09 Maret 2014

Seri Jurnalistik 3: PELATIHAN JURNALISTIK

A. Tentang Modul
Apakah yang disebut sebagai modul? Dalam pengertian umum, modul adalah standar atau satuan pengukur. Dalam konteks pendidikan, modul adalah paket atau program belajar mengajar, mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai ke evaluasi terhadap dampak hasil pelaksanaan.
Ada berapa macam modulkah dalam dunia pelatihan? Ada modul dasar, ada modul lepas dan modul lengkap. Yang dimaksud sebagai modul dasar adalah paket belajar – mengajar secara lengkap, namun hanya menyangkut garis besarnya saja. Tujuannya agar peserta didik memiliki pengetahuan dasar tentang suatu bidang, sektor atau materi yang dilatihkan. Modul lepas adalah paket belajar – mengajar secara detil dan mendalam, namun hanya menyangkut satu bagian dari keseluruhan kegiatan. Modul lengkap adalah paket belajar mengajar secara lengkap, detil dan mendalam. Biasanya yang disebut modul lengkap, adalah modul dasar ditambah dengan keseluruhan modul lepas.
Bagaimanakah kaitan modul dasar dan modul lepas dalam pelatihan jurnalistik?
Dalam kaitan pelatihan jurnalistik, yang dimaksud sebagai modul dasar adalah, peserta didik diharapkan memiliki pengatahuan dasar tentang teori jurnalistik, berikut semua bentuk tulisan di media massa dan tatakerja penerbitannya. Berarti seorang peserta didik yang mengikuti modul dasar, sudah siap untuk terjun sebagai wartawan pemula.
Modul dasar cocok untuk melatih pengelola bulletin, jurnal dan penerbitan intern lainnya. Modul lepas adalah paket belajar – mengajar yang bisa berdiri sendiri, namun masih memiliki keterkaitan dengan keseluruhan paket kegiatan. Misalnya modul penulisan news, artikel, features, reportase. Modul ini dibuat berdasarkan bentuk tulisan di media massa. Bisa pula modul lepas disusun berdasarkan aspek yang akan dikerjakan dalam kegiatan kewartawanan. Misalnya modul penentuan tema tulisan, pengumpulan bahan dan peliputan, memotret, bahasa jurnalistik, pemilihan media, rubrikasi dll. Modul lepas bisa dipergunakan secara tersendiri (misalnya pelatihan meliput), beberapa modul lepas sekaligus (misalnya menulis news, artikel dan feature), bisa juga modul lepas tersebut digabung secara keseluruhan dan ditambah modul dasar hingga menjadi modul lengkap.
Bagaimanakah kaitan antara modul dasar, modul lepas dan modul lengkap dalam pelatihan jurnalistik? Modul dasar bisa diberikan dengan alokasi waktu dua sampai 3 hari (20 sd. 30 jam efektif). Modul lepas bisa diberikan masing-masing dengan alokasi waktu sama dengan modul dasar. Kalau dalam pelatihan jurnalistik disusun 5 modul lepas, maka alokasi waktu untuk modul lengkap (lima modul lepas + satu modul dasar) adalah 18 hari atau antara 360 sd. 540 jam efektif. Untuk menghemat biaya, biasanya disusun modul dasar terlebih dahulu, baru kemudian modul lepas yang dianggap paling urgent. Setelah jumlah modul lepas dirasa cukup, baru dirangkai menjadi modul lengkap.
Apa sajakah yang harus dibuat dalam sebuah modul pelatihan jurnalistik? Yang mula-mula harus disusun adalah, karakteristik kelompok sasaran dari pelatihan yang direncanakan. Misalnya, mereka adalah kelompok masyarakat umum, usia antara 20 sd. 40 tahun, berpendidikan perguruan tinggi (heterogen), sebagian besar sudah bekerja di berbagai bidang/sektor. Yang menyatukan mereka adalah, semuanya merupakan pengasuh bulletin/jurnal intern kelembagaan dan ingin agar media tersebut jadi lebih baik. Semuanya juga berharap untuk bisa menulis artikel di media massa umum. Dari sini kita bisa menentukan tujuan pelatihan. Dari tujuan tersebut, ketahuan bahwa yang diperlukan adalah modul dasar dengan modul lepas penulisan artikel. Dua modul ini harus dikonkritkan dengan mendata kuantitas dan kualitas peserta, kurikulum, jadwal, hand out, alat peraga, instruktur, narasumber, lokasi dan waktu palatihan. Dari data yang ada bisa disusun proposal berikut anggaran biayanya.

