Tampilkan postingan dengan label jurnalistik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label jurnalistik. Tampilkan semua postingan
17 November 2014
09 Maret 2014
Seri Jurnalistik 1: BATASAN DAN SEJARAH SINGKAT JURNALISTIK
A. Pengantar
Materi untuk jurnalistik, memang menjadi
dasar bagi pengkhususan jurnalistik di bidang olahraga, atau disingkat
Jurnalistik Olahraga. Oleh karena bidang keilmuan langsung yang membawahi
jurnalistik adalah komunikasi, maka demikian juga dengan jurnalistik olahraga.
Perbedaan (atau pembedaan?) karakter pemberitaan media massa tentang olahraga
dengan tema lainnya (politik, pendidikan, dan sebagainya), mengikuti “warna”
komunikasi yang terbangun dalam olahraga, baik dari sisi penulisan,
ilustrasi/foto, hingga sisi suasana psikologis tulisan/laporan. Di beberapa
bagian buku ini, pemakaian istilah jurnalistik olahraga sengaja ditekankan
untuk membedakan secara khusus dari istilah jurnalistik. Misalnya, ketika
berbicara tentang sejarah jurnalistik olahraga, maka hal tersebut merupakan
kekhususan dari sejarah jurnalistik secara umum.
Penggunaan media massa elektronik (TV,
Radio, internet) juga paralel dengan hal tersebut. Media massa elektronik
sengaja diabaikan di tulisan ini, dan lebih mengedepankan media massa cetak
sebagai kajian utama. Hal ini semata-mata disebabkan karakter tulisan yang
memang diperuntukkan bagi mahasiswa penempuh mata kuliah jurnalistik olahraga
yang tidak secara khusus di bawah program studi kejurnalistikan atau
komunikasi.
B. Apa
Jurnalistik Olahraga itu?
Jurnalisme adalah bidang disiplin dalam
mengumpulkan, memastikan, melaporkan, dan menganalisis informasi yang
dikumpulkan mengenai kejadian sekarang, termasuk tren, masalah, dan tokoh.
Orang yang mempraktekkan kegiatan jurnalistik disebut jurnalis atau wartawan.
Di Indonesia, istilah ini dulu dikenal
dengan publisistik. Dua istilah ini tadinya biasa dipertukarkan, hanya berbeda
asalnya. Beberapa kampus di Indonesia
sempat menggunakannya karena berkiblat kepada Eropa. Seiring waktu, istilah
jurnalistik muncul dari Amerika Serikat dan menggantikan publisistik dengan
jurnalistik. Publisistik juga digunakan untuk membahas Ilmu Komunikasi.
Jurnalisme dapat dikatakan "coretan pertama dalam
sejarah". Meskipun berita
seringkali ditulis dalam batas waktu terakhir, tetapi biasanya diedit sebelum
diterbitkan. Jurnalis seringkali berinteraksi dengan sumber yang kadangkala
melibatkan konfidensialitas.
Banyak pemerintahan Barat menjamin kebebasan dalam pers.
Aktivitas utama dalam jurnalisme adalah pelaporan kejadian dengan
menyatakan siapa, apa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana (dalam bahasa
Inggris dikenal dengan 5W+1H) dan juga menjelaskan kepentingan dan akibat dari
kejadian atau trend. Jurnalisme meliputi beberapa media: koran, televisi, radio, majalah dan internet sebagai pendatang
baru.
Tentang jurnalistik olahraga. ada sebagian
pandangan yang menganggap jurnalistik olahraga merupakan profesi kuno,
mengingat Homer, seorang penulis yang hidup di zaman Yunani Kuno, sudah
menuliskan event atletik pada masanya
di The Iliad. Sebagian
pandangan lagi menganggap jurnalistik olahraga berawal sejak abad 19 dengan
dasar catatan Bat Masterson, seorang cowboy dan warga barat yang termasyhur,
yang menjadi seorang jurnalis olahraga paling awal. Masterson
(1853-1921) merupakan anggota pramuka, petarung Indian, pemburu sapi liar, dan deputy sheriff di Dodge City, Kansas.
Tahun 1902 dia mulai bekerja sebagai wartawan olahraga di kota New York.
Masterson disebut sebagai “Tim Jurnalis Cetak Impian” oleh Associated Press
Managing Editors (APME) dalam edisi "Eternal Journal"nya (Mereka juga
menamai John Steinbeck sebagai editor olahraga di tim impian tersebut).
Definisi jurnalistik olahraga pada tulisan
ini mengikuti Mulligan (1999: 5):
Jurnalistik olahraga
adalah penelitian, kompilasi, dan diseminasi informasi olahraga dalam bentuk
tulisan, ucapan, ataupun bentuk visual untuk kepentingan pembaca, pemirsa, dan
pendengar. Selain cerita fiksi, karya jurnalistik olahraga ini bersifat
faktual. Tersedia bagi penggemar olahraga di surat kabar, majalah, liputan
khusus olahraga, film dokumenter, publikasi online, periklanan, literatur dan
perencanaan pemasaran, laporan berkala, siaran berita, serta gambar.
C.
Tantangan Profesi Jurnalistik
Kemajuan teknologi komunikasi selama 50
tahun terakhir, telah membawa dampak perubahan yang luarbiasa terhadap kegiatan
jurnalistik di dunia. Koran yang terbit di Paris atau New
York, hari ini juga edisi Asianya bisa dibaca di Jakarta seperti halnya kita membaca Kompas.
Duapuluh tahun yang lalu, koran Jakarta
baru bisa dibaca di Jawa Tengah atau Jawa Timur setelah pukul 12.00 tengah
hari. Selain karena
faktor teknologi, waktu itu juga ada pembatasan (regulasi) dari Departemen
Penerangan. Namun sekarang secara serentak, Kompas dicetak di Jakarta, Bandung,
Semarang, Surabaya, Makasar, Banjarmasin, Palembang dan Medan. Hingga koran
Jakarta itu bisa dibaca di Lubuk Pakam, Plei Hari atau Maros, bersamaan dengan
saat orang Menteng membacanya.
Itu semua
bisa terjadi berkat adanya teknologi komunikasi jarak jauh melalui satelit.
Hingga pengiriman halaman dengan huruf dan gambar siap cetak itu bisa dilakukan
dalam hitungan detik dari satu tempat ke tempat lainnya. Teknologi digital
dengan komunikasi melalui satelit, saat ini juga memungkinkan seorang jurnalis
yang berada di tengah hutan belantara Zaire, Brasil atau Papua bisa memotret
perang, binatang buas atau pemandangan alam, dan saat itu juga dengan bantuan
Notebook, Modem dan HP, gambar-ambar itu bisa sampai ke Jakarta, Tokyo, Paris
atau New York. Dan saat itu juga berita berikut fotonya sudah bisa dinikmati
konsumen di seluruh dunia. Baik melalui media cetak, televisi, internet maupun
SMS.
Namun
kemajuan teknologi yang demikian pesatnya itu, di lain pihak juga telah
mengakibatkan pendangkalan berpikir di kalangan masyarakat, yang pada saat
bersamaan juga menimpa para jurnalis. Dengan adanya media televisi dan
internet, maka alokasi waktu dari tiap individu untuk membaca media cetak
menjadi menyusut tajam. Kalau tahun 1980an orang masih tahan untuk duduk membaca
koran atau majalah selama lebih dari satu jam per hari, maka tahun 2000an
alokasi waktu itu rata-rata kurang dari 0,5 jam. Tuntutan untuk serba cepat dan
serba instan, pada akhirnya juga telah menumpulkan daya pikir sebagian besar
jurnalis kita. Sebab untuk bisa menghasilkan karya jurnalistik yang baik, tetap
diperlukan waktu dan suasana kontemplatif yang cukup.
Optimalisasi
fungsi jurnalistik perlu ditekankan dalam rangka pemberdayaan masyarakat
demokratis seperti Indonesia. Ada beberapa fungsi pers, di antaranya to Educate, to Inform, to
Intertaint, dan to
Control. Apabila semua fungsi tersebut dapat dipenuhi pers, maka langkah
menuju pers sebagai pencerdas kehidupan bangsa akan semakin kokoh.
Jurnalis
Indonesia, umumnya tidak memiliki latar belakang pendidikan jurnalistik di
perguruan tinggi. Sebab daya tampung jurusan publisistik dari Fakultas
Komunikasi di perguruan tinggi negeri maupun swasta kita, terlalu kecil
dibanding dengan kebutuhan tenaga jurnalis di lingkungan media massa saat ini.
Karenaya, ketika melakukan perekrutan calon jurnalis baru, media massa
Indonesia hanya mensyaratkan lulusan perguruan tinggi, dengan IP tertentu, usia
tertentu dll. Terhadap fakultas maupun jurusannya, PSDM perusahaan pers sangat
toleran. Hingga S1 dari IPB dengan jurusan Ilmu Tanah atau dari ITB dengan
jurusan Teknologi Nuklir, akhirnya berkecimpung di dunia kewartawanan. Meskipun
di lain pihak, kebijakan darurat demikian terbukti mampu memenuhi kebutuhan
jurnalis bagi sekian banyak media massa, dalam jangka waktu yang relatif
singkat.
Karena
mengetahui bahwa latar belakang para calon jurnalisnya yang sangat beragam,
maka penerbitan-penerbitan besar pun menyelenggarakan program in house training
secara intensif. Hingga meskipun merupakan hasil kerja instan, penerbitan besar
rata-rata memiliki SDM jurnalis yang relatif lebih baik dibanding dengan
penerbitan sedang dan kecil. Namun SDM media massa cetak besar yang siap pakai
ini, ternyata juga menarik perhatian stasiun tivi nasional yang saat ini
jumlahnya ada belasan. Hingga kemudian banyak wartawan
pers senior, yang akhirnya menyeberang terjun ke media audio visual. Trend ini
pun, sebenarnya merupakan hal yang positif, sebab kuantitas dan kualitas SDM
jurnalis di media massa
audio visual, saat ini jauh lebih memprihatinkan dibanding dengan media cetak.
Yang disebut jurnalis, sebenarnya juga
mengenal strata. Ada
wartawan yang kerjanya berburu berita, ada redaktur yang mengolah bahan menjadi
tulisan, ada redaktur pelaksana dan pemimpin redaksi. Jabatan-jabatan
struktural ini biasanya diisi oleh tenaga wartawan terbaik di media
bersangkutan. Hingga
profesi jurnalis di media massa besar, sebenarnya juga banyak “diganggu” secara
intern oleh iming-iming jabatan struktural tersebut. Sebab imbalan untuk
pekerjaan profesi di negeri ini memang masih kalah jika dibanding dengan
imbalan bagi pelaksana jabatan struktural. Karenanya, banyak wartawan dengan
kualifikasi sangat tinggi, akhirnya meninggalkan pekerjaan profesinya karena
institusi menuntutnya untuk menjadi redaktur, redpel atau pemred.
