-ambar itu bisa sampai ke Jakarta, Tokyo, Paris atau New York. Dan saat itu juga berita berikut fotonya sudah bisa dinikmati konsumen di seluruh dunia. Baik melalui media cetak, televisi, internet maupun SMS.
Namun kemajuan teknologi yang demikian pesatnya itu, di lain pihak juga telah mengakibatkan pendangkalan berpikir di kalangan masyarakat, yang pada saat bersamaan juga menimpa para jurnalis. Dengan adanya media televisi dan internet, maka alokasi waktu dari tiap individu untuk membaca media cetak menjadi menyusut tajam. Kalau tahun 1980an orang masih tahan untuk duduk membaca koran atau majalah selama lebih dari satu jam per hari, maka tahun 2000an alokasi waktu itu rata-rata kurang dari 0,5 jam. Tuntutan untuk serba cepat dan serba instan, pada akhirnya juga telah menumpulkan daya pikir sebagian besar jurnalis kita. Sebab untuk bisa menghasilkan karya jurnalistik yang baik, tetap diperlukan waktu dan suasana kontemplatif yang cukup.
Optimalisasi fungsi jurnalistik perlu ditekankan dalam rangka pemberdayaan masyarakat demokratis seperti Indonesia. Ada beberapa fungsi pers, di antaranya to Educate, to Inform, to Intertaint, dan to Control. Apabila semua fungsi tersebut dapat dipenuhi pers, maka langkah menuju pers sebagai pencerdas kehidupan bangsa akan semakin kokoh.
Jurnalis Indonesia, umumnya tidak memiliki latar belakang pendidikan jurnalistik di perguruan tinggi. Sebab daya tampung jurusan publisistik dari Fakultas Komunikasi di perguruan tinggi negeri maupun swasta kita, terlalu kecil dibanding dengan kebutuhan tenaga jurnalis di lingkungan media massa saat ini. Karenaya, ketika melakukan perekrutan calon jurnalis baru, media massa Indonesia hanya mensyaratkan lulusan perguruan tinggi, dengan IP tertentu, usia tertentu dll. Terhadap fakultas maupun jurusannya, PSDM perusahaan pers sangat toleran. Hingga S1 dari IPB dengan jurusan Ilmu Tanah atau dari ITB dengan jurusan Teknologi Nuklir, akhirnya berkecimpung di dunia kewartawanan. Meskipun di lain pihak, kebijakan darurat demikian terbukti mampu memenuhi kebutuhan jurnalis bagi sekian banyak media massa, dalam jangka waktu yang relatif singkat.
Karena mengetahui bahwa latar belakang para calon jurnalisnya yang sangat beragam, maka penerbitan-penerbitan besar pun menyelenggarakan program in house training secara intensif. Hingga meskipun merupakan hasil kerja instan, penerbitan besar rata-rata memiliki SDM jurnalis yang relatif lebih baik dibanding dengan penerbitan sedang dan kecil. Namun SDM media massa cetak besar yang siap pakai ini, ternyata juga menarik perhatian stasiun tivi nasional yang saat ini jumlahnya ada belasan. Hingga kemudian banyak wartawan pers senior, yang akhirnya menyeberang terjun ke media audio visual. Trend ini pun, sebenarnya merupakan hal yang positif, sebab kuantitas dan kualitas SDM jurnalis di media massa audio visual, saat ini jauh lebih memprihatinkan dibanding dengan media cetak.
Yang disebut jurnalis, sebenarnya juga mengenal strata. Ada wartawan yang kerjanya berburu berita, ada redaktur yang mengolah bahan menjadi tulisan, ada redaktur pelaksana dan pemimpin redaksi. Jabatan-jabatan struktural ini biasanya diisi oleh tenaga wartawan terbaik di media bersangkutan. Hingga profesi jurnalis di media massa besar, sebenarnya juga banyak “diganggu” secara intern oleh iming-iming jabatan struktural tersebut. Sebab imbalan untuk pekerjaan profesi di negeri ini memang masih kalah jika dibanding dengan imbalan bagi pelaksana jabatan struktural. Karenanya, banyak wartawan dengan kualifikasi sangat tinggi, akhirnya meninggalkan pekerjaan profesinya karena institusi menuntutnya untuk menjadi redaktur, redpel atau pemred.
Namun gangguan paling besar dari profesi kewartawanan di Indonesia saat ini adalah, lunturnya idealisme. Godaan untuk minta-minta atau melakukan pemerasan, tidak hanya dilakukan oleh wartawan di daerah tetapi juga di ibukota. Bukan hanya oleh wartawan dari penerbitan kecil yang miskin, melainkan juga oleh mereka yang bekerja di perusahaan besar dan prestisius. Ketika profesi jurnalis berhadapan dengan kekuasaan, tekanan masih bisa dianggap sebagai kebanggaan. Namun ketika profesi ini harus berjuang terhadap tekanan kekuasaan amplop, maka tidak ada lagi yang bisa dibanggakan. Di kalangan jurnalis pun, sekarang ada angapan, bahwa sikap yang lurus-lurus saja dan hanya mengandalkan pendapatan dari menulis, merupakan tindakan bodoh.
Dengan latar belakang semacam itu, tantangan bagi profesi kewartawanan sekarang ini menjadi semakin besar. Di satu pihak, bekal keterampilan teknis yang dimiliki oleh para jurnalis pemula sangat rendah atau nol sama sekali. Lebih-lebih mereka yang bukan berasal dari latar belakang pendidikan jurnalistik/publisistik di perguruan tinggi, dan juga tidak dipersiapkan melalui in house training oleh perusahaan pers tempatnya bekerja. Hingga kualitas teks yang ada di media massa, terutama di stasiun televisi, berada jauh di bawah standar kelayakan. Padahal, semua stasiun tivi saat ini memiliki tokoh jurnalis yang direkrut (dibajak) dari media pers. Namun tampaknya, tenaga berpengalaman ini kurang dimanfaatkan oleh media audio visual untuk pembenahan teks.
Tantangan berikut yang dihadapi oleh dunia jurnalis adalah, semakin banyak dan bervariasinya tawaran media. Tahun 1970, koran Kompas hanya terbit dengan 12 halaman. Hanya pada hari-hari tertentu koran ini terbit dengan 16 halaman. Pada waktu itu pemilik pesawat televisi baru ada satu dua di negeri ini. Stasiun televisinya juga baru ada satu dan hanya mengudara dari jam lima sore sampai tengah malam. Karenanya, di kota besar pun, halaman koran itu habis dibaca semua sampai ke iklan-iklannya. Saat ini ada belasan stasiun televisi yang sebagian besar mengudara 24 jam, sebelum ada regulasi dari pemerintah untuk membatasi siaran sampai tengah malam karena alasan penghematan energi. Semua rumah tangga punya pasawat televisi. Pelanggan koran Kompas misalnya, biasanya juga melanggan koran, majalah atau tabloid lain. Kesibukan di kota kecamatan pun, dewasa ini juga sangat tinggi. Hingga kesempatan untuk membaca, dan juga menonton televisi menjadi semakin terbatas.
Seperti telah disebut di atas, tantangan paling besar bagi profesi jurnalis saat ini adalah lunturnya idealisme. Namun gejala demikian bukan hanya monopoli jurnalis. Cendekiawan, seniman, tentara, pendidik bahkan rohaniwan pun, akhir-akhir ini semakin berat harus bergelut dengan godaan pengingkaran profesi. Hingga pada akhirnya yang paling penting bukan sekadar keterampilan teknis, melainkan bagaimana memberi makna sebuah profesi sebagai panggilan hidup. Hal semacam inilah yang dalam era hedonisme sekarang, sangat sulit untuk terus dipertahankan. Namun justru perjuangan berat demikianlah yang selalu menarik untuk terus-menerus digeluti. Sebab semakin maju dan kompleks sebuah profesi, memang akan semakin banyak pula godaannya.

