31 Januari 2023

Anakku mengaji... Duh terharu

 Assalamualaikum, sapa anakku baru dari Maghriban, kubalas waalaikumsalam..

Assalamualaikum, sik Pa, mas Yarif ngaji nggih.. kutengok langkah mungil kakinya melangkah ke depan rumah ke tempatnya mengaji rutin tiap seusai maghrib di depan rumah. seusai kujawab salamnya, langkahnya sudah semakin menjauh dari rumah. 

Terharu, anakku satu-satunya ini semakin hari semakin rajin menuntut keilmuan keagamaan. Sesuatu yang memang terselip dalam doa doa ku untuknya tiap saat. Aku masih mendoakannnya untuk langkah kedewasaannya, agar selalu berlindung kepada Allah apapun nasibnya. Ada atau tak adanya aku kelak.Haru biru yang kurasakan saat ini mungkin tidak terdeteksi hp kalian kawan, nun tidak terekspos tivi atau bahkan terdengar oleh telinga. Aku, papanya Yarif, terharu. Tetapi tak sanggup kusorongkan keakuan di hadapan orang-orang, juga di HadiratMu. bersambung

Baca Selengkapnya →Anakku mengaji... Duh terharu

28 Oktober 2022

Moh Yamin dalam Sumpah Pemuda

 Sumpah Pemuda Peran Mohammad Yamin dalam Sumpah Pemuda & Ide Bahasa Persatuan 

Peran Mohammad Yamin dalam peristiwa bersejarah Kongres Pemuda sangat krusial. Ia adalah salah satu tokoh yang menggagas sekaligus merumuskan ikrar atau teks naskah Sumpah Pemuda dalam Kongres Pemuda II di Batavia (Jakarta) tanggal 28 Oktober 1928. Sebelum itu, M. Yamin juga turut andil di Kongres Pemuda I pada 1926. 

Mohammad Yamin dilahirkan di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, tanggal 2 Agustus 1903. Pendidikan dasarnya ditempuh di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Palembang, kemudian lanjut ke Algemeene Middelbare School (AMS) Yogyakarta. Setelah menamatkan AMS di Yogyakarta, Mohammad Yamin melanjutkan kuliah di Rechtshoogeschool te Batavia atau Sekolah Tinggi Hukum di Batavia (cikal bakal Fakultas Hukum Universitas Indonesia). 

Dikutip dari Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance 1944–1946 (1972) yang ditulis oleh Benedict Anderson, Mohammad Yamin lulus pada 1932 dengan meraih gelar Master in de Rechten atau sarjana hukum. 

Selain dikenal sebagai aktivis pergerakan serta ahli hukum, Mohammad Yamin juga merupakan politisi, diplomat, sejarawan, sastrawan, serta budayawan yang telah menelurkan banyak karya, mulai dari buku tentang politik dan sejarah atau hukum, puisi, naskah drama, dan lain sebagainya. 

Kelak, setelah Indonesia merdeka, Mohammad Yamin menempati beberapa posisi di pemerintahan, termasuk sebagai Menteri Kehakiman, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Sosial, hingga Menteri Penerangan. 

Gagasan Mohammad Yamin di Kongres Pemuda I tentang Bahasa Persatuan Mohammad Yamin mengawali kiprah politik pergerakannya ketika kuliah di Batavia (Jakarta) pada perjalanan dekade 1920-an. Dinukil dari Menjadi Indonesia (2006) karya Parakitri T. Simbolon, Mohammad Yamin kala itu bergabung dengan Jong Sumatranen Bond. 

Ketika Kongres Pemuda I digelar di Jakarta pada 30 April-2 Mei 1926, Mohammad Yamin berpartisipasi sebagai wakil dari Jong Sumatranen Bond. Tujuan Kongres Pemuda I adalah untuk membangun semangat kerja sama di antara organisasi pemuda di Indonesia demi memajukan persatuan dan kebangsaan, serta menguatkan hubungan. 

Kongres Pemuda I dihadiri perwakilan dari beberapa perkumpulan atau organisasi kepemudaan seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, Studerenden Minahasaers, Jong Bataks Bond, Pemuda Kaum Theosofi, dan lainnya. 

Dalam Sumpah Pemuda: Latar Belakang dan Pengaruhnya bagi Pergerakan Nasional (2008) yang disusun Momon Abdul Rahman dan kawan-kawan disebutkan Mohammad Yamin menyampaikan pidato berjudul "Kemungkinan Perkembangan Bahasa-bahasa dan Kesusasteraan Indonesia di Masa Mendatang". 

Tanpa rnengurangi penghargaan terhadap bahasa-bahasa daerah lain seperti Sunda, Aceh, Bugis, Minangkabau, Madura, dan lain-lain, Mohammad Yamin berpendapat bahwa hanya ada dua bahasa yang rnempunyai peluang untuk dijadikan bahasa persatuan Indonesia, yaitu bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Bahasa Jawa, papar Yamin di forum Kongres Pemuda I, berpeluang menjadi bahasa persatuan karena memiliki jumlah penutur terbanyak di Indonesia. Sementara itu, bahasa Melayu mempunyai peluang menjadi bahasa persatuan karena sudah menjadi bahasa pergaulan (lingua franca). 

Namun, ide Yamin yang menyarankan agar bahasa Jawa atau bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa persatuan tidak sepenuhnya diterima oleh peserta kongres. Mohammad Tabrani dari Jong Java berpendapat, apabila bangsa bernama Indonesia, maka bahasa juga harus bernama bahasa Indonesia, bukan bahasa Jawa atau bahasa Melayu. Ketidaksepahaman antara dua pendapat ini membuat Kongres Pemuda I belum menghasilkan keputusan mutlak. 

Peran Mohammad Yamin di Kongres Pemuda II yang Menghasilkan Sumpah Pemuda Kongres Pemuda II merupakan kelanjutan dari Kongres Pemuda I. Kongres yang kedua ini juga diadakan di Batavia atau Jakarta. Ada 3 rapat atau sidang yang digelar selama dua hari pada 27 dan 28 Oktober 1928. 

Rapat pertama dilangsungkan di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB) pada 27 Oktober 1928. Rapat kedua digelar di Gedung Oost-Java Bioscoop pada 28 Oktober 1928. Rapat ketiga yang juga diadakan tanggal 28 Oktober 1928 dilaksanakan di Gedung Indonesische Clubgebouw. 

Ada 750 peserta dari beberapa organisasi atau perkumpulan yang mengirimkan wakilnya untuk mengikuti Kongres Pemuda II, termasuk dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Batak, Pemuda Indonesia, Jong Islamieten Bond (JIB), Jong Celebes, Sekar Rukun, Jong Ambon, Pemuda Kaum Betawi, dan lainnya.

Selanjutnya dibentuk kepanitiaan kongres yang terdiri dari perwakilan para peserta. Susunan panitia Kongres Pemuda II adalah sebagai berikut: 

Ketua: Sugondo Djojopuspito (PPPI) 

Wakil Ketua: RM Djoko Marsaid (Jong Java) 

Sekretaris: Muhammad Yamin (Jong Sumatranen Bond) 

Bendahara: Amir Syarifuddin (Jong Batak). 

Pembantu I: Johan Mohammad Cai (Jong Islamieten Bond) 

Pembantu II: R. Katjasoengkana (Pemuda Indonesia) 

Pembantu III: R.C.L Senduk (Jong Celebes) 

Pembantu IV: Johannes Leimena (Jong Ambon) 

Pembantu V: Rochjani Soe’oed (Pemuda Kaum Betawi) 

Di rapat pertama pada hari pertama tanggal 27 Oktober 1928, Mohammad Yamin menyampaikan gagasannya bertajuk "Dari Hal Persatuan dan Kebangsaan Indonesia". Dalam pidatonya, seperti dikutip dari Sumpah Pemuda: Latar Belakang dan Pengaruhnya bagi Pergerakan Nasional (2008) yang disusun Momon Abdul Rahman dan kawan-kawan, Mohammad Yamin mengulas tentang pentingnya persatuan untuk kebangsaan. "Persatuan di antara bangsa Indonesia dimungkinkan kekal karena mempunyai dasar yang kuat yaitu persamaan kultur, persamaan bahasa, persamaan hukum adat. Satu bangsa yang bersatu karena rohnya kuat," papar Mohammad Yamin.

Lebih lanjut, Mohammad Yamin menyatakan pula bahwa persatuan Indonesia dapat diperkuat melalui lima faktor, yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan. Mohammad Yamin juga mengimbau kepada kaum ibu untuk menanamkan semangat kebangsaan kepada anak-anaknya. 

Sempat terjadi perdebatan yang cukup alot tentang sejumlah gagasan Yamin, namun pada akhirnya bisa diambil kata sepakat. Di rapat ketiga hari kedua tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda menyepakati mengenai ikrar Sumpah Setia atau Sumpah Pemuda. Mohammad Yamin turut merumuskan teks naskah Sumpah Pemuda yang berbunyi sebagai berikut: 

Pertama Kami Putra-Putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia

Kedua Kami Putra-Putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia. 

Ketiga Kami Putra-Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia 

Kontributor: Ilham Choirul Anwar Penulis: Ilham Choirul Anwar Editor: Iswara N Raditya


https://tirto.id/peran-mohammad-yamin-dalam-sumpah-pemuda-ide-bahasa-persatuan-gxLW

Baca Selengkapnya →Moh Yamin dalam Sumpah Pemuda

14 Oktober 2022

Matahari

Pemikiran Shihabuddin Suhrawardi tentang Filsafat Isyraq (Falsafah Iluminasi, Falsafah Cahaya). Dengan menggunakan analisis historis filosofis dihasilkan kesimpulan bahwa filsafat isyraq Suhrawardi adalah bahwa Allah Yang Maha Esa hakekat-Nya adalah cahaya. Dia adalah Cahaya di atas cahaya, yang dengan pancaran cahaya-Nya terjadiIah wujud-wujud, baik materi maupun rohani. Alam semesta ini ada karena adanya pancaran cahaya-Nya yang tidak pernah berhenti, bagaikan matahari yang tidak pernah berhenti memancarkan cahayanya. Pancaran cahaya Tuhan (Nur al-Anwar) adalah tergantung kadar dan intensitas dari objek yang terkena cahaya. Objek yang paling dekat dengan Nur al-Anwar (Cahaya di atas cahaya) adalah objek yang paling banyak menerima cahaya atau penerangan, sedang objek paling jauh adalah yang paling sedikit menerima cahaya. Dan objek tidak memperoleh cahaya dari Nur al-Anwar dengan sendirinya akan sirna.

Paragraf di atas aku kutipkan dari https://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/11617/5080 tulisan Abdullah Mahmud (2014). Ada banyak reinterpretasi, salah satunya yag akan aku ulas 

Kuliah S1 dulu sempat menyinggung sedikit, dan bagi mahasiswa seperti aku, sudah lazim menelaah lebih jauh (jika mau) melalui buku-buku pendukung di perpustakaan fakultas filafat yang pasti sudah berganti "wajahnya" tahun ini. Suhrawardi dengan filsafat cahayanya akhir-akhir ini lumayan menarik perhatianku, lebih karena ilustrasinya yang seolah-olah memprovokasiku mengarungi samudera kemungkinan pemahaman. Tetapi karena sudah mulai menua bermalas-malasan, kali ini sudah tanpa menyandarkan diri pada buku-buku pendukung. Mungkin nanti mengambil dari artikel lepas dari internet jika diperlukan.

"Samudera kemungkinan pemahaman" yang saya maksud adalah:
  1. Tuhan tidak terkira, tidak ada yang serupa. Tetapi untuk kemudahan ilustrasi, Cahaya menjadi pilihan saya, dengan pancaran sinar sebagai makhluknya. Aku salah satunya. Secara spesifik, ilustrasi aku rupakan Cahaya matahari. Sinarnya tidak berhenti. 
  2. Cahaya itulah hakikat semuanya. 
  3. Sebagai sinar, saya dipancarkan dariNya, dan pasti akan kembali padaNya. Saat saya mengetik tulisan ini, usia saya 48 tahun. Sudah selama itu perjalanan si sinar hendak kembali ke Matahari. Entah semenit atau sekian hari, sekian tahun, bahkan sekian abad. Bukan tugas saya mengutak-atik ketentuan usia itu, melainkan hanya untuk bersujud kepadaNya.
  4. Ketidaktahuanku tentang segala sesuatu jauh lebih kaya daripada yang aku tahu. Ketidaktahuan pula yang menuntun si sinar merefleksi terus menerus menuju Cahaya. Tetapi tentu saja, diawali dengan pengetahuan yang amat sedikit yang harus sudah berguna minimal memotivasi ketidaktahuan untuk tahu. Ketidaktahuanku sedikit sudah menjadi tahu, bahwa ilustrasinya jelas bahwa aku sinar yang sedang mengembara kembali ke rengkuhan Cahaya.
  5.  Kedirianku memang membawaku ke pencarian tiada henti terhadap "Sang Benar" di "situ". Sebagaimana filsafat yang aku geluti, kebenaran yang dicari, tidak pernah aku genggam, tetapi selalu didepanku. Unfinished. 
  6. Saat aku berusaha semakin mendekat ke nur al-anwar, masih saja kesombongan keakuan mengganggu. Istighfar riada akhir.
  7. Sesungguhnya semua milik Nya, dan akan kembali pada Nya. 
Baca Selengkapnya →Matahari

28 Desember 2021

Philosophy of Sport (Terjemahan Liar 1)

Filsafat Olahraga

Diterbitkan pertama kali Sel 4 Februari 2020

https://plato.stanford.edu/entries/sport/

***Ini terjemahan liar Made Pramono menggunakan Google Translate atas artikel tersebut***
***Tidak untuk hal lain selain kepentingan akademis pribadi***
***Dicantumkan di blog ini 28 Desember 2021***

Sementara olahraga telah dipraktekkan sejak zaman pra-sejarah, dimulailah subjek penyelidikan filosofis sistematis yang relatif baru. Memang, filsafat olahraga sebagai sub-bidang akademik baru dimulai pada tahun 1970-an. Namun, dalam waktu singkat ini, telah berkembang menjadi bidang penelitian filosofis yang menjanjikan baik untuk memperdalam pemahaman kita tentang olahraga dan untuk menginformasikan praktik olahraga. Kontroversi baru-baru ini di tingkat elit dan profesional telah menyoroti dimensi etika olahraga pada khususnya. Penggunaan obat peningkat performa Lance Armstrong menimbulkan masalah baru dalam etika kecurangan, pelari jarak menengah Caster Semenya telah menantang aturan yang berlaku seputar klasifikasi jenis kelamin dalam olahraga, dan prostesis Oscar Pistorius telah mempermasalahkan perbedaan antara olahraga berbadan sehat dan olahraga penyandang cacat. Sementara analisis filosofis dapat membantu untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang olahraga, analisis tersebut juga dapat menjelaskan masalah filsafat di luar olahraga, mulai dari sifat keterampilan hingga etika altruisme.

Entri ini berlangsung dalam tiga bagian. Bagian 1 memperkenalkan filosofi olahraga dengan penekanan khusus pada sejarah pemikiran filsafat sistematis tentang olahraga. Bagian 2 mengkaji sifat dan nilai olahraga, dan mempertimbangkan teori normatif utama olahraga yang dikembangkan dalam literatur. Bagian 3 membahas sekelompok topik yang penting bagi filsafat olahraga, termasuk: sportivitas; curang; peningkatan performa; olahraga kekerasan dan berbahaya; jenis kelamin, orientasi jenis kelamin, dan ras; penggemar dan penonton; olahraga disabilitas; dan estetika olahraga.


1. Perkenalan

    1.1 Latar Belakang: Olahraga, Budaya, dan Pemikiran Filosofis

    1.2 Sejarah Filsafat Olahraga

2. Apa itu Olahraga?

    2.1 Formalisme

    2.2 Konvensionalisme

    2.3 Internalisme Luas (Interpretivisme)

3. Topik Filsafat Olahraga

    3.1 Sportifitas

    3.2 Kecurangan

    3.3 Peningkatan Kinerja

    3.4 Olahraga Keras dan Berbahaya

    3.5 Jenis Kelamin, Gender, dan Ras

    3.6 Penggemar dan Penonton

    3.7 Olahraga Cacat

    3.8 Estetika Olahraga

Bibliografi



1. Perkenalan

1.1 Latar Belakang: Olahraga, Budaya, dan Pemikiran Filosofis

Komunitas manusia telah terlibat dalam olahraga untuk alasan yang beragam seperti hiburan, ibadah agama dan stabilitas politik (Baker, 1988). Bangsa Sumeria dan Mesir kuno berlatih olahraga untuk mempersiapkan diri menghadapi perang. Begitu juga orang Yunani dan Romawi kuno, yang menganggap olahraga juga memiliki makna keagamaan dan sosial yang penting. Misalnya, di Yunani Klasik, kontes atletik (gymnikoi agones) menyediakan arena untuk pengembangan dan demonstrasi keunggulan (arete). Mengejar keunggulan melalui olahraga ini memainkan peran utama dalam budaya Helenistik, di mana berjuang untuk kesempurnaan dalam tubuh dan pikiran berfungsi sebagai salah satu kegiatan pemersatu utama masyarakat (Lunt & Dyreson, 2014). Demikian pula, dalam peradaban Maya, permainan bola melayani tujuan agama, sosial, dan politik seperti memberikan ikatan bersama sambil mengecilkan perbedaan dan konflik yang timbul dari keragaman lokal (Fox, 2012).

Para filsuf telah merefleksikan sifat olahraga setidaknya sejak Yunani Kuno. Plato dan Aristoteles memandang olahraga sebagai komponen kunci dari pendidikan dan, dengan perluasan, perkembangan manusia (Reid, 2011, 26-80). Seorang Yunani terpelajar harus menemukan keselarasan antara tubuh dan pikiran dengan, antara lain, terlibat dalam kontes atletik. Refleksi tentang peran olahraga dalam kehidupan dan budaya manusia berlanjut selama zaman Romawi dan abad pertengahan. Di Roma, olahraga dipahami secara instrumental sebagai alat untuk melatih para pejuang. Misalnya, buku kelima dari Virgil's Aeneid dikhususkan untuk perayaan kontes kecepatan dan kekuatan dengan penekanan pada persiapan Romawi untuk perang. Pada abad pertengahan, meskipun kehilangan relevansi di ruang publik, olahraga memainkan peran penting dalam citra Kristen (Reid, 2011, 81-106). Misalnya, di Kota Allah, Agustinus (14.9) menyebut rasul Paulus sebagai 'atlet Kristus'. Thomas Aquinas, seperti Plato dan Aristoteles, menganjurkan perlunya mengolah tubuh dan jiwa untuk berkembang sebagai manusia (Kretchmar et al., 2017, 93-120).