Namun gangguan paling besar dari profesi kewartawanan di Indonesia saat ini adalah, lunturnya idealisme. Godaan untuk minta-minta atau melakukan pemerasan, tidak hanya dilakukan oleh wartawan di daerah tetapi juga di ibukota. Bukan hanya oleh wartawan dari penerbitan kecil yang miskin, melainkan juga oleh mereka yang bekerja di perusahaan besar dan prestisius. Ketika profesi jurnalis berhadapan dengan kekuasaan, tekanan masih bisa dianggap sebagai kebanggaan. Namun ketika profesi ini harus berjuang terhadap tekanan kekuasaan amplop, maka tidak ada lagi yang bisa dibanggakan. Di kalangan jurnalis pun, sekarang ada angapan, bahwa sikap yang lurus-lurus saja dan hanya mengandalkan pendapatan dari menulis, merupakan tindakan bodoh.
Namun gangguan paling besar dari profesi kewartawanan di Indonesia saat ini adalah, lunturnya idealisme. Godaan untuk minta-minta atau melakukan pemerasan, tidak hanya dilakukan oleh wartawan di daerah tetapi juga di ibukota. Bukan hanya oleh wartawan dari penerbitan kecil yang miskin, melainkan juga oleh mereka yang bekerja di perusahaan besar dan prestisius. Ketika profesi jurnalis berhadapan dengan kekuasaan, tekanan masih bisa dianggap sebagai kebanggaan. Namun ketika profesi ini harus berjuang terhadap tekanan kekuasaan amplop, maka tidak ada lagi yang bisa dibanggakan. Di kalangan jurnalis pun, sekarang ada angapan, bahwa sikap yang lurus-lurus saja dan hanya mengandalkan pendapatan dari menulis, merupakan tindakan bodoh.
Dengan latar
belakang semacam itu, tantangan bagi profesi kewartawanan sekarang ini menjadi
semakin besar. Di satu pihak, bekal keterampilan teknis yang dimiliki oleh para
jurnalis pemula sangat rendah atau nol sama sekali. Lebih-lebih mereka yang
bukan berasal dari latar belakang pendidikan jurnalistik/publisistik di
perguruan tinggi, dan juga tidak dipersiapkan melalui in house training oleh
perusahaan pers tempatnya bekerja. Hingga kualitas teks yang ada di media
massa, terutama di stasiun televisi, berada jauh di bawah standar kelayakan.
Padahal, semua stasiun tivi saat ini memiliki tokoh jurnalis yang direkrut
(dibajak) dari media pers. Namun tampaknya, tenaga
berpengalaman ini kurang dimanfaatkan oleh media audio visual untuk pembenahan
teks.
Tantangan berikut yang dihadapi oleh dunia
jurnalis adalah, semakin banyak dan bervariasinya tawaran media. Tahun 1970,
koran Kompas hanya terbit dengan 12 halaman. Hanya pada hari-hari tertentu
koran ini terbit dengan 16 halaman. Pada waktu itu pemilik pesawat televisi baru ada satu dua di negeri ini.
Stasiun televisinya juga baru ada satu dan hanya mengudara dari jam lima sore
sampai tengah malam. Karenanya, di kota besar pun, halaman koran itu habis
dibaca semua sampai ke iklan-iklannya. Saat ini ada belasan stasiun televisi
yang sebagian besar mengudara 24 jam, sebelum ada regulasi dari pemerintah
untuk membatasi siaran sampai tengah malam karena alasan penghematan energi.
Semua rumah tangga punya pasawat televisi. Pelanggan koran Kompas misalnya,
biasanya juga melanggan koran, majalah atau tabloid lain. Kesibukan di kota
kecamatan pun, dewasa ini juga sangat tinggi. Hingga kesempatan untuk membaca,
dan juga menonton televisi menjadi semakin terbatas.
Seperti telah disebut di atas, tantangan paling besar bagi profesi jurnalis saat ini adalah lunturnya idealisme. Namun gejala demikian bukan hanya monopoli jurnalis. Cendekiawan, seniman, tentara, pendidik bahkan rohaniwan pun, akhir-akhir ini semakin berat harus bergelut dengan godaan pengingkaran profesi. Hingga pada akhirnya yang paling penting bukan sekadar keterampilan teknis, melainkan bagaimana memberi makna sebuah profesi sebagai panggilan hidup. Hal semacam inilah yang dalam era hedonisme sekarang, sangat sulit untuk terus dipertahankan. Namun justru perjuangan berat demikianlah yang selalu menarik untuk terus-menerus digeluti. Sebab semakin maju dan kompleks sebuah profesi, memang akan semakin banyak pula godaannya.
Seperti telah disebut di atas, tantangan paling besar bagi profesi jurnalis saat ini adalah lunturnya idealisme. Namun gejala demikian bukan hanya monopoli jurnalis. Cendekiawan, seniman, tentara, pendidik bahkan rohaniwan pun, akhir-akhir ini semakin berat harus bergelut dengan godaan pengingkaran profesi. Hingga pada akhirnya yang paling penting bukan sekadar keterampilan teknis, melainkan bagaimana memberi makna sebuah profesi sebagai panggilan hidup. Hal semacam inilah yang dalam era hedonisme sekarang, sangat sulit untuk terus dipertahankan. Namun justru perjuangan berat demikianlah yang selalu menarik untuk terus-menerus digeluti. Sebab semakin maju dan kompleks sebuah profesi, memang akan semakin banyak pula godaannya.
D.
Sejarah Jurnalistik Dunia
Ide surat
kabar sendiri sudah setua zaman Romawi kuno dimana setiap harinya, kejadian
sehari-hari diterbitkan dalam bentuk gulungan yang disebut dengan “Acta
Diurna”, yang terjemahan bebesnya adalah “Kegiatan hari”. Kemudian Setelah
Gutenberg menemukan mesin cetak di abad kelimabelas, maka buku-buku pun mulai
diterbitkan di Perancis dan Inggris, begitu pula halnya dengan surat kabar.
Surat kabar pertama kali dibuat di Amerika Serikat, dengan nama “Public Occurrenses Both Foreign and Domestick” di tahun 1690. Surat kabar tersebut diusahakan oleh Benjamin Harris, seorang berkebangsaan Inggris. Akan tetapi baru saja terbit sekali, sudah dibredel. Bukan karena beritanya menentang pemerintah, tetapi Cuma gara-gara dia tidak mempunyai izin terbit. Pihak kerajaan Inggris membuat peraturan bahwa usaha penerbitan harus mempunyai izin terbit, di mana hal ini didukung oleh pemerintah kolonial dan para pejabat agama. Mereka takut mesin-mesin cetak tersebut akan menyebarkan berita-berita yang dapat menggeser kekuasaan mereka kecuali bila usaha itu dikontrol ketat.
Surat kabar pertama kali dibuat di Amerika Serikat, dengan nama “Public Occurrenses Both Foreign and Domestick” di tahun 1690. Surat kabar tersebut diusahakan oleh Benjamin Harris, seorang berkebangsaan Inggris. Akan tetapi baru saja terbit sekali, sudah dibredel. Bukan karena beritanya menentang pemerintah, tetapi Cuma gara-gara dia tidak mempunyai izin terbit. Pihak kerajaan Inggris membuat peraturan bahwa usaha penerbitan harus mempunyai izin terbit, di mana hal ini didukung oleh pemerintah kolonial dan para pejabat agama. Mereka takut mesin-mesin cetak tersebut akan menyebarkan berita-berita yang dapat menggeser kekuasaan mereka kecuali bila usaha itu dikontrol ketat.
Kemudian surat kabar mulai bermunculan setelah negara
Amerika Serikat berdiri. Saat itu, surat kabar
itupun tidak sama seperti surat
kabar yang kita miliki sekarang. Saat itu surat
kabar dikelola dalam abad kegelapan dalam jurnalisme. Sebab surat kabar telah jatuh ke tangan partai
politik yang saling bertentangan. Tidak ada usaha sedikitpun untuk membuat
berita secara objektif., kecuali untuk menjatuhkan terhadap satu sama lainnya. Washington dan Jefferson
dituduh sebagai penjahat terbesar oleh koran-koran dari lawan partainya.
Apapun situasinya, rakyat hanya menginginkan
Amandemen dalam konstitusi yang akan menjamin hak koran-koran ini untuk
mengungkapkan kebohongan yang terburuk sekalipun tanpa takut dibrendel oleh
pemerintah. Presiden John Adams membreidel koran ”The New Republik”. Akibatnya partai
Federal pecah dan sebaliknya menguatkan posisi Jefferson.
Aksi breidel-membreidel ini sampai membuat keheranan seorang menteri bangsa
Prusia yang berkunjung ke Kantor Jefferson. Secara kebetulan, ia membaca koran
dari partai Federalis yang isinya meyerang Jefferson
habis-habisan.
Kritik-kritik keras tidak hanya menyerang Washington, Jefferson, John Adams ataupun James Medison, pokoknya semua kena. Dan selama koran tetap dikuasai oleh para anggota partai politik saja, maka tidak banyak yang bisa diharapkan.
Kemudian kecerahan tampaknya mulai menjelang dunia persurat kabaran. James Gordon Bennet, seorang berkebangsaan Skotlandia melakukan revolusinisasi terhadap bisnis surat kabar pada 1835. Setelah bekerja di beberapa surat kabar dari Boston sampai Savannah akhirnya dia pun mendirikan surat kabar sendiri. Namanya ”New York Herald” dengan modal pinjaman sebesar 500 dollar. Percetakannya dikerjakan di ruang bawah tanah di Wall Street dengan mesin cetak yang sudah tuam dan semua pekerjaan reportase dilakukannya sendiri.
Kritik-kritik keras tidak hanya menyerang Washington, Jefferson, John Adams ataupun James Medison, pokoknya semua kena. Dan selama koran tetap dikuasai oleh para anggota partai politik saja, maka tidak banyak yang bisa diharapkan.
Kemudian kecerahan tampaknya mulai menjelang dunia persurat kabaran. James Gordon Bennet, seorang berkebangsaan Skotlandia melakukan revolusinisasi terhadap bisnis surat kabar pada 1835. Setelah bekerja di beberapa surat kabar dari Boston sampai Savannah akhirnya dia pun mendirikan surat kabar sendiri. Namanya ”New York Herald” dengan modal pinjaman sebesar 500 dollar. Percetakannya dikerjakan di ruang bawah tanah di Wall Street dengan mesin cetak yang sudah tuam dan semua pekerjaan reportase dilakukannya sendiri.
”The Herald”
dan Bennet memperlihatkan kepada Amerika dan dunia tentang bagaimana cara
mendapatkan berita. Tidak lama kemudian Bennet pun berhasil meraih kesuksesan
dan membangun kantor beritanya sama seperti kantor-kantor perusahaan surat kabar
yang banyak kita jumpai sekarang. Dia juga sudah menempatkan
koresponden-korespondennya di luar negeri di mana beritanya dikirim dengan
usaha paket milik Bennet sendiri, dari pelabuhan New York ke kantornya di kota.
Dia juga yang pertama-tama mendirikan biro di Washington, dan memanfaatkan jasa
telegraf yang baru saja ditemukan.
