URGENSI PENGUATAN KESADARAN KRITIS MAHASISWA
Mengokohkan Unesa Bermartabat
Made Pramono[1]
Kesadaran Kritis sebagai Instrumen Penting Pendidikan
Hikmah
dari kisah Promotheus, ilmu digambarkan sebagai momok bagi dewa, karena melaluinya manusia tidak lagi hanya
menerima begitu saja pada apapun yang terjadi padanya, bahkan di titik tertentu
mampu mengancam kenyamanan para dewa. Ilmu pengetahuan sebagai buah utama
pendidikan, memang menjadi musuh bagi ketundukan irasionalitas, kebodohan, dan
kemiskinan dengan peran penyadaran yang diembannya. Abad 16 dalam sejarah
dikenang dengan kebangkitan ilmu menguak kenyataan alam yang merupakan “tabu
agama”: Galileo Galilei menghadapi hukuman inkuisisi gereja karena dukungannya
pada Heliosentrisme Copernicus yang bertentangan dengan pendapat Gereja bahwa
bumi adalah pusat semesta.
Melalui
pendidikan, seorang anak manusia termampukan keluar dari “takdir” kondisi
lingkungannya. Akses informasi dan pengaruh tokoh-tokoh yang dikenalnya selama
masa pendidikan, menjadikan subjek didik tidak sekedar “melek huruf dan angka”,
namun juga “melek budaya”. Inilah kesadaran kritis, suatu kapasitas kognitif di
lapisan dasar yang memampukan seseorang untuk tidak hanya mengenali dan
meresapi kenyataan yang dialaminya, namun juga mempertanyakan secara radikal
dan me(re)konseptualisasikannya secara orisinal dan kreatif. Paulo Freire –
tokoh pendidikan Brazil - menyebut misi kritis pendidikan ini sebagai conscientizacao. Lembaga pendidikan di
level apapun dan di ranah apapun, memiliki tanggung jawab untuk memutus
kemiskinan dan kebodohan melalui proses penyadaran terus menerus ini.
Memang
penulis belum menemukan penelitian yang memadai tentang hubungan tingkat penguatan
afirmatif dari kesadaran kritis dengan produktivitas ilmiah maupun jenis-jenis
konsepsi dan aksi dari mahasiswa, namun setidaknya bisa disepakati bahwa tanpa
adanya kesadaran kritis, pendidikan kehilangan identitas “pengembangan potensi
manusia” sebagaimana ditekankan undang-undang sistem pendidikan nasional.
Dengan membuka keteraksesan informasi dan memberi gambaran tentang berbagai
proses dan produk pemikiran, pendidikan bernilai sangat strategis bagi
pematangan potensi, dan sekaligus di lapisan fundamental memungkinkan
keterasahan kesadaran kritis manusis-manusia terdidik. Pada gilirannya,
aktualisasi potensi subjek didik ini mengerucut pada berbagai pemikiran dan
tindakan yang produktif sesuai kompetensi keilmuan yang dicapai.
Sebagai
lembga pendidikan tinggi, Universitas Negeri Surabaya (Unesa) juga berperan menyangga
misi kritis penyadaran ini dengan berbagai perangkat keras (misalnya gedung
atau perangkat teknologi), perangkat lunak (misalnya sistem manajemen atau
kurikulum), maupun brainware (sikap
mentalitas sivitas akademikanya). Pada gilirannya, kesadaran kritis yang dialami
mahasiswa, akan memunculkan karakter lain yang memicu pengembangan ilmu dan
teknologi baik demi kepentingan pribadi mahasiswa itu sendiri, maupun demi
kemaslahatan masyarakat luas. Di antara karakter yang dimaksud adalah
keberanian mempertanyakan segala sesuatu, “naluri” untuk selalu haus
pengetahuan, hingga “naluri” untuk secara cerdas dan tepat mendapatkan solusi
dari berbagai permasalahan yang dihadapinya maupun permasalahan masyarakat luas
yang dicernanya. Tentu saja, peran cendekiawan lulusan universitas sebagai moral oracle (orang bijaksana penjaga
moral) mengiringi implementasi kesadaran kritis di tataran praksis. Kesadaran
kritis ini pula yang nantinya mampu mengarahkan mahasiswa bergabung dalam
intelektual organik yang bahu membahu mengabdikan wawasan yang dimiliki untuk
kepentingan masyarakat luas sebagaimana dicetuskan Antonio Gramsci. Cendekiawan
berkesadaran kritis dan melibatkan diri dalam masalah-masalah aktual masyarakat
inilah yang disebut sebagai nabi-nabi tanpa senjata (unarmed prophets) oleh Machiavelli, yang ditengarai Karl Mannheim
sebagai cendekiawan yang menghindarkan diri dari tindak pengkhianatan
intelektual, menyuarakan kebenaran hanya dari menara gading.