D. Sejarah Jurnalistik Dunia
Ide surat kabar sendiri sudah setua zaman Romawi kuno dimana setiap harinya, kejadian sehari-hari diterbitkan dalam bentuk gulungan yang disebut dengan “Acta Diurna”, yang terjemahan bebesnya adalah “Kegiatan hari”. Kemudian Setelah Gutenberg menemukan mesin cetak di abad kelimabelas, maka buku-buku pun mulai diterbitkan di Perancis dan Inggris, begitu pula halnya dengan surat kabar.
Surat kabar pertama kali dibuat di Amerika Serikat, dengan nama “Public Occurrenses Both Foreign and Domestick” di tahun 1690. Surat kabar tersebut diusahakan oleh Benjamin Harris, seorang berkebangsaan Inggris. Akan tetapi baru saja terbit sekali, sudah dibredel. Bukan karena beritanya menentang pemerintah, tetapi Cuma gara-gara dia tidak mempunyai izin terbit. Pihak kerajaan Inggris membuat peraturan bahwa usaha penerbitan harus mempunyai izin terbit, di mana hal ini didukung oleh pemerintah kolonial dan para pejabat agama. Mereka takut mesin-mesin cetak tersebut akan menyebarkan berita-berita yang dapat menggeser kekuasaan mereka kecuali bila usaha itu dikontrol ketat.
Kemudian surat kabar mulai bermunculan setelah negara Amerika Serikat berdiri. Saat itu, surat kabar itupun tidak sama seperti surat kabar yang kita miliki sekarang. Saat itu surat kabar dikelola dalam abad kegelapan dalam jurnalisme. Sebab surat kabar telah jatuh ke tangan partai politik yang saling bertentangan. Tidak ada usaha sedikitpun untuk membuat berita secara objektif., kecuali untuk menjatuhkan terhadap satu sama lainnya. Washington dan Jefferson dituduh sebagai penjahat terbesar oleh koran-koran dari lawan partainya.
Apapun situasinya, rakyat hanya menginginkan Amandemen dalam konstitusi yang akan menjamin hak koran-koran ini untuk mengungkapkan kebohongan yang terburuk sekalipun tanpa takut dibrendel oleh pemerintah. Presiden John Adams membreidel koran ”The New Republik”. Akibatnya partai Federal pecah dan sebaliknya menguatkan posisi Jefferson. Aksi breidel-membreidel ini sampai membuat keheranan seorang menteri bangsa Prusia yang berkunjung ke Kantor Jefferson. Secara kebetulan, ia membaca koran dari partai Federalis yang isinya meyerang Jefferson habis-habisan.
Kritik-kritik keras tidak hanya menyerang Washington, Jefferson, John Adams ataupun James Medison, pokoknya semua kena. Dan selama koran tetap dikuasai oleh para anggota partai politik saja, maka tidak banyak yang bisa diharapkan.
Kemudian kecerahan tampaknya mulai menjelang dunia persurat kabaran. James Gordon Bennet, seorang berkebangsaan Skotlandia melakukan revolusinisasi terhadap bisnis surat kabar pada 1835.
Setelah bekerja di beberapa surat kabar dari Boston sampai Savannah akhirnya dia pun mendirikan surat kabar sendiri. Namanya ”New York Herald” dengan modal pinjaman sebesar 500 dollar. Percetakannya dikerjakan di ruang bawah tanah di Wall Street dengan mesin cetak yang sudah tuam dan semua pekerjaan reportase dilakukannya sendiri.
”The Herald” dan Bennet memperlihatkan kepada Amerika dan dunia tentang bagaimana cara mendapatkan berita. Tidak lama kemudian Bennet pun berhasil meraih kesuksesan dan membangun kantor beritanya sama seperti kantor-kantor perusahaan surat kabar yang banyak kita jumpai sekarang. Dia juga sudah menempatkan koresponden-korespondennya di luar negeri di mana beritanya dikirim dengan usaha paket milik Bennet sendiri, dari pelabuhan New York ke kantornya di kota. Dia juga yang pertama-tama mendirikan biro di Washington, dan memanfaatkan jasa telegraf yang baru saja ditemukan.
Sejak itulah berita sudah mulai dipilah-pilahkan menurut tingkat kepentingannya, tapi tidak berdasarkan kepentingan politik. Bennet menempatkan politik di halaman editorial. Isi korannya yang meliputi soal bisnis, pengadilan, dan kehidupan sosial masyarakat New York memang tidak bisa dijamin keobyektifatnya, tetapi setidaknya sudah jauh berubah lebih baik dibandingkan koran-koran sebelumnya.
Enam tahun setelah ”Herald” beredar, saingannya mulai muncul. Horace Greely mengeluarkan koran “The New York Tribune”. Tribune pun dibaca di seluruh Amerika. Pembacanya yang dominan adalah petani, yang tidak peduli apakah mereka baru sempat membaca korannya setelah berminggu-minggu kemudian. Bagi orang awam, koran ini dianggap membawa perbaikan bagi negara yang saat itu kurang terkontrol dan penuh bisnis yang tidak teratur.
Koran besar yang ketiga pun muncul di New York di tahun 1851, ketika Henry J. Raymond mendirikan koran dengan nama “The New York Times”, atas bantuan mitra usahanya, George Jones. Raymond-lah yang mempunyai gagasan untuk menerbitkan koran yang non partisan kepada pemerintah maupun perusahaan bisnis. Beruntung, saat itu Presiden Lincoln tidak pernah melakukan pembreidelan terhadap koran-koran yang menyerangnya.
Setelah serentetan perang saudara di Amerika usai, bisnis persuratkabaran pun berkembang luar biasa. Koran-koran pun mulai muncul di bagian negara-negara selain New York dan Chicago. Di selatan, Henry W. Grady dengan koran “Konstitusi Atlanta”. Lalu, muncul koran “Daily News” dan “Kansas City Star” yang mempunyai konsep pelayanan masyarakat sebagai fungsi dari sebuah sebuah surat koran. Bahkan pemilik Star, Rockhill Nelson bersumpah untuk mengangkat kota Kansas dari “kubangan lumpur” dan berhasil. Di barat, Jurnalisme Flamboyan diwakili oleh “Denver Post” dan koran-koran San Fransisco.
Di New York, surat kabar dianggap sebuah bisnis yang bakal menjanjikan. Charles Dana membeli surat kabar ”Sun” dan menyempurnakannya. Editornya, John Bogart punya cerita sendiri tentang berita. Menurutnya ”kalau anjing menggigit manusai, itu bukan berita. Tapi kalau manusia menggigit anjing, itu baru namanya berita”.
James Gordon Bennet Junior (anak Bennet) dan Joseph Pulitzer merupakan rival-rival utama Dana. Bennet Jr. Memperlihatkan cara membuat berita yang baik. Prestasinya yang paling terkenal adalah ketika dia mengirimkan Henry Stanley, seorang wartawan London, untuk mencari David Livingstone, seorang misionaris yang hilang di hutan.
Sedangkan Pulitzer mempunyai koran yang bernama ”New York World” dan terkenal sejak jaman perang saudara sampai akhir abad itu. Pulitzer melakukan taktik yang lebih baik dibanding para pendahulunya. Editorialnya yang bersifat perjuangan ke arah perbaikan dan liberal, liputan beritanya yang serba menarik, dan taktik diversifikasinya mengundang decak kagum seperti yang pernah dilakukan oleh Herald. Pulitzer adalah yang pertama kali menerbitkan koran mingguan, di mana isinya ditulis oleh para penulis terbaik yang pernah ada.
Pada tahun 1892 supremasi Pulitzer ditantang oleh William Randolp Hearst lewat koran ”World”. Dalam hal inovasi dan keberanian, ”World”-nya Hearst lebih dari ”World”-nya Pulitzer. Bukan itu saja, koran Hearst isi beritanya jauh lebih flamboyan daripada koran Pulitzer. Hearst banyak mempekerjakan orang-orang terbaiknya Pulitzer. Dia mempekerjakan Richard Outcault, kartunis Pulitzer dan mendorongnya untuk menciptakan sebuah featuer bernama ”The Yellow Kid”, yang menandai lahirnya cergam komik di Amerika.
Pada masa perang antara Amerika dan Spanyol, kedua koran ini berteriak paling keras mendukung Amerika Serikat untuk terjun perang, memimpin suara rakyat dengan padan suara jurnalisme dalam skala nasional, dan memojokkan ke dalam konflik yang tidak terhindarkan. Selanjutnya di perang Amerika-Kuba, keduanya mengalihkan kompetisinya dalam usaha meliput perang.
Setelah Pulitzer meninggal, ”New York World” malah menjadi yang terbesar di dunia. Orang menyebut Pulitzer sebagai ”wartawannya surat kabar”. Sebaliknya, Hearst bersama koran-koran lainnya terpukul keras ketika depresi besar terjadi. Tetapi usaha majalahnya yang paling terkemuka, yakni ”Good Housekeeping” dan ”cosmopolitan” tetap terus berkembang pesat.
Dalam perkembangannya, surat kabar berangkat sebagai alat propaganda politik, lalu menjadi perusahaan perorangan yang disertai keterkenalan dan kebesaran nama penerbitnya, dan sekarang menjadi bisnis yang tidak segemerlap dulu lagi, bahkan dengan nama penerbit yang semakin tidak dikenal.
Perubahan ini memberikan dampak baru. Ketika iklan mulai menggantikan sirkulasi (penjualan langsung) sebagai sumber dana utama bagi sebuah surat kabar, maka minat para penerbit jadi lebih identik dengan minat para masyarakat bisnis. Ambisi persaingan untuk mendapatkan berita paling aeal tidaklah sebesar ketika peloporan. Walaupun begitu, perang sirkulasi masih terjadi pada tahun 1920-an, tetapi tujuan jangka panjang mereka adalah untuk mencapai perkembnagn penghasilan dari sektor iklan. Sebagai badan usaha, yang semakin banyak ditangani oleh para pengusaha, maka surat kabar semakin kehilangna pamornya seperti yang dimilikinya pada abad ke-19.
Namun, surat kabar kini mendapatkan sesuatu yang lain yang lebih penting. Surat kabar yang mapan kini tidak lagi diperalat sebagai senjata perang politik yang saling menjatuhkan ataupun bisnis yang individualis, melainkan menjadi media berita yang semakin obyektif, yang lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pihak-pihak tertentu saja.
Kenaikan koran-koran ukuran tabloid di tahun 1920-an yang dimulai oleh ”The New York Daily News”, memberikan suatu dimensi baru terhadap jurnalisme. Akhirnya memang menjadi kegembiraan besar bagi kehidupan surat kabar, terutama dalam meliput berita-berita keras. Perubahan lain yang layak mendapat perhatian adalah timbulnya sindikasi. Berkat adanya sindikat-sindikat, maka koran-koran kecil bisa memanjakan p[embacanya dengan materi editorial, informasi, dan hiburan. Sebab kalau tidak, koran-koran kecil itu tentu tidak dapat mengusahakan materi-materi tersebut, lantaran biaya untuk itu tidaklah sedikit. Sindikat adalah perusahaan yang berhubungan dengan pers yang memperjualbelikan bahan berita, tulisan atau bahan-bahan lainuntuk digunakan dalam penerbitan pers.
Tahun 1950, industri televisi mulai mengancam dominasi media cetak. Namun, sampai sekarang, koran masih bertahan. Kenyataan menunjukkan bahwa koran telah menjadi bagian dari kehidupan manusia pada umumnya. Dengan karakter khususnya ia mampu membedakan dirinya dari media lainnya seperti televisi dan radio.