Sejak itulah
berita sudah mulai dipilah-pilahkan menurut tingkat kepentingannya, tapi tidak
berdasarkan kepentingan politik. Bennet menempatkan politik di halaman
editorial. Isi korannya yang meliputi soal bisnis, pengadilan, dan kehidupan
sosial masyarakat New York memang tidak bisa dijamin keobyektifatnya, tetapi
setidaknya sudah jauh berubah lebih baik dibandingkan koran-koran sebelumnya.
Enam tahun setelah ”Herald” beredar, saingannya mulai muncul. Horace Greely mengeluarkan koran “The New York Tribune”. Tribune pun dibaca di seluruh Amerika. Pembacanya yang dominan adalah petani, yang tidak peduli apakah mereka baru sempat membaca korannya setelah berminggu-minggu kemudian. Bagi orang awam, koran ini dianggap membawa perbaikan bagi negara yang saat itu kurang terkontrol dan penuh bisnis yang tidak teratur.
Enam tahun setelah ”Herald” beredar, saingannya mulai muncul. Horace Greely mengeluarkan koran “The New York Tribune”. Tribune pun dibaca di seluruh Amerika. Pembacanya yang dominan adalah petani, yang tidak peduli apakah mereka baru sempat membaca korannya setelah berminggu-minggu kemudian. Bagi orang awam, koran ini dianggap membawa perbaikan bagi negara yang saat itu kurang terkontrol dan penuh bisnis yang tidak teratur.
Koran besar yang ketiga pun muncul di New York di tahun 1851,
ketika Henry J. Raymond mendirikan koran dengan nama “The New York Times”, atas
bantuan mitra usahanya, George Jones. Raymond-lah yang mempunyai gagasan untuk
menerbitkan koran yang non partisan kepada pemerintah maupun perusahaan bisnis.
Beruntung, saat itu Presiden Lincoln tidak pernah melakukan pembreidelan terhadap
koran-koran yang menyerangnya.
Setelah serentetan perang saudara di Amerika
usai, bisnis persuratkabaran pun berkembang luar biasa. Koran-koran pun mulai
muncul di bagian negara-negara selain New York
dan Chicago. Di
selatan, Henry W. Grady dengan koran “Konstitusi Atlanta”. Lalu, muncul koran “Daily News” dan
“Kansas City Star” yang mempunyai konsep pelayanan masyarakat sebagai fungsi
dari sebuah sebuah surat
koran. Bahkan pemilik Star, Rockhill Nelson bersumpah untuk mengangkat kota Kansas
dari “kubangan lumpur” dan berhasil. Di barat, Jurnalisme Flamboyan diwakili
oleh “Denver Post” dan koran-koran San Fransisco.
Di New York, surat kabar dianggap sebuah bisnis yang bakal
menjanjikan. Charles Dana membeli surat
kabar ”Sun” dan menyempurnakannya. Editornya, John Bogart punya cerita sendiri
tentang berita. Menurutnya ”kalau anjing menggigit manusai, itu bukan berita.
Tapi kalau manusia menggigit anjing, itu baru namanya berita”.
James Gordon Bennet Junior (anak Bennet) dan Joseph Pulitzer merupakan rival-rival utama Dana. Bennet Jr. Memperlihatkan cara membuat berita yang baik. Prestasinya yang paling terkenal adalah ketika dia mengirimkan Henry Stanley, seorang wartawan London, untuk mencari David Livingstone, seorang misionaris yang hilang di hutan.
Sedangkan Pulitzer mempunyai koran yang bernama ”New York World” dan terkenal sejak jaman perang saudara sampai akhir abad itu. Pulitzer melakukan taktik yang lebih baik dibanding para pendahulunya. Editorialnya yang bersifat perjuangan ke arah perbaikan dan liberal, liputan beritanya yang serba menarik, dan taktik diversifikasinya mengundang decak kagum seperti yang pernah dilakukan oleh Herald. Pulitzer adalah yang pertama kali menerbitkan koran mingguan, di mana isinya ditulis oleh para penulis terbaik yang pernah ada.
James Gordon Bennet Junior (anak Bennet) dan Joseph Pulitzer merupakan rival-rival utama Dana. Bennet Jr. Memperlihatkan cara membuat berita yang baik. Prestasinya yang paling terkenal adalah ketika dia mengirimkan Henry Stanley, seorang wartawan London, untuk mencari David Livingstone, seorang misionaris yang hilang di hutan.
Sedangkan Pulitzer mempunyai koran yang bernama ”New York World” dan terkenal sejak jaman perang saudara sampai akhir abad itu. Pulitzer melakukan taktik yang lebih baik dibanding para pendahulunya. Editorialnya yang bersifat perjuangan ke arah perbaikan dan liberal, liputan beritanya yang serba menarik, dan taktik diversifikasinya mengundang decak kagum seperti yang pernah dilakukan oleh Herald. Pulitzer adalah yang pertama kali menerbitkan koran mingguan, di mana isinya ditulis oleh para penulis terbaik yang pernah ada.
Pada tahun 1892 supremasi Pulitzer ditantang
oleh William Randolp Hearst lewat koran ”World”. Dalam hal inovasi dan
keberanian, ”World”-nya Hearst lebih dari ”World”-nya Pulitzer. Bukan itu saja,
koran Hearst isi beritanya jauh lebih flamboyan daripada koran Pulitzer. Hearst
banyak mempekerjakan orang-orang terbaiknya Pulitzer. Dia mempekerjakan Richard
Outcault, kartunis Pulitzer dan mendorongnya untuk menciptakan sebuah featuer
bernama ”The Yellow Kid”, yang menandai lahirnya cergam komik di Amerika.
Pada masa perang antara Amerika dan Spanyol,
kedua koran ini berteriak paling keras mendukung Amerika Serikat untuk terjun
perang, memimpin suara rakyat dengan padan suara jurnalisme dalam skala
nasional, dan memojokkan ke dalam konflik yang tidak terhindarkan. Selanjutnya
di perang Amerika-Kuba, keduanya mengalihkan kompetisinya dalam usaha meliput
perang.
Setelah Pulitzer meninggal, ”New York World”
malah menjadi yang terbesar di dunia. Orang menyebut Pulitzer sebagai
”wartawannya surat
kabar”. Sebaliknya, Hearst bersama koran-koran lainnya terpukul keras ketika
depresi besar terjadi. Tetapi usaha majalahnya yang paling terkemuka, yakni
”Good Housekeeping” dan ”cosmopolitan” tetap terus berkembang pesat.
Dalam perkembangannya, surat kabar berangkat sebagai alat propaganda
politik, lalu menjadi perusahaan perorangan yang disertai keterkenalan dan
kebesaran nama penerbitnya, dan sekarang menjadi bisnis yang tidak segemerlap
dulu lagi, bahkan dengan nama penerbit yang semakin tidak dikenal.
Perubahan ini memberikan dampak baru. Ketika
iklan mulai menggantikan sirkulasi (penjualan langsung) sebagai sumber dana
utama bagi sebuah surat
kabar, maka minat para penerbit jadi lebih identik dengan minat para masyarakat
bisnis. Ambisi persaingan untuk mendapatkan berita paling aeal tidaklah sebesar
ketika peloporan. Walaupun begitu, perang sirkulasi masih terjadi pada tahun
1920-an, tetapi tujuan jangka panjang mereka adalah untuk mencapai perkembnagn
penghasilan dari sektor iklan. Sebagai badan usaha, yang semakin banyak
ditangani oleh para pengusaha, maka surat
kabar semakin kehilangna pamornya seperti yang dimilikinya pada abad ke-19.
Namun, surat kabar kini mendapatkan sesuatu yang lain yang lebih penting. Surat kabar yang mapan kini tidak lagi diperalat sebagai senjata perang politik yang saling menjatuhkan ataupun bisnis yang individualis, melainkan menjadi media berita yang semakin obyektif, yang lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pihak-pihak tertentu saja.
Namun, surat kabar kini mendapatkan sesuatu yang lain yang lebih penting. Surat kabar yang mapan kini tidak lagi diperalat sebagai senjata perang politik yang saling menjatuhkan ataupun bisnis yang individualis, melainkan menjadi media berita yang semakin obyektif, yang lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pihak-pihak tertentu saja.
Kenaikan koran-koran ukuran tabloid di tahun
1920-an yang dimulai oleh ”The New York Daily News”, memberikan suatu dimensi
baru terhadap jurnalisme. Akhirnya memang menjadi kegembiraan besar bagi
kehidupan surat
kabar, terutama dalam meliput berita-berita keras. Perubahan lain yang layak
mendapat perhatian adalah timbulnya sindikasi. Berkat adanya sindikat-sindikat,
maka koran-koran kecil bisa memanjakan p[embacanya dengan materi editorial,
informasi, dan hiburan. Sebab kalau tidak, koran-koran kecil itu tentu tidak
dapat mengusahakan materi-materi tersebut, lantaran biaya untuk itu tidaklah
sedikit. Sindikat adalah perusahaan yang berhubungan dengan pers yang
memperjualbelikan bahan berita, tulisan atau bahan-bahan lainuntuk digunakan
dalam penerbitan pers.
Tahun 1950,
industri televisi mulai mengancam dominasi media cetak. Namun, sampai sekarang,
koran masih bertahan. Kenyataan menunjukkan bahwa koran telah menjadi bagian
dari kehidupan manusia pada umumnya. Dengan karakter khususnya ia mampu
membedakan dirinya dari media lainnya seperti televisi dan radio.
E.
Ringkasan Jurnalistik Indonesia
1 Jaman Penjajahan
7 Agustus 1744 Terbit surat kabar pertama "Bataviase Nouvelles" atas
kebaikan hati Gubernur Jenderal Van Imhoff. Izin terbitnya diberikan kepada
Adjunct-Secretaris-General Jorden. Izin terbit enam bulan, kemudian
diperpanjang menjadi tiga tahun. Diterbitkan oleh pedagang VOC Jan Erdmans
Jordens dan isinya terutama berita-berita kapal, pengangkatan dan pemberhentian
pejabat VOC, peraturan-peraturan pemerintah di Belanda dan VOC sendiri,
ditambah berita-berita singkat dari berbagai tempat di mana ada pangkalan VOC
(mulai dari Nusantara hingga Tanjung Harapan di Afrika Selatan).
20 November 1746 Para pemilik
modal VOC di Belanda, tidak suka dengan isi surat kabar ini yang dipandang
merugikan VOC. Surat kabar itu dilarang terbit (meski baru berhenti terbit 20
Juni 1746 karena perintah pelarangan dari Negeri Kincir Angin itu lambat
diterima di Batavia). Ini kisah pemberedelan pers yang pertama.
1776 Setelah
30 tahun Batavia tanpa surat kabar, terbit mingguan Vendu Nieuws yang
bertahan relatif lama, yaitu hingga Kompeni (VOC) dibubarkan pada tahun 1799. Surat kabar yang disebut "Surat
Lelang" ini bisa bertahan lama karena isinya hanya advertensi dan
sedikit berita.