Satu
hal lagi yang bisa diharapkan sebagai konsekuensi kesadaran kritis ini adalah
bermunculannya mahasiswa/alumni Unesa yang menjadi agen-agen perubahan kritis
dan kreatif yang mewujud dalam berbagai jalur: penelitian, tulisan, dan
gerakan. Isu-isu seperti masalah perundang-undangan di bidang pendidikan atau
penyelenggaraan ujian akhir nasional yang sempat memicu kontroversi nasional, merupakan
contoh tantangan nyata yang harus ikut dihadapi secara kritis dan kreatif oleh
mahasiswa/alumni Unesa.
Bisa
saja masih ada yang bertanya: mengapa “harus”? Kesadaran kritis apabila sudah terinternalisasikan
dalam diri mahasiswa Unesa yang secara strategis memposisikan diri sebagai
lembaga pendidikan tinggi yang concern
terhadap permasalahan pendidikan, tentu isu-isu seperti di atas menarik nalar
kritis mahasiswa. Hal ini menjadi keniscayaan intelektual, kecuali jika memang
kita warga Unesa masih berpuas diri menjadi ahli-ahli pembelajaran, namun gagap
dengan permasalahan pendidikan. Menenggelamkan diri dengan bermacam-macam tabel
dan model pembelajaran, sehingga tidak peka (dan lebih parah lagi: tidak ada
waktu/energi) untuk berperan aktif memikirkan berbagai permasalahan pendidikan
nasional dan internasional.
Lebih
konyol lagi jika ditanyakan juga: apa untungnya menjadi mahasiswa peka dan
kritis? Bukankah “kuliah, berprestasi akademis dan syukur-syukur non-akademis,
lulus, menjadi guru atau profesi yang mapan” sudah cukup membanggakan keluarga
dan almamater? Laksanakan saja tugas sebaik mungkin hingga mencapai posisi
dan/atau nilai yang cemerlang!
Meminjam
ilustrasi di Novel Dunia Sophie, kebanyakan kita cukup nyaman menjadi kutu di
kehangatan bulu-bulu kelinci yang menghisap darah kelinci lalu tidur dalam
kenyamanan. Itu boleh dan tidak salah. Tetapi sejarah membuktikan, selalu ada
satu atau beberapa kutu kelinci yang naik ke permukaan bulu-bulu kelinci, lalu
menyadari bahwa dia hanyalah kutu di tubuh kelinci yang dipakai tukang sulap
untuk mencari uang. Sejarah mencatat orang-orang yang keluar dari zona nyaman,
mengubah nasib diri dan masyarakatnya, hingga sampai ke zaman kita. Mereka adalah
para Nabi, para ilmuwan, para penggerak zaman yang acapkali dicemooh oleh
orang-orang sekelilingnya sebagai orang aneh, sia-sia, dan sejenisnya, namun
kemudian dari orang-orang yang dianggap “aneh, gila, atau pemberontak” itulah,
peradaban baru muncul, teknologi berkembang, kesalahan demi kesalahan
tereliminasi, dan seterusnya. “Hidup yang tak pernah dipertanyakan”, kata
Socrates, “adalah hidup yang tidak berharga”.
