Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat merupakan tiga aspek yang harus segera dikenali dosen muda, dihayati dan dioperasionalisasikan setiap dosen di negeri ini. Ketiga aspek yang disebut sebagai Tri Dharma Perguruan Tinggi itu, secara konseptual dan kontekstual merupakan “jantung” yang memompa darah juang profesi ke-dosen-an. Pada tataran awal pengenalan kontekstual bagi dosen muda, Tri Dharma ini umumnya teridentifikasi melalui berbagai kegiatan pelatihan dan semacamnya yang mengarahkan atau memberi orientasi ke arah penghayatan dan pengamalan profesi mereka. Segera setelah mereka menempuh perjalanan karir di tahun-tahun pertama dan seterusnya, secara pragmatik makna Tri Dharma ini terimplementasi mulai dari penjadwalan kuliah, mempersiapkan kredit poin (“kum”) untuk kenaikan pangkat, hingga – pada saatnya - proses sertifikasi profesi dosen.
Idealitas sebagai abdi negara yang mendarmabaktikan hidup untuk ikut mencerdaskan bangsa, melalui Tri Dharma ini, bersimbiosis dan berkompromi dengan pragmatika pemenuhan kebutuhan hidup seiring perkembangan jaman. Kegiatan mengajar (reguler) selama satu semester merupakan contoh paling gampang dikenali sebagai satu tugas dosen yang paling umum. Belum lagi bila kegiatan pendidikan sebagai salah satu aspek Tri Dharma ini meluas dengan mengajar kelas non-reguler (ekstensi, dll) atau membuat bahan perkuliahan seperti silabus atau modul belajar. Kredit poin (untuk kenaikan pangkat) dan “koin” (maksudnya honor/tambahan penghasilan di luar gaji) melalui pelaksanaan kegiatan pendidikan ini bisa diraih. Prospek dan besar kecilnya benefitas tergantung dari wawasan, kegigihan, dan keuletan dosen itu sendiri dalam melaksanakan Dharma ke satu ini..
Hal ini juga berlaku untuk Dharma ke dua, penelitian. Seperti halnya lahan kerja di bidang lain, kelincahan mengintip peluang (wawasan) dan kegigihan dalam melaksanakan tugas penelitian ini dibutuhkan dalam rangka pemenuhan tugas dan benefitas “koin dan poin”.Mandiri maupun dengan berkolaborasi untuk melaksanakan penelitian difasilitasi oleh perangkat Pendidikan Tinggi (DIKTI) nasional melalui afirmasi dan support yang semakin tahun semakin kompetitif dan menjanjikan. Saya katakan afirmasi dalam arti, penelitian ini tidak hanya dari pintu Dikti (www.dp2m-dikti.net), namun juga dari lembaga pemerintah maupun non pemerintah, misalnya dari UNESCO. Berbagai hibah yang menggelontorkan dana milyaran rupiah tiap tahun diadakan lembaga-lembaga itu untuk profesi dosen.
Menjadi panitia suatu kegiatan yang diafirmasi dan didelegasikan oleh instansinya, merupakan satu contoh kecil dari implementasi Dharma ke tiga, pengabdian masyarakat. DP2M-DIKTI juga memfasilitasi aspek ini melalui hibah-hibah pengadian masyarakat yang – sama dengan aspek penelitian – tiap tahun semakin bervariasi terobosan programnya, dan menggelembung dananya. Tentu saja juga semakin kompetitif jadinya. Tampaknya, “kegagalan adalah sukses yang tertunda” merupakan spirit bagi dosen yang masih belum tersaring dalam kompetisi pengabdian masyarakat ini (dan juga aspek penelitian).
Ketika Alvin Toffler mengindikasikan bahwa gelombang ketiga dengan future shock-nya akan diisi oleh SDM dengan wawasan yang kompetitif (atau dalam kalimat Francis Bacon, knowledge is power), maka pada profesi dosen (dan juga guru) indikasi Toffler ini menurut hemat saya menemukan penyangga-nya. Dosen dengan posisi sentralnya dalam mencerdaskan bangsa, sudah sewajarnya untuk selalu kompetitif dan kompeten untuk ber-Tri Dharma. Sesungguhnya masih wajar kalau saya mengapresiasi makna pragmatik Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan kegiatan yang tidak hanya berorientasi “koin dan poin”. “Membaca” dan “menulis”, secara filosofis adalah kegiatan utama kita, para dosen. “Membaca” dalam makna sempit maupun luas, termasuk mengkritisi suatu keadaan atau kebijakan. “Menulis” dalam makna sempit maupun luas, termasuk membuat artikel di blog sebagaimana yang saya lakukan ini...
