Memang menggiurkan tunjangan guru besar sekarang, sedikitnya 14 Juta per bulan. Plagiat-pun menjadi cara haram untuk meraih giuran itu! Hmm.. na'udzubillahimindzalik!
Sebagai wujud kepedulian dan keprihatinan saya terhadap kejujuran dan integritas keilmuan akademisi Indonesia saat ini, berikut saya copas beberapa pemberitaan tentang plagiarisme edisi Mei 2012 (tidak sekedar saya link, khawatir suatu saat terhapus oleh server).
Catatan: untuk arti kata dan contoh kasus plagiarisme bisa klik
ini atau
ini.
JAKARTA -
Di tengah gelombang penolakan terhadap aturan publikasi karya ilmiah,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mendapatkan suntikan
semangat. Ini menyusul ditemukannya praktek plagiat yang dilakukan
tiga dosen calon guru besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Ketiga dosen calon guru besar UPI yang ditetapkan tersangkut urusan
plagiat adalah Cep, Her, dan Len. Ketiganya dari disiplin ilmu yang
berbeda-beda. Mendikbud Muhammad Nuh meminta dosen calon guru besar yang
telah ditetapkan oleh kampus terbukti bersalah, harus diberikan sanksi
yang seberat-beratnya.
"Jika ada sanksi minimal dan maksimalnya, langsung jatuhi sanksi maksimal. Biar jera," kata dia di Jakarta, Senin (5/3).
Nuh menjelaskan, khusus kasus plagiat pemberian hukuman atau sanksi
menjadi tanggung jawab kampus. Sebab, kasus ini masuk kategori kejahatan
intelektual yang manabrak norma akademik. Sebaliknya jika kejahatan
menyangkut urusan duit dan tindak kriminal lainnya, baru diproses aparat
penegak hukum.
Menteri asal Surabaya itu berpesan supaya kampus menjatuhi sanksi yang
keras. Jika sanksinya masih ringan, maka reputasi kampus menjadi
pertaruhan. Masyarakat pasti memandang sebelah mata kampus ini. Kampus
yang memberikan sanksi ringan terhadap dosen atau mahasiswa pelaku
plagiat, dinilai tidak pro penegakan norma akademik.
Mencuatnya kasus plagiat ini, kata Nuh, bukan kasus baru. "Kira-kira
bukan ini saja," kata dia. Nuh memandang ada tiga penyebab ada dosen
menabrak moral akademik. Pertama demi status sosial, lalu untuk
mendapatkan tunjangan guru besar yang mencapai Rp 14 juta per bulan per
orang, dan lemahnya sistem pemantauan.
Untuk itu, Nuh semakin bersemangat dengan aturan publikasi ilmiah. Dia
memandang, jika semakin banyak karya ilmiah yang dipublikasikan, bisa
lebih mudah memantau praktek plagiat. Sebaliknya, jika banyak karya
ilmiah yang tidak dipublikasikan atau hanya disimpan di rak kampus,
praktek plagiat semakin sulit dipantau.
Mantan Menkominfo itu menjelaskan, publikasi karya ilmiah yang
diharuskan untuk syarat kelulusan mahasiswa S1, S2, dan S3 bisa
memperbaiki sistem di dunia pendidikan tinggi. Ke depan, kata Nuh, karya
ilmiah dari seantero Indonesia akan dimasukkan dalam portal Garuda.
Dengan demikin, untuk mengecek praktek plagiat tinggal memasukkan
sejumlah kata kunci di portal itu. "Sudah tidak perlu mencari siapa yang
salah. Ayo bersama-sama memperbaiki sistem," kata dia.
Kasus plagiarisme oleh kalangan doktor yang ingin jadi guru besar tak
hanya terjadi di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
Universitas Padjadjaran mengaku karya disertasi seorang dosennya juga
dijiplak oleh seorang calon guru besar dari kampus lain. “Itu dosen
tetangga Unpad, tapi bukan dari UPI seperti ramai dugaan sebelumnya,”
kata Asisten Direktur I Pascasarjana Unpad, Engkus Kuswarno, kepada
Tempo, Senin, 5 Maret 2012.