Penalaran Mahasiswa
Tidak
hanya permasalahan pendidikan, sebagai bagian dari mahasiswa nasional,
mahasiswa Unesa juga dituntut kepedulian kritis dan kreatifnya dalam berbagai
dimensi kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Salah satu ilustrasi
yang sering penulis sampaikan di berbagai forum adalah tentang status
“mahasiswa”. Embel-embel “maha” di depan “siswa” dalam kata “mahasiswa”, bisa
diterjemahkan bebas sebagai tantangan yang harus disadari mahasiswa, bahwa
memperoleh dan aktif dalam materi perkuliahan, mengerjakan tugas, melaksanakan
ujian, dan rutinitas sehari-hari sebagai subjek didik di perguruan tinggi, itu
memang kegiatan yang tampak dominan dalam kehidupan kampus. Namun hanya
berkutat dengan kegiatan tersebut, meskipun boleh, adalah hal yang tidak
memadai disandang seorang “maha”siswa. Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian kepada
masyarakat adalah tiga hal yang harus dilaksanakan setiap perguruan tinggi yang
dikenal dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Oleh karena itu, penulis menyebut
“tidak memadai” bagi mahasiswa yang hanya berjibaku dengan salah satu di antara
tiga dharma itu, yakni pendidikan (khususnya dalam arti pembelajaran). Apalagi
jika dikaitkan dengan dana milyaran rupiah yang digelontorkan pemerintah (juga
pihak swasta) untuk mahasiswa tiap tahun – di luar koridor dana pembelajaran –
yang salah satu tujuannya untuk mengintegrasikan empat komponen penentu mutu
lulusan perguruan tinggi: academic
knowledge, skill of thinking, management skill, dan communication skill.
Di
antara program-program pemerintah (dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi) yang menstimuli mahasiswa dengan berbagai kompetisi penalaran yang pada
gilirannya mampu menentukan reputasi perguruan tinggi itu sendiri, adalah
Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Dalam program ini, terbuka luas kontribusi
lintas bidang dari mahasiswa, misalnya mahasiswa Fakultas Teknik bisa saja
menuliskan ide kreatif-kritisnya di bidang pengembangan budaya. Selain PKM,
kompetisi Program Mahasiswa Wirausaha (PMW), Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional
(POMNAS), Pekan Seni Mahasiswa Nasional (PEKSIMINAS), MTQ dan lain-lain juga
diprogramkan pemerintah untuk menampung aktivitas positif-produktif mahasiswa.
Memperkokoh
daya saing Unesa dengan mahasiswa sebagai subjek utamanya, tentu saja tidak
terbatas pada permasalahan PKM ini saja. Namun dengan bercermin dari PKM di Unesa,
penulis mengajak pembaca untuk memproyeksikan kondisi, tantangan, hambatan, dan
harapan terkait kesadaran kritis mahasiswa serta bagaimana kesadaran kritis
tersebut mampu diimplementasikan dalam berbagai hal positif lain yang
meningkatkan daya saing Unesa ke depan. Selain itu, penulis sengaja mengangkat
wacana PKM karena saat ini memang sebagian besar energi penulis untuk mahasiswa
tercurah untuk ikut meningkatkan prestasi PKM – tentu saja selain dalam proses
perkuliahan.
Sejak
tahun 2006 hingga 2014 ini, penulis terlibat langsung dalam kiprah mahasiswa Unesa
di bidang penalaran. Pertama sebagai pembina Unit Kegiatan Ilmiah Mahasiswa
(UKIM), dan berikutnya sebagai koordinator tim penalaran Fakultas Ilmu Keolahragaan
(FIK) Unesa sekaligus salah satu tim penalaran di universitas. Berbeda dengan
masa sekolah menengah, kegiatan ekstrakurikuler di kalangan mahasiswa mengandaikan
adanya kemandirian di tingkat pengelolaan manajerial organisasi dan
pemberdayaan sumber daya manusia, sehingga peran dosen pendamping (dulu
pembina), lebih berfungsi sebagai mediator-fasilitator daripada sebagai
instruktur (pemberi instruksi). UKIM maupun tim penalaran secara rutin selalu
memprioritaskan PKM sebagai proyek utamanya. Hal ini bisa dipahami sebagai
konsekuensi dari tantangan penalaran ilmiah tingkat nasional yang terorganisir
oleh Dikti, sehingga gambaran umum tentang refleksi implementasi kesadaran
kritis bisa diproyeksikan dari PKM ini.