Baca Selengkapnya →PRAGMATIKA TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI
Idealitas sebagai abdi negara yang mendarmabaktikan hidup untuk ikut mencerdaskan bangsa, melalui Tri Dharma ini, bersimbiosis dan berkompromi dengan pragmatika pemenuhan kebutuhan hidup seiring perkembangan jaman. Kegiatan mengajar (reguler) selama satu semester merupakan contoh paling gampang dikenali sebagai satu tugas dosen yang paling umum. Belum lagi bila kegiatan pendidikan sebagai salah satu aspek Tri Dharma ini meluas dengan mengajar kelas non-reguler (ekstensi, dll) atau membuat bahan perkuliahan seperti silabus atau modul belajar. Kredit poin (untuk kenaikan pangkat) dan “koin” (maksudnya honor/tambahan penghasilan di luar gaji) melalui pelaksanaan kegiatan pendidikan ini bisa diraih. Prospek dan besar kecilnya benefitas tergantung dari wawasan, kegigihan, dan keuletan dosen itu sendiri dalam melaksanakan Dharma ke satu ini..
Hal ini juga berlaku untuk Dharma ke dua, penelitian. Seperti halnya lahan kerja di bidang lain, kelincahan mengintip peluang (wawasan) dan kegigihan dalam melaksanakan tugas penelitian ini dibutuhkan dalam rangka pemenuhan tugas dan benefitas “koin dan poin”.Mandiri maupun dengan berkolaborasi untuk melaksanakan penelitian difasilitasi oleh perangkat Pendidikan Tinggi (DIKTI) nasional melalui afirmasi dan support yang semakin tahun semakin kompetitif dan menjanjikan. Saya katakan afirmasi dalam arti, penelitian ini tidak hanya dari pintu Dikti (www.dp2m-dikti.net), namun juga dari lembaga pemerintah maupun non pemerintah, misalnya dari UNESCO. Berbagai hibah yang menggelontorkan dana milyaran rupiah tiap tahun diadakan lembaga-lembaga itu untuk profesi dosen.
Menjadi panitia suatu kegiatan yang diafirmasi dan didelegasikan oleh instansinya, merupakan satu contoh kecil dari implementasi Dharma ke tiga, pengabdian masyarakat. DP2M-DIKTI juga memfasilitasi aspek ini melalui hibah-hibah pengadian masyarakat yang – sama dengan aspek penelitian – tiap tahun semakin bervariasi terobosan programnya, dan menggelembung dananya. Tentu saja juga semakin kompetitif jadinya. Tampaknya, “kegagalan adalah sukses yang tertunda” merupakan spirit bagi dosen yang masih belum tersaring dalam kompetisi pengabdian masyarakat ini (dan juga aspek penelitian).
Ketika Alvin Toffler mengindikasikan bahwa gelombang ketiga dengan future shock-nya akan diisi oleh SDM dengan wawasan yang kompetitif (atau dalam kalimat Francis Bacon, knowledge is power), maka pada profesi dosen (dan juga guru) indikasi Toffler ini menurut hemat saya menemukan penyangga-nya. Dosen dengan posisi sentralnya dalam mencerdaskan bangsa, sudah sewajarnya untuk selalu kompetitif dan kompeten untuk ber-Tri Dharma. Sesungguhnya masih wajar kalau saya mengapresiasi makna pragmatik Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan kegiatan yang tidak hanya berorientasi “koin dan poin”. “Membaca” dan “menulis”, secara filosofis adalah kegiatan utama kita, para dosen. “Membaca” dalam makna sempit maupun luas, termasuk mengkritisi suatu keadaan atau kebijakan. “Menulis” dalam makna sempit maupun luas, termasuk membuat artikel di blog sebagaimana yang saya lakukan ini...