Sepekan lalu, kata Engkus, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
meminta dirinya memeriksa sebuah judul dan subjudul jurnal ilmiah
seorang dosen sebagai pengajuan menjadi guru besar. Namun Dikti tidak
menyertakan nama dan asal kampus dosen tersebut.
Ternyata
hasilnya ada kesamaan persis dengan disertasi doktor dari Unpad buatan
2008. “Disertasinya tentang pemerintahan. Sama 100 persen dari judul dan
99 persen dari abstrak,” ujarnya. Begitu pula lokasi kajiannya, yaitu
tentang pemerintahan di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
Dikti,
ujar Engkus, sebelumnya curiga karena karya tulis dosen plagiat itu
diterbitkan dalam jurnal tentang ekonomi dan bisnis, bukan pemerintahan.
Penerbitannya oleh sebuah kampus swasta di Jakarta. Hingga saat ini dia
mengaku tidak tahu persis nama dan asal dosen tersebut dari kampus
mana.
Salah satu kampus tetangga Unpad di Jatinangor, Sumedang,
Jawa Barat, yang terkait dengan pemerintahan, yaitu Institut
Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Namun sejumlah pihak yang coba
dikonfirmasi
Tempo mengaku tidak tahu soal plagiat. “Mungkin di
kampus lain,” kata Kepala Humas IPDN Sudaryana, hari ini. Rektor IPDN I
Nyoman Sumaryadi hingga siang ini belum menjawab pertanyaan serupa
lewat pesan pendek.
Tahun ini di Bandung kasus plagiat doktor
calon guru besar mulai merebak di Universitas Pendidikan Indonesia.
Senat Akademik UPI pada Jumat pekan lalu, 2 Maret 2012, menjatuhkan
sanksi kepada tiga dosen pelaku. Hukumannya berupa penurunan pangkat dan
jabatan serta menggugurkan kenaikan promosi guru besar mereka.
DEPOK, (PRLM).- Soal plagiarisme di dunia
akademik, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas
Indonesia, Muhammad Anis, mengatakan pelanggaran akademik yang diberikan
oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi kepada calon guru besar UI
perlu diklarifikasi kembali. Hal itu karena tidak semua pelanggaran
tersebut berujung pada plagiarisme.
Anis mengakui Universitas Indonesia sudah menerima surat dari Dirjen
Dikti mengenai pelanggaran akademik tersebut. "Itu (pengembalian berkas)
sudah biasa, hanya perlu klarifikasi saja. Memang ada beberapa sumber
yang tidak dikenal oleh Dikti, jadi hanya perlu klarifikasi saja," ujar
Anis saat dihubungi "PRLM", Senin (5/3/12).
Dia mengatakan, pengembalian berkas makalah oleh Dirjen Dikti
disebabkan karena adanya beberapa kekeliruan oleh penulis. Namun hal itu
tidak bisa digeneralisasikan sebagai plagiarisme. "Ada beberapa
kesamaan, tapi itu tidak berarti langsung bisa dikatakan jiplak. Perlu
klarifikasi dulu," kata dia.
Saat ini, menurut Anis, rektorat sudah menyebarkan berkas yang
dikembalikan tersebut ke Dekan di tiap fakultas. Berkas tersebut
kemudian akan diklarifikasi di masing-masing fakultas.
Plagiator Sulit Dijerat secara Hukum?
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan, praktik
plagiat telah menabrak norma-norma akademis yang berlaku. Ia
mengungkapkan, populasi guru besar di Indonesia saat ini cenderung
meningkat secara signifikan dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Hal
ini menyebabkan adanya kesulitan dalam kurun waktu tersebut mendeteksi
telah terjadi praktik plagiat atau tidak.
Hal ini diungkapkannya
untuk merespons adanya dugaan plagiarisme oleh tiga calon guru besar
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
Nuh melanjutkan,
pelaku plagiarisme tidak bisa dijerat secara hukum dengan
undang-undang yang ada. Pasalnya, menurut dia, mereka hanya melanggar
norma-norma akademis yang penyelesaiannya diserahkan kepada perguruan
tinggi sebagai pemegang statuta.
"Di situ letak kredibilitas
sebuah universitas. Kami hanya bisa menindak jika terjadi pelanggaran
norma non-akademis seperti kasus korupsi misalnya," kata Nuh, Senin
(5/3/2012) malam, di Gedung Kemdikbud, Jakarta.