PKM
dikembangkan untuk mengantarkan mahasiswa mencapai taraf pencerahan kreativitas
dan inovasi berlandaskan penguasaan sains dan teknologi serta keimanan yang
tinggi. Dalam rangka mempersiapkan diri menjadi pemimpin yang cendekiawan,
wirausahawan serta berjiwa mandiri dan arif, mahasiswa diberi peluang untuk
mengimplementasikan kemampuan, keahlian, sikap tanggung jawab, membangun
kerjasama tim maupun mengembangkan kemandirian melalui kegiatan yang kreatif
dalam bidang ilmu yang ditekuni.
Saat
ini dikenal 7 (tujuh) jenis kegiatan yang ditawarkan dalam PKM, yaitu PKM-
Penelitian (PKM-P), PKM-Kewirausahaan (PKM-K), PKM-Pengabdian kepada Masyarakat
(PKM-M), PKM-Penerapan Teknologi (PKM-T), PKM-KARSACIPTA (PKM-KC), dan PKM-Karya Tulis
(PKM-KT). Di dalam PKM-KT terkandung 2
(dua) program penulisan, yaitu: PKM-Artikel Ilmiah (PKM-AI) dan PKM-Gagasan
Tertulis (PKM-GT). Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) merupakan muara
akhir yang prestisius bagi semua jenis PKM, kecuali PKM-AI yang merupakan
artikel hasil kegiatan.
Harus
diakui, Unesa masih perlu berbenah untuk mampu bersaing dalam hal prestasi PKM
ini dengan berbagai universitas lain. Universitas Brawijaya (UB), ITS, dan
Unair adalah tiga perguruan tinggi Jawa Timur yang selalu bertengger di posisi
atas dalam kuantitas proposal yang lolos didanai maupun perolehan (setara)
medali di PIMNAS sebagai ajang prestisius tahunan puncak PKM. Apabila sistem
sudah berlangsung baik dan terformat sedemikian rupa sehingga memungkinkan
terciptanya suasana kondusif bagi mahasiswa untuk menuangkan ide-ide orisinil,
kreatif, dan kritis dalam PKM, bukan tidak mungkin Unesa bisa menggeser ITS
yang pada tahun 2013 menyandang Juara Umum PIMNAS.
Dalam
hal produktivitas, sebagian fakultas di Unesa sudah semakin melesat
meninggalkan fakultas lainnya. Penulis ambil contoh ketika Fakultas Ekonomi
sudah mencadangkan lebih dari 200 proposal PKM yang hendak dikirimkan ke Dikti,
di saat yang sama fakultas lain masih belum terdeteksi alias belum ada pengarsipan PKM yang terkumpul. Tentu saja pembenahan sistemik di fakultas yang sudah
tercipta baik ini harus tertularkan ke fakultas lain. Memang kuantitas PKM yang terkumpul tidak
mencerminkan kualitas yang
memungkinkan PKM tersebut bisa berkompetisi ketat dengan universitas lain saat
PIMNAS. Meskipun demikian, bisa diasumsikan bahwa jika jumlah mahasiswa yang
terlibat dalam penulisan ide kreatif PKM semakin banyak, maka semakin terasah
juga kualitasnya. Yang lebih penting lagi, hal ini menunjukkan adanya suasana
kondusif bagi kompetisi ilmiah. Suasana semacam ini, di lapisan yang lebih
mendasar juga mensyaratkan adanya kesadaran
dari kalangan mahasiswa tentang pentingnya penuangan pemikiran kritis, kreatif,
dan orisinil.