Pada awal modernitas, olahraga kembali menonjol dalam kehidupan publik, paling tidak karena potensinya untuk mengembangkan keunggulan manusia dan mempromosikan kehidupan yang baik. Kepala sekolah Renaisans memasukkan olahraga ke dalam kurikulum mereka. Bahkan para pemikir Protestan, yang sering dianggap menentang aktivitas santai seperti olahraga, memeluk praktik aktivitas atletik untuk tujuan formatif (Reid, 2012). Martin Luther dan John Milton menganjurkan pemanfaatan kegiatan olahraga untuk mendidik individu dan melatih tentara Kristen (Overman, 2011). Selama Pencerahan, berdasarkan penekanan kaum empiris pada pengembangan kapasitas tubuh untuk mencapai data sensorik yang akurat, Jean-Jacques Rousseau berpendapat perlunya berolahraga dan mengembangkan tubuh dan pikiran secara harmonis (Andrieu, 2014). Teori pedagogis Rousseau, bersama dengan beberapa teori lainnya, diimplementasikan di Inggris dan Jerman Victoria pada abad ke-19, di mana olahraga dinilai sebagai kegiatan pembangunan karakter. Terinspirasi oleh filosofi pedagogis ini, Baron Pierre de Coubertin mendirikan Gerakan Olimpiade, mengenai olahraga Olimpiade sebagai 'filsafat kehidupan yang menempatkan olahraga untuk melayani kemanusiaan' (IOC 2019; lihat juga McFee 2012; Parry 2006).

Dalam msyarakat kontemporer, olahraga memainkan peran sentral dalam kehidupan banyak pemain, pelatih, ofisial, dan penonton. Pengajaran olahraga adalah bagian dari kurikulum sekolah nasional, berita olahraga merupakan bagian dari media nasional kita, dan olahraga telah digunakan sebagai ukuran kebijakan publik untuk mengatasi segala sesuatu mulai dari perilaku anti-sosial hingga obesitas. Namun, terlepas dari peran olahraga yang dimainkan sepanjang sejarah manusia, filosofi olahraga sebagai subdisiplin akademis tidak berkembang sampai pertengahan abad ke-20. Kami menceritakan beberapa sejarah lapangan sekarang.


1.2 Sejarah Filsafat Olahraga

Filsafat olahraga sudah ada sebelumnya dan terinspirasi oleh filsafat permainan, terutama Homo Ludens (1938) karya Johan Huizinga. Namun, olahraga adalah jenis permainan yang khas dan tidak setiap contoh olahraga adalah turunan dari permainan (Suits, 1988), sehingga olahraga memerlukan analisis filosofis yang independen. Dalam filsafat sastra olahraga, banyak sekali karakterisasi dan definisi tentang sifat dan ruang lingkup lapangan telah disodorkan (Torres, 2014, 4-5). Bagi Paul Weiss, filsafat olahraga memberikan 'pemeriksaan olahraga dalam hal prinsip-prinsip yang sekaligus mengungkapkan sifat olahraga dan berkaitan dengan bidang lain - memang, untuk seluruh hal dan pengetahuan' (Weiss, 1971). , vii-viii). Menurut Robert G. Osterhoudt, editor pertama Journal of the Philosophy of Sport, cabang Filsafat ini berkomitmen 'untuk menyajikan pemeriksaan filosofis yang sejati, atau pemeriksaan otentik reflektif dari sifat olahraga ... olahraga sampai mereka direduksi menjadi masalah tatanan filosofis yang jelas' (Osterhoudt, 1973, ix-xi).

R. Scott Kretchmar (1997) telah menyarankan bahwa, dari tahun 1870-an hingga 1990-an, filsafat olahraga berkembang dari sub-cabang filsafat pendidikan menjadi bidang studi dalam dirinya sendiri. Selama waktu ini, lapangan melewati tiga fase: fase 'eklektik', fase 'berbasis sistem' dan fase 'disiplin'. Dalam fase eklektik, juga disebut sebagai 'periode filsafat-pendidikan', filsafat pendidikan meletakkan dasar bagi studi filsafat olahraga. Menantang tradisi pedagogis intelektualis yang dominan, para filsuf seperti William James, Edward L. Thorndike, dan John Dewey menekankan nilai bermain, permainan, dan olahraga dalam mempersiapkan manusia untuk mencapai kehidupan yang baik. Pendidik jasmani Thomas D. Wood dan Clark Hetherington, antara lain, dibangun di atas para filsuf ini untuk mengembangkan apa yang disebut 'Pendidikan Jasmani Baru,' sebuah gerakan pedagogis yang bertujuan menunjukkan bahwa pendidikan jasmani harus menjadi bagian integral dari pendidikan manusia secara keseluruhan. Para pendidik ini, meskipun berkontribusi sedikit pada diskusi filosofis, membantu menghasilkan era di mana pendidikan jasmani diperlukan di sebagian besar program pendidikan.

Dalam 'periode berbasis sistem', perhatian pedagogis memotivasi analisis filsafat olahraga dan latihan fisik. Namun, protagonis fase ini, seperti Elwood Craig David dan Earle Ziegler, mengandalkan metode yang menempatkan bobot lebih besar pada mode analisis filsafat . Mereka mulai dengan menggambarkan dan membandingkan sistem filosofis yang berbeda, menyaringnya ke konsep dasar dan posisi yang terkait dengan pendidikan jasmani, dan diakhiri dengan menggambar implikasi praktis dan rekomendasi pedagogis. Penekanan mereka pada sistem filosofis menciptakan lahan subur bagi pengembangan filosofi olahraga. Seperti yang dicatat oleh William J. Morgan (2000, 205), pergeseran penekanan ini menyebabkan perpindahan progresif sains dan pedagogi sebagai pilar utama kurikulum pendidikan jasmani, dan ini memfasilitasi pendekatan yang lebih luas untuk studi latihan fisik dan olahraga yang memberi kebanggaan tempat untuk dimensi budaya dan sejarah.

Evolusi dalam departemen pendidikan jasmani selama 'fase disipliner' memfasilitasi munculnya filsafat olahraga sebagai disiplin dalam dirinya sendiri. Masyarakat Filsafat untuk Studi Olahraga (PSSS) dibentuk selama perayaan konferensi Divisi Timur 1972 dari American Philosophical Association (APA) di Boston; nama organisasi diubah menjadi Asosiasi Internasional untuk Filsafat Olahraga (IAPS) pada tahun 1999. Masyarakat mendirikan jurnal ilmiah, Jurnal Filsafat Olahraga (JPS), dan menetapkan bahwa misi Masyarakat dan Jurnal adalah ' untuk mendorong pertukaran dan beasiswa di antara mereka yang tertarik dalam studi ilmiah olahraga' (Fraleigh 1983: 6). Kontribusi Weiss untuk pembentukan disiplin pada tahap awal sangat penting. Dengan diterbitkannya Sport: A Philosophic Inquiry pada tahun 1969, Weiss, seorang filsuf bereputasi internasional, menunjukkan bahwa olahraga menyediakan lahan subur untuk penyelidikan filsafat. Seiring dengan Weiss, pelopor lain dari analisis filosofis olahraga adalah Eleanor Metheny (1952, 1965) dan Howard S. Slusher (1967), yang juga membantu mengkonsolidasikan sub-disiplin yang baru lahir dengan menerbitkan monografi dalam filosofi olahraga.

Filsafat awal olahraga terbagi menjadi garis 'analitik' dan 'kontinental'. Klaus V.  Meier (1988), Bernard Suits (1977), dan Frank McBride (1975, 1979) berfokus pada kemungkinan menyediakan kondisi yang diperlukan secara individu dan bersama-sama untuk sesuatu menjadi 'olahraga'. Mereka menggunakan alat dari filsafat analitis untuk menganalisis penggunaan istilah 'olahraga' (dalam bahasa sederhana dan akademis) dan untuk mencoba mengidentifikasi ciri-ciri umum untuk semua olahraga. Filsuf awal olahraga juga meneliti olahraga secara fenomenologis. R. Scott Kretchmar, Drew H. Hyland, dan Robert G. Osterhoudt, antara lain, menggunakan karya Eugene Fink, Maurice Merleau-Ponty, Georg WF Hegel, Martin Heidegger, dan Edmund Husserl untuk mempelajari hakikat olahraga dengan memfokuskan pada pengalaman hidup individu-individu yang terlibat di dalamnya.

Baru-baru ini, filosofi olahraga telah beralih ke fase 'hermeneutik' atau 'filsafat terapan' (Lopez Frias, 2017; McNamee, 2007). Bidang ini mengambil giliran 'praktis' pada 1990-an. Karya Alasdair MacIntyre, terutama karya mani After Virtue (1984), memainkan peran kunci dalam pergeseran di antara para filsuf olahraga menuju isu-isu normatif. Menggambar pada konsep 'praktik sosial' MacIntyre, para filsuf olahraga bertujuan untuk mengidentifikasi barang intrinsik dan keunggulan olahraga untuk menilai dan mengkritik olahraga dan masalah etika terkait seperti doping, kecurangan, dan sportivitas.

Perdebatan klasik tentang sifat olahraga dan fenomenologi pengalaman peserta belum ditinggalkan. Seperti yang akan kita tunjukkan nanti (bagian 2.1), perdebatan tentang sifat olahraga tetap menjadi pusat. Memang, kebangkitan permainan elektronik (disebut 'eSports') telah menghidupkan kembali diskusi tentang elemen-elemen yang menentukan olahraga dan, lebih luas lagi, kontras antara permainan tradisional dan permainan digital (Conway, 2016). Secara khusus, para filsuf olahraga telah mengeksplorasi pertanyaan apakah eSports menguji keterampilan fisik (Van Hilvoorde, 2017; Holt, 2016), implikasi dari pelembagaan kompetisi eSport (Hemphill, 2005; Parry, 2018), dan keterlibatan moral dalam digital bermain game (Edgar, 2016).

Masih lebih menonjol adalah fenomenologi olahraga. Perkembangan pesat ilmu komputasi dan ilmu saraf memiliki pengaruh besar dalam filsafat olahraga, mendorong pertumbuhan eksponensial dalam publikasi mengenai perolehan keterampilan dalam olahraga (Ilundáin-Agurruza, 2016), hubungan pikiran-tubuh (Gerber dan Morgan, 1979), dan pengalaman olahraga (Breivik, 2014). Estetika olahraga juga berkembang dalam beberapa dekade terakhir dengan berfokus pada dua tema (Edgar, 2014): sifat dan relevansi kualitas estetika (misalnya keindahan, keburukan, keanggunan, dan kekuatan) dengan pengalaman berlatih dan menonton olahraga (lihat juga Kreft, 2012; Lacerda dan Mumford, 2010; Lacerda, 2012) dan pertimbangan olahraga sebagai seni dan hubungannya dengan seni (lihat juga Best, 1974, 1985; Elcombe, 2012; Gaffney, 2013). Jadi, saat masih merupakan bidang yang baru muncul, filosofi olahraga telah berkembang pesat dalam mengembangkan metode dan keasyikan sentral.


2. Apa itu Olahraga?

Teori filosofis olahraga mengambil bentuk deskriptif atau normatif. Secara garis besar, teori deskriptif berusaha memberikan penjelasan yang akurat tentang konsep sentral olahraga, dan teori normatif berusaha memberikan penjelasan tentang bagaimana olahraga seharusnya. Teori olahraga normatif secara luas diklasifikasikan sebagai 'eksternalis' atau 'internalis.' Teori olahraga eksternalis memahami olahraga sebagai cerminan dari fenomena sosial yang lebih besar. Sangat dipengaruhi oleh Marxisme dan strukturalisme, para filsuf eksternalis menganggap sifat olahraga ditentukan oleh prinsip-prinsip dari praktik lain atau masyarakat yang lebih luas. William J. Morgan (1994) mengidentifikasi tiga jenis teori eksternalis: 'Teori Komodifikasi,' 'Teori Kiri Baru,' dan 'Teori Hegemoni.' Dalam teori Komodifikasi, olahraga dipahami sebagai komoditas dengan nilai guna dan nilai tukar. Ketika olahraga dikomodifikasi, mereka dipandang tidak memiliki karakteristik bawaan yang layak dilindungi, tetapi semata-mata sesuai dengan keuntungan ekonomi yang dapat mereka hasilkan (Sandel, 2012; Walsh dan Giulianotti, 2007). Pendukung utama teori teori Kiri Baru adalah Bero Rigauer (1981), Jean-Marie Brohm (1978), Rob Beamish (1981), Richard Lipsky (1981), dan Paul Hoch (1972). Mereka memahami olahraga secara materialistik dengan memusatkan perhatian pada peran olahraga dalam pembentukan dan reproduksi sejarah sosial, sebagian besar dengan mengeksplorasi hubungan antara tenaga kerja, infrastruktur ekonomi, dan olahraga. Teori hegemoni olahraga menyerang karakter reduktif dan deterministik dari analisis olahraga Kiri Baru. Ahli teori hegemoni seperti Richard Gruenau (1983) dan John Hargreaves (1986) mengeksplorasi peran yang dimainkan oleh praktik dan proses budaya dalam membentuk sifat praktik olahraga, sambil menekankan nilai agensi manusia.

Akun eksternalis olahraga cenderung dianggap sebagai deflasi karena mereka menyangkal, atau mengabaikan, bahwa olahraga memiliki nilai independen. Mereka memahami nilai olahraga hanya dalam istilah instrumental (Ryall, 2016). Teori olahraga internalis tidak menganalisis olahraga berdasarkan praktik sosial atau proses sejarah lainnya. Sebaliknya, mereka bertujuan untuk mengidentifikasi nilai-nilai khas dan tujuan olahraga yang membedakannya dari praktik sosial lainnya. Pendukung internalisme mengakui pengaruh olahraga dari praktik lain dan masyarakat yang lebih besar, tetapi internalis berpendapat bahwa olahraga adalah praktik dengan nilai khas dan logika internalnya sendiri. Dengan demikian, tujuan utama internalisme adalah untuk mengungkap prinsip-prinsip normatif intrinsik olahraga. Tugas utama dalam filosofi olahraga adalah mengembangkan teori normatif internalis yang memadai tentang olahraga. Setidaknya, teori semacam itu harus mengartikulasikan nilai non-instrumental olahraga dan harus memberikan panduan tentang standar yang tepat dari kedua perilaku dalam olahraga, dan aturan dan praktik olahraga itu sendiri. Pandangan internalis biasanya diklasifikasikan ke dalam tiga kategori berikut: formalisme, konvensionalisme, dan internalisme luas (atau interpretivisme). Kami memeriksa masing-masing secara bergantian sekarang.


2.1 Formalisme

Formalisme memahami olahraga sebagai semata-mata dibentuk oleh aturan tertulis: olahraga hanyalah seperangkat aturan tertulis yang mengaturnya. Dalam pandangan ini, tidak perlu melihat di luar aturan tertulis untuk menentukan apakah suatu kegiatan adalah olahraga (misalnya tenis adalah olahraga?), apakah suatu kegiatan merupakan permainan olahraga tertentu (misalnya apakah mereka bermain tenis atau squash? ), atau apakah gerakan tertentu diperbolehkan dalam olahraga tertentu (misalnya apakah menendang bola diperbolehkan dalam tenis?).

Bernard Suits 'The Grasshopper: Games, Life and Utopia (1978 [2014]) dianggap sebagai teks formalis mani (Hurka, 2005)[1]. Suits mencoba untuk menyangkal klaim Wittgenstein bahwa, sebagai konsep 'kemiripan keluarga', 'permainan' menolak definisi. Menurut pandangan Wittgenstein (1958, bagian 66–67), tidak mungkin untuk menentukan kondisi yang diperlukan secara individual dan kondisi yang cukup bersama untuk sesuatu untuk membentuk sebuah permainan. Sebaliknya, permainan bervariasi tanpa henti, dan, sementara beberapa permainan mungkin berbagi fitur yang sama dengan beberapa permainan lain, tidak ada elemen tunggal yang dimiliki oleh semua permainan. Contra Wittgenstein, Suits berpendapat bahwa ada empat elemen umum untuk setiap permainan: tujuan, sarana, aturan, dan sikap tertentu di antara para pemain.

Permainan adalah kegiatan yang diarahkan pada tujuan. Setiap permainan memiliki dua tujuan yang berbeda: tujuan 'menakjubkan' dan tujuan 'pra-lusi'. Tujuan pra-lusi adalah keadaan khusus yang ingin dicapai oleh pemain game: menempatkan bola di lubang dalam golf, melintasi mistar dalam lompat tinggi, dan melintasi garis dalam maraton. Ini dapat dicapai sebelum pembentukan permainan. Misalnya, saya dapat memasukkan bola golf ke dalam lubang meskipun tidak ada permainan golf yang dimulai, atau saya dapat melompati palang meskipun tidak ada kompetisi lompat tinggi yang sedang berlangsung. Tujuan yang indah adalah menang. Ini hanya dapat dicapai dalam konteks permainan yang terorganisir.

Elemen kedua dari permainan apa pun adalah sarana. Setiap game membatasi metode yang diizinkan untuk digunakan oleh pemain game untuk mencapai tujuan pra-lusi. Pegolf tidak diperbolehkan untuk menjatuhkan bola ke dalam lubang dengan tangan mereka; pelompat tinggi tidak diizinkan untuk melompati mistar menggunakan trampolin, dan pelari maraton dilarang menyelesaikan lomba menggunakan sepeda. Cara-cara yang diizinkan dalam permainan selalu 'tidak efisien' untuk pencapaian tujuan pra-lusi. Misalnya, jika tujuan tinju adalah untuk melumpuhkan lawan selama hitungan '10', akan jauh lebih efisien untuk menyerangnya dengan tongkat baseball atau menembaknya dengan pistol daripada harus meninjunya di atas pinggang. sarung tangan. Jika tujuan sepak bola adalah memasukkan bola ke gawang, akan jauh lebih efisien untuk menendang, menyundul, dan membawa bola daripada hanya menendang dan menyundulnya. Sarana yang diizinkan dalam permainan adalah sarana 'khayalan', dan yang dilarang adalah sarana 'ilusi'.