Nuh memaparkan,
ada beberapa alasan mengapa para plagiator yang berasal dari dunia
akademis melakukan tindakan tercela itu. Menurutnya, aksi plagiarisme
terjadi karena status sosial akademis yang akan disandang oleh
seseorang saat dikukuhkan sebagai guru besar. Kedua, tunjangan yang
tinggi. Dan ketiga, lemahnya integritas mereka sebagai ilmuwan.
"Itulah mengapa mereka sampai hati menjiplak karya orang lain," kata Nuh.
Pada
Jumat (2/3/2012) lalu, UPI menggelar konferensi pers. Dalam kesempatan
itu UPI menyatakan pembatalan pengajuan tiga calon guru besar.
Alasannya, karya tulis mereka terbukti menjiplak setelah melalui proses
penilaian yang dilakukan oleh Tim Penilai Angka Kredit (TPAK) dari
Kemdikbud.
Tangkal Plagiarisme dengan Transparansi Keilmuan, Efektifkah?
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan, untuk
mengurangi plagiarisme dibutuhkan transparansi dalam dunia pendidikan.
Transparansi keilmuan merupakan syarat agar terciptanya akuntabilitas
pendidikan.
Oleh karena itu, kata Nuh, publikasi karya ilmiah
menjadi penting sebagai wujud transparansi dari produk-produk ilmu
pengetahuan.
"Korupsi yang terjadi juga kan karena tidak adanya
transparansi," kata Nuh, Senin (5/3/2012) malam, di Gedung Kemdikbud,
Jakarta.
Ia mengakui, ada kesulitan untuk mendeteksi apakah
sebuah karya tulis ilmiah terindikasi plagiarisme atau tidak. Akan
tetapi, hal itu akan lebih mudah jika karya tulis ilmiah itu menggunakan
sumber yang bersifat terbuka, dalam arti bisa diakses oleh siapa saja.
Untuk mencegah plagiarisme semakin merjalela di masa yang akan datang,
Nuh merekomendasikan tiga cara untuk mengatasinya. Pertama, memberikan
sanksi tegas dan seberat-beratnya untuk setiap praktik plagiarisme. Ini
dilakukan agar memberikan efek jera kepada para pelakunya.
Kedua, Tim Penilai Angka Kredit (TPAK) sebagai pintu pertama pengajuan
guru besar harus memeriksa dengan teliti sebelum dilanjutkan kepada
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi dan Mendikbud.
Ketiga, Nuh
menekankan pentingnya sistem informasi untuk mendukung pengawasan
plagiarisme. Meski pun, saat ini Indonesia sudah memiliki sistem jurnal
online, akan tetapi dinilainya masih kurang.
"Harus dibantu
dengan sistem yang mumpuni untuk mengakses sumber terbuka yang lebih
banyak. Di sinilah ampuhnya pembangunan budaya transparansi," paparnya.
Sebagai informasi, dunia pendidikan Indonesia kembali tercoreng oleh
praktik plagiarisme. Tiga orang yang mengajukan diri sebagai Guru Besar
dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung menjadi terduganya.
Pada Jumat (2/3/2012) lalu, UPI menggelar konferensi pers yang
menyatakan pembatalan pengajuan tiga calon guru besar tersebut.
Alasannya, karya tulis mereka terbukti menjiplak setelah melalui proses
penilaian yang dilakukan oleh TPAK dari Kemdikbud.
BANDUNG,(PRLM).- Aksi jiplak-menjiplak atau
plagiarisme memang sudah terjadi sejak lama. Bahkan beberapa pihak
menduga di hampir semua kampus potensi plagiarisme selalu ada.
Salah satu yang dicurigai menjadi pabrik plagiasi karya tulis adalah
jasa pengetikan dan bantuan penulisan skripsi, tesis, atau disertasi
yang biasanya berlokasi di sekitar kampus.
Di hampir semua kampus, jasa-jasa semacam ini selalu ada. Bukan hanya
yang menetap dengan membuka kios, namun juga layanan jasa yang
tersembunyi dan dikenal dari mulut ke mulut.