Proses
penularan kesadaran yang memunculkan keberanian untuk selalu mempertanyakan
segala sesuatu, rasa ingin tahu yang besar, dan kemauan kuat untuk mencari solusi
atas berbagai permasalahan secara tepat ini, tentu tidak terjadi semudah
membalik telapak tangan. Tidak hanya mahasiswa itu sendiri, namun membutuhkan
kemauan dan partisipasi semua pihak yang merasa berkepentingan. Secara singkat,
proses ini membutuhkan kemauan, keyakinan, dan wawasan yang kuat dan tepat
sebagaimana tergambar berikut.
Gambar 1. Model Empat Lingkaran
Apa yang kita inginkan mewujud misalnya dalam (1) lingkungan yang nyaman, kondusif, dan
positif; (2) Budaya mahasiswa dalam hal pemikiran kreatif-kritis, kerja keras,
dan memanfaatkan peluang yang ada; (3) Forum-forum diskusi/pelatihan; (4)
koordinasi sinergis antar mahasiswa, mahasiswa dengan dosen kuliah, mahasiswa
dengan pimpinan lembaga, antar dosen, dosen-pimpinan. Artikulasi singkatnya, apa yang kita inginkan menyangkut tujuan
bersama maupun tujuan masing-masing individu yang diupayakan terpenuhi.
Apa yang kita yakini berkenaan dengan persoalan prinsip-prinsip pemandu yang mempengaruhi
semua aspek, misalnya (1) Semua pribadi adalah makhluk yang selalu belajar dan
berbenah; (2) Keberhasilan semua usaha adalah resultante kerja keras, keberuntungan, dan dukungan alam (bakat
maupun ketakterdugaan yang menguntungkan); (3) Kesuksesan menjadi bibit
kesuksesan yang lain; (4) Mahasiswa meneladani dosen dan seniornya; (5) Lembaga
harus responsif dan respektif terhadap dosen maupun mahasiswa; (6) Semua usaha
memiliki nilai dan martabat. Apa yang
kita yakini merupakan determinan paling penting dalam operasionalisasi
budaya, kebijakan, dan praktek pengelolaan (dalam hal ini misalnya) PKM.
Apa yang kita ketahui memberikan rujukan berbasis riset bagi mahasiswa, dosen, maupun tenaga
administrasi yang terlibat dalam pengelolaan PKM. Di antara manifestasi dari apa yang kita ketahui ini misalnya
berupa pedoman PKM, peta atau trend
tema PKM sesuai bidangnya, strategi lembaga lain, pengalaman mahasiswa dengan
PKM yang sudah pernah sampai PIMNAS, dan berbagai materi untuk pelatihan.
Dengan
memahami ketiga hal tersebut di atas, maka semua pihak niscaya juga memahami apa yang kita lakukan. Berbagai
kebijakan dan program di level organisasi kelembagaan maupun disiplin kerja di
level mahasiswa (dan pihak terkait lain), merupakan implementasi dari apa yang
kita inginkan, yakini, dan ketahui. Dengan demikian pengelolaan PKM yang
berangkat dari kesadaran semua pihak yang berkepentingan terhadap keempat hal
tersebut, memampukan tidak hanya fakultas namun juga universitas untuk
memproyeksikan proses yang harus dilalui dalam rangka meningkatkan kuantitas
maupun kualitas PKM. Blog dan media sosial “penalaran Unesa” sejak tahun 2009 penulis
dirikan untuk mendukung terciptanya kondisi kampus Unesa yang kondusif bagi
penyemaian kesadaran kritis di kalangan mahasiswa ini, dan tentu saja untuk
mengkomunikasikan berbagai hal terkait implementasi dari apa yang kita
inginkan, yakini, ketahui, dan lakukan salah satunya dalam hal pengelolaan PKM
di Unesa. Sebagian tulisan inipun mengambil ide/data dari blog dan media sosial
tersebut.