Elemen ketiga dari sebuah permainan adalah aturan (konstitutif). Aturan memberikan penjelasan lengkap tentang cara apa yang diizinkan dan tidak diizinkan dalam permainan. Mereka menetapkan cara apa yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan awal permainan. Batasan pada sarana yang diizinkan ini memungkinkan permainan, karena mereka mendirikan rintangan (yang tidak perlu) yang coba diatasi oleh peserta dalam permainan. Misalnya, aturan tinju melarang penggunaan senjata, seperti pisau atau senjata api. Ini memastikan bahwa olahraga itu adalah kontes tinju. Hukum sepak bola mengizinkan penggunaan bagian tubuh selain lengan sehingga bola dimainkan terutama dengan kaki. Selain aturan konstitutif, menurut Suits, ada aturan keterampilan, yang menetapkan cara bermain dengan baik. Aturan seperti itu adalah aturan praktis yang mungkin disarankan pelatih untuk diikuti seorang pemain untuk membantunya menjalankan keterampilan olahraga dengan lebih baik (misalnya, awasi bola, ikuti setelah tumbukan, akselerasi hingga garis finis).

Elemen terakhir dari gameplaying adalah sikap. Suits berpendapat bahwa, untuk bermain game, seseorang harus memiliki 'sikap nafsu'. Pemain harus berkomitmen untuk bermain sesuai dengan aturan yang membentuk permainan hanya agar permainan dapat berlangsung. Jenis motivasi harus jenis tertentu (atau setidaknya harus mencakup motivasi jenis tertentu): pemain harus menghormati aturan karena mereka ingin bermain dan mereka mendukung pandangan formalis bahwa melanggar aturan harus mengakhiri permainan. Tidaklah cukup termotivasi untuk menghormati aturan, misalnya, untuk memastikan reputasi baik seseorang atau bersaing untuk mendapatkan penghargaan 'sportmanship'. Jadi, dengan tidak adanya sikap lusory, menurut Suits, sangat mungkin bagi seorang pemain untuk bertindak sesuai dengan aturan tanpa benar-benar bermain game. Para pemain menerima aturan konstitutif karena, dengan tidak adanya penerimaan tersebut, tidak ada permainan yang mungkin. Dalam pandangan ini, jika seseorang memutuskan bahwa dia akan melanggar aturan kapan pun dia bisa melakukannya tanpa terdeteksi, maka, menurut Suits, dia tidak benar-benar memainkan permainan – bahkan jika tidak ada peluang untuk melanggar aturan yang tidak terdeteksi yang pernah muncul. Dia mungkin tampak bermain game, tetapi, dengan tidak adanya penerimaan untuk mengikat dirinya pada batasan yang diberlakukan oleh aturan konstitutif, dia tidak akan dihitung sebagai benar-benar bermain game.

Empat elemen dalam analisis permainan Suits berujung pada definisi berikut:

Bermain permainan berarti mencoba mencapai keadaan tertentu, menggunakan hanya cara yang diizinkan oleh aturan, di mana aturan melarang penggunaan yang lebih efisien demi cara yang kurang efisien, dan di mana aturan diterima hanya karena mereka memungkinkan seperti itu. aktivitas. (Jas, 1978 [2014, 43])

Suits juga menawarkan definisi singkat: 'bermain game adalah upaya sukarela untuk mengatasi rintangan yang tidak perlu' (Suits, 1978 [2014, 43]). Akun game Suits telah menarik banyak perhatian kritis. Pokok di antara keberatan yang diajukan adalah bahwa game tidak dibentuk oleh aturan konstitutifnya saja (D'Agostino, 1981; Russell, 1999) dan bahwa bermain game tidak memerlukan kepatuhan yang ketat terhadap aturan konstitutif (yaitu beberapa pelanggaran aturan dapat konsisten dengan game- bermain) (Lehman, 1981; Fraleigh, 2003).

Suits mengacu pada definisi permainan untuk memberikan definisi olahraga. Dia mendefinisikan olahraga sebagai 'permainan keterampilan fisik' (Suits, 1988, 2), menggabungkan elemen-elemen dari definisi permainan sebelumnya dan menambahkan elemen lebih lanjut yang khas untuk olahraga dibandingkan dengan jenis permainan lainnya. Secara khusus, suatu permainan menjadi olahraga dengan memenuhi kriteria berikut: ‘(1) bahwa permainan tersebut merupakan permainan keterampilan; (2) keterampilan itu bersifat fisik; (3) bahwa permainan memiliki banyak pengikut; dan (4) bahwa berikut ini mencapai tingkat stabilitas tertentu' (Suits, 1973 [2007]). Dengan demikian, hasil permainan harus bergantung pada latihan keterampilan fisik. Inilah yang membedakan permainan olahraga dengan permainan kartu atau catur, misalnya (lihat Kobiela, 2018 dan Hale, 2008). Dalam yang terakhir, cara tubuh dipindahkan tidak relevan, dan yang penting adalah gerakan yang dilakukan (baik dengan kartu atau potongan di papan). Memang, permainan seperti itu dapat dimainkan di ruang non-fisik seperti realitas virtual dan oleh pemain non-manusia seperti komputer. Namun, dalam sepak bola atau tinju, kontrol tubuh yang terampil sangat penting untuk pencapaian tujuan permainan.

Kriteria ketiga dan keempat dalam definisi Suits menuntut agar olahraga diikuti secara luas sebagai permainan yang dilembagakan. Olahraga dilembagakan ketika norma dan aturan yang dikodifikasi ditetapkan dan ditegakkan oleh asosiasi atau organisasi formal. Kriteria pelembagaan sering digunakan dalam analisis sosiologis dan historis olahraga. Misalnya, sejarawan Allen Guttmann (1978) berpendapat bahwa birokratisasi dan rasionalisasi merupakan komponen yang menentukan dari olahraga modern. Filsuf olahraga, bagaimanapun, tetap skeptis tentang kemungkinan mendefinisikan olahraga sebagai permainan yang dilembagakan. Misalnya, Klaus V. Meier (1988) menolak kriteria pelembagaan. Baginya, aspek pelembagaan bukanlah elemen penentu olahraga, melainkan elemen kontingen yang 'menambah warna dan signifikansi olahraga tertentu' (Meier, 1988, 15). Dalam pandangannya, jika sepak bola tidak memiliki pengikut dan institusi internasional untuk menetapkan dan menegakkan aturan permainan, itu akan tetap menjadi olahraga.

Dalam 'Tricky Triad,' Suits merevisi definisi aslinya tentang olahraga dari 'The Elements of Sport', mendefinisikan ulang olahraga sebagai

… peristiwa kompetitif yang melibatkan berbagai keterampilan fisik (biasanya dalam kombinasi dengan lainnya) manusia, di mana peserta yang unggul dinilai telah menunjukkan keterampilan tersebut dengan cara yang unggul. (Jas, 1988: 2)

Dalam definisi ini, Suits mempersempit ruang lingkup konsep 'permainan' dan membedakan antara dua jenis olahraga: 'permainan wasit' dan 'pertunjukan yang dihakimi'. Artinya, dalam definisi sebelumnya semua olahraga adalah permainan. definisi yang direvisi hanya beberapa olahraga adalah permainan, olahraga lainnya adalah pertunjukan. Sepak bola, bola basket, tenis, dan sepak bola Amerika adalah permainan, sedangkan senam, skating, dan menyelam adalah pertunjukan. Perbedaan utama antara keduanya, menurut Suits, adalah bahwa permainan memiliki aturan konstitutif, sedangkan pertunjukan tidak memiliki aturan konstitutif dan hanya memiliki aturan keterampilan. Jadi, untuk Suits, permainan terdiri dari mengatasi rintangan yang didirikan oleh aturan konstitutif, sedangkan pertunjukan berpusat pada perkiraan kinerja yang ideal atau sempurna. Misalnya, pemain sepak bola memainkan bola dengan kaki mereka secara kooperatif sebagai tim untuk memasukkan bola ke gawang lawan. Menggunakan kaki, bekerja sebagai tim, dan menghadapi lawan adalah hambatan yang didirikan oleh aturan sepak bola. Untuk Suits, tidak ada yang seperti ini dalam pertunjukan. Figur skater tidak berusaha mengatasi rintangan. Sebaliknya, mereka mencoba mendekati kinerja ideal yang memanifestasikan kebajikan seperti kekuatan, rahmat, dan imajinasi.

Definisi yang direvisi ini memicu perdebatan klasik dalam filosofi olahraga antara Suits dan Meier. Yang terakhir mengkritik definisi olahraga yang direvisi oleh Suits dan membela yang asli. Bagi Meier (1988), definisi asli Suits benar karena apa yang disebut Suits sebagai 'pertunjukan' juga memiliki aturan konstitutif. Misalnya, pesenam melakukan akrobat mereka di ruang tertentu, menggunakan peralatan tertentu. Kretchmar setuju dengan Meier bahwa kedua jenis olahraga tersebut adalah permainan, tetapi mengakui bahwa pertunjukan lebih menekankan pada kriteria estetika, menyebutnya sebagai 'permainan yang indah' ​​(Kretchmar, 1989). Terlepas dari kritik, definisi Suits tentang permainan dan olahraga berfungsi sebagai titik tolak bagi sebagian besar teori filosofis kontemporer tentang olahraga, sehingga menjadikan Suits sosok yang paling berpengaruh dalam disiplin tersebut.

Beralih ke formalisme secara lebih umum, penganut pandangan ini menganggap aturan sebagai landasan normatif dari analisis etika olahraga yang tepat. Mereka mendefinisikan kebenaran dan kesalahan perilaku dalam olahraga semata-mata dalam hal mengikuti aturan. Para formalis yang ketat berpendapat bahwa seseorang tidak dapat memainkan permainan dan melanggar aturan pada saat yang sama (yaitu 'tesis ketidakcocokan logis'). Jika bermain game membutuhkan kepatuhan terhadap aturan, maka setiap pelanggaran aturan – disengaja atau tidak – menandai akhir dari permainan. Para formalis menentang pelanggaran strategis dan doping karena kedua praktik tersebut melibatkan pelanggaran aturan (Moore, 2017a; Morgan, 1987; Pérez Triviño, 2014).

Analisis formalis olahraga memiliki kesamaan penting dengan perdebatan dalam filsafat hukum tentang sifat hukum. Memang, karya-karya filsuf hukum seperti Ronald Dworkin dan H. L. A. Hart, serta analisis filosofis aturan seperti Immanuel Kant dan John R. Searle, telah berpengaruh dalam formalisme (Kretchmar, 2001; Torres, 2000).

Formalisme telah dikritik sebagai teori normatif olahraga yang tidak memadai karena kegagalannya untuk mengenali norma-norma berbasis non-aturan dalam olahraga. Sebagai formalis tidak mengenali alasan normatif internal untuk olahraga selain aturan itu sendiri, mereka tidak memiliki kriteria untuk mengevaluasi aturan yang ada atau yang diusulkan serta kriteria untuk mengevaluasi tindakan yang tidak dimaksudkan dalam buku aturan. Kretchmar mencoba menyelamatkan formalisme dari kritik ini dengan memanfaatkan Suits dan Searle. Dalam pandangan Kretchmar, para kritikus formalisme mengabaikan fakta bahwa permainan dan, sebuah fortiori, aturan konstitutif diciptakan untuk melayani suatu fungsi: untuk menyediakan masalah buatan yang menarik. Game dibuat oleh manusia untuk manusia. Sifat biologis manusia, dalam istilah Searle, adalah 'fakta kasar' yang dipertimbangkan oleh pembuat game saat membuat aturan. Mereka membuat game yang sesuai dengan kapasitas manusia untuk menghadirkan tantangan yang 'tepat' (Kretchmar, 2015a). Jika tidak, game akan gagal menjalankan fungsinya. Kretchmar berpendapat bahwa akun Suits sudah berisi sumber daya yang diperlukan untuk menjalankan fungsi evaluatif dari teori normatif olahraga yang memadai. Suits berargumen bahwa ketika permainan menjadi hambatan yang sangat sulit atau sangat mudah, individu kehilangan minat untuk memainkannya (Kretchmar, 1975). Permainan seperti itu, kemudian, gagal memenuhi tujuan mereka untuk menyediakan pemain dengan serangkaian rintangan yang layak untuk diatasi.

Kritik lain yang dilontarkan terhadap formalisme adalah implikasi yang tampaknya tidak masuk akal dari tesis ketidakcocokan logis bahwa setiap permainan di mana aturan dilanggar berakhir pada titik di mana pelanggaran aturan terjadi. Jika pelanggaran aturan tidak sesuai dengan permainan, maka pelanggaran aturan yang tidak disengaja atau tidak disengaja akan menyebabkan permainan berakhir. Misalnya, lari cepat 100m akan berhenti ketika pelari melakukan start yang salah. Sebuah permainan bola basket akan berakhir ketika seorang pemain melakukan pelanggaran strategis untuk mencegah lawan mencetak gol dalam istirahat cepat. Pertandingan tenis akan berakhir setiap kali ada pukulan yang keluar. Kaum formalis telah berusaha untuk mengatasi keberatan ini dengan membedakan antara 'aturan konstitutif' dan 'aturan regulatif'. Yang terakhir memungkinkan permainan untuk dipulihkan setelah pelanggaran aturan dengan menentukan bagaimana permainan akan dimulai kembali (misalnya memulai kembali balapan, tendangan bebas, servis kedua) dan bagaimana pelanggar aturan akan dihukum (misalnya didiskualifikasi dari balapan, tendangan penalti yang diberikan kepada tim lawan, kehilangan satu poin). Bagi Graham McFee (2004b), perbedaan aturan konstitutif/aturan regulatif ini tidak menjawab keberatan secara memadai, karena masih belum jelas kapan suatu aturan bersifat konstitutif atau regulatif. Misalnya, pemain lapangan sepak bola yang menggunakan tangannya untuk menghentikan serangan balik akan dianggap sebagai pelanggaran strategis dan, oleh karena itu, dinilai menurut aturan regulatif. Namun, jika pemain terus-menerus menggunakan tangan mereka, permainan akan menjadi tidak mungkin (misalnya semua pemain akhirnya diusir keluar lapangan) atau permainan yang berbeda (misalnya rugby atau bola tangan). Jadi, menurut McFee, aturan harus dipahami berdasarkan bagaimana peserta menggunakannya dalam konteks tertentu. Namun, formalisme tidak menyediakan sumber daya untuk membuat diskriminasi kontekstual ini. Kriteria apa yang harus kita gunakan untuk mengevaluasi aturan olahraga? Kapan kita harus mengubah aturan olahraga? Bisakah kita mengevaluasi kebutuhan yang diakui untuk perubahan aturan tanpa menarik beberapa pertimbangan selain aturan itu sendiri?


2.2 Konvensionalisme

Konvensionalisme mencoba mengatasi keterbatasan formalisme dengan mengakui signifikansi normatif dari aturan main yang tidak tertulis. Untuk konvensionalis, aturan tidak menguras sumber alasan normatif dalam olahraga. Konvensionalis berpendapat bahwa aturan (baik konstitutif atau regulatif) tidak dapat menentukan aplikasi mereka sendiri dan mereka gagal untuk memberikan panduan untuk semua kemungkinan yang mungkin terjadi dalam permainan (misalnya situasi yang tidak dibayangkan oleh pembuat aturan). Selain itu, pendekatan yang berpusat pada aturan secara ketat gagal menjelaskan keberadaan norma tidak tertulis yang melengkapi aturan. Norma-norma semacam itu ada secara independen, dan terkadang bertentangan dengan, aturan-aturan formal.

Para konvensionalis berpendapat bahwa catatan olahraga yang memadai harus mengacu pada norma-norma yang disepakati secara kolektif yang disebut 'konvensi'. Fred D'Agostino, pelopor konvensionalisme, menyatakan bahwa konvensi yang beroperasi dalam permainan merupakan 'etos' permainan. Etos permainan adalah 'set konvensi implisit tidak resmi yang menentukan bagaimana aturan permainan diterapkan dalam keadaan konkret' (D'Agostino, 1981, 15). Jadi, dari perspektif konvensionalis, olahraga terdiri dari aturan formal dan konvensi. Misalnya, dalam sepak bola, konvensi menyatakan bahwa bola harus dikeluarkan dari permainan ketika ada pemain yang membutuhkan perhatian medis. Tidak ada aturan tertulis yang menuntut pemain menendang bola keluar dari permainan dalam keadaan seperti itu. Namun, setiap pemain yang gagal melakukannya akan disalahkan dan ditegur. Konvensionalisme lebih siap daripada formalisme untuk menggambarkan dan memahami bagaimana olahraga sebenarnya dipraktikkan dalam konteks tertentu. Misalnya, meskipun memainkan permainan yang sama, pemain sepak bola amatir dalam permainan pick-up dan pemain profesional di final Piala Dunia menerapkan buku aturan secara berbeda (misalnya, amatir sering menangguhkan aturan offside, sedangkan aturan sangat penting di tingkat profesional). Demikian juga, aturan non-kontak dan bepergian dalam bola basket diterapkan secara berbeda tergantung pada konteksnya.

Kritikus mengakui bahwa konvensionalisme adalah teori deskriptif olahraga yang bermanfaat, tetapi menunjukkan bahwa implikasi normatifnya bermasalah (Ciomaga, 2013). Misalnya, meskipun formalisme tidak memiliki sumber daya untuk membedakan aturan yang baik dari aturan yang buruk, telah dikemukakan bahwa konvensionalisme juga tidak memiliki 'kelebihan kritis', karena gagal menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk membedakan konvensi yang baik dari yang buruk (Simon et al., 2015). ). Bahwa sebuah konvensi sebenarnya beroperasi dalam olahraga tidak menyelesaikan pertanyaan apakah konvensi itu harus beroperasi. Singkatnya, kaum konvensionalis tampaknya menganggap status quo sebagai normatif. Implikasi dari konvensionalisme tampaknya adalah, bahwa konvensi yang secara nyata tidak dapat diterima (misalnya 'jangan pernah mengoper bola kepada orang kulit hitam' atau 'meludahi anggota tim lawan bila memungkinkan') dapat menjadi normatif pada skema konvensionalis.

Menggambar pada karya David Lewis dan Andrei Marmor tentang konvensi, para konvensionalis telah berusaha untuk mengatasi keberatan ini dengan membedakan konvensi 'dalam' dari konvensi 'permukaan' (Morgan, 2012). Pandangan ini disebut 'konvensionalisme mendalam'. Konvensi permukaan adalah apa yang disebut Lewis sebagai konvensi 'koordinasi'. Fungsi utama mereka adalah membantu individu untuk menyelesaikan masalah kolektif yang berulang. Misalnya, Morgan berpendapat bahwa, ketika berpartisipasi dalam permainan, pemain mungkin menghadapi situasi yang memerlukan pengambilan keputusan kolektif terkait dengan penerapan aturan tertentu atau peristiwa yang mengganggu alur permainan. Untuk mengatasi masalah ini, peserta menyelaraskan tindakan mereka dengan setuju untuk menegakkan aturan tidak tertulis yang sama.

Konvensi yang mendalam tidak berhubungan dengan pemecahan masalah dan koordinasi. Sebaliknya, mereka adalah 'tanggapan normatif terhadap kebutuhan psikologis dan sosial yang mendalam untuk bermain olahraga' (Morgan, 2015, 39). Dengan kata lain, konvensi yang mendalam membentuk olahraga ke dalam berbagai bentuk sejarah dan sosial yang telah mereka ambil. Misalnya, prinsip dan cita-cita yang mendasari pandangan amatir tentang olahraga, yang menurutnya para peserta terlibat dalam permainan terutama karena menyukainya, adalah kesepakatan yang mendalam. Dengan demikian, konvensi mendalam olahraga menentukan titik olahraga itu dan memberikan alasan untuk memainkan olahraga dengan cara tertentu dengan menetapkan apa yang dianggap dapat dipahami dan dibenarkan secara normatif dalam olahraga itu. Misalnya, atlet amatir sering melihat olahraga sebagai usaha sempurna yang dikejar untuk kepentingannya sendiri. Mereka bermain olahraga untuk cinta permainan bukan untuk keuntungan instrumental. Penekanan amatir pada nilai intrinsik olahraga kontras dengan pandangan profesional tentang olahraga. Bagi para profesional, olahraga cenderung dipandang sebagai pekerjaan instrumental yang serius, yaitu sarana untuk mencari nafkah (Morgan, 2015, 40–41). Dengan demikian, amatir dan profesional mengevaluasi praktik yang berbeda seperti pelatihan, doping, dan penyusunan strategi. Sementara para profesional merangkul perilaku yang meningkatkan peluang mereka untuk menang, amatir seringkali lebih cerdas, menolak praktik-praktik seperti pelatih profesional dan pelanggaran strategis dengan alasan bahwa mereka merugikan penekanan apresiasi latihan itu sendiri, bukan tujuan instrumental yang dicapai melalui dia.

Menanggapi kritik terhadap konvensionalisme, Morgan berpendapat bahwa konvensi yang mendalam memberikan kriteria evaluatif dimana kedudukan moral dari konvensi permukaan dapat dinilai. Namun, masih belum jelas apakah Morgan merespons dengan memuaskan kritik yang ditujukan terhadap konvensionalisme yang mendalam (Moore, 2018). Bagaimana konvensi dalam dapat dibedakan dari konvensi permukaan? Apakah konvensionalisme yang mendalam hanya menggeser masalah 'tepi kritis' ke tingkat konvensi yang dalam? Sumber daya apa yang disediakan oleh konvensionalisme yang dalam untuk mengevaluasi konvensi yang mendalam?


2.3 Internalisme Luas (Interpretivisme)

Berbeda dengan para formalis yang melihat olahraga sebagai hanya berdasarkan aturan dan konvensionalis yang menganggap olahraga dibentuk oleh aturan dan konvensi, internalis luas berpendapat bahwa olahraga dibentuk oleh aturan, konvensi, serta prinsip-prinsip intrinsik yang mendasarinya (Russell, 1999; Simon et al., 2015). Menurut Robert L. Simon, salah satu pelopor pandangan ini, 'internalisme luas mengklaim bahwa selain aturan berbagai olahraga, ada prinsip-prinsip mendasar yang mungkin tertanam dalam teori keseluruhan atau catatan olahraga sebagai praktik' (Simon , 2000, 7). Prinsip-prinsip intrinsik adalah kunci bagi internalis yang luas, karena mereka memberikan dasar untuk menafsirkan atau memahami praktik olahraga. Prinsip-prinsip tersebut adalah 'praanggapan praktik olahraga dalam arti bahwa mereka harus diterima jika praktik olahraga kita masuk akal atau, mungkin, masuk akal' (Simon et al., 2015, 32). Kaum formalis dan konvensionalis gagal memberikan pengakuan yang semestinya terhadap gagasan bahwa aturan dan konvensi harus ditafsirkan dan diterapkan untuk menghormati dan mempromosikan prinsip-prinsip normatif yang menentukan titik praktik.

Teori hukum interpretivis Ronald Dworkin menyatakan bahwa hukum harus ditafsirkan sesuai dengan prinsip-prinsip (misalnya keadilan) yang tanpanya praktik hukum tidak akan masuk akal. Interpretivisme sangat mempengaruhi perumusan Simon tentang internalisme luas. Ini mungkin tidak mengejutkan karena beberapa internalis luas menganggap olahraga sebagai jenis sistem hukum dengan yurisprudensinya sendiri (mis. Russell. 2015). Menurut pandangan Simon, olahraga ditafsirkan dengan mengacu pada prinsip-prinsip intrinsik, terpisah dari aturan dan konvensi, yang menentukan logika praktik. Keadilan dan keunggulan kompetitif adalah contoh dari prinsip-prinsip tersebut. Tanpa mereka, lanjut argumen Simon, latihan olahraga tidak akan masuk akal. Menggambar pada pemahaman yang berbeda dari prinsip-prinsip intrinsik yang mendasari olahraga, tiga pendekatan internalis yang luas telah dirumuskan: kontraktualisme, akun 'menghormati integritas permainan', dan mutualisme.

Pendekatan kontraktualis menyatakan bahwa olahraga dimungkinkan oleh kontrak sosial implisit di antara para peserta. Persetujuan untuk mengambil bagian dalam latihan dan mematuhi seperangkat aturan dan konvensi tertentu memberikan validitas normatif terhadap aturan dan konvensi yang ditegakkan selama pertandingan. Misalnya, Warren P. Fraleigh berpendapat bahwa olahraga dimungkinkan tidak hanya oleh aturan, tetapi juga oleh fakta bahwa para pemain setuju untuk mengikutinya (Fraleigh, 1984). Acara peresmian sebelum acara olahraga melambangkan pakta implisit semacam itu. Di Olimpiade, misalnya, negara-negara berparade dengan bendera nasional masing-masing selama upacara pembukaan dan, seperti di Olimpiade Kuno (Miller, 2006), para pesaing bersumpah, setuju untuk mematuhi aturan dan semangat permainan yang adil. .

Pendekatan 'menghormati integritas permainan' diusulkan oleh Robert Butcher dan Angela Schneider (Butcher dan Schneider, 1998). Ini berfokus pada mengidentifikasi minat game, yaitu, minat game itu sendiri terpisah dari minat pemain. Kepentingan-kepentingan ini, demikian argumennya, harus dihormati oleh semua yang terlibat. Permainan dianggap sebagai entitas yang secara intrinsik bernilai yang menuntut rasa hormat. Untuk menyempurnakan gagasan bahwa permainan itu sendiri mungkin memiliki minat, Butcher dan Schneider memanfaatkan teori olahraga Kretchmar sebagai kontes yang bertujuan untuk membandingkan penampilan para peserta dan gagasan Alasdair MacIntyre tentang 'praktik sosial'. Menggabungkan pandangan ini, Butcher dan Schneider berpendapat bahwa permainan adalah kegiatan di mana peserta saling menguji baik untuk menemukan siapa yang lebih unggul dalam olahraga itu dan untuk mencapai barang dan keunggulan tertentu yang ada di dalam latihan. Barang dan keunggulan ini terkait dengan sifat khas olahraga dan pengalaman para peserta saat terlibat di dalamnya. Misalnya, kemampuan menendang bola dengan terampil – membuat operan yang indah – adalah kebaikan intrinsik sepak bola.

Landasan pandangan mutualis adalah pemahaman kompetisi olahraga sebagai 'pencarian keunggulan yang dapat diterima bersama melalui tantangan' (Simon et al., 2015: 47). Robert L. Simon, Cesar R. Torres, dan Peter F. Hager telah memberikan penjelasan paling rinci tentang pendekatan ini. Mereka berpendapat bahwa mutualisme adalah teori filosofis yang paling baik memahami olahraga.

John S. Russell memberikan penjelasan serupa tentang olahraga, di mana

… aturan harus ditafsirkan sedemikian rupa sehingga keunggulan yang diwujudkan dalam mencapai tujuan permainan yang indah tidak dirusak tetapi dipertahankan dan dipupuk. (Russell, 1999, 35)

Bagi Russell, seperti halnya Simon, internalisme yang luas 'menghasilkan [s] akun yang koheren dan berprinsip tentang titik dan tujuan yang mendasari permainan, mencoba menunjukkan permainan dalam cahaya terbaiknya' (Russell, 1999, 35).

Sebagai ilustrasi, Russell (1999) menceritakan pertandingan bisbol dari tahun 1887 antara Louisville dan Brooklyn di mana seorang pemain Louisville, Reddy Mack, yang baru saja melewati home plate mengganggu seorang penangkap Brooklyn, mencegahnya menandai pelari Louisville lainnya. Sementara interferensi sedang berlangsung, pemain Louisville lain melewati home plate. Yang terpenting, pada saat pertandingan, aturan melarang hanya pelari base yang mengganggu fielder. Namun, ketika Mack mengganggu fielder Brooklyn, dia tidak lagi menjadi pelari, karena dia telah melewati home plate. Jadi, aturan itu tidak secara eksplisit melarang Mack mengganggu fielder. Jika wasit mengikuti aturan dengan ketat, maka campur tangan Mack seharusnya diizinkan, dan pelari yang mengikuti Mack ke home plate seharusnya tidak dikesampingkan. Namun, seperti dicatat Russell, mengikuti aturan dengan cara ini akan mengundang gangguan lebih lanjut dari pemain lapangan oleh pelari non-base, sehingga permainan kemungkinan akan turun menjadi 'pertandingan gulat sembilan-inning' (Russell, 1999: 28) . Untuk mencegah hasil seperti itu, wasit membuat peraturan yang melarang pelari non-base untuk mengganggu fielder. Jadi, dia memanggil pelari yang berhasil mencapai home plate mengikuti Mack. Pelaksanaan kebijaksanaan ini tidak kemudian dibatalkan, dan itu memicu perubahan aturan untuk melarang pelari non-base mengganggu fielder. Memang, tampaknya perlu berangkat dari aturan untuk melindungi sifat olahraga. Wasit mungkin dipahami telah mempertimbangkan tujuan olahraga dalam memutuskan bagaimana dia harus mengatur insiden ini. Baseball adalah olahraga yang menguji keunggulan dalam berlari, memukul, melempar, dan menangkap – tetapi bukan gulat. Wasit menafsirkan (dan mengamandemen) peraturan sesuai dengan tujuan yang mendasari olahraga tersebut. Singkatnya, wasit harus mengacu pada prinsip-prinsip yang mendasari aturan dan konvensi untuk memutuskan bagaimana aturan harus diterapkan, dan, dalam hal ini, untuk membaca aturan menjadi ada. Dalam menciptakan aturan untuk mengatur situasi ini yang mungkin tidak pernah disetujui oleh pembuat aturan, wasit melindungi integritas permainan. Untuk internalis yang luas, contoh ini menunjukkan perlunya mengacu pada prinsip-prinsip yang mendahului aturan dan konvensi.

Akun internalis luas menghubungkan olahraga dengan mengejar keunggulan, karena mereka biasanya melihat tujuan mendasar dari kompetisi olahraga sebagai tampilan keunggulan olahraga. Hubungan antara kompetisi dan keunggulan memungkinkan para filsuf mutualis untuk mengembangkan pandangan kritis-pedagogis tentang sifat kompetitif olahraga. Pandangan ini menantang penekanan kuat yang ditempatkan pada kemenangan di tingkat elit. Bagi Simon, ketika kemenangan terlalu ditekankan, olahraga dilihat sebagai permainan 'zero-sum' (Simon, 2014), yaitu, permainan di mana hanya pemenang yang dapat mengambil manfaat dari partisipasi.

Dalam pandangan mutualis, olahraga adalah permainan 'non-zero-sum'. Semua pemain bisa mendapatkan keuntungan dari partisipasi, bahkan mereka yang kalah. Melalui kompetisi, pemain saling mendorong untuk tampil dan berkembang. Sementara hanya satu pemain atau tim yang bisa menang, semua bisa mendapatkan keuntungan dari bersaing, karena kompetisi dapat memberikan jalan untuk lebih menyempurnakan kemampuan seseorang. Ketika olahraga dalam kondisi terbaiknya, para pesaing berjuang secara kooperatif untuk mencapai keunggulan. Pada pandangan ini, prinsip intrinsik olahraga tidak berkisar pada mengejar kemenangan, tetapi penanaman keunggulan. Menggambar pada MacIntyre, para filsuf mutualis berpendapat bahwa barang-barang yang lebih langsung terhubung dengan kemenangan adalah eksternal dari praktik, sedangkan yang terkait dengan keunggulan bersifat internal (McFee, 2004a). Mutualisme adalah kisah olahraga teleologis yang diilhami oleh Aristotelian, di mana tujuan olahraga dipahami sebagai promosi kemajuan manusia. Pandangan olahraga ini bergema dengan Gerakan Olimpiade dan pendirinya Pierre de Coubertin (Loland, 1995).

Internalisme yang luas telah dikritik atas tiga alasan utama: karena gagal untuk secara memadai mengakui pentingnya sejarah bagi penjelasan normatif yang tepat tentang olahraga; karena ketergantungannya pada prinsip-prinsip interpretatif yang terlalu kabur untuk memberikan panduan praktis apa pun untuk pengambilan keputusan dalam olahraga (Morgan, 2016); dan untuk menyampaikan laporan olahraga yang tidak lengkap (Kretchmar, 2015b; Nguyen, 2017). Menggambar pada Thomas Nagel, Morgan berpendapat bahwa internalisme yang luas memberikan gagasan 'pandangan entah dari mana' tentang olahraga yang gagal mengakui situasi historis dan sosial dari praktik olahraga (Morgan, 2012). Kretchmar berpendapat bahwa internalisme yang luas memberikan pandangan terbatas tentang olahraga yang dibangun di atas nilai kerja dan keunggulan (Kretchmar, 2016). Dalam pandangan ini, kita harus pluralis, bukan monis, tentang nilai intrinsik olahraga. Keunggulan menangkap beberapa nilai intrinsik olahraga, tetapi itu hanya sebagian. Mengutip Russell, mutualisme menunjukkan olahraga hanya dalam satu cahaya terbaiknya.


3. Topik Filsafat Olahraga

Pada bagian ini, kami mengeksplorasi masalah filosofis sentral yang muncul dalam olahraga dan bagaimana mereka telah ditangani dalam literatur. Secara khusus, kami memetakan lanskap dari tujuh masalah etika utama berikut: (a) sportivitas; (b) kecurangan; (c) peningkatan kinerja; (d) olahraga yang berbahaya dan penuh kekerasan; (e) jenis kelamin, jenis kelamin, dan ras; (f) penggemar dan penonton; (g) olahraga disabilitas; dan (h) estetika olahraga.


3.1 Sportifitas

Sportivitas adalah kebajikan olahraga yang paling penting. Ini juga dianggap penting untuk kehidupan sipil dan budaya di luar olahraga (Sabl, 2008). Namun demikian, konsep tersebut telah menerima sedikit perhatian filosofis. Literatur tentang sportivitas menyatu pada pandangan bahwa kebajikan ini membutuhkan lebih dari sekadar kepatuhan terhadap aturan formal. Namun, ada dua perselisihan utama dalam literatur: apakah sportivitas adalah kebajikan di semua tingkat olahraga atau hanya di tingkat rekreasi dan apakah sportivitas adalah konsep terpadu atau sekelompok kebajikan yang berbeda.

Titik tolak tradisional dalam debat sportivitas adalah 'Is Sportsmanship a Moral Category?' karya James W. Keating (1965). Dalam hal ini, ada perbedaan moral antara 'olahraga' (olahraga rekreasi) dan 'atletik' (olahraga kompetitif). Standar etika yang sesuai untuk olahraga di tingkat rekreasi tidak setara dengan yang sesuai di tingkat kompetitif. Memang, perilaku yang sesuai dengan olahraga rekreasi mungkin secara moral tidak pantas di tingkat kompetitif dan sebaliknya. Diskontinuitas moral antara olahraga rekreasi dan olahraga kompetitif meluas ke sportivitas. Secara khusus, karena tujuan olahraga rekreasi adalah 'pengalihan yang menyenangkan', esensi sportifitas dalam konteks itu adalah 'kedermawanan' (Keating, 1965, 34). Hal ini menuntut peserta untuk selalu berusaha meningkatkan kenikmatan kegiatan baik untuk diri sendiri maupun peserta lain. Dalam atletik, di mana tujuan utamanya adalah 'kemenangan yang terhormat', sportivitas membutuhkan 'keadilan'. Jenis keadilan yang dimaksud adalah keadilan formal – 'kesetaraan di depan hukum' (Keating, 1965, 34). Penerapan aturan yang setara dan tidak memihak, sebagaimana ditentukan oleh keadilan formal, konon membantu memastikan bahwa kompetisi memenuhi tujuannya sebagai ujian keunggulan atletik dan bahwa kemenangan dengan benar melacak keunggulan atletik (Keating, 1965, 34).

Perbedaan Keating antara olahraga dan atletik telah diperebutkan. Simon dkk. (2015) telah menyarankan bahwa perbedaan ini terlalu tajam. Kontes yang diberikan dapat mengandung unsur olahraga dan atletik. Selain itu, sportivitas membutuhkan lebih dari, seperti yang disarankan Keating, kemurahan hati kepada lawan atau kesetiaan pada aturan. Tidak hanya sportivitas membutuhkan penghormatan terhadap prinsip-prinsip yang mendukung kompetisi yang dapat dipertahankan secara moral, tetapi juga membutuhkan tindakan positif untuk melindungi dan mempromosikan prinsip-prinsip ini. Randolph Feezell (1986) menawarkan pemahaman tentang sportivitas yang seolah-olah menggabungkan keduanya, karena sportivitas dipahami sebagai arti antara keseriusan yang berlebihan dan kesenangan yang berlebihan dalam olahraga.

Diana Abad (2010) berpendapat bahwa sportivitas seharusnya tidak, seperti yang biasanya diasumsikan, diperlakukan sebagai konsep terpadu. Sebaliknya, sportivitas dibentuk oleh empat elemen yang tidak dapat direduksi: keadilan, kesetaraan, bentuk atau kehormatan yang baik, dan keinginan untuk menang. Elemen-elemen ini tidak hanya berbeda secara analitis tetapi juga berpotensi tidak kompatibel. Namun, dia berpendapat bahwa konflik antara nilai-nilai ini dapat diselesaikan dengan mencapai 'keseimbangan' yang tepat antara elemen-elemen yang saling bertentangan.


3.2 Kecurangan

Berbeda dengan sportivitas, kecurangan mewakili, setidaknya prima facie, bentuk utama dari kegagalan moral dalam olahraga.

Selingkuh telah terbukti menjadi konsep yang sangat sulit untuk didefinisikan. Pemahaman yang masuk akal tentang kecurangan sebagai 'pelanggaran aturan yang disengaja untuk mendapatkan keunggulan kompetitif' penuh dengan kesulitan (Green, 2006; Russell, 2017). Misalnya, jika menyontek merupakan jenis pelanggaran aturan, bagaimana dengan pelanggaran konvensi dan norma lain yang tidak tercakup dalam aturan formal? Jika kecurangan harus ditujukan untuk pencapaian keunggulan kompetitif, bagaimana dengan pelanggaran aturan yang disengaja yang bertujuan untuk memperbaiki ketidakadilan sebelumnya (misalnya kecurangan atau kesalahan wasit) yang menguntungkan lawan?

Mengesampingkan masalah definisi dan beralih ke status moral menyontek, keberatan moral untuk menyontek biasanya bertumpu pada dua argumen utama. Yang pertama mengajukan tesis ketidakcocokan logis – gagasan bahwa pelanggaran aturan tidak kompatibel dengan bermain game, karena bermain game membutuhkan kepatuhan yang ketat terhadap aturan (lihat bagian 2.1). Argumen ini dapat membenarkan pelarangan hanya bentuk-bentuk kecurangan yang melibatkan pelanggaran aturan: argumen ini tidak dapat menjadi dasar keberatan terhadap kecurangan yang melibatkan pelanggaran konvensi atau prinsip-prinsip internalis yang luas. Argumen kedua bergantung pada gagasan bahwa curang adalah upaya untuk mendapatkan keuntungan yang tidak adil, yaitu keuntungan yang tidak diizinkan berdasarkan kesepakatan antara pemain atau seperangkat norma yang diharapkan dipatuhi oleh pemain (Gert, 2004). Keberatan berbasis keadilan tidak boleh menjadi dasar larangan untuk kecurangan 'pembalasan' atau 'kompensasi' yang dilakukan untuk menegakkan kembali keadilan menyusul ketidakadilan yang telah menempatkan pesaing pada kerugian yang tidak adil (Kirkwood, 2012).

Ketidakbolehan moral menyontek telah ditentang dari beberapa arah. Kasus pengendara sepeda Lance Armstrong telah memberikan titik fokus untuk beberapa perdebatan ini (Moore, 2017b; Pike dan Cordell, akan datang): apakah curang salah jika pesaing seseorang (atau setidaknya sebagian besar pesaingnya) juga curang? Artinya, apakah kewajiban seseorang untuk tidak menyontek berhenti jika pesaingnya tidak melaksanakan kewajibannya untuk tidak menyontek? Di sini masalah etika dalam teori non-ideal (yaitu bertindak dalam kondisi kepatuhan sebagian terhadap keadilan) muncul dalam olahraga.

Oliver Leaman berpendapat bahwa curang dapat menjadi bagian dari keterampilan dan strategi permainan, sehingga menambah kegembiraan dan minat permainan bagi pemain dan penonton. Jika kecurangan diterima sebagai bagian dari permainan sehingga semua pesaing mengakui kecurangan sebagai pilihan (apakah mereka memanfaatkan pilihan itu atau tidak), maka kekhawatiran atas kesetaraan dan keadilan tidak muncul (Leaman, 1981) Dalam keadaan ini, menurut Leaman , kecurangan akan diizinkan secara moral.

Hugh Upton (2011) telah melangkah lebih jauh untuk menyarankan tidak hanya bahwa menyontek mungkin secara moral diperbolehkan dalam keadaan tertentu tetapi seseorang mungkin secara moral diharuskan untuk curang. Persyaratan moral ini muncul secara khusus dalam olahraga tim di mana, dari kewajiban loyalitas, seorang pemain dapat berutang upaya maksimal kepada rekan satu timnya untuk memenangkan permainan hanya dengan tunduk pada persyaratan permainan yang adil yang secara rutin diamati dalam olahraga. Mematuhi standar permainan yang adil yang biasanya tidak diamati dalam olahraga mungkin 'memanjakan diri sendiri', menunjukkan perhatian yang tidak semestinya terhadap kepatutan etis seseorang dengan mengorbankan rekan satu timnya. Dalam pandangan ini, kewajiban untuk tidak mengecewakan rekan satu tim mungkin menyiratkan kewajiban untuk curang.

Akhirnya, perlu diperhatikan diskusi terkait tentang 'keahlian permainan'. Ini adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan perilaku yang tidak termasuk kecurangan (karena tidak melanggar aturan formal) tetapi secara moral meragukan. Tindakan tersebut dapat mencakup intimidasi terhadap lawan, manipulasi ofisial, atau gangguan yang disengaja terhadap persiapan lawan (misalnya batuk saat dia akan melakukan putt). Gamesmanship dapat menambah ujian ketahanan psikologis seseorang untuk kontes olahraga, tetapi ini dapat mengurangi kontes sebagai ujian keunggulan atletik (Howe, 2004). Meskipun perilaku seperti itu tidak dilarang secara formal, hal itu menjadi pertanyaan yang harus direnungkan oleh setiap atlet: apa yang harus saya persiapkan untuk menang?


3.3 Peningkatan Kinerja

Para atlet telah berusaha untuk meningkatkan penampilan mereka dengan menggunakan berbagai peningkat performa yang berbeda, mulai dari zat farmasi (misalnya steroid anabolik) hingga peralatan (misalnya, pakaian renang 100% poliuretan seluruh tubuh), dengan manipulasi genetik yang tampaknya akan segera terjadi. Manakah, jika ada, metode peningkatan kinerja yang diperbolehkan dalam olahraga? Apakah ada alasan bagus untuk membatasi penggunaannya, atau haruskah atlet bebas menggunakan metode apa pun yang mereka pilih? Perdebatan ini menyentuh inti pertanyaan mengenai tujuan kompetisi olahraga dan apa yang dianggap sebagai kinerja atletik yang sangat baik (Mller, Hoberman, dan Waddington, 2015).

Bentuk peningkatan yang paling banyak dibahas adalah penggunaan obat peningkat kinerja (yaitu 'doping'). Ada tiga pihak dalam perdebatan doping: 'pro-doping', 'anti-doping', dan 'anti-anti-doping' (McNamee 2008; Murray 2016: 128–133). Mereka yang menganggap doping sebagai praktik yang dapat diterima secara moral yang tidak boleh dilarang dari olahraga adalah pro-doping. Bagi mereka, penggunaan metode atau zat peningkatan kinerja dibenarkan karena sejalan dengan gagasan bahwa tujuan utama olahraga adalah untuk berusaha menjadi lebih baik atau, lebih luas, sejalan dengan dorongan alami manusia untuk menciptakan alat untuk mencapai tujuan kita. tujuan (Brown, 1980, 1984; Møller, 2009; Savulescu, Foddy, dan Clayton, 2004). Misalnya, Savulescu et al. berpendapat: 'Jauh dari melawan semangat olahraga, manipulasi biologis mewujudkan semangat manusia - kapasitas untuk meningkatkan diri kita sendiri berdasarkan alasan dan penilaian' (Savulescu et al., 2004, 667). Argumen pro-doping biasanya mengandalkan klaim bahwa doping secara moral setara dengan penggunaan teknologi olahraga lain atau intervensi medis yang diterima secara luas dalam olahraga (misalnya sepatu lari yang empuk, raket tenis grafit, atau operasi mata Lasik). Jika kita mengizinkan penggunaannya, demikian argumennya, maka tidak rasional untuk melarang penggunaan zat peningkat kinerja (Murray, 2018).

Pihak anti-doping berpendapat bahwa pembatasan penggunaan metode peningkatan kinerja dapat dibenarkan. Mereka biasanya menarik salah satu argumen berikut: (a) peningkatan kinerja bertentangan dengan sifat intrinsik olahraga dengan merusak tujuan utamanya - budidaya dan tampilan keunggulan olahraga (Devine, 2011; Sandel, 2007); (b) peningkatan kinerja membahayakan keadilan persaingan dengan memberikan keuntungan yang tidak adil kepada penggunanya (Douglas, 2007; Loland, 2002); (c) peningkatan kinerja memberikan pengaruh negatif dan berbahaya bagi masyarakat, terutama kaum muda, dengan menyebarluaskan penerimaan penggunaan narkoba (Pound, 2006); (d) peningkatan kinerja secara intrinsik tidak bermoral karena merupakan ekspresi karakter yang rusak secara moral atau melanggar nilai moral (misalnya keaslian atau kealamian) (Bonte dan Tolleneer, 2013; Habermas, 2003; Sandel, 2009); dan (e) peningkatan kinerja berbahaya bagi peserta (Hølm, 2007; Kayser dan Broers, 2015; Savulescu, 2015).

Akhirnya, para pendukung pandangan anti-doping secara moral keberatan dengan implikasi praktis dari peraturan anti-doping (terutama yang berkaitan dengan pemolisian penggunaan obat peningkat kinerja). Dalam pandangan ini, larangan obat-obatan peningkat kinerja tidak boleh diberlakukan, bahkan jika pada prinsipnya dapat dibenarkan, karena penerapan larangan semacam itu pasti akan melibatkan praktik-praktik yang tidak pantas secara moral. Argumen anti-doping mengkritik perjuangan melawan doping dengan alasan bahwa biayanya terlalu mahal (baik dari segi ekonomi maupun moral) dan tidak mendapatkan manfaat yang memadai dalam hal promosi kepatuhan dan identifikasi ketidakpatuhan terhadap aturan anti-doping (Kayser et al., 2005, 2007). Pendukung pandangan ini mungkin mendukung keberatan prinsip untuk doping tetapi percaya bahwa persyaratan institusional untuk kepolisian larangan semacam itu tidak dapat dibenarkan secara moral. Keberatan tersebut mencakup kekhawatiran bahwa kerangka kelembagaan yang terkait dengan anti-doping melibatkan pelanggaran hak-hak atlet (Tamburrini, 2013), bahwa kebijakan anti-doping terlalu mirip dengan sistem peradilan pidana (Kornbeck, 2013), dan bahwa asumsi normatif yang mendukung kampanye anti-doping secara moral bermasalah. Pendukung anti-doping mengusulkan peraturan alternatif yang sering melibatkan legalisasi zat dan metode yang saat ini dilarang (Pérez Triviño, 2013; Tamburrini, 2000b; Tamburrini dan Tännsjö, 2005; Tännsjö, 2009) atau adopsi pendekatan pengurangan dampak buruk ( Kayser dkk., 2005, 2007).


3.4 Olahraga Keras dan Berbahaya

Paparan risiko cedera fisik yang signifikan merupakan bagian dari partisipasi dalam banyak olahraga. Kategori 'olahraga berbahaya' termasuk olahraga tanpa kekerasan seperti panjat tebing dan ski lereng, olahraga tabrakan seperti American football dan rugby union, dan olahraga pertarungan seperti tinju dan seni bela diri campuran. Apa nilai dari olahraga berbahaya, dan bagaimana, jika ada, negara harus mengatur kegiatan tersebut melalui kebijakan publik?

ssell berpendapat bahwa olahraga berbahaya memanifestasikan bentuk nilai yang berbeda (2005). Nilai mereka terletak pada ideal perfeksionis dari 'penegasan diri', di mana kita menantang dan melawan batas-batas kehidupan kita yang biasa dan berusaha untuk memperluas batas-batas itu untuk melampaui batas-batas yang tampak dari keberadaan kita (Russell, 2005). Russell lebih lanjut berpendapat bahwa jenis olahraga ini dapat memberikan manfaat praktis khusus bagi anak-anak. Kegiatan tersebut menempatkan anak dalam konteks di mana mereka harus menghadapi bahaya, sehingga mempersiapkan anak untuk dewasa, serta membantu anak untuk menemukan dan menegaskan aspek dirinya (Russell, 2007).

Yang lain menyarankan bahwa, dalam bentuknya saat ini, olahraga tabrakan seperti sepak bola Amerika dan olahraga tempur seperti tinju harus dilarang oleh negara. Nicholas Dixon (2001) berargumen atas dasar otonomi bahwa tinju yang melibatkan pukulan ke kepala harus dilarang, tetapi tinju yang membatasi area target yang diizinkan hingga area antara pinggang dan kepala harus diizinkan. Yang lain telah mempertahankan status quo dengan alasan bahwa setiap upaya untuk mengkriminalisasi tinju akan menyebabkan olahraga bergerak di bawah tanah di mana lebih banyak kerugian dapat terjadi (Warburton, 1998).

Pam Sailors (2015) berpendapat bahwa sepak bola Amerika, baik di tingkat profesional maupun amatir, secara moral tidak pantas, meskipun dia tidak mengusulkan larangannya. Dia mendasarkan keberatan ini pada kerugian pada pemain, objektifikasi pemain, dan kerugian yang dilakukan oleh pemain terhadap non-pemain. Angelo Corlett (2019) berpendapat, lebih sempit, bahwa larangan sepak bola Amerika di tingkat antar-perguruan tinggi dapat dibenarkan karena besarnya biaya perawatan kesehatan dan medis yang harus ditanggung oleh masyarakat umum yang timbul dari cedera terkait. Mike McNamee dan Francisco Javier Lopez Frias telah menyerukan agar berhati-hati mengenai usulan larangan sepak bola Amerika dan olahraga tabrakan lainnya yang menimbulkan risiko cedera otak permanen. Secara khusus, mereka secara kritis menganalisis argumen untuk penghapusan olahraga semacam itu yang mengacu pada prinsip dominasi konsensual Mill. Argumen-argumen ini menyamakan keputusan bermain sepak bola dengan menjual diri sebagai budak (dominasi konsensual). Menurut Lopez Frias dan McNamee (2017), manusia harus diizinkan untuk mengejar jenis kehidupan yang memiliki alasan untuk mereka hargai, bahkan jika itu melibatkan dominasi konsensual. Bagi mereka, sifat barang yang dikejar orang dalam hidup mereka mungkin membenarkan pengorbanan otonomi masa depan. Selain itu, mereka menantang gagasan bahwa cedera terkait CTE secara moral setara dengan kerugian yang timbul dari dominasi konsensual. Dalam makalah terakhir, Lopez Frias dan McNamee mengusulkan bahwa satu solusi yang mungkin untuk perdebatan tentang reformasi atau larangan olahraga semacam itu harus memiliki konsep 'kebaikan sosial' (Lopez Frias dan McNamee, 2019).


3.5 Jenis Kelamin, Gender, dan Ras

Kompetisi olahraga secara tradisional telah dipisahkan berdasarkan jenis kelamin di sepanjang perbedaan biner 'pria / wanita', dan tantangan terhadap pemahaman yang berlaku tentang seks dan gender telah terdengar dalam komunitas olahraga sejak tahun 1960-an. Dua pertanyaan utama berkaitan dengan jenis kelamin dan gender muncul dalam olahraga: apakah pemisahan jenis kelamin dalam kompetisi olahraga dapat dibenarkan secara moral? Jika demikian, dalam kategori apa atlet trans dan interseks harus bersaing?

Titik awal perdebatan pemisahan jenis kelamin adalah 'Sex Equality in Sport' karya Jane English (1978). Bahasa Inggris mempertimbangkan apa yang dibutuhkan kesetaraan kesempatan antara jenis kelamin dalam olahraga. Dia berpendapat bahwa masyarakat yang adil akan menggabungkan lebih banyak variasi olahraga daripada saat ini. Secara khusus, olahraga yang menghargai 'kemampuan khusus wanita' (Bahasa Inggris, 1978, 227) (misalnya fleksibilitas, pusat gravitasi rendah) akan lebih banyak jumlahnya. Atas dasar harga diri, perempuan harus menikmati kira-kira setengah dari 'manfaat dasar' kesehatan dan rekreasi. Ini termasuk hak atas fasilitas yang sama. Ini akan membutuhkan penataan ulang yang signifikan tentang bagaimana sumber daya didistribusikan di antara jenis kelamin dalam olahraga. Namun, pada akhirnya, bahasa Inggris menganjurkan retensi (memenuhi syarat) pemisahan jenis kelamin biner dalam olahraga. Kontur perbedaan ini telah ditantang oleh atlet interseks, trans, dan non-gender yang tidak cocok dengan nyaman ke dalam salah satu kategori. Pertanyaan 'Siapa itu olahragawan?' (Camporesi, 2017) tidak pernah lebih dipersoalkan.

Untuk mengawasi pemisahan jenis kelamin dalam kompetisi, otoritas olahraga telah mengadopsi berbagai pendekatan untuk verifikasi jenis kelamin pada waktu yang berbeda sejak tahun 1930-an. Ini termasuk tes visual, tes kromosom, dan tes testosteron. Pendekatan yang berlaku terhadap kelayakan perempuan trans untuk bersaing dalam acara perempuan tidak menghalangi mereka yang secara biologis laki-laki untuk bersaing dalam olahraga perempuan, tetapi mengharuskan tingkat testosteron mereka tetap di bawah ambang batas tertentu untuk jangka waktu sebelum dan terus menerus sepanjang waktu mereka. berlaga di kompetisi putri (IOC, 2015). Persyaratan bahwa trans, serta interseks, wanita yang kadar testosteron alaminya di atas ambang batas yang diizinkan harus menjalani perawatan hormon (yaitu terapi penekan androgen) untuk membawa tingkat mereka di bawah ambang batas itu telah dikritik sebagai medikalisasi atlet sehat yang tidak perlu dan pelanggaran. prinsip beneficence dalam etika kedokteran. (Camporesi, 2016). Kritikus telah menyarankan bahwa atlet tidak harus diminta untuk memenuhi kriteria fisiologis tertentu untuk memenuhi syarat untuk bersaing dalam kategori gender tertentu. Proposal yang bersimpati pada pandangan ini telah memasukkan bahwa atlet harus diizinkan untuk bersaing dalam kategori gender yang mereka identifikasi (Davis dan Edwards 2014); bahwa atlet wanita trans harus diizinkan untuk bersaing dalam olahraga wanita tetapi, untuk mengurangi keuntungan yang tidak adil, harus tunduk pada cacat berdasarkan tingkat testosteron yang efektif (Bianchi, 2017); dan, akhirnya, kelayakan itu harus ditentukan oleh jenis kelamin yang diakui secara hukum (McKinnon dan Conrad, akan terbit)

Inti dari perdebatan ini adalah apakah wanita trans menikmati keuntungan yang tidak adil atas atlet wanita cis (yaitu atlet yang diberi jenis kelamin wanita saat lahir dan yang identitas gendernya adalah wanita). Beberapa orang berpendapat bahwa testosteron belum terbukti memberikan keuntungan dalam persaingan (Camporesi, 2016) atau bahwa keuntungan yang diberikannya, meskipun tidak adil, mungkin sangat tidak adil (Devine, 2019). Selain itu, tidak ada upaya yang dilakukan untuk mengatur variasi biologis dan genetik lain yang memberikan keuntungan kinerja yang jelas. Misalnya, tidak ada upaya untuk mengecualikan atau mengatur atlet dengan sindrom Marfan. Namun, tungkai panjang dan sendi fleksibel yang terkait dengan kondisi itu memberikan keuntungan yang jelas bagi perenang, pemain bola basket, dan pemain bola voli. Telah disarankan bahwa, jika tidak ada perbedaan yang relevan secara moral antara keuntungan yang dihasilkan dari seks dan yang dihasilkan dari variasi biologis dan genetik lainnya, mengapa kadar testosteron harus diatur ketika variasi lain yang relevan dengan kinerja olahraga tidak (Camporesi 2017; Camporesi dan Maugeri 2016)?

Tantangan yang lebih mendasar telah dilontarkan pada institusi pemisahan jenis kelamin dalam olahraga. Telah diusulkan bahwa organisasi olahraga harus acuh tak acuh terhadap jenis kelamin seorang atlet, sehingga pria dan wanita harus bersaing satu sama lain. Dalam pandangan ini, daripada mempertahankan segregasi jenis kelamin, yang melibatkan diskriminasi terhadap perempuan serta pertanyaan kompleks mengenai kategorisasi yang tepat dari atlet interseks, trans, dan non-gender, kita harus menghilangkan segregasi jenis kelamin sama sekali, dan olahraga harus terbuka (tidak dipisahkan sama sekali) (Tamburrini, 2000a, bab 6; Tännsjö, 2000) atau dipisahkan menurut dimensi selain jenis kelamin seperti berat badan, tinggi badan, kadar hemoglobin, atau kadar testosteron (Knox et al, 2019).

Selain pertanyaan segregasi jenis kelamin, ada banyak diskusi tentang olahraga sebagai situs politik gender. Peran yang dimainkan olahraga dalam konstruksi gender (termasuk hierarki gender) diambil dalam makalah klasik Iris Marion Young 'Throwing Like a Girl' (1980) yang mengeksplorasi modalitas keberadaan tubuh feminin bagi perempuan dalam masyarakat kontemporer. Klaim utama Young adalah bahwa modalitas gerakan feminin, motilitas, dan spasialitas seperti itu bukan bersumber dari anatomi atau fisiologi, melainkan situasi khusus perempuan, yang dibentuk oleh penindasan seksis (Young, 1980). Kerangka kerja yang dikembangkan oleh Young telah mengilhami fenomenologi perwujudan perempuan dalam olahraga tertentu seperti selancar (Brennan, 2016) dan panjat tebing (Chisholm, 2008), yang menggambarkan penindasan perempuan dalam komunitas olahraga ini yang timbul dari gagasan seksis yang berlaku tentang tubuh perempuan. Young juga berpendapat bahwa, selama tubuh perempuan dipahami sebagai objek, mereka dikecualikan oleh budaya dari olahraga. Pengecualian budaya perempuan dari olahraga, pada gilirannya, menciptakan bias maskulin dalam olahraga, yang menghalangi pameran potensi kemanusiaan olahraga (Young, 1979). Ada juga diskusi tentang apakah sifat kompetisi – ciri utama olahraga – adalah maskulin dan secara inheren tidak sesuai dengan feminisme (Davion, 1987).

Dibandingkan dengan literatur yang berkembang dengan baik seputar seks dan gender dalam olahraga, isu-isu seputar ras dan olahraga secara mengejutkan mendapat sedikit perhatian dalam filosofi literatur olahraga (dengan pengecualian termasuk artikel yang berbeda oleh Mosley, 2003; Lapchick, 2003; dan Marqusee, 2003) . Namun, aktivisme politik baru-baru ini oleh bintang sepak bola Amerika Colin Kaepernick untuk menyoroti rasisme sistematis di Amerika Serikat terhadap orang Afrika-Amerika telah mengilhami karya filosofis tentang ras dan olahraga, dan etika aktivisme politik oleh para atlet (Brackett, 2017; Klein, 2017; Marston, 2017; Pelaut, 2017; dan Rorke dan Copeland, 2017).

Beberapa post-strukturalis dan eksistensialis Foucauldian telah mengeksplorasi hubungan antara struktur kekuasaan rasial yang hegemonik dan olahraga (Awal, 2007). Misalnya, penulis seperti Grant Farred (2018), Erin C. Tarver (2018), dan Katrhryn E. Henne (2015), telah mengeksplorasi tema seputar olahraga dan kepentingan hegemonik kulit putih (dan/atau kolonial). Mereka telah memeriksa apakah olahraga dan keterlibatan minoritas dalam olahraga melanggengkan dan mempromosikan hak istimewa kulit putih dan kepentingan kulit putih (Henne, 2015). Mereka juga mengkritik kekuatan hegemonik yang konon digunakan oleh struktur institusional dan perusahaan olahraga untuk mendisiplinkan dan mengeksploitasi minoritas, terutama dalam olahraga profesional dan olahraga perguruan tinggi Amerika (Hawkins, 2001; Farred, 2018).


3.6 Penggemar dan Penonton

Apa cara terbaik untuk menonton olahraga? Apakah ketertarikan dan kekaguman kita terhadap olahragawan elit dapat dipertahankan secara moral? Perdebatan tentang bentuk tontonan yang paling berharga telah berkisar pada apakah model penonton yang 'murni' lebih unggul daripada model 'partisan'. Puritan memperoleh kesenangan estetika dari permainan yang baik. Mereka menghargai kinerja virtuoso terlepas dari pemainnya, yaitu, terlepas dari tim atau atlet mana yang melakukannya (Dixon, 2016). Puritan tidak memiliki kesetiaan kepada tim tertentu tetapi menghargai prestasi keunggulan atletik hanya pada jasa mereka. Mereka menghargai permainan yang bagus, sebagaimana orang mungkin menghargai sebuah karya seni tanpa mengetahui atau peduli dengan identitas senimannya. Untuk puritan, apresiasi yang tepat dari tontonan adalah yang terpenting, dan kesetiaan kepada tim tertentu mengancam untuk merusak apresiasi yang tepat dari olahraga.

Kritik utama terhadap purisme (Russell, 2012; Feezell, 2013; Mumford, 2011, 2012) adalah pengabaiannya terhadap keberpihakan. Partisan mendukung kebajikan mendukung tim tertentu, bahkan ketika tim itu bermain buruk. Loyalitas sangat penting bagi partisan, dan mereka mengikuti tim mereka melalui saat-saat baik dan buruk. Partisan biasanya mendukung tim favorit mereka dengan penuh semangat, dan mereka bersorak untuk kesuksesan tim mereka. Untuk partisan, penting bahwa tim mereka menang, bahkan jika mereka menampilkan lebih sedikit, atau bentuk yang lebih rendah, keunggulan atletik daripada lawan.

Beberapa berpendapat bahwa kekaguman pahlawan olahraga individu, karakteristik penonton murni, secara moral bermasalah. Dalam pandangan ini, antusiasme dan kekaguman yang melingkupi prestasi para atlet elit secara moral bukanlah hal yang terhormat. Memang, sikap seperti itu mencerminkan ideologi fasis (Tännsjö 1998, 2005). Kekaguman terhadap pemenang dalam olahraga melibatkan perayaan kekuatan dan, tak terhindarkan, ekspresi penghinaan atas kelemahan. Kekuatan dipahami sebagai sifat yang tidak bertanggung jawab tetapi berasal dari genetika (Tännsjö 2005), sehingga kekaguman terhadap atlet berdasarkan kekuatan mereka dianggap sebagai fasistoid. Dalam pandangan ini, dalam mengagumi yang menang, kita tidak bisa tidak menunjukkan penghinaan terhadap yang kalah: kekaguman terhadap yang pertama dan penghinaan terhadap yang terakhir adalah dua sisi mata uang yang sama.

Telah diperdebatkan terhadap akun Tännsjö bahwa itu deskriptif daripada normatif. Paling-paling, Tännsjö menggambarkan bagaimana penonton berperilaku, bukan bagaimana mereka seharusnya berperilaku. Selain itu, kekaguman pada pemenang tidak selalu berarti penghinaan bagi yang kalah, dan lebih jauh lagi, bagi yang lemah. Kontra Tännsjö, tidak ada hubungan yang diperlukan antara kedua sikap ini. Kekaguman kita terhadap para atlet elit tidak perlu bersandar pada penghargaan atas keunggulan mereka yang dipahami semata-mata dalam hal kekuatan (Tamburrini, 2000, ch. 5), karena kekaguman terhadap bintang olahraga, dipahami dengan baik, hanya sebatas kekaguman terhadap mereka karena kekuatan fisik mereka (Persson, 2005).


3.7 Olahraga Cacat

'Olahraga disabilitas', juga disebut sebagai 'Olahraga paralimpik' atau 'olahraga untuk atlet penyandang disabilitas atau cacat' berbeda dengan olahraga untuk orang yang berbadan sehat. Dua pertanyaan etis utama yang muncul mengenai olahraga disabilitas adalah: 1. Kriteria apa yang harus digunakan untuk mengklasifikasikan atlet disabilitas dalam kompetisi?; dan 2. Apakah atlet disabilitas, khususnya yang memiliki kaki palsu, diperbolehkan bertanding dengan atlet berbadan sehat?

Siapa yang dapat dianggap sebagai atlet Paralimpiade? Untuk berkompetisi dalam olahraga disabilitas atau Paralimpiade, seseorang harus digolongkan sebagai penyandang disabilitas. Gagasan disabilitas adalah konsep yang diperdebatkan (Boorse 2010, 2011; Nordenfelt 1987, 2007). Maka, tidak mengherankan bahwa, apa yang dianggap sebagai disabilitas untuk tujuan olahraga dan bagaimana mengkategorikan mereka yang disabilitas untuk tujuan kompetisi adalah masalah yang diperdebatkan (Edwards dan McNamee 2015). Misalnya, untuk seorang atlet yang memenuhi syarat sebagai atlet disabilitas, apakah disabilitasnya harus permanen, atau bisa sementara? Mungkinkah kecacatan itu hanya sedikit mengganggu atau haruskah itu sangat merusak?

Inti dari perselisihan ini adalah apakah lebih baik untuk mengadopsi 'sistem klasifikasi fungsional', yang akan mengelompokkan atlet dengan disabilitas yang berbeda tetapi tingkat kemampuan yang sama, atau 'sistem klasifikasi khusus disabilitas', yang akan mengelompokkan atlet dengan jenis disabilitas yang sama. disabilitas meskipun memiliki kemampuan yang berbeda. Setidaknya untuk tujuan Paralimpiade empat tahunan, pertanyaan ini tidak dapat dijawab secara memadai terlepas dari tujuan yang tepat dari Gerakan Paralimpiade, termasuk apakah tujuan ini bertentangan atau bahkan bertentangan dengan tujuan olahraga elit. .

Pertanyaan kedua menyangkut hubungan yang tepat antara olahraga penyandang cacat dan berbadan sehat. Secara khusus, haruskah atlet penyandang disabilitas yang menggunakan kaki palsu diizinkan untuk berkompetisi dalam olahraga berbadan sehat? Oscar Pistorius secara kontroversial diizinkan untuk berkompetisi di 400m di Olimpiade 2012 (selain Paralimpiade 2012) meskipun menggunakan kaki palsu serat karbon. Beberapa keberatan bahwa kaki prostetiknya memberinya keuntungan yang tidak adil sementara yang lain mempertanyakan apakah prostetik menghalanginya untuk 'berlari' dalam arti yang relevan sama sekali (Edwards, 2008).

Akhirnya, praktik Therapeutic Use Exemptions (TUEs) beroperasi dalam olahraga elit berbadan sehat dan cacat untuk memungkinkan atlet dengan penyakit kronis atau sementara menggunakan pengobatan untuk tujuan terapeutik (sebagai lawan dari peningkatan) yang seharusnya dilarang untuk digunakan. Praktik ini telah terbukti kontroversial karena perbedaan terapi/peningkatan sulit untuk ditentukan dengan tepat (Daniels, 2000), dan sistem tersebut telah dikritik karena terbuka untuk disalahgunakan. Namun, jika penggunaan zat tersebut ditolak secara menyeluruh, atlet dengan kondisi kronis, misalnya, akan secara efektif dikeluarkan dari olahraga karena dirugikan secara tidak adil (Pike, 2018).


3.8 Estetika Olahraga

Sementara analisis etika olahraga telah menjadi pusat perhatian filsafat olahraga baru-baru ini, dua dekade terakhir telah melihat minat yang dihidupkan kembali dalam analisis estetika olahraga (Edgar, 2013b; Lacerda, 2012a). Studi tentang estetika dan olahraga telah difokuskan pada dua bidang utama. Yang pertama menyangkut relevansi kualitas estetika dengan pengalaman bermain dan menonton olahraga. Apakah olahraga memunculkan nilai-nilai estetika? Jika ya, apakah nilai-nilai ini dan apakah nilai-nilai itu melekat atau hanya terkait dengan olahraga? Yang kedua meneliti hubungan antara olahraga dan seni. Apakah olahraga salah satu seni? Jika ya, apa yang menjadikan olahraga sebagai seni? Prekursor awal dari diskusi ini adalah klasik C. L. R. James (1963), Beyond a Boundary. Dalam analisis mani kriketnya, James mengeksplorasi identitas antara olahraga dan seni, dengan alasan bahwa keduanya menghasilkan kesenangan estetis karena keduanya diciptakan untuk menjadi indah.

Terkait dengan kedua hal tersebut adalah apakah apresiasi estetis olahraga bersifat khas, yaitu berbeda jenisnya dengan bentuk apresiasi estetik lainnya. Bagi Joseph Kupfer (1975), olahraga memiliki banyak tujuan. Salah satu tujuannya adalah untuk menciptakan pengalaman estetis yang menyenangkan. Stephen Mumford (2011) mengamati bahwa nilai estetika yang ditimbulkan oleh olahraga tergantung pada tuntutan fisik yang dibuat oleh setiap olahraga peserta. Namun, dalam pandangan Mumford, semua olahraga menghasilkan pengalaman estetis yang berkaitan dengan gerak dan keanggunan tubuh, bentuk abstrak tingkat tinggi, drama, serta inovasi dan kejeniusan. Edgar (2012, 2013a) mengkritik pandangan ini sebagai sempit karena menghubungkan olahraga hanya dengan nilai-nilai yang berkaitan dengan harmoni, mengabaikan fakta bahwa olahraga juga jelek. Karena olahraga menghasilkan kesenangan estetis, James (1963) berpendapat bahwa olahraga harus dilihat sebagai salah satu seni. Baru-baru ini, Spencer K. Wertz (1985; 1985), Hans Ulrich Gumbretch (2006), dan Wolfgang Welsch (1999) telah mendukung gagasan bahwa olahraga memiliki kualitas estetika dan olahraga harus dianggap sebagai seni. Namun, beberapa telah menyangkal kredensial artistik olahraga.

Eliseo Vivas (1959, p. 228) berpendapat bahwa, tidak seperti pengalaman estetika, olahraga tidak dapat dialami tanpa minat. Untuk melakukannya, seseorang harus mengelompokkan fitur penting dari olahraga: kompetisi. Bagi Maureen Kovich (1971), jika atlet dan penonton berfokus pada aspek estetika olahraga, perhatian mereka akan menjadi pengamatan dan penciptaan seni dalam gerakan daripada pada penilaian dan kemenangan. Tujuan utama olahraga adalah untuk memenuhi tantangan fisik dan membandingkan diri sendiri dengan orang lain dalam melakukannya. Misalnya, dalam lompat tinggi, tujuannya adalah untuk membersihkan mistar dengan melompati mistar. Para atlet berlomba untuk melihat siapa yang bisa melompat paling tinggi, bukan yang paling cantik. Dick Fosbury memperkenalkan 'gagal' bukan karena lebih indah dari teknik sebelumnya (yaitu, gunting, gulungan barat, dan straddle jump), tetapi karena lebih efektif (2007). Mengabaikan elemen-elemen kompetitif penting dari olahraga yang mendukung prinsip-prinsip estetika adalah kegagalan untuk menganggap olahraga secara serius. Untuk memperkuat klaim ini, Paul Ziff (1974) berpendapat bahwa beberapa acara olahraga memiliki sedikit atau tidak ada nilai estetika. Seringkali, atlet bermain kotor dan meraih kemenangan buruk. Untuk mendukung pandangan ini, David Best (1974, 1985) berpendapat bahwa sebagian besar atlet lebih menyukai kemenangan yang buruk daripada kekalahan di mana mereka tampil dengan anggun. Dalam pandangan ini, tidak hanya estetika tidak penting untuk olahraga, tetapi mengejar tujuan estetika dapat merusak pencapaian tujuan utama olahraga. Dengan demikian, Ray Elliot (1974) berpendapat bahwa dewi olahraga bukanlah Kecantikan tetapi Kemenangan. Menciptakan keindahan tidak boleh menjadi tujuan utama olahraga. Estetika adalah insidental dalam olahraga, sedangkan dalam seni, itu adalah tujuan utama. Oleh karena itu, olahraga bukanlah seni.

Tantangan lebih lanjut terhadap gagasan bahwa olahraga dapat menjadi seni adalah bahwa seni menyangkut sesuatu di luar dirinya, sedangkan olahraga menyangkut permainan dan tidak ada kehidupan nyata di luar permainan. Misalnya, seorang aktor yang memerankan Hamlet bukanlah Hamlet dalam kehidupan nyata. Mereka mewakili perjuangan eksistensial individu modern. Sebaliknya, seorang point guard dalam bola basket sebenarnya adalah seorang point guard; point guard tidak mewakili apapun di luar permainan bola basket. Sebagai tanggapan, Kevin Kerin (2008) dan Tim L. Elcombe (2012) berpendapat bahwa, seperti seni, olahraga menyampaikan nilai dan makna di luar olahraga yang mewakili, atau menghadirkan alternatif (dalam kasus olahraga non-tradisional seperti panjat tebing dan selancar), budaya di mana praktisi olahraga menemukan diri mereka sendiri. Dalam pandangan Terrence J. Roberts (1995), atlet adalah 'penyair yang kuat'. Mereka mengungkapkan sesuatu tentang situasi hidup kita sebagai agen yang diwujudkan (Mumford, 2014). Menggambar pada Nelson Goodman (1978), para filsuf seperti Edgar, Breivik, dan Kerin memahami olahraga sebagai pembuatan dunia, yaitu, olahraga merangkul dan menggambarkan kembali dunia simbolis di luar olahraga, membuka cara baru untuk menggambarkan, atau membuat, dunia non-olahraga seperti itu. . Olahraga menyediakan sumber daya untuk menggambarkan kembali dunia non-olahraga. Berangkat dari pandangan olahraga ini, Edgar (2013a) berpendapat untuk pergeseran dari estetika olahraga ke hermeneutika olahraga, yaitu interpretasi makna olahraga dan bagaimana makna itu ditafsirkan (lihat Lopez Frias & Edgar, 2016).

Bibliography

  • Abad, D., 2010, “Sportsmanship,” Sport, Ethics and Philosophy, 4(1): 27–41.
  • Andrieu, B., 2014, “The Birth of the Philosophy of Sport in France 1950–1980. Part 1: From Ulmann to Rauch through Vigarello,” Sport, Ethics and Philosophy, 8(1): 32–43.
  • Augustine, [c. 413–26], City of God, Cambridge: Cambridge University Press, 1998.
  • Bäck, A., 2008, “The Paper World of Bernard Suits,” Journal of the Philosophy of Sport, 35(2): 156–174.
  • Baker, W.J., 1988, Sports in the Western World, Champaign, IL: University of Illinois Press.
  • Beamish, R., 1981, “Central Issues in the Materialist Study of Sport as a Cultural Practice,” in S. Greendorfer and A. Yiannakis (eds.), Sociology of Sport: Diverse Perspectives, New York: Leisure Press, 34–42.
  • Best, D., 1974, “The Aesthetic in Sport,” The British Journal of Aesthetics, 14(3): 197–213.
  • –––, 1985, “Sport Is Not Art,” Journal of the Philosophy of Sport, 12(1): 25–40.
  • Bianchi, A., 2017, “Transgender Women in Sport”, Journal of the Philosophy of Sport, 44(2): 229–242.
  • Bonte, P. and Tolleneer, J., 2013, Athletic Enhancement, Human Nature and Ethics: Threats and Opportunities of Doping Technologies, Dordrecht: Springer.
  • Boorse, C., 2010, “Disability and Medical Theory,” in D. C. Ralston and J. Ho (eds.), Philosophical Reflections on Disability, Dordrecht: Springer, 55–88.
  • –––, 2011, “Concepts of Health and Disease,” in F. Gifford (ed.), Philosophy of Medicine (Handbook of the Philosophy of Science: Volume 16), Amsterdam: Elsevier, 13–64.
  • Borge, S., 2019, “Suits’ Utopia and Human Sports,” Sport, Ethics and Philosophy, 13(3–4): 432–455.
  • Boxill, J., 2003, Sports Ethics: An Anthology, Malden, MA: Blackwell.
  • Brackett, L., 2017, “Kaepernick Flips the Script: Empowering the Silenced Black Athlete Kaepernick Flips the Script: Empowering the Silenced Black Athlete,” Fair Play: Journal of Philosophy, Ethics, and Sports Law, 10: 5–25.
  • Breivik, G., 2014, “Sporting Knowledge and the Problem of Knowing How,” Journal of the Philosophy of Sport, 41(2): 143–162.
  • Brennan, D., 2016, “Surfing Like a Girl: A Critique of Feminine Embodied Movement in Surfing,” Hypatia, 31(4): 907–922.
  • Brohm, J-M., 1978, Sport: A Prision of Measured Time, London: Ink Links.
  • Brown, W. M., 1980, “Ethics, Drugs, and Sport,” Journal of the Philosophy of Sport, 7(1): 15–23.
  • –––, 1984, “Paternalism, Drugs, and the Nature of Sports,” Journal of the Philosophy of Sport, 11(1): 14–22.
  • Butcher, R., and Schneider, A., 1998, “Fair Play as Respect for the Game,” Journal of the Philosophy of Sport, 25(1): 1–22.
  • Camporesi, S., 2016, “Ethics of Regulating Competition for Women with Hyperandrogenism,” Clinical Sports Medicine, 35: 293–301.
  • –––, 2017, “Who is a Sportswoman?,” Aeonavailable online.
  • Camporesi, C. and Maugeri, P., 2016, “Unfair Advantage and the Myth of the Level Playing Field in IAAF and IOC Policies on Hyperandrogenism: When is it Fair to Be a Woman?” in S. Montanola and O. Aurélie (eds.), Gender Testing in Sport: Ethics, Cases and Controversies, London: Routledge, 46–59.
  • Chisholm, D., 2008, “Climbing Like a Girl: An Exemplary Adventure in Feminist Phenomenology,” Hypatia, 23(1): 9–40.
  • Ciomaga, B., 2013, “Rules and Obligations,” Journal of the Philosophy of Sport, 40(1): 19–40.
  • Conway, S., 2016, “An Earthless World: The Contemporary Enframing of Sport in Digital Games,” Sport, Ethics and Philosophy, 10(1): 83–96.
  • Corlett, A., 2014, “Should Inter-Collegiate Football be Eliminated? Assessing the Arguments Philosophically,” Sport, Ethics and Philosophy, 8: 116–136.
  • –––, 2019, “Should and Will Inter-Collegiate Football Programs be Eliminated?,” Sport, Ethics and Philosophy, 13(2): 170–182.
  • D’Agostino, F., 1981, “The Ethos of Games,” Journal of the Philosophy of Sport Journal of the Philosophy of Sport, 8(1): 7–18.
  • Daniels, N., 2000, “Normal Functioning and the Treatment-Enhancement Distinction,” Cambridge Quarterly of Healthcare Ethics, 9: 309–322.
  • Davion, V., 1987, “Do Good Feminists Compete?,” Hypatia, 2(2): 55–63.
  • Davis, P. and Edwards, L., 2014, “The New IOC and IAAF Policies on Female Eligibility: Old Emperor, New Clothes?,” Sport, Ethics, and Philosophy, 8(1): 44–56.
  • Devine, J. W., 2011, “Doping is a Threat to Sporting Excellence,” British Journal of Sports Medicine, 45(8): 637–639.
  • –––, 2019, “Gender, Steroids and Fairness in Sport,” Sport, Ethics and Philosophy, 13(2): 161–169.
  • Dixon, N., 2001, “Boxing, Paternalism, and Legal Moralism,” Social Theory and Practice, 27(2): 323–344.
  • –––, 2016, “In Praise of Partisanship,” Journal of the Philosophy of Sport, 43(2): 233–249.
  • Douglas, T., 2007, “Enhancement in Sport, and Enhancement outside Sport,” in Studies in Ethics, Law, and Technology, 1(1), ukpmcpa2293. doi:10.2202/1941-6008.1000
  • Early, G., 2007, “Sports, Political Philosophy, and the African American,” in A Companion to African-American Philosophy, T. L. Lott and J. P. Pittman (eds.), Malden, MA: Wiley-Blackwell.
  • Edwards, S. D., 2008, “Should Oscar Pistorius be Excluded from the 2008 Olympic Games?,” Sport, Ethics and Philosophy, 2(2): 112–125.
  • Edwards, S. and McNamee, M., 2015, “Disability and Paralympic Sport Philosophy,” in M. McNamee and W. Morgan, (eds.) Routledge Handbook of the Philosophy of Sport, London: Routledge, 300–314.
  • Edgar, A., 2012, “The Aesthetics of the Olympic Art Competitions.” Journal of the Philosophy of Sport, 39(2): 185–199.
  • –––, 2013a, “A Hermeneutics of Sport.” Sport, Ethics and Philosophy, 7(1): 140–167.
  • –––, 2013b, “The Aesthetics of Sport.” Sport, Ethics and Philosophy, 7(1): 80–99.
  • –––, 2014, Sport and Art: An Essay in the Hermeneutics of Sport, London: Routledge.
  • –––, 2015, “Aesthetics of Sport,” in M. J. McNamee & W. J. Morgan (eds.), Routledge Handbook of the Philosophy of Sport, New York: Routledge, 69–81.
  • –––, 2016, “Personal Identity and the Massively Multiplayer Online World,” Sport, Ethics and Philosophy, 10(1): 51–66
  • Elcombe, T. L., 2012, “Sport, Aesthetic Experience, and Art as the Ideal Embodied Metaphor,” Journal of the Philosophy of Sport, 39(2): 201–217.
  • Elliot, R. K., 1974, “Aesthetics and sport,” in H. T. A. Whiting & D. W. Masterson (eds.), Readings in the aesthetics of sport, London: Lepus, 107–116.
  • English, J., 1978, “Sex Equality in Sports,” Philosophy and Public Affairs, 7(3): 269–277.
  • Farred, G., 2018, The Burden of Over-representation: Race, Sport, and Philosophy, Philadelphia: Temple University Press.
  • –––, 2014, In Motion, at Rest: The Event of the Athletic Bod, Minneapolis: University of Minnesota Press.
  • Feezell, R., 1986, “Sportsmanship,” Journal of the Philosophy of Sport, 13: 1–13.
  • –––, 2013, “The Pitfalls of Partisanship”, in his Sport, Philosophy, and Good Lives, Lincoln: University of Nebraska Press, 73–92.
  • Fox, J., 2012, The Ball: Discovering the Object of the Game, 1st edition, New York: Harper.
  • Fraleigh, W. P., 1983, “The Philosophic Society for the Study of Sport 1972–1983”, Journal of the Philosophy of Sport, 10(1): 3–7. doi:10.1080/00948705.1983.9714396
  • –––, 1984, Right Actions in Sport: Ethics for Contestants, Champaign, IL: Human Kinetics Publishers.
  • –––, 2003, “Intentional Rule Violations – One More Time,” Journal of the Philosophy of Sport, 30(2): 166–176.
  • –––, 2012, “IAPS-Past to Future,” Journal of the Philosophy of Sport, 39(1): 1–10.
  • Gaffney, P., 2013, “Watching Sport: Aesthetics, Ethics and Emotions,” Journal of the Philosophy of Sport, 40(1): 180–184.
  • Gerber, E. W., and Morgan, W. J., 1979, Sport and the Body: A Philosophical Symposium, Philadelphia: Lea & Febiger.
  • Gert, B., 2004, Common Morality, Oxford: Oxford.
  • Goodman, N., 1978, Ways of worldmaking, Indianapolis: Hackett.
  • Green, S. P., 2006, “Cheating”, in his Lying, Cheating, and Stealing: A Moral Theory of White-Collar Crime, Oxford: Oxford University Press, 53–75.
  • Gumbrecht, H. U., 2006, In praise of athletic beauty, Cambridge, Mass.: Belknap Press of Harvard University Press.
  • Gruneau, R.S, 1983, Class, Sports, and Social Development, Amherst: University of Massachusetts Press.
  • Guttmann, Allen, 1978, From Ritual to Record: The Nature of Modern Sports, New York: Columbia University Press.
  • Habermas, J., 2003, The Future of Human Nature, Cambridge: Policy.
  • Hale, B., 2008, Philosophy Looks at Chess, Chicago: Open Court Publishing.
  • Hargreaves, J., 1986, Sport, Power and Culture, New York: St. Martin’s.
  • Hawkins, B., 2001, The New Plantation: The Internal Colonization of Black Student-Athletes, Winterville GA: Sadiki.
  • Hemphill, D., 2005, “Cybersport,” Journal of the Philosophy of Sport, 32(2): 195–207,
  • Henne, K. E., 2015, Testing for Athlete Citizenship: Regulating Doping and Sex in Sport, New Brunswick (NJ): Rutgers University Press.
  • Hoch, P., 1972, Rip Off the Big Game, New York: Doubleday.
  • Hølm, S., 2007, “Doping Under Medical Control – Conceptually Possible But Impossible In The World Of Professional Sports?,” Sport, Ethics and Philosophy, 1(2): 135–145.
  • Holowchak, M.A., 2007, “Games as Pastimes in Suits’s Utopia: Meaningful Living and the ‘Metaphysics of Leisure’,” Journal of the Philosophy of Sport, 34(1): 88–96.
  • Holt, J., 2016, “Virtual Domains for Sports and Games,” Sport, Ethics and Philosophy, 10(1): 5–13.
  • Howe, L., 2004, “Gamesmanship,” Journal of the Philosophy of Sport, 31(2): 212–225.
  • Huizinga, J., 1949 [1938], Homo Ludens: A Study of the Play-Element in Culture, London: Routledge & Kegan Paul.
  • Hurka, T., 2005, “Introduction,” in B. Suits, The Grasshopper: Games, Life and Utopia, Toronto: Broadview Press, 7–20.
  • –––, 2006, “Games and the Good,” Proceedings of the Aristotelian Society, 106(1): 217–235.
  • International Olympic Committee, 2015, “IOC Consensus Meeting on Sex Reassignment and and Hyperandrogenism, November 2015”, available online (in PDF), accessed on 29 August 2019.
  • –––, 2019, “Olympic Charter”, available online, accessed on 17 January 2020.
  • Ilundáin-Agurruza, J., 2016, Holism and the Cultivation of Excellence in Sports and Performance, New York: Routledge.
  • James, C. L. R., 1963, Beyond a boundary, London: Stanley Paul.
  • Kayser, B., and Broers, B., 2015, “Doping and Performance Enhancement: Harms and Harm Reduction,” in V. Moller et al. (eds), Routledge Handbook of Drugs and Sport, London: Routledge, 363–376.
  • Kayser, Bengt, Alexandre Mauron and Andy Miah, 2005, “Viewpoint: Legalisation of Performance-Enhancing Drugs”, The Lancet, 366(1): S21. doi:10.1016/S0140-6736(05)67831-2
  • –––, 2007, “A. Current Anti-Doping Policy: A Critical Appraisal”, BMC Med Ethics, 8(2). doi:10.1186/1472-6939-8-2
  • Kayser, B., and Tolleneer, J., 2017, “Ethics of a Relaxed Anti-doping Rule Accompanied by Harm-Reduction Measures,” Journal of Medical Ethics, 43(5): 282–286.
  • Keating, J. W., 1964, “Is Sportsmanship a Moral Category?,” Ethics, 75(1): 25–35.
  • Kirkwood, K., 2012, “Defensive Doping: Is There a Moral Justification for ‘If You Can’t Beat ’Em – Join ’Em’,” Journal of Sports and Social Issues, 36(2): 223–238.
  • Klein, S. E., 2017, “An Argument Against Athletes as Political Role Models,” Fair Play: Journal of Philosophy, Ethics and Sports Law, 11: 26–44.
  • Knox, T., L.C. Anderson, and A. Heather, 2019, “Transwomen in Elite Sport: Scientific and Ethical Considerations,” Journal of Medical Ethics, 45: 395–403.
  • Kobiela, P., 2018, “Should chess and other mind sports be regarded as sports?,” Journal of the Philosophy of Sport, 45(3): 279–295.
  • Kolers, A., 2018, “Ludic Constructivism: Or, Individual Life and the Fate of Humankind,” Sport, Ethics and Philosophy, 13(3–4): 392–405.
  • Kornbeck, J., 2013, “The Naked Spirit of Sport: A Framework for Revisiting the System of Bans and Justifications in the World Anti-Doping Code,” Sport, Ethics and Philosophy, 7(3): 313–330.
  • Kovich, M., 1971, “Sport as an Art Form.” Journal of Health, Physical Education, Recreation, 42(8): 42.
  • Krein, K., 2008, “Sport, nature and worldmaking.” Sport, Ethics and Philosophy, 2(3): 285–301.
  • Kreft, L., 2012, “Sport as a Drama,” Journal of the Philosophy of Sport, 39(2): 219–234.
  • Kretchmar, R. S., 1975, “From Test to Contest: An Analysis of Two Kinds of Counterpoint in Sport,” Journal of the Philosophy of Sport, 2(1): 23–30.
  • –––, 1989, “On Beautiful Games,” Journal of the Philosophy of Sport, 16(1): 34–43.
  • –––, 1997, “Philosophy of Sport,” in J.D. Massengale and R.A. Swanson (eds.), The History of Exercise and Sport Science, Champaign, IL: Human Kinetics, 181–201.
  • –––, 2001, “A Functionalist Analysis of Game Acts: Revisiting Searle,” Journal of the Philosophy of Sport, 28(2): 160–172.
  • –––, 2005, Practical Philosophy of Sport and Physical Activity, Champaign, IL: Human Kinetics.
  • –––, 2006, “The Intelligibility of Suits’s Utopia: The View from Anthropological Philosophy,” Journal of the Philosophy of Sport, 33(1): 67–77.
  • –––, 2015a, “Formalism and Sport,” In McNamee, M., and Morgan, W.J. (eds.) Routledge Handbook of the Philosophy of Sport, London: Routledge, 11–21.
  • –––, 2015b, “Pluralistic Internalism,” Journal of the Philosophy of Sport, 42(1): 83–100.
  • –––, 2016, “Simon on Realism, Fallibilism, and the Power of Reason,” Journal of the Philosophy of Sport, 43(1): 41–49.
  • –––, 2017, Philosophy: Sport, Farmington Hills: Macmillan.
  • –––, 2019, “A Revised Definition of Games: An Analysis of Grasshopper Errors, Omissions, and Ambiguities,” Sport, Ethics and Philosophy, 13(3–4): 277–292.
  • Kretchmar, R.S., Dyreson, M., Llewellyn, M., and Gleaves, J., 2017, History and Philosophy of Sport and Physical Activity, Champaign, IL.: Human Kinetics.
  • Kupfer, J., 1975, “Purpose and Beauty in Sport.” Journal of the Philosophy of Sport, 2(1): 83–90.
  • Lacerda, T., and Mumford, S., 2010, “The Genius in Art and in Sport: A Contribution to the Investigation of Aesthetics of Sport,” Journal of the Philosophy of Sport, 37(2): 182–193.
  • Lacerda, T., 2012a, “Guest Editor’s Introduction to the JPS Special Issue on Sport and Aesthetics.” Journal of the Philosophy of Sport, 39(2): 183–184.
  • –––, 2012b, “Education for the Aesthetics of Sport in Higher Education in the Sports Sciences – The Particular Case of the Portuguese-Speaking Countries,” Journal of the Philosophy of Sport, 39(2): 235–250.
  • Lapchick, R. E., 2003, “Race and College Sport: A Long Way to Go,” in J. Boxill (ed.), Sports Ethics: An Anthology, Malden, MA: Blackwell, 304–309.
  • Leaman, O., 2018 [1981], “Cheating and Fair Play in Sport”, reprinted in W.J. Morgan (ed.), Ethics in Sport, (3rd ed.), Champaign, Il: Human Kinetics, 153–159.
  • Lehman, C. K., 1981, “Can Cheaters Play the Game?,” Journal of the Philosophy of Sport, 8: 41–46.
  • Lewis, D., 1979, Convention: A Philosophical Study, Oxford: Blackwell.
  • Lipsky, R., 1981, How We Play the Game: Why Sports Dominate American Life, Boston: Beacon Press.
  • Loland, S., 1995, “Pierre de Coubertin’s Ideology of Olympism from the Perspective of the History of Ideas,” OLYMPIKA: The International Journal of Olympic Studies, VI: 49–78.
  • –––, 2002, Fair Play: A Moral Norm System, London: Routledge.
  • Lopez Frias, F. J., 2019, “Bernard Suits’ Response to the Question on the Meaning of Life as a Critique of Modernity,” Sport, Ethics and Philosophy, 13(3–4): 406–418.
  • –––, 2017, “Broad Internalism and Interpretation: A Plurality of Interpretivist Approaches,” in S. E. Klein (ed.), Defining Sport: Conceptions and Borderlines, Lanham: Lexington Books.
  • Lopez Frias, F. J., & Edgar, A., 2016, “Hermeneutics and Sport.” Sport, Ethics and Philosophy, 10(4): 343–348.
  • Lopez Frias, F.J., and McNamee, M. J., forthcoming, “Brain-Injured Footballers, Voluntary Choice and Social Goods. A Reply to Corlett,” Sport, Ethics and Philosophy, first online 07 March 2019. doi:10.1080/17511321.2019.1583273
  • –––, 2017, “Ethics, Brain Injuries, and Sports: Prohibition, Reform, and Prudence,” Sport, Ethics and Philosophy, 11(3): 264–280.
  • Lunt, D., and Dyreson, M., 2014, “A History of Philosophic Ideas about Sport,” in C.R. Torres (ed.)., The Bloomsbury Companion to the Philosophy of Sport, London: Bloomsbury, 17–40.
  • MacIntyre, A. C., 1984, After Virtue: A Study in Moral Theory, Notre Dame, Ind.: University of Notre Dame Press.
  • MacRae, S. A., 2017, “Toward a Shallow Interpretivist Model of Sport,” Journal of the Philosophy of Sport, 44(3): 285–299.
  • Marmor, A., 2009, Social Conventions: From Language to Law, New Jersey: Princeton.
  • Marqusee, M., 2003, “Sport and Stereotype: From Role Model to Muhammad Ali,” in Jan Boxill (ed.), Sports Ethics: An Anthology, Malden, MA: Blackwell, 310–331.
  • Marston, S., 2017, “The Revival of Athlete Activism(s): Divergent Black Politics in the 2016 Presidential Election Engagements of LeBron James and Colin Kaepernick,” Fair PlayJournal of Philosophy, Ethics and Sports Law, 10: 47–68.
  • Martínez-Patiño, M., Vilain, E., and Bueno-Guerra, N., 2016, “The Unfinished Race: 30 Years of Gender Verification in Sport,” The Lancet, 388: 541–543.
  • McBride, F., 1975, “Toward a Non-Definition of Sport,” Journal of the Philosophy of Sport, 2(1): 4–11.
  • –––, 1979, “A Critique of Mr. Suits’ Definition of Game Playing,” Journal of the Philosophy of Sport, 6(1): 59–65.
  • McFee, G., 2004a, “Normativity, Justification, and (MacIntyrean) Practices: Some Thoughts on Methodology for the Philosophy of Sport,” Journal of the Philosophy of Sport, 31(1): 15–33.
  • –––, 2004b, Sport, Rules, and Values: Philosophical Investigations into the Nature of Sport, New York: Routledge.
  • –––, 2012, “Olympism and Sport’s Intrinsic Value,” Sport, Ethics and Philosophy, 6(2): 211–231.
  • McGinn, C., 2008, Sport, Stocksfield: Acumen.
  • McKinnon, R., and Conrad, A., forthcoming, “Including Trans Women Athletes in Competitive Sport: Analyzing the Science, Law, and Principles and Policies of Fairness in Competition,” Philosophical Topics.
  • McNamee, M. J., 2007, “Sport, Ethics and Philosophy: Context, History, Prospects,” Sport, Ethics and Philosophy, 1(1): 1–6.
  • –––, 2008, “Globalisation of Anti-Doping: The Reverse Side of the Medal”, British Medical Journal, 337: a584. doi:10.1136/bmj.a584
  • –––, 2010, The Ethics of Sports: A Reader, London; New York: Routledge.
  • –––, 2013, “Sport Philosophy,” in Haag, H., Keskinen, K., and Talbot, M. (eds.), Directory of Sport Sciences, 6th edition, London: International Council of Sport Science and Physical Education, 101–113.
  • McNamee, M. J., and Morgan, W. J., 2015, Routledge Handbook of the Philosophy of Sport, London: Routledge.
  • Meier, K. V., 1988, “Triad Trickery: Playing With Sport and Games,” Journal of the Philosophy of Sport, 15(1): 11–30.
  • Metheny, E., 1952, Body Dynamics, New York: McGraw-Hill.
  • –––, 1965, Connotations of Movement in Sport and Dance: A Collection of Speeches about Sport and Dance as Significant Forms of Human Behavior, Dubuque, Iowa: W.C. Brown Co.
  • Miller, S. G., 2006, Ancient Greek Athletics, New Haven: Yale University Press.
  • Møller, V., 2009, The Ethics of Doping and Anti-Doping: Redeeming the Soul of Sport?, New York: Routledge.
  • Møller, V., Hoberman, J., and Waddington, I., 2015, Routledge Handbook of Drugs and Sport, New York: Routledge.
  • Moore, E., 2017a, “Formalism and Strategic Fouls,” Journal of the Philosophy of Sport, 44(1): 95–107.
  • –––, 2017b, “Was Armstrong a Cheat?,” Sport, Ethics and Philosophy, 11(4): 413–427.
  • –––, 2018, “Against Deep Conventionalism,” Journal of the Philosophy of Sport, 45(3): 228–240.
  • Morgan, W. J., 1987, “The Logical Incompatibility Thesis and Rules: A Reconsideration of Formalism as an Account of Games,” Journal of the Philosophy of Sport, 14(1): 1–20.
  • –––, 1994, Leftist Theories of Sport: A Critique and Reconstruction, Champaign: University of Illinois Press.
  • –––, 2000, “The Philosophy of Sport: A Historical and Conceptual Overview and a Conjecture Regarding Its Future,” in Coakley, J. and Dunning, E. (eds.), Handbook of Sport Studies, London: Sage, 205–209.
  • –––, 2006, Why Sports Morally Matter, London: Routledge.
  • –––, 2012, “Broad Internalism, Deep Conventions, Moral Entrepreneurs, and Sport,” Journal of the Philosophy of Sport, 39(1): 65–100.
  • –––, 2015, “Conventionalism and Sport,” in M. McNamee and W. J. Morgan, (eds.), Routledge Handbook of the Philosophy of Sport, London: Routledge, 35–52.
  • –––, 2016, “The Normativity of Sport: A Historicist Take on Broad Internalism,” Journal of the Philosophy of Sport, 43(1): 27–39.
  • Mosley, A., 2003, “Racial Differences in Sport: What’s Ethics Got to Do With It?,” in Jan Boxill (ed.), Sports Ethics: An Anthology, Malden, MA: Blackwell, 297–303.
  • Mumford, S., 2011, Watching Sport: Aesthetics, Ethics and Emotion, London: Routledge.
  • –––, 2012, “Moderate Partisanship as Oscillation,” Sport, Ethics and Philosophy, 6(3): 369–375.
  • –––, 2014, “The aesthetics of sport,” in C. R. Torres (ed.), The Bloomsbury Companion to the Philosophy of Sport, Londres: Bloomsbury Publishing, 180–195.
  • Murray, T. H., 2016, “The Ethics of Doping from a Public Health Perspective”, in Doping and Public Health Nader Ahmadi, Arne Ljungqvist, Göran Svedsäter (eds.), New York: Taylor and Francis, 124–138.
  • –––, 2018, Good sport. Why Our Games Matter: And How Doping Undermines Them, Oxford: Oxford University Press.
  • Nguyen, C. T., 2017, “Competition as Cooperation,” Journal of the Philosophy of Sport, 44(1): 123–137.
  • Nordenfelt, L., 1987, On the Nature of Health: An Action-Theoretic Approach, Dordrecht: Springer.
  • –––, 2007, “The Concepts of Health and Illness Revisited,” Medicine, Healthcare and Philosophy, 10(5): 5–10.
  • Osterhoudt, R. G., 1973, “Preface,” in R.G. Osterhoudt, (ed.), The Philosophy of Sport: A Collection of Essays, Springfield, IL: Charles C. Thomas, ix–xi.
  • Overman, S. J., 2011, The Protestant Ethic and the Spirit of Sport: How Calvinism and Capitalism Shaped America’s Games, Macon, Ga.: Mercer University Press.
  • Papineau, D., 2017, Knowing the Score: What Sports Can Teach Us About Philosophy (and What Philosophy Can Teach Us About Sports), New York: Basic Books.
  • Parry, J., 2006, “Sport and Olympism: Universals and Multiculturalism,” Journal of the Philosophy of Sport, 33(2): 188–204.
  • –––, 2018, “E-Sports Are Not Sports,” Sport, Ethics and Philosophy, 13(1): 3–18.
  • Pérez Triviño, J. L., 2013, The Challenges of Modern Sport to Ethics: From Doping to Cyborgs, London: Lexington Books.
  • –––, 2014, “Formalism,” in César R Torres (ed.), The Bloomsbury Companion to the Philosophy of Sport, London: Bloomsbury Publishing, 358–359.
  • Persson, I., 2005, “What’s Wrong With Admiring Athletes and Other People?,” in Tamburrini, C., and Tännsjö, T. (eds.), Genetic Technology and Sport, New York: Routledge, 70–81.
  • Pike, J., 2018, “Therapeutic Use Exemptions and the Doctrine of Double Effect,” Sport, Ethics and Philosophy, 45(1): 68–82.
  • Pike, J., and Cordell, S., forthcoming, “Armstrong Was a Cheat: A Reply to Eric Moore,” Sport, Ethics and Philosophy, first online 14 Jan 2019. doi:10.1080/17511321.2018.1561747
  • Pound, D., 2006, Inside Dope: How Drugs Are the Biggest Threat to Sports, Why You Should Care, and What Can Be Done About Them, Ontario: Wiley.
  • Reid, H., 2011, Athletics and Philosophy in the Ancient World, New York: Routledge.
  • –––, 2012, Introduction to the Philosophy of Sport, Lanham: Rowman & Littlefield Publishing Group.
  • Rigauer, B., 1981, Sport and Work, New York: Columbia University Press.
  • Roberts, T. J., 1995, “Sport and Strong Poetry.” Journal of the Philosophy of Sport, 22(1): 94–107.
  • Rorke, T., and Copeland, A., 2017, “Athletic Disobedience: Providing a Context for Analysis of Colin Kaepernick’s Protest,” Fair Play: Journal of Philosophy, Ethics, and Sports Law, 10: 85–107.
  • Russell, J. S., 1999, “Are Rules All an Umpire Has to Work With?,” Journal of the Philosophy of Sport, 26(1): 27–49.
  • –––, 2005, “The Value of Dangerous Sport,” Journal of the Philosophy of Sport, 32(1): 1–19.
  • –––, 2007, “Children and Dangerous Sport and Recreation,” Journal of the Philosophy of Sport, 34: 176–194.
  • –––, 2012, “The Ideal Fan or Good Fans?,” Sport, Ethics and Philosophy, 6(1): 16–30.
  • –––, 2015, “Sport as a Legal System,” in M. McNamee and W. J. Morgan (eds.), Routledge Handbook of the Philosophy of Sport, London: Routledge, 255–273.
  • –––, 2017, “The Problem of Cheating,” in R.S. Kretchmar (ed.), Philosophy: Sport, Farmington Hills, Mich: Macmillan Reference USA, 93–110.
  • Ryall, E., 2016, Philosophy of Sport: Key Questions, London: Bloomsbury.
  • Sabl, A., 2008, “Democratic Sportsmanship: Contested Games and Political Ethics. Taiwan Journal of Democracy,” 4(1): 85–112.
  • Sailors, P., 2015, “Personal Foul: An Evaluation of the Moral Status of Football,” Sport, Ethics and Philosophy, 42(2): 269–286.
  • –––, 2017, “Zola Budd and the Political Pawn,” Fair Play: Journal of Philosophy, Ethics, and Sports Law, 10: 70–82.
  • Sandel, M. J., 2007, The Case Against Perfection, Cambridge, MA: Harvard University Press.
  • –––, 2009, “The Case Against Perfection: What’s Wrong with Designer Children, Bionic Athletes, and Genetic Engineering”, in J. Savulescu and N. Bostrom (eds.), Human Enhancement, Oxford: Oxford, 71–90.
  • –––, 2012, What Money Can’t Buy: The Moral Limits of Markets, New York: Farrar, Straus & Giroux.
  • Savulescu, J., Foddy, B., and Clayton, M., 2004, “Why We Should Allow Performance Enhancing Drugs in Sport,” British Journal of Sports Medicine, 38(6): 666–670.
  • Savulescu, J., 2015, “Healthy Doping,” in V. Moller et al (eds.), Routledge Handbook of Drugs and Sport, London: Routledge, 350–362.
  • Simon, R. L., 2000, “Internalism and Internal Values in Sport,” Journal of the Philosophy of Sport, 27(1): 1–16.
  • –––, 2010, Fair Play: the Ethics of Sport, 3rd edition, Boulder, CO: Westview Press.
  • –––, 2014, “Theories of Sport”, in The Bloomsbury Companion to the Philosophy of Sport, Cesar R. Torres (ed.), London: Bloomsbury, 83–97.
  • Simon, R. L., Torres, C. R., and Hager, P. F., 2015, Fair Play: The Ethics of Sport, 4th edition, Boulder, CO: Westview Press
  • Slusher, H. S., 1967, Man, Sport and Existence: A Critical Analysis, Philadelphia: Lea & Febiger.
  • Suits, B., 1973 [2007], “The Elements of Sport,” in R. Osterhoudt (ed.), The Philosophy of Sport: A collection of original essays, Springfield, IL: Thomas; reprinted in W. J. Morgan (ed.), Ethics in Sport, Champaign, IL.: Human Kinetics, 9–19.
  • –––, 1977, “Words On Play,” Journal of the Philosophy of Sport, 4(1): 117–131.
  • –––, 1978 [2014], The Grasshopper: Games, Life, and Utopia, Boston: D.R. Godine; reprinted, Peterborough: Broadview Press, 2014.
  • –––, 1988, “Tricky Triad: Games, Play, and Sport,” Journal of the Philosophy of Sport, 15(1): 1–9.
  • Tamburrini, C. M., 2000a, The “Hand of God”?: Essays in the Philosophy of Sports, Göteborg: Acta Universitatis Gothoburgensis.
  • –––, 2000b, “What’s Wrong with Doping?,” in T. Tännsjö and C. Tamburrini (eds.), Values in Sport: Elitism, Nationalism, Gender Equality and the Manufacture of Winners, New York: Routledge, 200–216.
  • –––, 2013, “WADA’s Anti-Doping Policy and Athletes’ Right to Privacy,” Fair Play: Journal of Philosophy, Ethics and Sports Law, 1(2): 84–96.
  • Tamburrini, C. M., and Tännsjö, T., 2005, Genetic Technology and Sport: Ethical Questions, New York: Routledge.
  • Tännsjö, T., 2000, “Against Sexual Discrimination in Sports,” in Claudio Tamburrini and Torbjörn Tännsjö, Values in Sport: Elitism, Nationalism, Gender Equality and the Manufacture of Winners, New York: Routledge, 101–115.
  • –––, 1998, “Is Our Admiration for Sports Heroes Fascistoid?,” Journal of the Philosophy of Sport, 25(1): 23–34.
  • –––, 2005, “Genetic Engineering and Elitism in Sport,” in C. Tamburrini and T. Tännsjö (eds.), Genetic Technology and Sport, New York: Routledge.
  • –––, 2009, “Medical Enhancement and the Ethos of Elite Sport,” in J. Savulescu and N, Bostrom (eds.), Human Enhancement, Oxford: Oxford University Press, 315–326.
  • Tarver, E. C., 2018, The I in Team: Sports Fandom and the Reproduction of Identity, Chicago: University of Chicago Press.
  • Torres, C. R., 2000, “What Counts As Part of a Game? A Look at Skills,” Journal of the Philosophy of Sport, 27(1): 81–92.
  • –––, 2014a, The Bloomsbury Companion to the Philosophy of Sport, London: Bloomsbury.
  • –––, 2014b, “Introduction,” in C.R. Torres, (ed.), The Bloomsbury Companion to the Philosophy of Sport, London: Bloomsbury, 1–16.
  • Upton, H., 2011, “Can There Be a Moral Duty to Cheat in Sport?,” Sport, Ethics and Philosophy, 5(2): 161–174.
  • Van Hilvoorde, I., 2017, Sport and Play in a Digital World, New York: Routledge.
  • Van Hilvoorde, I., Vos, R., & de Wert, G., 2007, “Flopping, Klapping and Gene Doping: Dichotomies Between ‘Natural’ and ‘Artificial’ in Elite Sport.” Social Studies of Science, 37(2): 173–200.
  • Vivas, E., 1959, “Contextualism Reconsidered.” The Journal of Aesthetics and Art Criticism, 18(2): 222–240.
  • Warburton, N., 1998, “Freedom to Box,” Journal of Medical Ethics, 24: 56–60.
  • Walsh, A., and Giulianotti, R., 2007, Ethics, Money and Sport: This Sporting Mammon, London: Routledge.
  • Welsch, W., 1999, “Sport – Viewed Aesthetically, and Even as Art?” Filozofski vestnik, 20(2): 213–236.
  • Weiss, P., 1971, Sport: A Philosophic Inquiry, Carbondale: Southern Illinois University Press.
  • Wertz, S. K., 1985, “Sport and the Àrtistic.” Philosophy, 60(233): 392–393.
  • Wertz, Spencer K., 1985, “Representation and Expression in Sport and Art.” Journal of the Philosophy of Sport, 12(1): 8–24.
  • Wittgenstein, L., 1958 [1953] Philosophical Investigations, Oxford: Blackwell.
  • Young, I.M., 1979, “The Exclusion of Women from Sport: Conceptual and Existential Dimensions,” Philosophy in Context, 9: 44–53.
  • –––, 1980, “Throwing Like a Girl: A Phenomenology of Feminine Body Comportment Motility and Spatiality,” Human Studies, 3: 137–156.
  • Yorke, C., 2017, “Endless summer: What Kinds of Games Will Suits’ Utopians Play?,” Journal of the Philosophy of Sport, 44(2): 213–228.
  • Ziff, P., 1974, “A Fine Forehand.” Philosophic Exchange, 5(1): 41–47, available online.
Baca Selengkapnya →Philosophy of Sport (Terjemahan Liar 1)