1854 Terjadi
kelonggaran kebijakan Belanda terhadap penerbitan surat
kabar di Indonesia.
Maka terbitlah di Surakarta
"Mingguan Bromartani" tiap
hari Kamis. "Bromartani"
nama ke-Indonesiaan sekaligus ke-Jawaan. Tenaga dan para pemikirnya orang Indonesia.
Tetapi modalnya tetap asing, sebuah usaha kongsi Belanda Harteveldt & Co.
Karena itu sangat sulit untuk dimasukkan ke dalam kategori pers Indonesia.
Berbahasa Djawa dan Melajoe, tenaga teknis, Indonesia,
"Bromartani" sudah
cenderung menjadi pelopor ke arah perkembangan pers nasional Indonesia.
1924 Perubahan
yang cukup signifikan terjadi ketika harian De Indische Telegraaf di
Bandung, muncul dalam edisi pagi dan edisi sore, kecuali hari Minggu dan hari
libur.
12 Januari 1901 Surat
kabar pertama yang diterbitkan kaum Cina Peranakan adalah Li Po, di
Sukabumi yang berakhit tahun 1907
1910 Terbitnya
mingguan “Medab Priyayi” yang berkembang menjadi harian yang dianggap sebagai
permakarsa pers nasional. Artinya dialah
yang pertama kali mendirikan penerbitan yang dimodali modal nasional dan
pemimipinya orang Indonesia.
2 Jaman Orde Lama
11 September 1945 Kemerdekaan Indonesia
membawa berkah bagi jurnalisme. Pemerintah Indonesia
menggunakan Radio
Republik Indonesia sebagai media komunikasi. Ini juga hari pertama
berdirinya Radio Republik Indonesia.
Kemerdekaan Indonesia juga
menguatkan kondisi pers nasional dimana banyak diterbitkannya koran yang
mempropagandakan kemerdekaan seperti, Soeara
Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta)
dan The
Voice of Free Indonesia
Voice of Free Indonesia
1948 “Sinar
Mejalengka” berbahasa Sunda
1950-an "Harian
Pikiran Rakjat" yang dirintis Djamal Ali bersama AZ. Sutan Palindih dkk.
1960 Lahir
Penetapan Presiden No 6/1960, Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) diberi
kekuasaan untuk memberlakukan Surat Izin Terbit (SIT) secara nasional.
Penggunaan perizinan sebagai alat kendali pemerintah untuk meredam kebebasan
pers terbukti ampuh.
1962 Menjelang
penyelenggaraan Asian Games
IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun 1962 inilah Televisi
Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih.
25 Maret 1965 Pikiran
Rakjat ini berhenti terbit setelah pemerintah mengeluarkan peraturan yang
menentukan semua media cetak harus "menggandul" atau berafiliasi
dengan partai politik. Pihak Redaksi "Pikiran Rakjat" yang pada waktu
itu diwakili Sakti Alamsyah dan Atang Ruswita serta kawan-kawan ditawari
Panglima Siliwangi Mayor Jenderal Ibrahim Adjie untuk bergabung dan berafiliasi
dengan surat kabar.
1 Oktober 1965 Pepelrada
Jaya melarang terbit semua harian yang terbit di Ibu Kota kecuali koran
Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, yang memang diterbitkan pihak militer.
Surat Perintah Pangdam V/Jaya (No. 01/Drt/10/1965) yang dikeluarkan Mayjen Umar
Wirahadikumah berbunyi, "Dalam rangka mengamankan pemberitaan yang
simpang-siur mengenai peristiwa pengkhianatan oleh apa yang dinamakan Komando
Gerakan 30 September/Dewan Revolusi, perlu adanya tindakan-tindakan penguasaan
terhadap media-media pemberitaan". Masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi
pembreidelan media massa.
Kasus Harian
Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan
dua contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui
Departemen Penerangan dan Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan Aliansi
Jurnalis Indepen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna
Galih, Jawa Barat.
Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara.
3 Jaman Orde Baru
24 Maret 1966 Bertepatan
dengan peringatan Bandung Lautan Api terbitlah "Harian Angkatan Bersenjata
Edisi Jawa Barat/Pikiran Rakyat". Judul "Pikiran Rakyat"-nya
tercantum kecil di sudut kiri atas kop "Angkata Bersenjata" Edisi
Jawa Barat. Setahun kemudian baru diperkenankan memakai kop "Pikiran
Rakyat" (besar) sedangkan kop "Angkatan Bersenjata”-nya bertukar
tempat menjadi huruf kecil di kiri atas halaman pertama. Pada tahun 1967 koran
ini resmi menjadi "Harian Umum Pikiran Rakyat" hingga sekarang. DPR membuat UU Pokok Pers No 11/1966 jo No
4/1967 jis No 21/1982 dan UU Penyiaran No 24/1997 yang memberi otoritas kepada
Menteri Penerangan untuk mengatur dan mengekang kebebasan pers. Pers tidak lagi
merdeka. Berita pers harus sesuai petunjuk pemerintah. Ratusan media pers yang
kritik dan kontrolnya dinilai mengganggu stabilitas negara dibredel. Ironisnya
semua ketentuan dan UU tersebut dibuat merujuk konstitusi.
4 Jaman Reformasi
20-23 Oktober 1998 Pertemuan relawan Masyarakat Pers dan Penyiaran
Indonesia (MPPI) yang di back up Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) di
Pacet-Cianjur, selain menghasilkan RUU Tap MPR tentang Kebebasan Informasi yang
diakomodasi dalam Tap MPR No XVII/1998 tentang HAM—rumusan itu menjadi Pasal
28F UUD 1945—juga menghasilkan RUU Pers.
23 September 1999 Hari
lahir Kemerdekaan Pers Indoesia. Pembahasan intensif 25 Agustus sampai 13
September 1999 oleh empat fraksi DPR Komisi I dengan pemerintah yang diwakili
Deppen. Dalam pembahasan hampir tiga pekan itu, lahirlah UU yang memerdekakan
pers.
13-15 April 2007 Pertemuan Lokakarya Pendidikan
Jurnalisme,Yogyakarta menunjukkan iklim profesi jurnalistik di Indonesia
mengalami perubahan yang signifikan sejak berlangsung reformasi. Dalam
pertemuan ini ditemukan bahwa Indonesia
memerlukan Sekolah Jurnalistik untuk menghasilkan wartawan yang berkualitas dan
siap pakai, dimana ilmu jurnalistik berdiri sendiri tidak lagi dibawah kajian
ilmu komunikasi.
Di halaman berikut ini penulis rangkumkan
kilasan sejarah jurnalistik secara umum sebagai bahan pengaya wawasan tentang
asal-usul jurnalistik yang diakui secara akademik (beberapa kisah seperti Nabi
Nuh sebagai jurnalis pertama, dan semacamnya, sengaja tidak ditampilkan di sini
semata-mata karena perlunya kesepakatan metodis di antara ilmuwan-akademisi).











Bila dibandingkan dengan masa-masa
sebelumnya, kondisi pers hari ini jauh lebih baik (berpeluang) untuk eksis dan
berkembang, minimal jika dilihat dari sikap/kebijakan pemerintah, iklim
kebebasan pers, dan kondisi masyarakat global. Tentu saja berbagai tantangan
yang ada bisa menyurutkan kondisi ini menjadi stagnan dan kurang menguntungkan.
Dibutuhkan kesungguhan semua pihak terkait untuk membesarkan pers nasional
dalam menghadapi berbagai tantangan seperti iklim globalisasi, tuntutan pasar
(market), profesionalisme pers, kemandirian pers, dan sikap kritis masyarakat.
Referensi
Anonim, 2008, Jurnalistik Olahraga, dalam http://mbin034.multiply.com/journal/item/111/JURNALISTIK_OLAHRAGA,
akses terakhir 9 Desember 2008, 22:39 WIB
Cheryl L. Webster, 2005, News Media Critique: “Crazies in the Streets”, dalam eCOMMUNITY: International Journal Of Mental
Health & Addiction, Vol. 3, No. 2, pp. 64-68, 2005, ISSN 1705-4583, Canada:
Professional Advanced Services, Inc.
Ermanto, 2005, Wawasan
Jurnalistik Praktis, Yogyakarta:
Cinta Pena.
F. Rahardi, 2005, Panduan
Lengkap Menulis Artikel, Feature, dan Esai untuk Pemula, Handout tidak diterbitkan.
Made Pramono, 2011, E-learning jurnalistik olahraga: http://ilmu.unesa.ac.id
Mulligan, Joseph F.; Mulligan, Kevin T, 1999, The Mulligan Guide to Sports Journalism
Careers, Illinois: NTC Contemporary.
Seri Jurnalistik 2: DUNIA JURNALISTIK DAN MEDIA MASSA
A.
Ilmu Jurnalistik
Apakah yang dimaksud sebagai ilmu
jurnalistik? Ilmu jurnalistik adalah bagian dari ilmu publisistik (to publish =
publikasi). Publisistik sendiri merupakan bagian dari ilmu komunikasi. Makna
jurnalistik adalah hal ihwal yang berhubungan dengan persurat-kabaran (media massa cetak = pers). Secara lebih sederhana, jurnalistik
sering diartikan sebagai ilmu tentang tulis-menulis di media massa. Padanan
ilmu jurnalistik adalah pengetahuan kewartawanan. Hingga jurnalis juga
dipadankan dengan wartawan, yang merupakan profesi untuk memperoleh informasi
guna disebarluaskan ke masyarakat melalui media massa cetak. Sekarang profesi jurnalis / wartawan tidak hanya terkait dengan
media massa
cetak, melainkan juga radio, televisi, kantor berita dan multi media (web
site).
Di manakah
kita bisa belajar ilmu jurnalistik? Secara formal, ilmu jurnalistik bisa
dipelajari di perguruan tinggi negeri maupun swasta, melalui program diploma,
strata 1, 2 (magister) dan 3 (Phd. / Dr.) Umumnya jurnalistik hanya menjadi
Satuan Mata Kuliah (SKS) dari jurusan publisistik di Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik (FISIP). Namun ada beberapa perguruan
tinggi, yang menjadikan jurnalistik sebagai salah satu jurusan di Fakultas
Publisistik, bersamaan dengan Advertising dan Public Relation (PR = kehumasan).
Sejak kapankah karya jurnalistik mulai
ditulis? Karya jurnalistik mulai dibuat sejak jaman Mesir Kuno, yakni ketika
kultur manusia mengenal peradaban menulis. Bentuk tulisan yang pertama
berkembang adalah reportase (to report = melaporkan). Peninggalan karya
jurnalistik tertua (1.500 SM), berupa manuskrip berhuruf hieroglyph di atas
daun papyrus (paper = kertas) dan relief dinding batu di salah satu kuil di
Mesir. Isi manuskrip adalah perjalanan seorang Raja Mesir (Fira’un) untuk
menaklukkan kota Megido (sekarang Lebanon). Pada jaman Julius Caesar (Romawi,
100 – 44 SM), laporan pandangan mata dari medan perang ditulis dan dipasang
secara periodik di papan pengumuman di kota. Menuliskan hasil perjalanan, juga
dilakukan oleh para “jurnalis” Cina kuno yang berlayar bersama para pedagang
dan penyebar agama Budha.