Oleh
karena fokusnya adalah penalaran mahasiswa, maka sesungguhnya mahasiswa juga
yang paling berkepentingan, sehingga syarat mutlak yang melandasi pengelolaan
PKM adalah kesadaran kritis-kreatif dari mahasiswa itu sendiri. “Paceklik”
PIMNAS sempat menimpa Unesa di tahun 2011, 2012, dan 2013 dengan hanya
memberangkatkan masing-masing satu tim PKM ke PIMNAS. Medali perunggu diraih
duta PKM Unesa di tahun 2013, setelah tiga tahun sebelumnya nihil medali
(perolehan terakhir tahun 2009, 2006, 2005, 2004).
Hal
ini tentu bukan menjadi penghalang psikologis bagi mahasiswa di tahun 2014 ini
untuk berjuang (amat) keras menjulangkan Unesa sejajar dengan
universitas-universitas “pencakar langit” seperti UB dan UGM di PIMNAS. Yang
tidak kalah penting, hal tersebut juga (semoga) bukan menjadi penghalang bagi
dosen maupun tenaga administrasi yang terlibat dalam pengelolaan PKM untuk membantu,
mendukung, dan memfasilitasi mahasiswa secara maksimal. Bisa jadi, perjuangan
keras Unesa dalam mengelola PKM secara maksimal, masih belum sebanding dengan
perguruan tinggi lain. Tetapi selalu berusaha, jauh lebih baik daripada
terpasung pasrah menyerah pada ketertinggalan.
Mahasiswa antara Intelektual Tradisional dan Intelektual
Organik
Mahasiswa
Unesa, perlu menyadari posisinya di antara mahasiswa lain dalam satu program
studi/jurusan, satu fakultas, satu universitas, sesama universitas ex-IKIP,
sesama Perguruan Tinggi se-Indonesia, bahkan dunia, untuk kemudian
diproyeksikan ke dalam berbagai aktivitas yang mendukung prestasi kebanggaannya
di antara mahasiswa lain tersebut. Saat penulis menjadi mahasiswa di UGM tahun
1993-1997, sudah ada sistem di kemahasiswaan fakultas (dan juga universitas)
yang memungkinkan penulis untuk tampil berbicara sebagai narasumber
non-akademik di hadapan publik (mahasiswa, akademisi, dan berbagai kalangan
sesuai tema) untuk mempresentasikan pemikiran tentang berbagai hal. Penulis
juga sempat menjadi pimpinan redaksi sebuah jurnal filsafat yang dipublikasikan
secara nasional. Itu dua dasawarsa yang lalu. Saat ini, Unesa sudah memiliki
beragam “saluran” resmi yang bisa dipergunakan untuk menuangkan pemikiran
mahasiswa tentang berbagai hal. Ada tabloid GEMA, majalah Unesa, media cetak di
level jurusan/fakultas, maupun buletin. Belum lagi website, blog, maupun media
sosial seperti mailing list,
facebook, dan sebagainya termasuk radio. Kemampuan mempresentasikan pemikiran
di hadapan publik secara langsung juga sudah terbuka. Tanpa perlu
didorong-dorong oleh dosen, mahasiswa seyogyanya menyadari peluang dan
potensinya untuk diaktualisasikan dengan memanfaatkan momentum kemandirian
intelektualnya secara positif dan berkelanjutan.
Prestasi
mahasiswa “tidak dihargai” dalam program Mahasiswa Berprestasi (MAWAPRES) jika
mereka hanya menjadi peserta seminar internasional, tetapi harus menjadi
pembicaranya; tidak sekedar juara di level Unesa, tetapi antar perguruan
tiinggi se-provinsi atau nasional; tidak cukup hanya menjadi ketua UKM atau
BEM, tetapi mahasiswa harus mampu menggerakkan organisasi yang dipimpinnya
untuk melambungkan dirinya dan teman-teman mahasiswa yang lain untuk berkiprah
sebagai tokoh penting di level regional, nasional, atau internasional.