Ditemui di salah satu kios jasa pengetikan, penerjemahan, skripsi,
tesisi, dan disertasi di salah satu kawasan pendidikan Kota Bandung,
salah seorang pemilik layanan ini mengatakan sudah sekitar 25 tahun
berprofesi sebagai penyedia jasa pengetikan dan penerjemah. Namun dia
menolak jika tempatnya disebut sebagai pabrik plagiat karya tulis.
"Kalau kami ngambilnya ya dari bahan-bahan dan buku sumber. Ya
seperti kita membuat skripsi sendiri. Tidak menjiplak atau ngambil dari
skripsi yang lain. Bimbingan seperti biasa, dan mahasiswa tahu semua
prosesnya, kita kasih tahu juga bab per bab seperti apa, karena
mahasiswa sendiri yang akan bimbingan," katanya.
Pria paruh baya ini mengaku untuk satu skripsi, dipatok harga sekitar
Rp 4 juta. Sementara tesis Rp 8 juta. "Desertasi juga bisa, harganya ya
lebih tinggi lagi. Selalu ada yang datang dan minta jasa kami, dari
mana-mana, mahasiswa perguruan tinggi di Bandung saja," ujarnya.
Untuk satu skripsi, proses pembuatannya sekitar 1-2 bulan. Tergantung
dari jenis dan temanya. Jika keilmuan eksakta perlu waktu lebih lama,
tapi jika ilmu sosial relatif lebih pendek. "Mahasiswa tetap yang
bimbingan, kalau ada koreksi dari dosennya balik lagi ke kita, kita
perbaiki lagi," ucapnya.
Pemilik jasa pengetikan lainnya, mengatakan, pihaknya juga bisa
memberikan judul dan semua bahan jika mahasiswa yang memesan sama sekali
tidak punya bahan.
"Nanti kita kasih outlinenya, diajukan ke dosen, kalau disetujui kita
lanjutkan. Tapi kalau eksak dan harus penelitian, ya biasanya harus
mahasiswanya langsung. Data kasih ke kita, nanti kita yang mengolah dan
mengerjakan data statistiknya," ujarnya.
Skripsi untuk bidang eksak, kata dia, dipatok dengan tarif yang lebih
mahal yakni Rp 5 juta. Sementara ilmu sosial dibanderol Rp 4 juta.
"Lamanya ya tergantung juga, tapi biasanya yang eksak lebih lama,"
katanya.
Sementara itu, salah seorang penyedia layanan serupa, sebut saja
Asep, mengaku bahan-bahan yang digunakan dalam skripsi "pesanan"
biasanya menjiplak dari skripsi-skripsi yang sudah ada.
Sebagian lagi mengambil dari sumber buku sesuai dengan keilmuannya.
"Ya satu skripsi sekitar Rp 1,5 juta, bahan nanti dikasih tinggal
bimbingan saja.
Kadang kita bikin dan ngambil sumber dari buku, kadang jiplak. Tapi
seringnya jiplak dari skripsi orang lain. Ngga ketahuanlah, diedit lagi
dibeda-bedain lagi," katanya.
Sementara itu, ketika dimintai komentarnya mengenai plagiarisme,
Rektor Universitas Komputer Indonesia (Unikom) Eddy Soeryanto Soegoto
mengatakan, untuk mengetahui karya mahasiswa tersebut orisinil atau
tidak sebetulnya sederhana.
Cukup dengan melakukan bimbingan secara intensif, berinteraktsi
dengan mahasiswa, membaca setiap lembar, dan mengikuti tahap demi tahap
dari tugas akhir atau skripsi yang diajukan mahasiswa. "Jangan hanya
main tanda tangan saja. Kalau dosen sudah begitu, maka itu sumber
malapetaka," ujarnya.
Sebelum mahasiswa mengusulkan tugas akhir, skripsi atau tesis, kata
Eddy, darft usulan tugas akhir harus terlebih dahulu diusulkan. Di situ
semua dosen pembimbing mengevaluasi sesuai dengan keilmuannya.
"Interaksi yang utama. Dosen harus tahu sumber referensinya dari mana
saja. Penelitian dan data di lapangan seperti apa. Dosen juga harus cek
dan ricek serta turun langsung ke lapangan untuk mengecek sehingga
konten dari karya yang disusun mahasiswa terjaga," ungkapnya.
Oleh karena itu, kata Eddy, plagiarisme menjadi tanggung jawab moral
dosen termasuk pimpinan perguruan tinggi bagaimana agar aksi plagiat
atau jiplak menjiplak bisa diminimalisir.
"Belajar dari pengalaman, dan memang potensi itu selalu ada. Jurnal
ilmiah seperti yang diinstruksikan Dikti sebetulnya sudah benar karena
bisa mencegah duplikasi. Meski memang prosesnya perlu bertahap,"
tuturnya.
Unikom pun, kata Eddy, memberlakukan pengawasan yang lebih ketat
untuk mencegah lolosnya karya-karya hasil plagiat dari seluruh civitas
akademika. Bukan hanya karya mahasiswa, juga terhadap semua usulan
jabatan fungsional dosen.
"Mulai dari tingkat program studi, fakultas hingga perguruan tinggi.
Ini dilakukan supaya tidak ada kesalahan sekecil apapun yang lolos,"
katanya.
Pada tingkat program studi, kata Eddy, semua usulan yang diajukan
akan dinilai oleh dosen senior, lektor, dan lektor kepala. Kemudian
dinilai kembali oleh fakultas yang bersangkutan hingga ke tingkat
perguruan tinggi.
"Jadi kesalahan apapun akan kelihatan, kalau tidak begitu nanti bisa
dijadikan jalan untuk menyalahi aturan yang ada. Meskipun sampai saat
ini belum pernah ada dosen di Unikom yang tersandung kasus plagiat.
Kalaupun ada, baik itu dosen maupun mahasiswa, tentu akan ada mekanisme
yang harus ditempuh. Bahkan kalau sangat parah kampus akan sangat
tegas,"ungkapnya.
Sementara itu, Rektor Universitas Islam Bandung Prof. Thaufiq
Boesoirie menuturkan, plagiarisme merupakan pelanggaran yang sangat
berat. Aturan dari diknas pun sebetulnya sudah ada, begitu juga aturan
di masing-masing kampus.
"Supaya tidak menular, langsung diusulkan pada yayasan untuk
diberhentikan. Sebab kalau tidak tahu aturannya saya kira tidak mungkin.
Plagiarisme dalam penelitian mudah dan cepat, tapi itu perbuatan yang
tidak bertanggung jawab," ujarnya.
Sanksi Terberat bagi Plagiator
Pemerintah mendesak perguruan
tinggi memberi sanksi berat kepada pelaku plagiasi. Hal itu diharapkan
akan memberikan efek jera terhadap pelanggar norma akademik.
Hal
itu dikatakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, Senin
(5/3), di Jakarta. ”Perguruan tinggi harus menegakkan hukum.
Kredibilitas perguruan tinggi bergantung pada itu,” kata Nuh.
Ia
mengakui, tim evaluasi atau penilai angka kredit kurang teliti sehingga
masih ada kasus plagiasi yang nyaris lolos. Ia mendorong tim di
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi lebih teliti. ”Pemeriksaan dan
rekomendasi final ada di saya. Saya periksa dokumen-dokumen
pengangkatan guru besar. Beberapa kali saya temukan ada yang tidak
cocok. Jika ada yang mengganjal, saya meminta Dirjen Dikti periksa
lagi,” kata Nuh.
Selain itu, perlu juga sistem informasi terbuka
agar tiap karya ilmiah bisa dilihat publik. Di situ pentingnya
publikasi karya ilmiah di jurnal.
Direktur Jenderal Pendidikan
Tinggi Kemdikbud Djoko Santoso menambahkan, kasus-kasus plagiasi,
terutama di proses pengangkatan guru besar, diduga terjadi karena guru
besar merupakan status sosial atau jenjang tertinggi di dunia akademik.
Penghargaan
ekonomi untuk guru besar pun semakin tinggi. Seorang guru besar saat
ini paling tidak menerima tunjangan Rp 13 juta-Rp 14 juta per bulan.
Tunjangan guru besar itu di luar gaji pegawai dan tunjangan fungsional.
”Dulu paling-paling cuma Rp 5 juta per bulan,” kata Djoko.
Selain
itu, kata Nuh, plagiasi juga terjadi karena integritas ilmuwan
melemah. ”Itu kira-kira alasannya mengapa banyak yang nekat melakukan
plagiasi,” ujarnya.
Sumber gambar: berbagai link dari pencarian via google