Sejak kapankah ilmu jurnalistik berkembang?
Ilmu jurnalistik berkembang sejak abad XV, bersamaan dengan diketemukannya
mesin cetak oleh Johann Gutenberg dari Jerman. Sejak itu berkembanglah
penerbitan buku. Selain buku juga terbit media berkala secara periodik dan
dicetak massal untuk dijual ke masyarakat luas. Bersamaan dengan berkembangnya
media massa
cetak, berkembang pulalah ilmu jurnalistik.
Apakah untuk menjadi wartawan profesional,
seseorang harus memiliki pendidikan formal seperti halnya dokter, pengacara,
akuntan publik, pilot dan awak kapal? Tidak harus. Siapa pun bisa berprofesi
sebagai wartawan, asalkan memiliki keterampilan sesuai dengan standar yang
ditetapkan oleh media massa
tempatnya bekerja (wartawan tetap) dan yang akan dikirimi tulisan/foto
(wartawan free lance, kontributor tetap). Jadi profesi wartawan berbeda dengan
dokter, pengacara, akuntan publik, pilot dan awak kapal yang harus memiliki
pendidikan khusus dengan standar internasional.
Selain melalui pendidikan formal di
perguruan tinggi, di manakah seseorang bisa belajar ilmu jurnalistik? Biasanya
calon wartawan dengan pendidikan strata 1 berbagai jurusan, setelah diterima
bekerja di perusahaan media massa,
akan dididik (diberi bekal ilmu jurnalistik) melalui program in house training.
Selain itu, cukup banyak kursus dan pelatihan jurnalistik yang diselenggarakan
oleh lembaga-lembaga swasta, yang terbuka untuk umum. Seseorang yang berminat
belajar ilmu jurnalistik bisa mengikuti training-training di lembaga swasta
tersebut.
B.
Dunia Media Massa
Apakah yang dimaksud sebagai media massa? Media massa atau kadang hanya
disebut sebagai media, adalah peralatan (sarana) untuk menyebarkan informasi ke
masyarakat. Media massa
ada yang bersifat komersial (dijual dan menerima iklan). Ada pula yang bersifat non komersial dan
dibiayai oleh lembaga penyelenggaranya. Biasanya media massa non komersial diselenggarakan oleh
lembaga-lembaga kenegaraan, keagamaan, pemerhati lingkungan dan sosial
kemasyarakatan, atau sebagai alat promosi dan PR bagi perusahaan besar.
Misalnya majalah maskapai penerbangan yang ditaruh di masing-masing kursi
pesawat.
Ada berapa
macamkah media massa saat ini? Saat ini kita mengenal media massa cetak, media
massa radio, media massa film (bioskup), media massa televisi, kantor berita,
media massa luar ruang (poster, spanduk, billboard, balon) dan multi media
(internet/web site).
Media massa
manakah yang paling terkait dengan pekerjaan jurnalistik? Yang paling terkait
dengan pekerjaan jurnalistik adalah media massa
cetak, radio, tivi dan kantor berita. Sementara film, media luar ruang dan
multi media kurang terkait dengan kerja jurnalistik secara langsung.
Media massa
manakah yang paling berpengaruh saat ini? Media massa yang paling berpengaruh saat ini
adalah televisi. Sebab daya jangkau televisi sangat luas, serentak dan cepat.
Nomor dua media massa cetak. Media massa radio pernah berperan sangat besar
pada waktu perang dunia I maupun II. Sebab pada saat itu media televisi belum
berkembang seperti sekarang. Media kantor berita
biasanya hanya berbentuk buletin atau kalau sekarang berupa web site. Fokus
kantor berita internasional saat ini adalah fotografi.
Mungkinkah salah satu bentuk media massa itu akan mati
karena desakan jenis media yang lebih kuat? Tidak mungkin. Sebab masing-masing
memiliki kekuatan yang tidak tergantikan. Contohnya media radio yang pernah sangat
berpengaruh pada era perang dunia II, kemudian surut karena terdesak media
televisi pada tahun 1980an. Namun media radio kembali menemukan perannya ketika
lalulintas di kota besar menghadapi masalah kemacetan. Di
sinilah radio kembali memegang peranan penting dan menemukan pasarnya. Media
radio cocok untuk masyarakat/orang yang sedang melakukan sesuatu hingga tidak
mungkin membaca atau menonton tivi. Misalnya mereka yang sedang mengemudikan
mobil, bekerja di pabrik, kebun dan lain-lain.
C. Media Massa Cetak
Apa sajakah
yang dikatagorikan sebagai media massa cetak? Yang
dikatagorikan sebagai media massa
cetak adalah koran, tabloid, majalah, bulletin, jurnal dan news letter.
Apakah yang membedakan media massa cetak dengan buku?
Media massa cetak diterbitkan secara periodik, dengan nama penerbitan sama, diberi nomor serta tanggal terbit dan memuat isi yang bersifat faktual. Sementara buku tidak terbit secara periodik dan memuat isi yang tidak bersifat faktual.
Media massa cetak diterbitkan secara periodik, dengan nama penerbitan sama, diberi nomor serta tanggal terbit dan memuat isi yang bersifat faktual. Sementara buku tidak terbit secara periodik dan memuat isi yang tidak bersifat faktual.
Bagaimanakah
periodisasi terbitnya media massa cetak? Periodisasi terbitnya media massa
cetak pada umumnya adalah: harian, mingguan, dua mingguan, bulanan, dua
bulanan, tiga bulanan, empat bulanan, tengah tahunan dan tahunan. Media massa
yang terbit harian, umumnya koran. Sementara yang terbitnya dua bulanan sampai
setahun sekali umumnya jurnal. Periodisasi yang paling
banyak digunakan, selain harian adalah mingguan dan bulanan. Biasanya tabloid
dan majalah menggunakan pola terbit mingguan dan bulanan.
Bagaimanakah media massa cetak dibuat? Media massa cetak dibuat dengan cara mencari dan
mengumpulkan bahan, baik bahan tertulis, gambar dan foto. Pekerjaan ini
dilakukan oleh para wartawan. Bahan itu diolah menjadi tulisan oleh redaksi,
untuk selanjutnya ditata dalam halaman-halaman penerbitan, dibuat film dan
plate lalu dicetak, untuk majalah harus dijilid dan kemudian diedarkan. Baik secara cuma-cuma maupun dijual.
Bagaimanakah
media massa cetak diedarkan? Media massa cetak diedarkan secara cuma-cuma oleh
lembaga kenegaraan/pemerintahan, keagamaan, perusahaan dll. Media massa cetak
yang diedarkan secara komersial, bisa dijual di agen koran/majalah (di lapak),
dijual para pengasong di jalan raya, di toko buku dan dilanggan oleh konsumen.
Pelanggan bisa menerima penerbitan media massa melalui jasa pos, hantaran atau
loper yang dipekerjakan oleh agen.
Bagaimanakah
penerbitan media massa cetak dibiayai? Media massa cetak non komersial,
dibiayai oleh anggaran lembaga yang menerbitkannya, karena akan diedarkan
secara cuma-cuma. Media massa cetak komersial, dibiayai dari penjualan media
massa tersebut, uang langganan dan jasa penjualan halaman untuk dipasangi
iklan. Ada pula pemasukan dari advertorial (iklan dalam bentuk artikel). Media
massa tertentu, juga memperoleh pendapatan dari produk pendukungnya (barang
promosi). Bahkan kadang-kadang produk pendukung ini justru bisa mendatangkan
pemasukan lebih tinggi.
Apakah untuk menerbitkan media massa cetak memerlukan
ijin khusus?
Sebelum tahun 1998, penerbitan media massa cetak memerlukan ijin khusus yang pengurusannya sangat rumit dan berbelit serta memerlukan dana besar. Hingga pada waktu itu SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) memiliki nilai komersial yang sangat tinggi. Setelah tahun 1998, penerbitan media massa cetak bisa dilakukan dengan bebas oleh siapa saja.
Sebelum tahun 1998, penerbitan media massa cetak memerlukan ijin khusus yang pengurusannya sangat rumit dan berbelit serta memerlukan dana besar. Hingga pada waktu itu SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) memiliki nilai komersial yang sangat tinggi. Setelah tahun 1998, penerbitan media massa cetak bisa dilakukan dengan bebas oleh siapa saja.
D.
Wartawan, Redaktur dan Penulis Lepas
Apakah yang dimaksud sebagai wartawan,
redaktur dan penulis lepas? Wartawan, jurnalis atau reporter adalah profesi
untuk memperoleh informasi dengan mendatangi sumbernya. Istilah yang
dipergunakan untuk melakukan pekerjaan ini adalah meliput. Hasil liputan para
wartawan, akan ditulis dan diserahkan ke redaktur untuk diseleksi, diolah lagi
dan disajikan dalam bentuk tulisan di media cetak, siaran radio atau televisi.
Penulis/wartawan lepas (free lance) adalah penulis berita, reportase, artikel,
feature dan bentuk tulisan lain yang tidak terikat (bekerja) di satu lembaga.
Penulis/wartawan lepas bisa bekerja di rumah masing-masing dan mengirimkan
hasil tulisannya ke media manapun.
Ada berapa
macamkah wartawan yang biasa melayani media massa? Sesuai dengan medianya, ada
wartawan media massa cetak (koran, tabloid, majalah); wartawan radio, wartawan
televisi dan wartawan kantor berita. Kalau dilihat dari jenis pekerjaannya ada
wartawan biasa yang pekerjaannya menulis berita dan ada wartawan foto yang
pekerjaannya memotret. Dengan berkembangnya media televisi, kemudian dikenal
pula reporter yang pekerjaannya mewawancarai sumber berita dan cameraman yang
tugasnya mengambil gambar audio visual dari peristiwa atau sumber. Dilihat dari
prestasinya, ada wartawan biasa dan ada pula wartawan senior. Yang disebut
wartawan senior, bukan mereka yang sudah menggeluti profesi kewartawanan cukup
lama atau usianya sudah tua, melainkan yang mampu mencapai prestasi kerja
kewartawanan dan diakui oleh masyarakat.
Apakah beda wartawan dengan redaktur?
Wartawan adalah pemburu informasi di lapangan, sementara redaktur adalah juru
masak yang memberi order peliputan, mengumpulkan hasil liputan dan mengolahnya
menjadi tulisan. Di koran-koran besar, wartawan dikelompokkan sesuai dengan
rubrik yang ditangani. Misalnya wartawan ekonomi, politik, olahraga, budaya
dll. Masing-masing rubrik dikepalai oleh redaktur yang disebut desk.
Apakah yang disebut pemimpin redaksi, redaktur
pelaksana, redaktur pracetak dan sekretaris redaksi? Pemimpin redaksi adalah
pemegang kekuasaan tertinggi di bagian redaksi sebuah media massa. Pekerjaan utamanya adalah membuat
kebijakan dan meneruskannya ke redaktur pelaksana untuk diaplikasikan pada
kegiatan sehari-hari. Di koran besar, redaktur pelaksana memimpin desk yang
masing-masing dibantu oleh wartawan rubrik. Selain itu ada wartawan non desk
yang biasanya langsung berada di bawah redaktur pelaksana atau pemimpin
redaksi. Redaktur pracetak adalah redaksi yang pekerjaannya menangani lay out
penerbitan pers termasuk segi artistiknya. Di koran-koran pagi biasanya juga
dikenal istilah redaktur malam. Yakni redaksi yang bertugas pada malam hari
sebelum batas deadline koran untuk naik cetak. Sekretaris redaksi adalah kepala
rumahtangga redaksi. Urusannya mulai dari administrasi naskah, uang transpor,
honor, kegiatan rapat dll. Sekretaris redaksi bertanggungjawab langsung kepada
pemimpin redaksi.
Manakah yang jenjangnya lebih tinggi:
wartawan atau redaktur/redaktur pelaksana? Wartawan dan redaksi adalah jenis
pekerjaan yang berbeda. Wartawan adalah jenjang profesi. Sama dengan dosen,
dokter, pengacara dll. yang jenjangnya sangat tergantung dari keahlian dan
prestasinya dalam menjalankan profesi. Sementara redaktur (desk), redaktur
pelaksana, pemimpin redaksi, redaktur pracetak dan sekretaris redaksi berikut
para wakilnya adalah jenjang struktural. Hingga bisa saja penghasilan seorang
wartawan senior dalam satu perusahaan pers, lebih tinggi dari redaktur bahkan
redaktur pelaksananya. Sama halnya dengan di rumah sakit atau perguruan tinggi,
yang gaji dokter spesialis atau guru besarnya lebih tinggi dari kepala bagian
atau kepala jurusan.
Bagaimanakah caranya agar seseorang bisa
menjadi wartawan/penulis lepas? Caranya harus dengan menulis berita, hasil
reportase, artikel feature atau bentuk tulisan lain dan mengirimkannya ke media
massa. Semakin
sering karya seseorang dimuat media massa,
maka kredibilitasnya akan semakin baik. Namun yang bisa benar-benar menjadi
wartawan/penulis lepas, dalam arti hidup dari honorarium menulis, hanyalah
mereka yang sudah mampu meraih status sebagai wartawan senior.
Apakah penyair, cerpenis dan novelis yang
karyanya sering muncul di media massa
bisa dikatagorikan sebagai penulis lepas (free lance)? Tidak bisa. Sebab mereka
lebih lazim disebut sasterawan. Yang mereka tulis pun karya fiksi. Istilah
penulis lepas, lazim digunakan hanya untuk menyebut penulis berita, artikel dan
feature yang tidak terikat bekerja di satu perusahaan pers.
E.
Pendidikan Menulis dan Jurnalis
Ada berapa macamkah pendidikan menulis dan jurnalis? Pendidikan menulis
(dalam arti mengarang, menyusun tulisan), sudah mulai diajarkan sejak di bangku
SD. Pelajaran menulis
ini terus berlanjut sampai ke jenjang perguruan tinggi. Di sini, keterampilan
menulis sangat diperlukan dalam rangka menyusun karya ilmiah sebagai bagian
dari tugas akhir maupun hasil penelitian. Sementara pendidikan jurnalis
(kewartawanan) hanya diajarkan secara formal di jurusan publisistik atau
jurnalistik di perguruan tinggi yang membuka jurusan ini, baik untuk program
diploma maupun strata. Selain pendidikan formal, menulis dan kewartawanan juga
diajarkan di berbagai lembaga pelatihan/training. Media massa besar, baik
cetak, radio, televisi dan kantor berita juga mengajarkan keterampilan menulis
dan jurnalis melalui program in house training.
Profesi apa
sajakah yang terkait dengan kegiatan tulis menulis?
Profesi yang terkait dengan kegiatan tulis menulis antara lain sasterawan (penyair, cerpenis, novelis, penulis naskah drama), wartawan, kolumnis, esais, penulis teks iklan (copy writer), penulis script program radio/tivi, penulis skenario film/sinetron dan ghost writer (penulis pidato, sambutan, artikel dan buku untuk seorang tokoh).
Profesi yang terkait dengan kegiatan tulis menulis antara lain sasterawan (penyair, cerpenis, novelis, penulis naskah drama), wartawan, kolumnis, esais, penulis teks iklan (copy writer), penulis script program radio/tivi, penulis skenario film/sinetron dan ghost writer (penulis pidato, sambutan, artikel dan buku untuk seorang tokoh).
Apakah mereka yang sudah memiliki status
penulis/wartawan berarti tidak perlu belajar lagi? Mereka yang sudah meraih
predikat sebagai penulis/wartawan profesional pun tetap harus terus-menerus
belajar. Baik secara formal, non formal maupun informal. Pendidikan menulis
secara formal di perguruan tinggi, hanya terbatas menyangkut profesi jurnalis
(non fiksi). Sementara
sasterawan, tidak ada sekolah formalnya. Fakultas sastra di perguruan tinggi,
hanya sebatas mengajarkan ilmu sastra. Bukan mendidik
mahasiswa untuk menjadi sasterawan.
Dalam pendidikan menulis dan jurnalis,
manakah yang lebih penting: belajar atau berlatih? Berlatih jelas lebih
penting. Sebab kegiatan menulis atau menjadi wartawan, lebih memerlukan
keterampilan (skill) dan bukan sekadar pengetahuan. Selain dengan berlatih,
skill juga akan datang secara otomatis kalau seseorang terus-menerus bekerja
sambil memperbaiki diri. Keterampilan apa pun, hanya akan meningkat apabila
seseorang telah memiliki “jam terbang” cukup banyak.
Mengapa
informasi mengenai pendidikan tulis menulis dan kewartawanan sampai sekarang
sangat jarang sampai ke masyarakat? Sebab dunia tulis menulis memang hanya
digeluti oleh sedikit orang. Kebanyakan penulis buku petunjuk praktis menulis
dan kewartawanan, justru mereka yang tidak memiliki pengetahuan ilmu
jurnalistik. Misalnya sastrawan yang kebetulan juga wartawan, menulis buku
petunjuk untuk menjadi penulis/wartawan. Atau dosen perguruan tinggi membuat
buku petunjuk praktis “Menulis Ilmiah Populer di Media Masa”. Sementara mereka
yang memiliki pengetahuan jurnalistik cukup baik, jarang yang mau menyusun buku
petunjuk.
Referensi
Anonim, 2008, Jurnalistik Olahraga, dalam http://mbin034.multiply.com/journal/item/111/JURNALISTIK_OLAHRAGA,
akses terakhir 9 Desember 2008, 22:39 WIB
Ermanto, 2005, Wawasan
Jurnalistik Praktis, Yogyakarta: Cinta Pena.
F. Rahardi, 2005, Panduan
Lengkap Menulis Artikel, Feature, dan Esai untuk Pemula, Handout tidak diterbitkan.
Made Pramono, 2011, E-learning jurnalistik olahraga: http://ilmu.unesa.ac.id
Pape, Susan &
Featherstone, Sue, 2005, Newspaper
Journalism: A Practical Introduction, London: SAGE Publications Ltd.
Seri Jurnalistik 3: PELATIHAN JURNALISTIK
A.
Tentang Modul
Apakah yang disebut sebagai modul? Dalam
pengertian umum, modul adalah standar atau satuan pengukur. Dalam konteks
pendidikan, modul adalah paket atau program belajar mengajar, mulai dari
perencanaan, pelaksanaan sampai ke evaluasi terhadap dampak hasil pelaksanaan.
Ada berapa
macam modulkah dalam dunia pelatihan? Ada modul dasar, ada modul lepas dan
modul lengkap. Yang dimaksud sebagai modul dasar adalah paket belajar –
mengajar secara lengkap, namun hanya menyangkut garis besarnya saja. Tujuannya
agar peserta didik memiliki pengetahuan dasar tentang suatu bidang, sektor atau
materi yang dilatihkan. Modul lepas adalah paket belajar – mengajar secara
detil dan mendalam, namun hanya menyangkut satu bagian dari keseluruhan
kegiatan. Modul lengkap adalah paket belajar mengajar secara lengkap, detil dan
mendalam. Biasanya yang disebut modul lengkap, adalah modul dasar ditambah
dengan keseluruhan modul lepas.
Bagaimanakah
kaitan modul dasar dan modul lepas dalam pelatihan jurnalistik?
Dalam kaitan pelatihan jurnalistik, yang dimaksud sebagai modul dasar adalah, peserta didik diharapkan memiliki pengatahuan dasar tentang teori jurnalistik, berikut semua bentuk tulisan di media massa dan tatakerja penerbitannya. Berarti seorang peserta didik yang mengikuti modul dasar, sudah siap untuk terjun sebagai wartawan pemula. Modul dasar cocok untuk melatih pengelola bulletin, jurnal dan penerbitan intern lainnya. Modul lepas adalah paket belajar – mengajar yang bisa berdiri sendiri, namun masih memiliki keterkaitan dengan keseluruhan paket kegiatan. Misalnya modul penulisan news, artikel, features, reportase. Modul ini dibuat berdasarkan bentuk tulisan di media massa. Bisa pula modul lepas disusun berdasarkan aspek yang akan dikerjakan dalam kegiatan kewartawanan. Misalnya modul penentuan tema tulisan, pengumpulan bahan dan peliputan, memotret, bahasa jurnalistik, pemilihan media, rubrikasi dll. Modul lepas bisa dipergunakan secara tersendiri (misalnya pelatihan meliput), beberapa modul lepas sekaligus (misalnya menulis news, artikel dan feature), bisa juga modul lepas tersebut digabung secara keseluruhan dan ditambah modul dasar hingga menjadi modul lengkap.
Dalam kaitan pelatihan jurnalistik, yang dimaksud sebagai modul dasar adalah, peserta didik diharapkan memiliki pengatahuan dasar tentang teori jurnalistik, berikut semua bentuk tulisan di media massa dan tatakerja penerbitannya. Berarti seorang peserta didik yang mengikuti modul dasar, sudah siap untuk terjun sebagai wartawan pemula. Modul dasar cocok untuk melatih pengelola bulletin, jurnal dan penerbitan intern lainnya. Modul lepas adalah paket belajar – mengajar yang bisa berdiri sendiri, namun masih memiliki keterkaitan dengan keseluruhan paket kegiatan. Misalnya modul penulisan news, artikel, features, reportase. Modul ini dibuat berdasarkan bentuk tulisan di media massa. Bisa pula modul lepas disusun berdasarkan aspek yang akan dikerjakan dalam kegiatan kewartawanan. Misalnya modul penentuan tema tulisan, pengumpulan bahan dan peliputan, memotret, bahasa jurnalistik, pemilihan media, rubrikasi dll. Modul lepas bisa dipergunakan secara tersendiri (misalnya pelatihan meliput), beberapa modul lepas sekaligus (misalnya menulis news, artikel dan feature), bisa juga modul lepas tersebut digabung secara keseluruhan dan ditambah modul dasar hingga menjadi modul lengkap.
Bagaimanakah kaitan antara modul dasar,
modul lepas dan modul lengkap dalam pelatihan jurnalistik? Modul dasar bisa
diberikan dengan alokasi waktu dua sampai 3 hari (20 sd. 30 jam efektif). Modul
lepas bisa diberikan masing-masing dengan alokasi waktu sama dengan modul
dasar. Kalau dalam pelatihan jurnalistik disusun 5 modul lepas, maka alokasi
waktu untuk modul lengkap (lima modul lepas + satu modul dasar) adalah 18 hari
atau antara 360 sd. 540 jam efektif. Untuk menghemat biaya, biasanya disusun
modul dasar terlebih dahulu, baru kemudian modul lepas yang dianggap paling
urgent. Setelah jumlah
modul lepas dirasa cukup, baru dirangkai menjadi modul lengkap.
Apa sajakah
yang harus dibuat dalam sebuah modul pelatihan jurnalistik? Yang mula-mula
harus disusun adalah, karakteristik kelompok sasaran dari pelatihan yang
direncanakan. Misalnya, mereka adalah kelompok masyarakat umum, usia antara 20
sd. 40 tahun, berpendidikan perguruan tinggi (heterogen), sebagian besar sudah
bekerja di berbagai bidang/sektor. Yang menyatukan
mereka adalah, semuanya merupakan pengasuh bulletin/jurnal intern kelembagaan
dan ingin agar media tersebut jadi lebih baik. Semuanya juga berharap untuk bisa menulis
artikel di media massa umum. Dari sini kita bisa menentukan tujuan pelatihan.
Dari tujuan tersebut, ketahuan bahwa yang diperlukan adalah modul dasar dengan
modul lepas penulisan artikel. Dua modul ini harus dikonkritkan dengan mendata
kuantitas dan kualitas peserta, kurikulum, jadwal, hand out, alat peraga,
instruktur, narasumber, lokasi dan waktu palatihan. Dari data yang ada bisa
disusun proposal berikut anggaran biayanya.
B. Kurikulum dan Metodologi
Apakah yang
disebut sebagai kurikulum? Kurikulum adalah kelompok mata pelajaran yang harus
diberikan dalam satu program pendidikan, lengkap dengan satuan waktu yang
diperlukannya.
Dalam
konteks modul dasar pelatihan jurnalistik, kurikulum yang bagaimanakah yang
diperlukan? Seperti halnya dengan modul, kurikulum pun disusun berdasarkan
karakteristik peserta didik, berikut kebutuhan yang mereka rasakan. Kurikulum untuk para calon wartawan koran terkemuka, tentu lebih
banyak terfokus pada news dan reporting. Kurikulum untuk penulis lepas, lebih
banyak terfokus ke artikel. Setelah itu baru ditentukan, materi apa saja yang
harus disampaikan untuk mencapai tujuan tersebut, berapa waktu yang diperlukan
dan metodologi apa yang paling tepat untuk menyampaikannya.
Apa sajakah materi minimal yang diperlukan
dalam kurikulum modul dasar pelatihan jurnalistik untuk umum? Pertama
pengenalan media massa
dan kegiatan jurnalistik. Berikutnya bentuk-bentuk tulisan, menentukan tema,
mencari bahan/meliput, memotret, menulis dengan 5 W 1 H dan terakhir mengirim
teulisan tersebut ke media massa
umum. Idealnya materi tersebut disampaikan dalam jangka waktu satu minggu.
Namun bisa saja dilakukan strategi hanya dua hari di kelas, kemudian latihan di
rumah masing-masing untuk berkumpul lagi di kelas selama dua hari.
Apakah yang disebut sebagai metodologi?
Metodologi adalah strategi dan teknik penyampaian kurikulum kepada peserta
didik, yang dilakukan oleh instruktur atau narasumber, dengan tujuan diperoleh
efektifitas dan efisiensi optimal. Misalnya, kalau tujuan pelatihan adalah agar
tulisan peserta didik (umum) bisa dimuat di media massa, maka metode work shop paling efektif
dan efisien.
Faktor apa
sajakah yang harus diperhatikan dalam menentukan metodologi? Pertama faktor
peserta. Kalau pesertanya remaja dan anak-anak, metode
bermain akan lebih efektif dan efisien. Peserta ibu-ibu atau bapak-bapak, lebih cocok
metode simulasi atau diskusi kelompok. Selain spesifikasi peserta, faktor
jumlah juga sangat menentukan metodologi yang harus digunakan. Peserta 10 sd.
20 orang, paling tepat metodologi diskusi intensif. Jumlah 20 sd. 30 orang bisa
dengan metode diskusi kelompok dan pleno. Modelnya masih model kelas. Peserta
di atas 50 harus menggunakan metode ceramah. Peserta berjumlah ratusan harus
memakai metode pidato. Selain peserta, waktu dan lokasi pelatihan juga harus
menjadi pertimbangan dalam menyusun metodologi. Kalau waktunya pendek, maka
metode ceramah dan tanya jawab labih tepat. kalau waktunya panjang, maka
diskusi kelompok dan pleno lebih baik dilakukan. Selain itu juga
dipertimbangkan apakah peserta menginap di lokasi pelatihan atau tidak dsb.
Lokasi pelatihan di Jakarta atau kota besar lainnya, pasti memerlukan
metodologi yang berbeda dibanding dengan pelatihan yang diselenggarakan di luar
kota. Selain itu juga perlu dilihat faktor ruang kelas, peraga, kuantitas dan
kualitas instruktur/narasumber. Dan terakhir yang paling penting adalah faktor
biaya.
Mengapa
pelatihan yang banyak diselenggarakan di Indonesia selama ini hanya menggunakan
metodologi ceramah dan tanya jawab? Karena penyelenggara pelatihan, umumnya
terdiri dari karyawan biasa dari sebuah lembaga, yang sama sekali tidak
menguasai bidang palatihan. Hingga pelatihan hanya diartikan sebagai
mengumpulkan peserta di satu tempat, mengundang pembicara dengan makalahnya
lalu diadakan tanyajawab dan selesai. Di Indonesia, hanya sedikit lembaga
pendidikan yang benar-benar menguasai metodologi pelatihan.
C.
Handout Pelatihan
Apakah yang disebut sebagai hand out
pelatihan? Hand out pelatihan adalah barang cetakan, kaset, DVD (Digital Video
Disc), VCD (Video Compact Disc) atau bentuk-bentuk lain yang berisi materi
pelatihan, sebagai acuan bagi peserta didik, instruktur maupun narasumber.
Mengapa
selama ini peserta pelatihan hanya diberi makalah yang berasal dari narasumber?
Karena panitia penyelenggara pelatihan tidak tahu bahwa hand out adalah salah
satu sarana pelatihan yang sangat penting dan variasi bentuknya sangat beragam.
Dalam kaitan dengan pelatihan jurnalistik,
hand out apa sajakah yang diperlukan? Pertama buku-buku tentang pelajaran dan pengetahuan tulis – menulis
serta jurnalistik. Di Indonesia buku-buku demikian masih sangat sedikit. Buku
tentang tulis menulis yang lengkap hampir semuanya masih berbahasa Inggris dan
hanya ada di perpustakaan besar. Yang juga bisa dimanfaatkan sebagai hand out
adalah bahan-bahan pelatihan intern media massa dan diktat-diktat pelajaran di
jurusan publisistik dan jurnalistik perguruan tinggi.
Mengapa hand out mutlak diperlukan dalam
sebuah pelatihan?
Hand out sangat diperlukan dalam sebuah pelatihan, karena ibaratnya buku pelajaran di sekolah dan perguruan tinggi. Hand out diharapkan bisa terus membantu peserta didik setelah yang bersangkutan selesai mengikuti program pelatihan.
Hand out sangat diperlukan dalam sebuah pelatihan, karena ibaratnya buku pelajaran di sekolah dan perguruan tinggi. Hand out diharapkan bisa terus membantu peserta didik setelah yang bersangkutan selesai mengikuti program pelatihan.
Bisakah hand out dibuat khusus oleh panitia
atau penyelenggara pelatihan untuk kebutuhan yang juga sangat khusus?
Seharusnya memang demikian. Penyelenggara pelatihan seharusnya menyusun modul,
kurikulum berikut hand outnya dalam sebuah paket palatihan. Namun untuk
melakukan tiga hal ini sekaligus, biayanya akan sangat mahal. Hingga bisa saja
pelatihan memanfaatkan hand out berupa buku-buku, brosur, diktat dll. dari
luar.
D.
Alat Peraga Pelatihan
Apakah yang disebut sebagai alat peraga
pelatihan? Alat peraga pelatihan adalah benda, termasuk tumbuhan, binatang dan
manusia, yang bisa membantu proses transfer informasi dari instruktur,
narasumber dan hand out ke peserta didik. Benda yang biasa dijadikan sebagai
peraga adalah peta, gambar, poster, foto, televisi, OHP, Slide Projector, In
Focus, papan panel, papan tulis dll. Barang-barang yang tidak lazim pun,
termasuk tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia, bisa dijadikan alat peraga asal
efektif dan efisien.
Alat peraga apakah yang minimal harus ada
dalam sebuah pelatihan jurnalistik?
Contoh koran, majalah, tabloid, bulletin, jurnal dan news letter mutlak harus ada sebagai peraga. Kemudian perangkat fotografi, hasil foto-fotonya dll. Perangkat standar yang bisa membantu sebagai peraga adalah OHP, In Fokus, slide projector, papan panel dan papan tulis.
Contoh koran, majalah, tabloid, bulletin, jurnal dan news letter mutlak harus ada sebagai peraga. Kemudian perangkat fotografi, hasil foto-fotonya dll. Perangkat standar yang bisa membantu sebagai peraga adalah OHP, In Fokus, slide projector, papan panel dan papan tulis.
Mengapa
tumbuhan, binatang dan manusia bisa dijadikan peraga dalam pelatihan
jurnalistik? Tumbuhan, misalnya pohon-pohon atau tanaman lain di halaman lokasi
pelatihan, bisa dijadikan peraga dalam mata pelajaran pengamatan lapang.
Demikian pula halnya dengan binatang. Misalnya, pelatihan jurnalistik yang
diselenggarakan di Hotel Safari Gerden di Cisarua, bisa memanfaatkan binatang
di Taman Safari sebagai peraga ketika seorang instruktur atau narasumber
menjelaskan proses peliputan dan pengumpulan informasi. Manusia bisa dijadikan
peraga ketika kelas sedang melakukan prektek simulasi wawancara. Salah satu
panitia atau instruktur dijadikan peraga untuk simulasi wawancara.
Mengapa alat
peraga penting dalam sebuah pelatihan? Alat peraga memegang peran penting dalam
sebuah pelatihan, karena bisa membantu meningkatkan prosentase informasi yang
bisa ditangkap oleh peserta didik. Kalau seorang narasumber hanya membagikan
makalah, kemudian berbicara lalu tanya jawab, maka informasi yang bisa
ditangkap peserta didik sekitar 40%. Kalau dalam mata pelajaran menulis artikel
tentang martabak telor, diundang seorang tukang martabak lengkap dengan
gerobaknya untuk dijadikan peraga (diwawancarai), maka prosentase informasi
yang bisa ditangkap peserta didik akan meningkat sampai 70%.
Mengapa
selama ini alat peraga kurang dimanfaatkan secara optimal dalam tiap pelatihan?
Karena penyelenggara pelatihan, instruktur dan narasumber kurang memahami
pentingnya peraga dalam sebuah pelatihan. Selain itu faktor biaya kadang-kadang
juga menjadi kendala dalam penyediaan dan kelengkapan peraga.
Bisakah
paraga justru mengganggu proses belajar mengajar dalam sebuah pelatihan? Bisa.
Misalnya, sehabis makan siang, perancang kurikulum pelatihan memasukkan jadwal
pemutaran film. Sebab materi yang ada di kurikulum adalah menulis resensi film.
Ketika film diputar, maka perhatian seluruh peserta didik akan tertuju ke film
tersebut. Bukan pada materi palatihannya.
E. Instruktur dan Narasumber
Apakah yang
dimaksud sebagai instruktur dalam sebuah pelatihan? Instruktur adalah pemimpin
pelatihan, yang tugas utamanya memberi instruksi kepada peserta didik, sesuai
dengan kurikulum dan metodologi yang digunakan. Dalam satu pelatihan
jurnalistik dengan peserta 20 sd. 30 orang, idealnya ada dua orang instruktur
yang bekerja bergantian (dua shift) atau bersamaan (berduet).
Apakah syarat utama yang harus dipenuhi oleh
seorang instruktur pelatihan? Pertama dia harus ramah dan berkepribadian
menyenangkan. Berpenampilan menarik namun tetap sopan. Mampu berbicara keras
meskipun tanpa mike dan memiliki wibawa (pengaruh) agar instruksinya dipatuhi
oleh seluruh peserta didik. Instruktur juga harus bisa memberi motivasi kepada peserta didik, bahwa
yang paling diuntungkan dari program pelatihan ini adalaa para peserta didik
sendiri.
Apakah
instruktur tidak perlu menguasai materi pelatihan? Instruktur
memang harus tahu materi pelatihan yang akan diberikan melalui modul,
kurikulum, metodologi dan hand out. Namun instruktur tidak perlu menguasai
materi pelatihan. Sebab yang harus menguasai materi pelatihan adalah
narasumber. Yang harus dikuasai oleh instruktur justru kurikulum dan
metodologinya.
Apakah yang disebut sebagai narasumber dalam
pelatihan? Narasumber adalah tokoh yang diangap menguasai salah satu materi
pelatihan sesuai dengan kurikulum dan hand out pelatihan. Dalam pelatihan
jurnalistik maka narasumber bisa seorang wartawan profesional, fotografer,
redaktur atau dosen jurnalistik di perguruan tinggi. Lebih ideal lagi kalau
narasumber tersebut seorang pakar dalam bidangnya. Misalnya, narasumber untuk
materi penulisan artikel, adalah seorang penulis artikel kenamaan, namun
sekaligus juga tahu ilmu jurnalistik, khususnya mengenai artikel.
Apakah
seorang narasumber tidak perlu menguasai metodologi pelatihan?
Narasumber tidak perlu menguasai metodologi pelatihan. Sebab yang akan menangani metodologi adalah instruktur dan panitia.
Narasumber tidak perlu menguasai metodologi pelatihan. Sebab yang akan menangani metodologi adalah instruktur dan panitia.
Apakah semua
penulis artikel hebat (terkenal), bisa dijadikan narasumber dalam sebuah
pelatihan? Pertama, penulis tersebut harus bersedia tampil dengan mamatuhi
ketentuan penyelenggara pelatihan (menyangkut honor dll). Kedua, penulis
tersebut harus bisa berbicara di depan peserta dengan jelas, menarik namun
tetap akurat. Ketiga, narasumber tersebut diharapkan
benar-benar menguasai bidang penulisan dengan cukup baik (bukan sekadar
terampil menulis).
F.
Penyelenggaraan Pelatihan
Apakah yang dimaksud dengan penyelenggaraan
pelatihan? Penyelenggaraan pelatihan dimulai setelah ada modul, kurikulum,
metodologi dan hand out. Dengan modal tersebut bisa disusun proyek proposal
dengan anggaran biayanya. Namun yang terjadi selama ini, sebuah institusi
membuat proyek proposal sederhana, diajukan dan ketika anggaran turun baru
direncanakan pelaksanaan pelatihan. Yang disebut rencana pelatihan pun hanya
terkait dengan kepesertaan, pelatih dan lokasi pelatihan. Modul, kurikulum,
metodologi dan hand out tidak pernah terpikirkan dalam rapat perencanaan.
Dari manakah biaya penyelenggaraan pelatihan
diperoleh? Biaya
pelatihan bisa berasal dari anggaran intern institusi. Baik institusi
pemerintah (departemen, pemda, BUMN), lembaga keagamaan, LSM, perguruan tinggi
dan lembaga penyelenggara media massa. Bisa pula biaya
berasal dari lembaga donor. Terutama lembaga donor asing (UNDP, USAID, Ford
Foundation, Asia Foundation, MEE dll). Namun biaya juga bisa dipungut dari peserta
pelatihan sendiri. Meskipun bisa tidak 100%. Misalnya ada subsidi 25%, 50% atau
75%.
Bagaimanakah
penyelenggaraan pelatihan di pemerintahan diorganisir? Di lembaga pemerintah,
baik departemen, non departemen maupun pemda, penyelenggaraan pelatihan
dilakukan oleh Pimpinan Proyek (Pimpro) yang sebelum era reformasi kekuasaannya
luarbiasa besar. Kontrol dari inspektorat, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan
BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan = Proyek) tidak pernah bisa efektif.
Akibatnya penyelenggaraan pelatihan, termasuk pelatihan jurnalistik, hanyalah
upaya untuk mencairkan dana proyek.
Bagaimanakah seharusnya penyelenggaraan
pelatihan diorganisir dengan benar? Di lembaga-lembaga swasta profesional,
terutama di perusahaan pengelola media massa,
program in house training jurnalistik dilakukan oleh unit independen yang
permanen. Baik untuk melatih calon wartawan, untuk penyegaran bagi wartawan
lama maupun untuk melayani pihak luar. Pelatihan intern demikian dilakukan
secara reguler dengan instruktur dan narasumber intern perusahaan tersebut.
Penyelenggara pelatihan jurnalistik profesional independen, juga melakukan
pelatihan reguler untuk melayani perusahaan media massa maupun pihak luar. Mereka punya unit
pelaksana pelatihan yang independen dengan instruktur permanen, namun tidak
memiliki narasumber. Pelatihan
insidental oleh lembaga swasta, biasanya dikelola oleh satu panitia. Baik
panitia pelaksana maupun pengarah. Instruktur dan narasumber semuanya dari
luar.
Bagaimanakah penyelenggaraan pelatihan yang
dilakukan oleh panitia? Panitia
pengarah (SC), hanya bertugas menjaga agar tujuan ideal pelatihan bisa berhasil
dicapai sesuai target. Panitia pelaksana (OC), bertugas melaksanakan pelatihan
mulai dari menghubungi instruktur, narasumber, peserta, memilih dan booking
lokasi, mendapatkan hand out dan peraga dll.
Siapakah
yang lebih berkuasa dalam pelaksanaan pelatihan, instruktur atau ketua OC? Ketua
OC bertanggungjawab terhadap permasalahan teknis pelatihan. Misalnya pembagian
kamar, makan, minum, snack, penggandaan materi, penyediaan peraga, penjemputan
narasumber, pemberian honor, transpor panitia/peserta dll. Sementara instruktur
bertanggungjawab terhadap proses pelatihan, terutama pelaksanaan kurikulum dan
metodologinya. Narasumber bertanggungjawab terhadap materi pelatihan.
G. Target yang Hendak Dicapai
Kapankah
terget pelatihan yang hendak dicapai ditentukan? Target pelatihan yang hendak
dicapai, ditentukan pada saat merancang modul (kalau modulnya belum ada) atau
pada saat merevisi (kalau modul lama sudah ada).
Apakah konkritnya target pelatihan yang
hendak dicapai? Misalnya
saja 20 orang dosen di perguruan tinggi (……nama……), mampu menulis artikel dan
50% bisa lolos dimuat di media massa pada tahun ini. Kriteria terget harus
jelas (terukur), realistis namun menantang dan ada batas waktunya. Target 20
orang menghasilkan artikel cukup jelas dan 50% (10 orang) bisa lolos dimuat di
media massa pada tahun ini, sudah merupakan ukuran dan batasan. Target itu
cukup realistis. Yang tidak realistis kalau tulisan seluruh peserta harus bisa
lolos dimuat di media massa. Namun target 50% juga cukup menantang. Yang tidak
menantang kalau misalnya hanya ditargetkan 10 atau 20%.
Apakah target itu harus dikomunikasikan ke
peserta didik?
Benar. Target ini sejak awal harus dikomunikasikan ke peserta didik. Bahkan secara lebih spesifik, sejak sesi I (pembukaan) harus dideteksi, apa sebenarnya harapan peserta didik dari pelatihan ini. Sebab bisa saja target penyelenggara ternyata tidak cocok dengan harapan peserta.
Benar. Target ini sejak awal harus dikomunikasikan ke peserta didik. Bahkan secara lebih spesifik, sejak sesi I (pembukaan) harus dideteksi, apa sebenarnya harapan peserta didik dari pelatihan ini. Sebab bisa saja target penyelenggara ternyata tidak cocok dengan harapan peserta.
Apakah
dibenarkan kalau targetnya adalah terselenggaranya pelatihan dengan peserta 25
orang dari tgl………….sd.tgl…………..dengan narasumber………………dengan biaya Rp……….? Tidak
benar. Sebab itu semua merupakan target penyelenggara pelatihan (target
panitia). Sementara yang dimaksud di sini adalah target pelatihan terhadap
peserta didik. Artinya, perubahan apa yang akan dialami peserta didik setelah
mengikuti pelatihan ini.
Bagaimanakah
penyelenggara pelatihan dengan peserta umum bisa mengetahui target pelatihan
tercapai atau tidak? Deteksi pencapaian target pasca
pelatihan, bisa dilakukan dengan monitoring, pembentukan kelompok alumni
training dll. Dari sini akan dapat dengan mudah terdeteksi, apakah benar
peserta didik melanjutkan menulis, mengirimkan ke media massa dan 50%-nya dimuat?
Referensi
Ermanto, 2005, Wawasan
Jurnalistik Praktis, Yogyakarta: Cinta Pena.
F. Rahardi, 2005, Panduan
Lengkap Menulis Artikel, Feature, dan Esai untuk Pemula, Handout tidak diterbitkan.
Made Pramono, 2011, E-learning jurnalistik olahraga: http://ilmu.unesa.ac.id
Langganan:
Postingan (Atom)