Kesadaran
kritis bukan sesuatu yang kontraproduktif, namun bisa saja negatif (tergantung apa yang kita yakini). Dia bisa
meletupkan energi dahsyat yang mengubah wajah masyarakat lebih baik (dalam arti
lebih bermoral, produktif, inovatif, efektif, efisien, dan sebagainya).
Kesadaran ini jika dituangkan dalam bentuk karya ilmiah sebagaimana PKM, tentu
bernilai positif dan produktif. Apapun konsekuensinya, kesadaran kritis
sesungguhnya menjadi “otak pendidikan” yang memungkinkan segala fungsi organ
berjalan semestinya dalam tumbuh-kembang bersama realitas di hadapannya.
Kesadaran kritis ini menurut Freire mampu membongkar budaya bisu, artinya,
secara aktif menyuarakan dan memunculkan aksi-aksi positif dan kreatif dalam
menghadapi hegemoni menyejarah dari kuasa-kuasa tradisi yang kadaluarsa. Tentu,
Pancasila sebagai ideologi bangsa yang melandasi pilar bangsa ini, tetap
menjadi jaminan harga mati bagi interpretasi-interpretasi dan aksi-aksi
cendekiawan ber-kesadaran kritis. Kritis bukan untuk anarkis-destruktif, tetapi
kreatif-(re)konstruktif.
Suasana
dunia kampus di Indonesia (termasuk Unesa) awal-awal milenium ketiga, memang
lebih bermuara back to campus,
setelah euforia penumbangan orde baru
1998. Tentu dengan alasan berbeda. Penulis mencermati bahwa back to campus-nya mahasiswa saat ini bukan
disebabkan keengganan larut dalam arus politik sebagai panglima sebagaimana
terjadi pasca penggulingan Soekarno tahun 1966, namun saat ini mahasiswa lebih
disibukkan dengan berbagai tawaran kegiatan produktif-ilmiah baik dari dunia
kampus itu sendiri maupun dari pemerintah atau pihak luar kampusnya (misalnya
PKM). Apakah secara umum mahasiswa sekarang lebih berorientasi intelektual
tradisional dan kurang tertarik memposisikan diri sebagai intelektual organik
yang mengajukan diri bahu membahu bersama komponen masyarakat lain mengatasi
berbagai permasalahan aktual yang ada sebagaimana dikategorikan Gramsci? Agak
dini untuk menjawab tegas hal tersebut. Namun setidaknya, puisi penulis berikut
ini (yang sempat dipublikasikan di notes
akun facebook pribadi penulis) bisa mewakili warning terhadap ketidakpedulian dan ketidakkonsistenan mahasiswa yang
berujung pada pengkhianat (idealisme) intelektual sebagaimana diperingatkan
Karl Mannheim. Selamat meniti masa muda...
Mahasiswa Sejati
Sore ini di kampus
yang (kabarnya) merakyat
Puluhan teriak
memadati rapat penat
“kita harus beraksi,
karena besok negeri ini dibantai”
“tumbangkan rezim
kotor, robohkan akar pohon koruptor”
“jangan biarkan
mereka menyela, kita bakar saja”
Lalu satu persatu
mereka kering tenggorokannya
Sore ini di kampus
bisu
Tengik mesum bau
kotoran moral
Tercium gelagat
khianat
Terkapar pada
hegemoni bisu,
Yang merasuk di hulu
intelek muda bersemangat
Sebab ideologi harus
dihambakan pada kepentingan
Sebab aturan harus
disetir kuasa baru
Dan sebab mahasiswa
harus tidak merasa ditipu
Padahal telah tumbang
mereka oleh sapuan zaman:
“kamu bayar mahal,
segeralah lulus.. kembalikan sawah sapi es-pe-pe-mu”
“kamu ga pa pa jadi
demonstran suruhan, sebab harus ada yang di jalanan”
“kamu jangan julurkan pikiran kritismu, industri
menunggumu patuh”
Maka makarpun
berbalik arah,
Tuhan didongkel dari
singgasana kampus
Matilah mahasiswa
yang dulu berdikari,
Diganti definisi
rumit tentang cinta, dijambak rindu persetubuhan
Diganti kelindan
eksistensial, tentang mau kemana
Diganti tangisan
bunda, melihat tetangga sudah kaya
Diganti ideologi
orang sakti, yang bekerja rahasia membeli nurani di sudut-sudut rasio
Sore ini di kampus
gagah
Berdiri lunglai
mahasiswa sejati,
Tak punya tinta dia
tak sanggup menulis darah
Tak punya teman dia
merana
Tak punya uang diapun
bisu
Dia gumamkan
idealismenya, tanpa suara
Dia langkahkan kaki
seoknya, sendiri
Dia masih punya
Tuhan, yang oleh teman-temannya disingkirkan
“aku mengabdi untuk
siapa?”