E. Ringkasan Jurnalistik Indonesia
1 Jaman Penjajahan
7 Agustus 1744         Terbit surat kabar pertama "Bataviase Nouvelles" atas kebaikan hati Gubernur Jenderal Van Imhoff. Izin terbitnya diberikan kepada Adjunct-Secretaris-General Jorden. Izin terbit enam bulan, kemudian diperpanjang menjadi tiga tahun. Diterbitkan oleh pedagang VOC Jan Erdmans Jordens dan isinya terutama berita-berita kapal, pengangkatan dan pemberhentian pejabat VOC, peraturan-peraturan pemerintah di Belanda dan VOC sendiri, ditambah berita-berita singkat dari berbagai tempat di mana ada pangkalan VOC (mulai dari Nusantara hingga Tanjung Harapan di Afrika Selatan).
20 November 1746  Para pemilik modal VOC di Belanda, tidak suka dengan isi surat kabar ini yang dipandang merugikan VOC. Surat kabar itu dilarang terbit (meski baru berhenti terbit 20 Juni 1746 karena perintah pelarangan dari Negeri Kincir Angin itu lambat diterima di Batavia). Ini kisah pemberedelan pers yang pertama.
1776                         Setelah 30 tahun Batavia tanpa surat kabar, terbit mingguan Vendu Nieuws yang bertahan relatif lama, yaitu hingga Kompeni (VOC) dibubarkan pada tahun 1799. Surat kabar yang disebut "Surat Lelang" ini bisa bertahan lama karena isinya hanya advertensi dan sedikit berita.
1854                         Terjadi kelonggaran kebijakan Belanda terhadap penerbitan surat kabar di Indonesia. Maka terbitlah di Surakarta "Mingguan Bromartani" tiap hari Kamis. "Bromartani" nama ke-Indonesiaan sekaligus ke-Jawaan. Tenaga dan para pemikirnya orang Indonesia. Tetapi modalnya tetap asing, sebuah usaha kongsi Belanda Harteveldt & Co. Karena itu sangat sulit untuk dimasukkan ke dalam kategori pers Indonesia. Berbahasa Djawa dan Melajoe, tenaga teknis, Indonesia, "Bromartani" sudah cenderung menjadi pelopor ke arah perkembangan pers nasional Indonesia.
1924                         Perubahan yang cukup signifikan terjadi ketika harian De Indische Telegraaf di Bandung, muncul dalam edisi pagi dan edisi sore, kecuali hari Minggu dan hari libur.
12 Januari 1901         Surat kabar pertama yang diterbitkan kaum Cina Peranakan adalah Li Po, di Sukabumi yang berakhit tahun 1907
1910                         Terbitnya mingguan “Medab Priyayi” yang berkembang menjadi harian yang dianggap sebagai permakarsa  pers nasional. Artinya dialah yang pertama kali mendirikan penerbitan yang dimodali modal nasional dan pemimipinya orang Indonesia.
2 Jaman Orde Lama
11 September 1945   Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi jurnalisme. Pemerintah Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesia sebagai media komunikasi. Ini juga hari pertama berdirinya Radio Republik Indonesia. Kemerdekaan Indonesia juga menguatkan kondisi pers nasional dimana banyak diterbitkannya koran yang mempropagandakan kemerdekaan seperti, Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta) dan The
Voice of Free Indonesia
1948                         “Sinar Mejalengka” berbahasa Sunda
1950-an                    "Harian Pikiran Rakjat" yang dirintis Djamal Ali bersama AZ. Sutan Palindih dkk.
1960                         Lahir Penetapan Presiden No 6/1960, Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) diberi kekuasaan untuk memberlakukan Surat Izin Terbit (SIT) secara nasional. Penggunaan perizinan sebagai alat kendali pemerintah untuk meredam kebebasan pers terbukti ampuh.
1962                         Menjelang penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih.
25 Maret 1965          Pikiran Rakjat ini berhenti terbit setelah pemerintah mengeluarkan peraturan yang menentukan semua media cetak harus "menggandul" atau berafiliasi dengan partai politik. Pihak Redaksi "Pikiran Rakjat" yang pada waktu itu diwakili Sakti Alamsyah dan Atang Ruswita serta kawan-kawan ditawari Panglima Siliwangi Mayor Jenderal Ibrahim Adjie untuk bergabung dan berafiliasi dengan surat kabar.
1 Oktober 1965        Pepelrada Jaya melarang terbit semua harian yang terbit di Ibu Kota kecuali koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, yang memang diterbitkan pihak militer. Surat Perintah Pangdam V/Jaya (No. 01/Drt/10/1965) yang dikeluarkan Mayjen Umar Wirahadikumah berbunyi, "Dalam rangka mengamankan pemberitaan yang simpang-siur mengenai peristiwa pengkhianatan oleh apa yang dinamakan Komando Gerakan 30 September/Dewan Revolusi, perlu adanya tindakan-tindakan penguasaan terhadap media-media pemberitaan". Masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembreidelan media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis Indepen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih, Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara.
3 Jaman Orde Baru
24 Maret 1966          Bertepatan dengan peringatan Bandung Lautan Api terbitlah "Harian Angkatan Bersenjata Edisi Jawa Barat/Pikiran Rakyat". Judul "Pikiran Rakyat"-nya tercantum kecil di sudut kiri atas kop "Angkata Bersenjata" Edisi Jawa Barat. Setahun kemudian baru diperkenankan memakai kop "Pikiran Rakyat" (besar) sedangkan kop "Angkatan Bersenjata”-nya bertukar tempat menjadi huruf kecil di kiri atas halaman pertama. Pada tahun 1967 koran ini resmi menjadi "Harian Umum Pikiran Rakyat" hingga sekarang.  DPR membuat UU Pokok Pers No 11/1966 jo No 4/1967 jis No 21/1982 dan UU Penyiaran No 24/1997 yang memberi otoritas kepada Menteri Penerangan untuk mengatur dan mengekang kebebasan pers. Pers tidak lagi merdeka. Berita pers harus sesuai petunjuk pemerintah. Ratusan media pers yang kritik dan kontrolnya dinilai mengganggu stabilitas negara dibredel. Ironisnya semua ketentuan dan UU tersebut dibuat merujuk konstitusi.


4 Jaman Reformasi
20-23 Oktober 1998 Pertemuan relawan Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) yang di back up Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) di Pacet-Cianjur, selain menghasilkan RUU Tap MPR tentang Kebebasan Informasi yang diakomodasi dalam Tap MPR No XVII/1998 tentang HAM—rumusan itu menjadi Pasal 28F UUD 1945—juga menghasilkan RUU Pers.
23 September 1999   Hari lahir Kemerdekaan Pers Indoesia. Pembahasan intensif 25 Agustus sampai 13 September 1999 oleh empat fraksi DPR Komisi I dengan pemerintah yang diwakili Deppen. Dalam pembahasan hampir tiga pekan itu, lahirlah UU yang memerdekakan pers.
13-15 April 2007      Pertemuan Lokakarya Pendidikan Jurnalisme,Yogyakarta menunjukkan iklim profesi jurnalistik di Indonesia mengalami perubahan yang signifikan sejak berlangsung reformasi. Dalam pertemuan ini ditemukan bahwa Indonesia memerlukan Sekolah Jurnalistik untuk menghasilkan wartawan yang berkualitas dan siap pakai, dimana ilmu jurnalistik berdiri sendiri tidak lagi dibawah kajian ilmu komunikasi.
Di halaman berikut ini penulis rangkumkan kilasan sejarah jurnalistik secara umum sebagai bahan pengaya wawasan tentang asal-usul jurnalistik yang diakui secara akademik (beberapa kisah seperti Nabi Nuh sebagai jurnalis pertama, dan semacamnya, sengaja tidak ditampilkan di sini semata-mata karena perlunya kesepakatan metodis di antara ilmuwan-akademisi).
Bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, kondisi pers hari ini jauh lebih baik (berpeluang) untuk eksis dan berkembang, minimal jika dilihat dari sikap/kebijakan pemerintah, iklim kebebasan pers, dan kondisi masyarakat global. Tentu saja berbagai tantangan yang ada bisa menyurutkan kondisi ini menjadi stagnan dan kurang menguntungkan. Dibutuhkan kesungguhan semua pihak terkait untuk membesarkan pers nasional dalam menghadapi berbagai tantangan seperti iklim globalisasi, tuntutan pasar (market), profesionalisme pers, kemandirian pers, dan sikap kritis masyarakat.






Referensi

Anonim, 2008, Jurnalistik Olahraga, dalam http://mbin034.multiply.com/journal/item/111/JURNALISTIK_OLAHRAGA, akses terakhir 9 Desember 2008, 22:39 WIB

Cheryl L. Webster, 2005, News Media Critique: “Crazies in the Streets”, dalam eCOMMUNITY: International Journal Of Mental Health & Addiction, Vol. 3, No. 2, pp. 64-68, 2005, ISSN 1705-4583, Canada: Professional Advanced Services, Inc.

Ermanto, 2005, Wawasan Jurnalistik Praktis, Yogyakarta: Cinta Pena.

F. Rahardi, 2005, Panduan Lengkap Menulis Artikel, Feature, dan Esai untuk Pemula, Handout tidak diterbitkan.

Made Pramono, 2011, E-learning jurnalistik olahraga: http://ilmu.unesa.ac.id

Mulligan, Joseph F.; Mulligan, Kevin T, 1999, The Mulligan Guide to Sports Journalism Careers, Illinois: NTC Contemporary.
Baca Selengkapnya →Seri Jurnalistik 1: BATASAN DAN SEJARAH SINGKAT JURNALISTIK

Seri Jurnalistik 2: DUNIA JURNALISTIK DAN MEDIA MASSA

A. Ilmu Jurnalistik
Apakah yang dimaksud sebagai ilmu jurnalistik? Ilmu jurnalistik adalah bagian dari ilmu publisistik (to publish = publikasi). Publisistik sendiri merupakan bagian dari ilmu komunikasi. Makna jurnalistik adalah hal ihwal yang berhubungan dengan persurat-kabaran (media massa cetak = pers). Secara lebih sederhana, jurnalistik sering diartikan sebagai ilmu tentang tulis-menulis di media massa. Padanan ilmu jurnalistik adalah pengetahuan kewartawanan. Hingga jurnalis juga dipadankan dengan wartawan, yang merupakan profesi untuk memperoleh informasi guna disebarluaskan ke masyarakat melalui media massa cetak. Sekarang profesi jurnalis / wartawan tidak hanya terkait dengan media massa cetak, melainkan juga radio, televisi, kantor berita dan multi media (web site).
Di manakah kita bisa belajar ilmu jurnalistik? Secara formal, ilmu jurnalistik bisa dipelajari di perguruan tinggi negeri maupun swasta, melalui program diploma, strata 1, 2 (magister) dan 3 (Phd. / Dr.) Umumnya jurnalistik hanya menjadi Satuan Mata Kuliah (SKS) dari jurusan publisistik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Namun ada beberapa perguruan tinggi, yang menjadikan jurnalistik sebagai salah satu jurusan di Fakultas Publisistik, bersamaan dengan Advertising dan Public Relation (PR = kehumasan).
Sejak kapankah karya jurnalistik mulai ditulis? Karya jurnalistik mulai dibuat sejak jaman Mesir Kuno, yakni ketika kultur manusia mengenal peradaban menulis. Bentuk tulisan yang pertama berkembang adalah reportase (to report = melaporkan). Peninggalan karya jurnalistik tertua (1.500 SM), berupa manuskrip berhuruf hieroglyph di atas daun papyrus (paper = kertas) dan relief dinding batu di salah satu kuil di Mesir. Isi manuskrip adalah perjalanan seorang Raja Mesir (Fira’un) untuk menaklukkan kota Megido (sekarang Lebanon). Pada jaman Julius Caesar (Romawi, 100 – 44 SM), laporan pandangan mata dari medan perang ditulis dan dipasang secara periodik di papan pengumuman di kota. Menuliskan hasil perjalanan, juga dilakukan oleh para “jurnalis” Cina kuno yang berlayar bersama para pedagang dan penyebar agama Budha.
Sejak kapankah ilmu jurnalistik berkembang? Ilmu jurnalistik berkembang sejak abad XV, bersamaan dengan diketemukannya mesin cetak oleh Johann Gutenberg dari Jerman. Sejak itu berkembanglah penerbitan buku. Selain buku juga terbit media berkala secara periodik dan dicetak massal untuk dijual ke masyarakat luas. Bersamaan dengan berkembangnya media massa cetak, berkembang pulalah ilmu jurnalistik.
Apakah untuk menjadi wartawan profesional, seseorang harus memiliki pendidikan formal seperti halnya dokter, pengacara, akuntan publik, pilot dan awak kapal? Tidak harus. Siapa pun bisa berprofesi sebagai wartawan, asalkan memiliki keterampilan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh media massa tempatnya bekerja (wartawan tetap) dan yang akan dikirimi tulisan/foto (wartawan free lance, kontributor tetap). Jadi profesi wartawan berbeda dengan dokter, pengacara, akuntan publik, pilot dan awak kapal yang harus memiliki pendidikan khusus dengan standar internasional.
Selain melalui pendidikan formal di perguruan tinggi, di manakah seseorang bisa belajar ilmu jurnalistik? Biasanya calon wartawan dengan pendidikan strata 1 berbagai jurusan, setelah diterima bekerja di perusahaan media massa, akan dididik (diberi bekal ilmu jurnalistik) melalui program in house training. Selain itu, cukup banyak kursus dan pelatihan jurnalistik yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga swasta, yang terbuka untuk umum. Seseorang yang berminat belajar ilmu jurnalistik bisa mengikuti training-training di lembaga swasta tersebut.

B. Dunia Media Massa
Apakah yang dimaksud sebagai media massa? Media massa atau kadang hanya disebut sebagai media, adalah peralatan (sarana) untuk menyebarkan informasi ke masyarakat. Media massa ada yang bersifat komersial (dijual dan menerima iklan). Ada pula yang bersifat non komersial dan dibiayai oleh lembaga penyelenggaranya. Biasanya media massa non komersial diselenggarakan oleh lembaga-lembaga kenegaraan, keagamaan, pemerhati lingkungan dan sosial kemasyarakatan, atau sebagai alat promosi dan PR bagi perusahaan besar. Misalnya majalah maskapai penerbangan yang ditaruh di masing-masing kursi pesawat.
Ada berapa macamkah media massa saat ini? Saat ini kita mengenal media massa cetak, media massa radio, media massa film (bioskup), media massa televisi, kantor berita, media massa luar ruang (poster, spanduk, billboard, balon) dan multi media (internet/web site).
Media massa manakah yang paling terkait dengan pekerjaan jurnalistik? Yang paling terkait dengan pekerjaan jurnalistik adalah media massa cetak, radio, tivi dan kantor berita. Sementara film, media luar ruang dan multi media kurang terkait dengan kerja jurnalistik secara langsung.
Media massa manakah yang paling berpengaruh saat ini? Media massa yang paling berpengaruh saat ini adalah televisi. Sebab daya jangkau televisi sangat luas, serentak dan cepat. Nomor dua media massa cetak. Media massa radio pernah berperan sangat besar pada waktu perang dunia I maupun II. Sebab pada saat itu media televisi belum berkembang seperti sekarang. Media kantor berita biasanya hanya berbentuk buletin atau kalau sekarang berupa web site. Fokus kantor berita internasional saat ini adalah fotografi.
Mungkinkah salah satu bentuk media massa itu akan mati karena desakan jenis media yang lebih kuat? Tidak mungkin. Sebab masing-masing memiliki kekuatan yang tidak tergantikan. Contohnya media radio yang pernah sangat berpengaruh pada era perang dunia II, kemudian surut karena terdesak media televisi pada tahun 1980an. Namun media radio kembali menemukan perannya ketika lalulintas di kota besar menghadapi masalah kemacetan. Di sinilah radio kembali memegang peranan penting dan menemukan pasarnya. Media radio cocok untuk masyarakat/orang yang sedang melakukan sesuatu hingga tidak mungkin membaca atau menonton tivi. Misalnya mereka yang sedang mengemudikan mobil, bekerja di pabrik, kebun dan lain-lain.

C. Media Massa Cetak
Apa sajakah yang dikatagorikan sebagai media massa cetak? Yang dikatagorikan sebagai media massa cetak adalah koran, tabloid, majalah, bulletin, jurnal dan news letter.
Apakah yang membedakan media massa cetak dengan buku?
Media massa cetak diterbitkan secara periodik, dengan nama penerbitan sama, diberi nomor serta tanggal terbit dan memuat isi yang bersifat faktual. Sementara buku tidak terbit secara periodik dan memuat isi yang tidak bersifat faktual.
Bagaimanakah periodisasi terbitnya media massa cetak? Periodisasi terbitnya media massa cetak pada umumnya adalah: harian, mingguan, dua mingguan, bulanan, dua bulanan, tiga bulanan, empat bulanan, tengah tahunan dan tahunan. Media massa yang terbit harian, umumnya koran. Sementara yang terbitnya dua bulanan sampai setahun sekali umumnya jurnal. Periodisasi yang paling banyak digunakan, selain harian adalah mingguan dan bulanan. Biasanya tabloid dan majalah menggunakan pola terbit mingguan dan bulanan.
Bagaimanakah media massa cetak dibuat? Media massa cetak dibuat dengan cara mencari dan mengumpulkan bahan, baik bahan tertulis, gambar dan foto. Pekerjaan ini dilakukan oleh para wartawan. Bahan itu diolah menjadi tulisan oleh redaksi, untuk selanjutnya ditata dalam halaman-halaman penerbitan, dibuat film dan plate lalu dicetak, untuk majalah harus dijilid dan kemudian diedarkan. Baik secara cuma-cuma maupun dijual.
Bagaimanakah media massa cetak diedarkan? Media massa cetak diedarkan secara cuma-cuma oleh lembaga kenegaraan/pemerintahan, keagamaan, perusahaan dll. Media massa cetak yang diedarkan secara komersial, bisa dijual di agen koran/majalah (di lapak), dijual para pengasong di jalan raya, di toko buku dan dilanggan oleh konsumen. Pelanggan bisa menerima penerbitan media massa melalui jasa pos, hantaran atau loper yang dipekerjakan oleh agen.
Bagaimanakah penerbitan media massa cetak dibiayai? Media massa cetak non komersial, dibiayai oleh anggaran lembaga yang menerbitkannya, karena akan diedarkan secara cuma-cuma. Media massa cetak komersial, dibiayai dari penjualan media massa tersebut, uang langganan dan jasa penjualan halaman untuk dipasangi iklan. Ada pula pemasukan dari advertorial (iklan dalam bentuk artikel). Media massa tertentu, juga memperoleh pendapatan dari produk pendukungnya (barang promosi). Bahkan kadang-kadang produk pendukung ini justru bisa mendatangkan pemasukan lebih tinggi.
Apakah untuk menerbitkan media massa cetak memerlukan ijin khusus?
Sebelum tahun 1998, penerbitan media massa cetak memerlukan ijin khusus yang pengurusannya sangat rumit dan berbelit serta memerlukan dana besar. Hingga pada waktu itu SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) memiliki nilai komersial yang sangat tinggi. Setelah tahun 1998, penerbitan media massa cetak bisa dilakukan dengan bebas oleh siapa saja.

D. Wartawan, Redaktur dan Penulis Lepas
Apakah yang dimaksud sebagai wartawan, redaktur dan penulis lepas? Wartawan, jurnalis atau reporter adalah profesi untuk memperoleh informasi dengan mendatangi sumbernya. Istilah yang dipergunakan untuk melakukan pekerjaan ini adalah meliput. Hasil liputan para wartawan, akan ditulis dan diserahkan ke redaktur untuk diseleksi, diolah lagi dan disajikan dalam bentuk tulisan di media cetak, siaran radio atau televisi. Penulis/wartawan lepas (free lance) adalah penulis berita, reportase, artikel, feature dan bentuk tulisan lain yang tidak terikat (bekerja) di satu lembaga. Penulis/wartawan lepas bisa bekerja di rumah masing-masing dan mengirimkan hasil tulisannya ke media manapun.
Ada berapa macamkah wartawan yang biasa melayani media massa? Sesuai dengan medianya, ada wartawan media massa cetak (koran, tabloid, majalah); wartawan radio, wartawan televisi dan wartawan kantor berita. Kalau dilihat dari jenis pekerjaannya ada wartawan biasa yang pekerjaannya menulis berita dan ada wartawan foto yang pekerjaannya memotret. Dengan berkembangnya media televisi, kemudian dikenal pula reporter yang pekerjaannya mewawancarai sumber berita dan cameraman yang tugasnya mengambil gambar audio visual dari peristiwa atau sumber. Dilihat dari prestasinya, ada wartawan biasa dan ada pula wartawan senior. Yang disebut wartawan senior, bukan mereka yang sudah menggeluti profesi kewartawanan cukup lama atau usianya sudah tua, melainkan yang mampu mencapai prestasi kerja kewartawanan dan diakui oleh masyarakat.
Apakah beda wartawan dengan redaktur? Wartawan adalah pemburu informasi di lapangan, sementara redaktur adalah juru masak yang memberi order peliputan, mengumpulkan hasil liputan dan mengolahnya menjadi tulisan. Di koran-koran besar, wartawan dikelompokkan sesuai dengan rubrik yang ditangani. Misalnya wartawan ekonomi, politik, olahraga, budaya dll. Masing-masing rubrik dikepalai oleh redaktur yang disebut desk.
Apakah yang disebut pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, redaktur pracetak dan sekretaris redaksi? Pemimpin redaksi adalah pemegang kekuasaan tertinggi di bagian redaksi sebuah media massa. Pekerjaan utamanya adalah membuat kebijakan dan meneruskannya ke redaktur pelaksana untuk diaplikasikan pada kegiatan sehari-hari. Di koran besar, redaktur pelaksana memimpin desk yang masing-masing dibantu oleh wartawan rubrik. Selain itu ada wartawan non desk yang biasanya langsung berada di bawah redaktur pelaksana atau pemimpin redaksi. Redaktur pracetak adalah redaksi yang pekerjaannya menangani lay out penerbitan pers termasuk segi artistiknya. Di koran-koran pagi biasanya juga dikenal istilah redaktur malam. Yakni redaksi yang bertugas pada malam hari sebelum batas deadline koran untuk naik cetak. Sekretaris redaksi adalah kepala rumahtangga redaksi. Urusannya mulai dari administrasi naskah, uang transpor, honor, kegiatan rapat dll. Sekretaris redaksi bertanggungjawab langsung kepada pemimpin redaksi.
Manakah yang jenjangnya lebih tinggi: wartawan atau redaktur/redaktur pelaksana? Wartawan dan redaksi adalah jenis pekerjaan yang berbeda. Wartawan adalah jenjang profesi. Sama dengan dosen, dokter, pengacara dll. yang jenjangnya sangat tergantung dari keahlian dan prestasinya dalam menjalankan profesi. Sementara redaktur (desk), redaktur pelaksana, pemimpin redaksi, redaktur pracetak dan sekretaris redaksi berikut para wakilnya adalah jenjang struktural. Hingga bisa saja penghasilan seorang wartawan senior dalam satu perusahaan pers, lebih tinggi dari redaktur bahkan redaktur pelaksananya. Sama halnya dengan di rumah sakit atau perguruan tinggi, yang gaji dokter spesialis atau guru besarnya lebih tinggi dari kepala bagian atau kepala jurusan.
Bagaimanakah caranya agar seseorang bisa menjadi wartawan/penulis lepas? Caranya harus dengan menulis berita, hasil reportase, artikel feature atau bentuk tulisan lain dan mengirimkannya ke media massa. Semakin sering karya seseorang dimuat media massa, maka kredibilitasnya akan semakin baik. Namun yang bisa benar-benar menjadi wartawan/penulis lepas, dalam arti hidup dari honorarium menulis, hanyalah mereka yang sudah mampu meraih status sebagai wartawan senior.
Apakah penyair, cerpenis dan novelis yang karyanya sering muncul di media massa bisa dikatagorikan sebagai penulis lepas (free lance)? Tidak bisa. Sebab mereka lebih lazim disebut sasterawan. Yang mereka tulis pun karya fiksi. Istilah penulis lepas, lazim digunakan hanya untuk menyebut penulis berita, artikel dan feature yang tidak terikat bekerja di satu perusahaan pers.

E. Pendidikan Menulis dan Jurnalis
Ada berapa macamkah pendidikan menulis dan jurnalis? Pendidikan menulis (dalam arti mengarang, menyusun tulisan), sudah mulai diajarkan sejak di bangku SD. Pelajaran menulis ini terus berlanjut sampai ke jenjang perguruan tinggi. Di sini, keterampilan menulis sangat diperlukan dalam rangka menyusun karya ilmiah sebagai bagian dari tugas akhir maupun hasil penelitian. Sementara pendidikan jurnalis (kewartawanan) hanya diajarkan secara formal di jurusan publisistik atau jurnalistik di perguruan tinggi yang membuka jurusan ini, baik untuk program diploma maupun strata. Selain pendidikan formal, menulis dan kewartawanan juga diajarkan di berbagai lembaga pelatihan/training. Media massa besar, baik cetak, radio, televisi dan kantor berita juga mengajarkan keterampilan menulis dan jurnalis melalui program in house training.
Profesi apa sajakah yang terkait dengan kegiatan tulis menulis?
Profesi yang terkait dengan kegiatan tulis menulis antara lain sasterawan (penyair, cerpenis, novelis, penulis naskah drama), wartawan, kolumnis, esais, penulis teks iklan (copy writer), penulis script program radio/tivi, penulis skenario film/sinetron dan ghost writer (penulis pidato, sambutan, artikel dan buku untuk seorang tokoh).
Apakah mereka yang sudah memiliki status penulis/wartawan berarti tidak perlu belajar lagi? Mereka yang sudah meraih predikat sebagai penulis/wartawan profesional pun tetap harus terus-menerus belajar. Baik secara formal, non formal maupun informal. Pendidikan menulis secara formal di perguruan tinggi, hanya terbatas menyangkut profesi jurnalis (non fiksi). Sementara sasterawan, tidak ada sekolah formalnya. Fakultas sastra di perguruan tinggi, hanya sebatas mengajarkan ilmu sastra. Bukan mendidik mahasiswa untuk menjadi sasterawan.
Dalam pendidikan menulis dan jurnalis, manakah yang lebih penting: belajar atau berlatih? Berlatih jelas lebih penting. Sebab kegiatan menulis atau menjadi wartawan, lebih memerlukan keterampilan (skill) dan bukan sekadar pengetahuan. Selain dengan berlatih, skill juga akan datang secara otomatis kalau seseorang terus-menerus bekerja sambil memperbaiki diri. Keterampilan apa pun, hanya akan meningkat apabila seseorang telah memiliki “jam terbang” cukup banyak.
Mengapa informasi mengenai pendidikan tulis menulis dan kewartawanan sampai sekarang sangat jarang sampai ke masyarakat? Sebab dunia tulis menulis memang hanya digeluti oleh sedikit orang. Kebanyakan penulis buku petunjuk praktis menulis dan kewartawanan, justru mereka yang tidak memiliki pengetahuan ilmu jurnalistik. Misalnya sastrawan yang kebetulan juga wartawan, menulis buku petunjuk untuk menjadi penulis/wartawan. Atau dosen perguruan tinggi membuat buku petunjuk praktis “Menulis Ilmiah Populer di Media Masa”. Sementara mereka yang memiliki pengetahuan jurnalistik cukup baik, jarang yang mau menyusun buku petunjuk.

Referensi

Anonim, 2008, Jurnalistik Olahraga, dalam http://mbin034.multiply.com/journal/item/111/JURNALISTIK_OLAHRAGA, akses terakhir 9 Desember 2008, 22:39 WIB

Ermanto, 2005, Wawasan Jurnalistik Praktis, Yogyakarta: Cinta Pena.

F. Rahardi, 2005, Panduan Lengkap Menulis Artikel, Feature, dan Esai untuk Pemula, Handout tidak diterbitkan.

Made Pramono, 2011, E-learning jurnalistik olahraga: http://ilmu.unesa.ac.id

Pape, Susan & Featherstone, Sue, 2005, Newspaper Journalism: A Practical Introduction, London: SAGE Publications Ltd.
Baca Selengkapnya →Seri Jurnalistik 2: DUNIA JURNALISTIK DAN MEDIA MASSA

Seri Jurnalistik 3: PELATIHAN JURNALISTIK

A. Tentang Modul
Apakah yang disebut sebagai modul? Dalam pengertian umum, modul adalah standar atau satuan pengukur. Dalam konteks pendidikan, modul adalah paket atau program belajar mengajar, mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai ke evaluasi terhadap dampak hasil pelaksanaan.
Ada berapa macam modulkah dalam dunia pelatihan? Ada modul dasar, ada modul lepas dan modul lengkap. Yang dimaksud sebagai modul dasar adalah paket belajar – mengajar secara lengkap, namun hanya menyangkut garis besarnya saja. Tujuannya agar peserta didik memiliki pengetahuan dasar tentang suatu bidang, sektor atau materi yang dilatihkan. Modul lepas adalah paket belajar – mengajar secara detil dan mendalam, namun hanya menyangkut satu bagian dari keseluruhan kegiatan. Modul lengkap adalah paket belajar mengajar secara lengkap, detil dan mendalam. Biasanya yang disebut modul lengkap, adalah modul dasar ditambah dengan keseluruhan modul lepas.
Bagaimanakah kaitan modul dasar dan modul lepas dalam pelatihan jurnalistik?
Dalam kaitan pelatihan jurnalistik, yang dimaksud sebagai modul dasar adalah, peserta didik diharapkan memiliki pengatahuan dasar tentang teori jurnalistik, berikut semua bentuk tulisan di media massa dan tatakerja penerbitannya. Berarti seorang peserta didik yang mengikuti modul dasar, sudah siap untuk terjun sebagai wartawan pemula.
Modul dasar cocok untuk melatih pengelola bulletin, jurnal dan penerbitan intern lainnya. Modul lepas adalah paket belajar – mengajar yang bisa berdiri sendiri, namun masih memiliki keterkaitan dengan keseluruhan paket kegiatan. Misalnya modul penulisan news, artikel, features, reportase. Modul ini dibuat berdasarkan bentuk tulisan di media massa. Bisa pula modul lepas disusun berdasarkan aspek yang akan dikerjakan dalam kegiatan kewartawanan. Misalnya modul penentuan tema tulisan, pengumpulan bahan dan peliputan, memotret, bahasa jurnalistik, pemilihan media, rubrikasi dll. Modul lepas bisa dipergunakan secara tersendiri (misalnya pelatihan meliput), beberapa modul lepas sekaligus (misalnya menulis news, artikel dan feature), bisa juga modul lepas tersebut digabung secara keseluruhan dan ditambah modul dasar hingga menjadi modul lengkap.
Bagaimanakah kaitan antara modul dasar, modul lepas dan modul lengkap dalam pelatihan jurnalistik? Modul dasar bisa diberikan dengan alokasi waktu dua sampai 3 hari (20 sd. 30 jam efektif). Modul lepas bisa diberikan masing-masing dengan alokasi waktu sama dengan modul dasar. Kalau dalam pelatihan jurnalistik disusun 5 modul lepas, maka alokasi waktu untuk modul lengkap (lima modul lepas + satu modul dasar) adalah 18 hari atau antara 360 sd. 540 jam efektif. Untuk menghemat biaya, biasanya disusun modul dasar terlebih dahulu, baru kemudian modul lepas yang dianggap paling urgent. Setelah jumlah modul lepas dirasa cukup, baru dirangkai menjadi modul lengkap.
Apa sajakah yang harus dibuat dalam sebuah modul pelatihan jurnalistik? Yang mula-mula harus disusun adalah, karakteristik kelompok sasaran dari pelatihan yang direncanakan. Misalnya, mereka adalah kelompok masyarakat umum, usia antara 20 sd. 40 tahun, berpendidikan perguruan tinggi (heterogen), sebagian besar sudah bekerja di berbagai bidang/sektor. Yang menyatukan mereka adalah, semuanya merupakan pengasuh bulletin/jurnal intern kelembagaan dan ingin agar media tersebut jadi lebih baik. Semuanya juga berharap untuk bisa menulis artikel di media massa umum. Dari sini kita bisa menentukan tujuan pelatihan. Dari tujuan tersebut, ketahuan bahwa yang diperlukan adalah modul dasar dengan modul lepas penulisan artikel. Dua modul ini harus dikonkritkan dengan mendata kuantitas dan kualitas peserta, kurikulum, jadwal, hand out, alat peraga, instruktur, narasumber, lokasi dan waktu palatihan. Dari data yang ada bisa disusun proposal berikut anggaran biayanya.

B. Kurikulum dan Metodologi
Apakah yang disebut sebagai kurikulum? Kurikulum adalah kelompok mata pelajaran yang harus diberikan dalam satu program pendidikan, lengkap dengan satuan waktu yang diperlukannya.
Dalam konteks modul dasar pelatihan jurnalistik, kurikulum yang bagaimanakah yang diperlukan? Seperti halnya dengan modul, kurikulum pun disusun berdasarkan karakteristik peserta didik, berikut kebutuhan yang mereka rasakan. Kurikulum untuk para calon wartawan koran terkemuka, tentu lebih banyak terfokus pada news dan reporting. Kurikulum untuk penulis lepas, lebih banyak terfokus ke artikel. Setelah itu baru ditentukan, materi apa saja yang harus disampaikan untuk mencapai tujuan tersebut, berapa waktu yang diperlukan dan metodologi apa yang paling tepat untuk menyampaikannya.
Apa sajakah materi minimal yang diperlukan dalam kurikulum modul dasar pelatihan jurnalistik untuk umum? Pertama pengenalan media massa dan kegiatan jurnalistik. Berikutnya bentuk-bentuk tulisan, menentukan tema, mencari bahan/meliput, memotret, menulis dengan 5 W 1 H dan terakhir mengirim teulisan tersebut ke media massa umum. Idealnya materi tersebut disampaikan dalam jangka waktu satu minggu. Namun bisa saja dilakukan strategi hanya dua hari di kelas, kemudian latihan di rumah masing-masing untuk berkumpul lagi di kelas selama dua hari.
Apakah yang disebut sebagai metodologi? Metodologi adalah strategi dan teknik penyampaian kurikulum kepada peserta didik, yang dilakukan oleh instruktur atau narasumber, dengan tujuan diperoleh efektifitas dan efisiensi optimal. Misalnya, kalau tujuan pelatihan adalah agar tulisan peserta didik (umum) bisa dimuat di media massa, maka metode work shop paling efektif dan efisien.
Faktor apa sajakah yang harus diperhatikan dalam menentukan metodologi? Pertama faktor peserta. Kalau pesertanya remaja dan anak-anak, metode bermain akan lebih efektif dan efisien. Peserta ibu-ibu atau bapak-bapak, lebih cocok metode simulasi atau diskusi kelompok. Selain spesifikasi peserta, faktor jumlah juga sangat menentukan metodologi yang harus digunakan. Peserta 10 sd. 20 orang, paling tepat metodologi diskusi intensif. Jumlah 20 sd. 30 orang bisa dengan metode diskusi kelompok dan pleno. Modelnya masih model kelas. Peserta di atas 50 harus menggunakan metode ceramah. Peserta berjumlah ratusan harus memakai metode pidato. Selain peserta, waktu dan lokasi pelatihan juga harus menjadi pertimbangan dalam menyusun metodologi. Kalau waktunya pendek, maka metode ceramah dan tanya jawab labih tepat. kalau waktunya panjang, maka diskusi kelompok dan pleno lebih baik dilakukan. Selain itu juga dipertimbangkan apakah peserta menginap di lokasi pelatihan atau tidak dsb. Lokasi pelatihan di Jakarta atau kota besar lainnya, pasti memerlukan metodologi yang berbeda dibanding dengan pelatihan yang diselenggarakan di luar kota. Selain itu juga perlu dilihat faktor ruang kelas, peraga, kuantitas dan kualitas instruktur/narasumber. Dan terakhir yang paling penting adalah faktor biaya.
Mengapa pelatihan yang banyak diselenggarakan di Indonesia selama ini hanya menggunakan metodologi ceramah dan tanya jawab? Karena penyelenggara pelatihan, umumnya terdiri dari karyawan biasa dari sebuah lembaga, yang sama sekali tidak menguasai bidang palatihan. Hingga pelatihan hanya diartikan sebagai mengumpulkan peserta di satu tempat, mengundang pembicara dengan makalahnya lalu diadakan tanyajawab dan selesai. Di Indonesia, hanya sedikit lembaga pendidikan yang benar-benar menguasai metodologi pelatihan.

C. Handout Pelatihan
Apakah yang disebut sebagai hand out pelatihan? Hand out pelatihan adalah barang cetakan, kaset, DVD (Digital Video Disc), VCD (Video Compact Disc) atau bentuk-bentuk lain yang berisi materi pelatihan, sebagai acuan bagi peserta didik, instruktur maupun narasumber.
Mengapa selama ini peserta pelatihan hanya diberi makalah yang berasal dari narasumber? Karena panitia penyelenggara pelatihan tidak tahu bahwa hand out adalah salah satu sarana pelatihan yang sangat penting dan variasi bentuknya sangat beragam.
Dalam kaitan dengan pelatihan jurnalistik, hand out apa sajakah yang diperlukan? Pertama buku-buku tentang pelajaran dan pengetahuan tulis – menulis serta jurnalistik. Di Indonesia buku-buku demikian masih sangat sedikit. Buku tentang tulis menulis yang lengkap hampir semuanya masih berbahasa Inggris dan hanya ada di perpustakaan besar. Yang juga bisa dimanfaatkan sebagai hand out adalah bahan-bahan pelatihan intern media massa dan diktat-diktat pelajaran di jurusan publisistik dan jurnalistik perguruan tinggi.
Mengapa hand out mutlak diperlukan dalam sebuah pelatihan?
Hand out sangat diperlukan dalam sebuah pelatihan, karena ibaratnya buku pelajaran di sekolah dan perguruan tinggi. Hand out diharapkan bisa terus membantu peserta didik setelah yang bersangkutan selesai mengikuti program pelatihan.
Bisakah hand out dibuat khusus oleh panitia atau penyelenggara pelatihan untuk kebutuhan yang juga sangat khusus? Seharusnya memang demikian. Penyelenggara pelatihan seharusnya menyusun modul, kurikulum berikut hand outnya dalam sebuah paket palatihan. Namun untuk melakukan tiga hal ini sekaligus, biayanya akan sangat mahal. Hingga bisa saja pelatihan memanfaatkan hand out berupa buku-buku, brosur, diktat dll. dari luar.

D. Alat Peraga Pelatihan
Apakah yang disebut sebagai alat peraga pelatihan? Alat peraga pelatihan adalah benda, termasuk tumbuhan, binatang dan manusia, yang bisa membantu proses transfer informasi dari instruktur, narasumber dan hand out ke peserta didik. Benda yang biasa dijadikan sebagai peraga adalah peta, gambar, poster, foto, televisi, OHP, Slide Projector, In Focus, papan panel, papan tulis dll. Barang-barang yang tidak lazim pun, termasuk tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia, bisa dijadikan alat peraga asal efektif dan efisien.
Alat peraga apakah yang minimal harus ada dalam sebuah pelatihan jurnalistik?
Contoh koran, majalah, tabloid, bulletin, jurnal dan news letter mutlak harus ada sebagai peraga. Kemudian perangkat fotografi, hasil foto-fotonya dll. Perangkat standar yang bisa membantu sebagai peraga adalah OHP, In Fokus, slide projector, papan panel dan papan tulis.
Mengapa tumbuhan, binatang dan manusia bisa dijadikan peraga dalam pelatihan jurnalistik? Tumbuhan, misalnya pohon-pohon atau tanaman lain di halaman lokasi pelatihan, bisa dijadikan peraga dalam mata pelajaran pengamatan lapang. Demikian pula halnya dengan binatang. Misalnya, pelatihan jurnalistik yang diselenggarakan di Hotel Safari Gerden di Cisarua, bisa memanfaatkan binatang di Taman Safari sebagai peraga ketika seorang instruktur atau narasumber menjelaskan proses peliputan dan pengumpulan informasi. Manusia bisa dijadikan peraga ketika kelas sedang melakukan prektek simulasi wawancara. Salah satu panitia atau instruktur dijadikan peraga untuk simulasi wawancara.
Mengapa alat peraga penting dalam sebuah pelatihan? Alat peraga memegang peran penting dalam sebuah pelatihan, karena bisa membantu meningkatkan prosentase informasi yang bisa ditangkap oleh peserta didik. Kalau seorang narasumber hanya membagikan makalah, kemudian berbicara lalu tanya jawab, maka informasi yang bisa ditangkap peserta didik sekitar 40%. Kalau dalam mata pelajaran menulis artikel tentang martabak telor, diundang seorang tukang martabak lengkap dengan gerobaknya untuk dijadikan peraga (diwawancarai), maka prosentase informasi yang bisa ditangkap peserta didik akan meningkat sampai 70%.
Mengapa selama ini alat peraga kurang dimanfaatkan secara optimal dalam tiap pelatihan? Karena penyelenggara pelatihan, instruktur dan narasumber kurang memahami pentingnya peraga dalam sebuah pelatihan. Selain itu faktor biaya kadang-kadang juga menjadi kendala dalam penyediaan dan kelengkapan peraga.
Bisakah paraga justru mengganggu proses belajar mengajar dalam sebuah pelatihan? Bisa. Misalnya, sehabis makan siang, perancang kurikulum pelatihan memasukkan jadwal pemutaran film. Sebab materi yang ada di kurikulum adalah menulis resensi film. Ketika film diputar, maka perhatian seluruh peserta didik akan tertuju ke film tersebut. Bukan pada materi palatihannya.

E. Instruktur dan Narasumber
Apakah yang dimaksud sebagai instruktur dalam sebuah pelatihan? Instruktur adalah pemimpin pelatihan, yang tugas utamanya memberi instruksi kepada peserta didik, sesuai dengan kurikulum dan metodologi yang digunakan. Dalam satu pelatihan jurnalistik dengan peserta 20 sd. 30 orang, idealnya ada dua orang instruktur yang bekerja bergantian (dua shift) atau bersamaan (berduet).
Apakah syarat utama yang harus dipenuhi oleh seorang instruktur pelatihan? Pertama dia harus ramah dan berkepribadian menyenangkan. Berpenampilan menarik namun tetap sopan. Mampu berbicara keras meskipun tanpa mike dan memiliki wibawa (pengaruh) agar instruksinya dipatuhi oleh seluruh peserta didik. Instruktur juga harus bisa memberi motivasi kepada peserta didik, bahwa yang paling diuntungkan dari program pelatihan ini adalaa para peserta didik sendiri.
Apakah instruktur tidak perlu menguasai materi pelatihan? Instruktur memang harus tahu materi pelatihan yang akan diberikan melalui modul, kurikulum, metodologi dan hand out. Namun instruktur tidak perlu menguasai materi pelatihan. Sebab yang harus menguasai materi pelatihan adalah narasumber. Yang harus dikuasai oleh instruktur justru kurikulum dan metodologinya.
Apakah yang disebut sebagai narasumber dalam pelatihan? Narasumber adalah tokoh yang diangap menguasai salah satu materi pelatihan sesuai dengan kurikulum dan hand out pelatihan. Dalam pelatihan jurnalistik maka narasumber bisa seorang wartawan profesional, fotografer, redaktur atau dosen jurnalistik di perguruan tinggi. Lebih ideal lagi kalau narasumber tersebut seorang pakar dalam bidangnya. Misalnya, narasumber untuk materi penulisan artikel, adalah seorang penulis artikel kenamaan, namun sekaligus juga tahu ilmu jurnalistik, khususnya mengenai artikel.
Apakah seorang narasumber tidak perlu menguasai metodologi pelatihan?
Narasumber tidak perlu menguasai metodologi pelatihan. Sebab yang akan menangani metodologi adalah instruktur dan panitia.
Apakah semua penulis artikel hebat (terkenal), bisa dijadikan narasumber dalam sebuah pelatihan? Pertama, penulis tersebut harus bersedia tampil dengan mamatuhi ketentuan penyelenggara pelatihan (menyangkut honor dll). Kedua, penulis tersebut harus bisa berbicara di depan peserta dengan jelas, menarik namun tetap akurat. Ketiga, narasumber tersebut diharapkan benar-benar menguasai bidang penulisan dengan cukup baik (bukan sekadar terampil menulis).

F. Penyelenggaraan Pelatihan
Apakah yang dimaksud dengan penyelenggaraan pelatihan? Penyelenggaraan pelatihan dimulai setelah ada modul, kurikulum, metodologi dan hand out. Dengan modal tersebut bisa disusun proyek proposal dengan anggaran biayanya. Namun yang terjadi selama ini, sebuah institusi membuat proyek proposal sederhana, diajukan dan ketika anggaran turun baru direncanakan pelaksanaan pelatihan. Yang disebut rencana pelatihan pun hanya terkait dengan kepesertaan, pelatih dan lokasi pelatihan. Modul, kurikulum, metodologi dan hand out tidak pernah terpikirkan dalam rapat perencanaan.
Dari manakah biaya penyelenggaraan pelatihan diperoleh? Biaya pelatihan bisa berasal dari anggaran intern institusi. Baik institusi pemerintah (departemen, pemda, BUMN), lembaga keagamaan, LSM, perguruan tinggi dan lembaga penyelenggara media massa. Bisa pula biaya berasal dari lembaga donor. Terutama lembaga donor asing (UNDP, USAID, Ford Foundation, Asia Foundation, MEE dll). Namun biaya juga bisa dipungut dari peserta pelatihan sendiri. Meskipun bisa tidak 100%. Misalnya ada subsidi 25%, 50% atau 75%.
Bagaimanakah penyelenggaraan pelatihan di pemerintahan diorganisir? Di lembaga pemerintah, baik departemen, non departemen maupun pemda, penyelenggaraan pelatihan dilakukan oleh Pimpinan Proyek (Pimpro) yang sebelum era reformasi kekuasaannya luarbiasa besar. Kontrol dari inspektorat, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan = Proyek) tidak pernah bisa efektif. Akibatnya penyelenggaraan pelatihan, termasuk pelatihan jurnalistik, hanyalah upaya untuk mencairkan dana proyek.
Bagaimanakah seharusnya penyelenggaraan pelatihan diorganisir dengan benar? Di lembaga-lembaga swasta profesional, terutama di perusahaan pengelola media massa, program in house training jurnalistik dilakukan oleh unit independen yang permanen. Baik untuk melatih calon wartawan, untuk penyegaran bagi wartawan lama maupun untuk melayani pihak luar. Pelatihan intern demikian dilakukan secara reguler dengan instruktur dan narasumber intern perusahaan tersebut. Penyelenggara pelatihan jurnalistik profesional independen, juga melakukan pelatihan reguler untuk melayani perusahaan media massa maupun pihak luar. Mereka punya unit pelaksana pelatihan yang independen dengan instruktur permanen, namun tidak memiliki narasumber. Pelatihan insidental oleh lembaga swasta, biasanya dikelola oleh satu panitia. Baik panitia pelaksana maupun pengarah. Instruktur dan narasumber semuanya dari luar.
Bagaimanakah penyelenggaraan pelatihan yang dilakukan oleh panitia? Panitia pengarah (SC), hanya bertugas menjaga agar tujuan ideal pelatihan bisa berhasil dicapai sesuai target. Panitia pelaksana (OC), bertugas melaksanakan pelatihan mulai dari menghubungi instruktur, narasumber, peserta, memilih dan booking lokasi, mendapatkan hand out dan peraga dll.
Siapakah yang lebih berkuasa dalam pelaksanaan pelatihan, instruktur atau ketua OC? Ketua OC bertanggungjawab terhadap permasalahan teknis pelatihan. Misalnya pembagian kamar, makan, minum, snack, penggandaan materi, penyediaan peraga, penjemputan narasumber, pemberian honor, transpor panitia/peserta dll. Sementara instruktur bertanggungjawab terhadap proses pelatihan, terutama pelaksanaan kurikulum dan metodologinya. Narasumber bertanggungjawab terhadap materi pelatihan.


G. Target yang Hendak Dicapai
Kapankah terget pelatihan yang hendak dicapai ditentukan? Target pelatihan yang hendak dicapai, ditentukan pada saat merancang modul (kalau modulnya belum ada) atau pada saat merevisi (kalau modul lama sudah ada).
Apakah konkritnya target pelatihan yang hendak dicapai? Misalnya saja 20 orang dosen di perguruan tinggi (……nama……), mampu menulis artikel dan 50% bisa lolos dimuat di media massa pada tahun ini. Kriteria terget harus jelas (terukur), realistis namun menantang dan ada batas waktunya. Target 20 orang menghasilkan artikel cukup jelas dan 50% (10 orang) bisa lolos dimuat di media massa pada tahun ini, sudah merupakan ukuran dan batasan. Target itu cukup realistis. Yang tidak realistis kalau tulisan seluruh peserta harus bisa lolos dimuat di media massa. Namun target 50% juga cukup menantang. Yang tidak menantang kalau misalnya hanya ditargetkan 10 atau 20%.
Apakah target itu harus dikomunikasikan ke peserta didik?
Benar. Target ini sejak awal harus dikomunikasikan ke peserta didik. Bahkan secara lebih spesifik, sejak sesi I (pembukaan) harus dideteksi, apa sebenarnya harapan peserta didik dari pelatihan ini.
Sebab bisa saja target penyelenggara ternyata tidak cocok dengan harapan peserta.
Apakah dibenarkan kalau targetnya adalah terselenggaranya pelatihan dengan peserta 25 orang dari tgl………….sd.tgl…………..dengan narasumber………………dengan biaya Rp……….? Tidak benar. Sebab itu semua merupakan target penyelenggara pelatihan (target panitia). Sementara yang dimaksud di sini adalah target pelatihan terhadap peserta didik. Artinya, perubahan apa yang akan dialami peserta didik setelah mengikuti pelatihan ini.
Bagaimanakah penyelenggara pelatihan dengan peserta umum bisa mengetahui target pelatihan tercapai atau tidak? Deteksi pencapaian target pasca pelatihan, bisa dilakukan dengan monitoring, pembentukan kelompok alumni training dll. Dari sini akan dapat dengan mudah terdeteksi, apakah benar peserta didik melanjutkan menulis, mengirimkan ke media massa dan 50%-nya dimuat?



Referensi

Ermanto, 2005, Wawasan Jurnalistik Praktis, Yogyakarta: Cinta Pena.

F. Rahardi, 2005, Panduan Lengkap Menulis Artikel, Feature, dan Esai untuk Pemula, Handout tidak diterbitkan.

Made Pramono, 2011, E-learning jurnalistik olahraga: http://ilmu.unesa.ac.id
Baca Selengkapnya →Seri Jurnalistik 3: PELATIHAN JURNALISTIK