26 Agustus 2018

Gaya Selingkung Tulisan Ilmiah

Tulisan ilmiah yang terwujud sebagai tugas kuliah, skripsi, dan berbagai manuskrip ilmiah diasumsikan selalu layak menjadi rujukan ilmiah yang bisa jadi memunculkan terobosan baru berupa teori atau prototip apapun yang berpeluang dipatenkan atau dilindungi sebagai hak kekayaan intelektual (HAKI). Apa jadinya jika suatu tulisan selevel disertasi masih mengabaikan tata tulis yang benar?

Sebagai suatu "wilayah khusus", tulisan ilmiah mempunyai gayanya sendiri, yang berbeda dengan wilayah lain seperti "obrolan warungan" atau rapat-rapat sosial atau kerja. Gaya ini dipandu oleh suatu rambu-rambu yang berwujud pedoman, panduan, atau sistematika khusus. Di perkuliahan, skripsi merupakan produk puncak akademik yang sudah harus mengikuti gaya ini, apalagi untuk tesis maupun disertasi. Pertaruhan kehormatan sebagai masyarakat akademis bisa muncul dari masalah gaya ini. Tentu saja, selain substansi ide tulisan.

Pengalaman saya, masih cukup mendominasi mahasiswa (tidak hanya S1, tapi juga pascasarjana) yang salah dalam menuliskan di + kata tempat dan di + kata kerja. Bukankah yang benar "di mana" dan "diringkas"? Cukup banyak juga yang menulis "efektif" dan "efisien", bukan "mangkus" dan "sangkil". Yang benar adalah "gawai", bukan "gadget". Istilah "e-learning" sudah lama diganti dengan "kuliah daring". Masih banyak lagi cara dan format penulisan yang salah. Berikut ini beberapa rambu-rambu gaya tulisan ilmiah yang saya rekomendasikan untuk dipatuhi masyarakat akademik:
  1. Gaya selingkung penulisan yang bisa berbeda-beda tergantung media dan peruntukannya. Panduan skripsi Unesa bisa berbeda dalam beberapa segi dengan panduan skripsi ITB.
  2. Panduan penulisan umum berbahasa, sebagai contoh adalah Panduan Umum Ejaan Bahasa Indonesia.
  3. Kamus yang berlaku, misalnya Kamus Besar Bahasa Indonesia (versi daring) atau KBBI versi luring.
Baca Selengkapnya →Gaya Selingkung Tulisan Ilmiah