“maksud baikku kenapa
dicela?”
Dan dia berusaha
setia
Duh, kampus megah
berdiri gagah,
Tak ubahnya pabrik
manusia pekerja
Yang teriak pura-pura
marah pada kuasa
Padahal hanya untuk
mencari muka,
Atau tertipu
juragan-juragan tak tersentuh
Menghabisi kaum-kaum
yang ikhlas
Menggantinya dengan
remote control: dunia tak seberapa butuh belas kasihan
Kendali mutu dengan
kaku logika kerontang
“maksud baikku kenapa
dicela”,
Karena tak terbeli,
Dan itu harga mati…!
Dilindas transaksi
berkisah-kisah
Sore ini di kampus
sendu
Muram wajah tanah
saksi sejarah
Menyaksikan
bergugurannya pikiran-pikiran murni
tumbuh suburnya
kapitalis-kapitalis penerus bangsa
Pancasila dan filsafat,
diajarkan untuk didiskusikan, lantas ditinggalkan
Ilmu-ilmu terapan,
menggilas moral kepedulian
Berbaju demi
pembangunan, kreativitas kompetisi global
Tapi lupa
mengancingkan lubang kemaluan, hingga tampak semangat kerakusan
Mendidik akal,
mematikan hati
Sore ini di kampus
milyaran rupiah,
Gadis dan jejaka
berpamer kebebasan
Menjeritkan semua
luka, tanpa ada yang terluka
Meneriakkan
perlawanan untuk para penjahat bangsa,
(sengaja) lupa
dibiayai oleh siapa dia
“kami ada untuk
rakyat”, tapi rakyat yang mana: yang duduk di balkon glamour
“kami adalah agen
perubahan”, ya, merubah wajah bangsa sesuai selera mereka
Rektor, Dekan, dan
pejabat se universitas, berkumpul mengamini instruksi pengusaha
Yang sudah menitip
kuasa di proyek-proyek suci negeri ini
Lalu siapa yang
sejati?
Mahasiswa yang lunglai
tadi.. yang sedang terkapar mati
Sore ini di kampus
hiruk pikuk
Tidak ada yang sadar
lagi,
Semaput dalam riuh
internet, gadget, dan diksi-diksi ilmiah
Pulang hanya untuk
mengamini televisi hiperrealitas
“kami kaum bebas”
termasuk bebas meniru
Meniru tiruannya
tiruan dari tiruan tiruan palsu
Disentak tiap saat
oleh pilihan-pilihan sikap
Rumit menghamburkan
energi dunia
Tenggelam dalam
kebenaran zaman (bukan kebenaran asasi)
Sore ini di kampus
yang (kabarnya) merakyat
Perlahan-lahan sepi
Oleh despot dan
tirani baru
Mencengkeram tanpa
terasa
Menghegemoni tanpa
disadari
Karena penguasa baru
tahu,
Bahwa menguasai
berarti menyenangkan nafsu
Si mahasiswa sejati
Sudah lama tadi
ketemu Tuhan,,
Sendiri
[1] Made Pramono, S.S., M.Hum. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan.
Email: made.pramono@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar