* Tulisan ini masih draf 90% jadi, masih ada revisi lagi setelah ada pertemuan dengan tim pengembangan karakter Unesa
** Dari rencana penerbitan (internal Unesa) "Naskah Akademik Pengembangan Karakter", saya sebagai salah satu
anggota tim mendapat jatah menulis Bab V tentang judul di atas. Berikut tulisan "aneh" itu (aneh karena "saya" bicara
tentang Rencana Pembelajaran..sesuatu yang bukan aku bingitz.. hehe)
Baca Selengkapnya →Rencana Pembelajaran dan Kegiatan (Mahasiswa) Bermuatan Karakter
** Dari rencana penerbitan (internal Unesa) "Naskah Akademik Pengembangan Karakter", saya sebagai salah satu
anggota tim mendapat jatah menulis Bab V tentang judul di atas. Berikut tulisan "aneh" itu (aneh karena "saya" bicara
tentang Rencana Pembelajaran..sesuatu yang bukan aku bingitz.. hehe)
RENCANA PEMBELAJARAN DAN
PROGRAM KEGIATAN
BERMUATAN KARAKTER
A. Kurikulum dan Kokurikulum
Kaum
intelektual oleh Machiavelli disebut sebagai nabi-nabi tanpa senjata (unarmed prophets), istilah yang
meneguhkan jati diri kaum intelektual sebagai moral oracle (orang bijaksana penjaga moral). Made Pramono (2014)
mengutip istilah “nabi tanpa senjata” dan “moral oracle” tersebut untuk
menunjukkan indikasi kuat keterkaitan antara dunia akademis dan pengembangan
karakter di dalam dan terlebih di luar kampus. Pengalaman perkuliahan
dimaksudkan untuk membentuk sikap dan nilai mahasiswa sebagaimana untuk
meregangkan intelektual mereka dan memperluas pengetahuan mereka tentang dunia.
Karakter
didefinisikan sangat beragam. Di level abstraksi, karakter disepakati sebagai
jendela kepribadian, suatu konstelasi sikap, nilai, pertimbangan etis, dan pola
perilaku yang merepresentasikan apa yang dipercayai dan dinilai seseorang,
bagaimana mereka berpikir, dan apa yang mereka lakukan. Seseorang disebut
memiliki “karakter” ketika orang tersebut mempertontonkan sifat-sifat
mengagumkan baik dalam hal dimensi perilaku dan dimensi intelektual dari
kehidupan dan tindakan privat dan publik dengan integritas yang sebangun dengan
nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan tertentu. Individu yang berkarakter “baik”
dengan demikian berkarya ke arah kepentingan publik dengan integritas dan
tanggung jawab personal yang mencerminkan pemahaman sadar tanggung jawab etis
mereka kepada diri dan komunitas yang lebih besar (Kuh dan Umbach, 2004).
Pascarella dan Terenzini dalam How College
Affects Students (1991)
sudah lebih dahulu menyatakan bahwa lembaga pendidikan yang berperan penting
dalam pengembangan karakter adalah kampus yang memberi pengalaman dalam
pengembangan karakter mencakup pengalaman kurikuler dan ko-kurikuler,
nilai-nilai dan adat kebiasaan luhur fakultas, serta sikap-sikap dan perilaku pergaulan
perkuliahan. Tidak terlalu sulit untuk memahami bahwa menjadi seorang mahasiswa
(atau kaum intelektual pada umumnya), tidak hanya menjadi manusia robotik yang
“terprogram” secara mekanis-rasionalitik sesuai kompetensi keilmuannya (dimensi
kognitif), tetapi juga niscaya berkelindan dengan permasalahan afektif di mana
persoalan karakter menjadi istilah kunci afeksi ini.
Performa
karakter dengan demikian menjadi salah satu pilar penyangga yang mendampingi prestasi
akademik di suatu lembaga pendidikan seperti Unesa. Dua jalur dominan untuk menyemaikan
pendidikan dan pengembangan karakter mengiringi prestasi akademik tersebut,
sebagaimana dinyatakan di paragraf sebelumnya, adalah kurikulum dan
kokurikulum. Bab ini mengetengahkan “dua matra” pengembangan karakter di kampus
tersebut, dengan memfokuskan pada dua substansi kerja: 1) matra kurikulum
dengan substansi rencana pembelajaran semester (RPS), dan 2) matra ko-kurikulum
dengan substansi program kerja.
Moto (kadang-kadang disebut juga slogan) “growing with character” Universitas
Negeri Surabaya mendeklarasikan karakteristik kampus ex-IKIP ini sebagai
“penjaga”, “pejuang”, “pengembang”, dan “eksekutor” karakter. Naskah Akademik
Pengembangan Kurikulum Unesa (2014) memaknai nilai-nilai inti (core values) Unesa sebagai karakter
yang ditumbuh-kembangkan (dan diharapkan menjadi habitus akademik) pada
mahasiswa Unesa yang meliputi: Iman, Cerdas, Mandiri, Jujur, Peduli, dan
Tangguh (dengan akronim: “Idaman Jelita”).
Idaman Jelita tentu saja tidak merupakan penghalang
tumbuh suburnya nilai-nilai etis lain seperti amanah (trustworthy), saling menghargai (respect), integritas, keberanian, keadilan, dan banyak nilai lain
yang tidak bisa dipaksakan begitu saja (tanpa landasan konseptual yang jelas)
untuk “dianggap” masuk ke salah satu nilai dalam Idaman Jelita. Norma dasar (grundnorm dalam Bahasa Hukum Hans
Naviasky), atau philosophisce grondslag
(istilah Soekarno untuk landasan filosofis) Idaman Jelita adalah Pancasila. Nilai-nilai
inti Unesa ini perlu diperjuangkan, diresapkan, didemonstrasikan oleh warga
Unesa, di tengah-tengah derasnya “pertarungan nilai” yang dimediasi oleh
perkembangan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi yang mampu
mempengaruhi makna kemanusiaan dewasa ini (Kompas, 8 April 2017).
B. Matra Kurikulum: Rencana
Pembelajaran Semester
Pengertian
kurikulum menurut UU. No. 20
Tahun 2003 adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi, dan bahan pengajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional. “Perangkat rencana” dalam kurikulum yang dimaksudkan dalam UU
No. 20 tahun 2003 tersebut secara operasional diterjemahkan di Pendidikan
Tinggi melalui Pasal 12 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 49
Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi dalam bentuk Rencana Pembelajaran Semester (RPS) untuk
setiap mata kuliah.
RPS merupakan rencana perkuliahan dalam garis besar
yang akan dilakukan selama satu semester. Menurut Pasal 12 ayat (3)
Permendikbud No.49/2014, RPS paling sedikit memuat:
1) nama program studi, nama dan kode mata kuliah,
semester, sks, nama dosen pengampu;
2)
capaian pembelajaran lulusan yang dibebankan pada
mata kuliah;
3) kemampuan akhir yang direncanakan pada tiap tahap
pembelajaran untuk memenuhi capaian pembelajaran lulusan;
4)
bahan kajian yang terkait dengan kemampuan yang akan
dicapai;
5) metode pembelajaran;
6) waktu yang disediakan untuk mencapai kemampuan pada
tiap tahap pembelajaran;
7) pengalaman belajar mahasiswa yang diwujudkan dalam
deskripsi tugas yang harus dikerjakan oleh mahasiswa selama satu semester;
8) kriteria, indikator, dan bobot penilaian;
9) daftar referensi yang digunakan.
Unesa - dalam konteks pengembangan karakter - mengarahkan RPS setiap mata kuliah sebagai
“demonstrasi” bagaimana Unesa menghubungkan kurikulum dengan nilai-nilai inti dan
menumbuhkembangkan usaha-usaha pendidikan karakter. Setiap RPS memuat dan
terhubung dengan Idaman Jelita ini, yang terjabar mendominasi pengalaman
belajar mahasiswa sesuai landasan kepribadian dan sikap perilaku berkarya di
dalam Perpres nomor 08 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia (KKNI).
Di
antara 9 muatan minimal RPS sebagaimana tertuang di Pasal 12 ayat (3) Permendikbud No.49/2014, maka secara eksplisit beberapa
atau semua nilai Idaman Jelita dapat
dituliskan di capaian pembelajaran lulusan yang kemudian diresapkan (eksplisit
maupun implisit) di aspek kemampuan akhir, pengalaman belajar mahasiswa, dan
kriteria atau indikator penilaian.
Contoh interiorisasi eksplisit nilai-nilai inti
Unesa (Idaman Jelita) ke dalam capaian pembelajaran:
Capaian Pembelajaran Matakuliah: Mampu memetakan dan menguraikan secara cerdas
dan mandiri konsep-konsep dasar filsafat ilmu dalam hubungannya
dengan ilmu keolahragaan serta mampu mengimplementasikan filsafat olahraga
sebagai landasan dan subjek analisis berbagai persoalan keolahragaan dalam
tiga matra, yakni ontologi, aksiologi, dan epistemologi.
|
Gambar 5.1. Capaian Pembelajaran Mata
Kuliah
Capaian
pembelajaran ini kemudian terjabar dalam kemampuan akhir setiap topik berikut
indikator, strategi pembelajaran, dan pengalaman belajar sebagaimana contoh
berikut:
Tabel 5.1. Uraian per topik per pertemuan
dari RPS mata kuliah Filsafat Olahraga
Pertemuan
Ke
|
Kemampuan Akhir
|
Indikator
|
Bahan Kajian
|
Strategi Pembelajaran
|
Media Belajar
|
Waktu (Menit)
|
Pengalaman Belajar
|
1-2
|
Mampu
mengidentifikasi istilah olahraga atau sport
berdasarkan analisis asal-usulnya
|
· Menjelaskan
beberapa pengertian olahraga
· Menunjukkan
akar genesis (analisis asal-usul)
istilah sport
· Mengapresiasi
tubuh sebagai prasyarat olahraga
|
· Pengertian
olahraga atau sport
· Asal-usul
istilah sport
· Tubuh
sebagai prasyarat olahraga
|
1.
Kuliah mimbar (slide) dan tanya jawab
|
[1], [4],
Slide presentasi
|
200’
|
·
Menelusuri secara mandiri melalui bacaan
beberapa pengertian olahraga atau sport
·
Mengidentifikasi asal-usul istilah sport dari berbagai peradaban
|
Pada
tabel 5.1 di atas, kemampuan akhir, indikator, dan pengalaman belajar dari
topik pertama bisa secara eksplisit maupun implisit memuat juga kandungan core values Unesa. Tanpa perlu
dituliskan, core values sebagai wujud
pengembangan karakter di Unesa sudah terjabar pada frase di kolom Kemampuan
Akhir: “Mampu mengidentifikasi...” yang secara implisit memuat nilai cerdas dan mandiri. Demikian juga untuk isian indikator dan pengalaman
belajar. Pada tabel di atas, kebetulan isian pengalaman belajar memang
dieksplisitkan nilai-nilai itu.
Strategi
pembelajaran (dalam tabel di atas menggunakan kuliah mimbar/ceramah dan tanya
jawab) pada prakteknya juga menjabarkan core
values Unesa. Dengan media pembelajaran slide presentasi misalnya, dosen
memberikan ulasan materi diikuti/diselingi tanya jawab yang secara implisit bisa
memuat karakter iman, cerdas, mandiri, jujur, peduli, dan tangguh sebagai salah
satu muatan domain (afeksi)pembelajaran bagi mahasiswa (dan dosen). Tentu saja,
kreativitas dan “kecerdasan pedagogik/andragogik” dari dosen sangat
mempengaruhi capaian momentum penanaman atau perembesan karakter Idaman Jelita
tersebut.
Tanpa
membatasi kebebasan dan kreativitas akademik dosen, acapkali interiorisasi
eksplisit core values dari
pengembangan karakter dalam isian di RPS bisa memicu dan menegaskan (kembali)
suasana perkuliahan yang tidak sekedar mentransfer pengetahuan tetapi
“mendidik”, khususnya dalam hal pendidikan dan pengembangan karakter.
Keterkaitan pendidikan dan pengembangan karakter dengan realitas sosial di masyarakat
pada gilirannya juga sangat menentukan hasil akhir internalisasi karakter bagi
lulusan.
Evaluasi
dan asesmen keterlaksanaan pembelajaran (dan kegiatan di luar kurikulum)
merupakan rangkaian tidak terpisahkan dari pendidikan dan pengembangan karakter
di RPS. Hal ini akan diuraikan tersendiri di Bab VII buku ini. Pada prinsipnya,
pendidikan di domain afektif yang berfokus pada permasalahan karakter adalah
salah satu kunci untuk memaknai peradaban lebih dari sekedar kecanggihan nalar
dan segenap proses/hasil yang mengikutinya, tetapi juga peradaban sebagai
proses menjadikan manusia lebih “beradab”, lebih mengaktualkan potensi manusia
sesuai amanah UU. No. 20 Tahun 2003 -
khususnya dalam hal spiritualitas/moralitas karakter subjek
didiknya.
C. Matra Kokurikulum: Program Kegiatan
Istilah
“ekstrakurikuler” lebih familier di dunia pendidikan Indonesia daripada istilah
“kokurikuler/kokurikulum”. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online hanya mengenal istilah
ekstrakurikuler. Istilah asal dari kedua istilah ini (kokurikulum dan
ekstrakurikuler) adalah “cocurriculum” (bahasa Inggris). Matt Bawden (2016)
dengan mengetengahkan konotasi negatif istilah “extra”curricular dia menyarankan penggunaan ekstrakurikuler
sebagai “pelengkap” kokurikulum. Ekstrakurikuler (biasanya digunakan ketika
berbicara tentang klub olahraga, kelompok hobi, atau pertemuan pendukung)
berkonotasi suatu istilah yang tampaknya
sedikit aneh, keluar dari zona kurikulum, atau lebih buruk. Bisa disimpulkan dari
Bawden bahwa istilah ekstrakurikuler merupakan berbagai kegiatan di luar
skenario/desain akademis (misalnya kelompok hobi olahraga ekstrim), tetapi
memiliki kaitan yang signifikan dengan performa akademis. Ekstrakurikuler ini
melengkapi (complementary)
kokurikulum, istilah yang menunjuk pada kegiatan di lingkup akademik tetapi di
luar kurikulum (misalnya Unit Kegiatan Mahasiswa Pencak Silat). Pada
ekstrakurikuler maupun kokurikulum, subjek didik belajar kesabaran, mencapai
pengetahuan dan pemahaman, menerapkan apa yang dipelajari ke tindakan konkrit. Secara
umum, kokurikulum/ekstrakurikuler berada “di luar” kurikulum, tetapi senantiasa
mendampingi kurikulum dalam proses pencapaian kompetensi lulusan yang berdaya
saing dan berkarakter.
Kokurikulum
melengkapi kurikulum untuk mencapai subjek didik atau lulusan agar lebih
kreatif (Sudirman, 2015) dan juga untuk pengayaan wawasan dan sebagai upaya
pemantapan kepribadian (Aqib & Sujak, 2011). Secara efektif, kokurikulum dapat
diproyeksikan menjadi sarana penyemaian/pengembangan karakter utama di samping
kurikulum yang berlangsung.
Penelitian
Helen S. Astin dan Anthony Lising
Antonio (2004) menegaskan berbagai pendapat sebelumnya bahwa terdapat asosiasi
positif yang kuat yang dapat diamati antara kampus dan pengembangan karakter,
yang bersumber pada karakteristik kelembagaan. Lembaga pendidikan yang
berkarakteristik sebagaimana dimaksud oleh Astin dan Antonio ini, adalah
lembaga yang mengedepankan kesiapan program kurikulum dan ko-kurikulumnya,
khususnya yang didesain sedemikian rupa untuk berkontribusi terhadap
pengembangan karakter. Kuh dan Umbach (2004) lebih komprehensif lagi dengan
menyimpulkan dari penelitian keduanya bahwa perguruan tinggi menyiapkan
mahasiswanya untuk hidup bermoral dan menyemaikan demokrasi melalui berbagai
kebijakan dan praktek aktivitas yang memberikan mahasiswanya suatu pengalaman
langsung mengarungi komunitas yang lebih besar, bergulat melalui keterlibatan
di masyarakat, layanan pembelajaran, dan tugas-tugas lain. Kesempatan untuk
berbaur dalam aktivitas yang melibatkan lintas rasial, agama, dan sosioekonomi
juga penting bagi pengembangan karakter, sebagaimana lingkungan kampus yang
menekankan kurikulum dan kokurikulum berbasis nilai-nilai yang menginisiasi dan
menginduksi partisipasi mahasiswa di aktivitas-aktivitas komplementarisnya.
Dalam bahasa sederhana di Indonesia, aktivitas komplementaris ini di ranah
kokurikulum diwadahi dalam berbagai kegiatan tambahan di luar kurikulum. Di
Unesa, wadah yang dimaksud berupa organisasi kemahasiswaan (Ormawa) dan/atau
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Sebagaimana
ektrakurikuler di berbagai lembaga pendidikan tinggi lain (dan juga di level
pendidikan sebelumnya), pengorganisasian Ormawa dan/atau UKM Unesa memerlukan
Program Kerja/Kegiatan yang akan di jadikan acuan para anggotanya untuk
menjalankan kegiatan-kegiatan. Perancangan, perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, dan evaluasi program kerja Ormawa/UKM berhubungan dengan
ketercapaian prestasi akademik (ilmu dan kecakapan kompetensi) dan juga
performa karakter – sebagaimana hasil
penelitian Kuh dan Umbach (2014) atau Pascarella
dan Terenzini (1991) di atas. Program Kerja tersebut dengan demikian
berdasarkan filosofi tertentu yang memungkinkan keterarahan program untuk
menghasilkan seperangkat tujuan yang bisa dibedakan dalam dua matra:
komplementer akademis dan pengembangan karakter yang dapat dirinci ke dalam
berbagai capaian “hardskill” dan “softskill” sebagaimana yang terjadi pada
kurikulum.
Pengembangan karakter melalui Ormawa/UKM yang
termanifestasikan melalui program kerja, dapat didesain dan dimanifestasikan
secara eksplisit maupun implisit mulai dari latar belakang mengapa Ormawa/UKM
itu memerlukan kegiatan tertentu, maksud dan tujuan, detail tahapan
pelaksanaan, hingga proses evaluasi – sebagaimana di domain kurikulum melalui
RPS. Di Unesa, pengembangan karakter yang dimaksud – sekali lagi, sebagaimana
di domain kurikulum – adalah nilai-nilai inti yang disepakati sebagai nilai
iman, cerdas, mandiri, jujur, peduli, dan tangguh (Idaman Jelita).
DAFTAR PUSTAKA
Astin,
Helen S., and Antonio, Anthony Lising, 2004, The Impact of College on
Character Development, dalam New Directions for Institutional Research, no.
122, Summer 2004 © Wiley Periodicals, Inc.
Bauden, M, 2016, Character
education: Co-curricular not extra-curricular, dalam http://www.sec-ed.co.uk/best-practice/character-education-co-curricular-not-extra-curricular/ diakses 11 April 2017.
http://kbbi.web.id/ekstrakurikuler, diakses 11 April 2017.
Kuh, George D, dan
Umbach, Paul D., 2004, College and
Character: Insights from the National Survey of Student Engagement, New
Directions for Institutional Research, no. 122, Summer 2004 © Wiley
Periodicals, Inc.
Pascarella E. T. & Terenzini P. T. 1991. How college affects students. San Francisco, CA: Jossey-Bass.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
Peraturan Presiden Nomor 08 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.
Pramono, Made, 2014, Urgensi
Penguatan Kesadaran Kritis Mahasiswa, dalam Khoiri, M dan Nurlaela, L.
(ed.), 2014, Unesa Emas Bertartabat,
Surabaya: Unesa University Press.
Tim, 2014, Naskah Akademik Pengembangan
Kurikulum Unesa, Surabaya: Unesa University Press.
UU. No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.