B. Kurikulum dan Metodologi
Apakah yang disebut sebagai kurikulum? Kurikulum adalah kelompok mata pelajaran yang harus diberikan dalam satu program pendidikan, lengkap dengan satuan waktu yang diperlukannya.
Dalam konteks modul dasar pelatihan jurnalistik, kurikulum yang bagaimanakah yang diperlukan? Seperti halnya dengan modul, kurikulum pun disusun berdasarkan karakteristik peserta didik, berikut kebutuhan yang mereka rasakan. Kurikulum untuk para calon wartawan koran terkemuka, tentu lebih banyak terfokus pada news dan reporting. Kurikulum untuk penulis lepas, lebih banyak terfokus ke artikel. Setelah itu baru ditentukan, materi apa saja yang harus disampaikan untuk mencapai tujuan tersebut, berapa waktu yang diperlukan dan metodologi apa yang paling tepat untuk menyampaikannya.
Apa sajakah materi minimal yang diperlukan dalam kurikulum modul dasar pelatihan jurnalistik untuk umum? Pertama pengenalan media massa dan kegiatan jurnalistik. Berikutnya bentuk-bentuk tulisan, menentukan tema, mencari bahan/meliput, memotret, menulis dengan 5 W 1 H dan terakhir mengirim teulisan tersebut ke media massa umum. Idealnya materi tersebut disampaikan dalam jangka waktu satu minggu. Namun bisa saja dilakukan strategi hanya dua hari di kelas, kemudian latihan di rumah masing-masing untuk berkumpul lagi di kelas selama dua hari.
Apakah yang disebut sebagai metodologi? Metodologi adalah strategi dan teknik penyampaian kurikulum kepada peserta didik, yang dilakukan oleh instruktur atau narasumber, dengan tujuan diperoleh efektifitas dan efisiensi optimal. Misalnya, kalau tujuan pelatihan adalah agar tulisan peserta didik (umum) bisa dimuat di media massa, maka metode work shop paling efektif dan efisien.
Faktor apa sajakah yang harus diperhatikan dalam menentukan metodologi? Pertama faktor peserta. Kalau pesertanya remaja dan anak-anak, metode bermain akan lebih efektif dan efisien. Peserta ibu-ibu atau bapak-bapak, lebih cocok metode simulasi atau diskusi kelompok. Selain spesifikasi peserta, faktor jumlah juga sangat menentukan metodologi yang harus digunakan. Peserta 10 sd. 20 orang, paling tepat metodologi diskusi intensif. Jumlah 20 sd. 30 orang bisa dengan metode diskusi kelompok dan pleno. Modelnya masih model kelas. Peserta di atas 50 harus menggunakan metode ceramah. Peserta berjumlah ratusan harus memakai metode pidato. Selain peserta, waktu dan lokasi pelatihan juga harus menjadi pertimbangan dalam menyusun metodologi. Kalau waktunya pendek, maka metode ceramah dan tanya jawab labih tepat. kalau waktunya panjang, maka diskusi kelompok dan pleno lebih baik dilakukan. Selain itu juga dipertimbangkan apakah peserta menginap di lokasi pelatihan atau tidak dsb. Lokasi pelatihan di Jakarta atau kota besar lainnya, pasti memerlukan metodologi yang berbeda dibanding dengan pelatihan yang diselenggarakan di luar kota. Selain itu juga perlu dilihat faktor ruang kelas, peraga, kuantitas dan kualitas instruktur/narasumber. Dan terakhir yang paling penting adalah faktor biaya.
Mengapa pelatihan yang banyak diselenggarakan di Indonesia selama ini hanya menggunakan metodologi ceramah dan tanya jawab? Karena penyelenggara pelatihan, umumnya terdiri dari karyawan biasa dari sebuah lembaga, yang sama sekali tidak menguasai bidang palatihan. Hingga pelatihan hanya diartikan sebagai mengumpulkan peserta di satu tempat, mengundang pembicara dengan makalahnya lalu diadakan tanyajawab dan selesai. Di Indonesia, hanya sedikit lembaga pendidikan yang benar-benar menguasai metodologi pelatihan.

C. Handout Pelatihan
Apakah yang disebut sebagai hand out pelatihan? Hand out pelatihan adalah barang cetakan, kaset, DVD (Digital Video Disc), VCD (Video Compact Disc) atau bentuk-bentuk lain yang berisi materi pelatihan, sebagai acuan bagi peserta didik, instruktur maupun narasumber.
Mengapa selama ini peserta pelatihan hanya diberi makalah yang berasal dari narasumber? Karena panitia penyelenggara pelatihan tidak tahu bahwa hand out adalah salah satu sarana pelatihan yang sangat penting dan variasi bentuknya sangat beragam.
Dalam kaitan dengan pelatihan jurnalistik, hand out apa sajakah yang diperlukan? Pertama buku-buku tentang pelajaran dan pengetahuan tulis – menulis serta jurnalistik. Di Indonesia buku-buku demikian masih sangat sedikit. Buku tentang tulis menulis yang lengkap hampir semuanya masih berbahasa Inggris dan hanya ada di perpustakaan besar. Yang juga bisa dimanfaatkan sebagai hand out adalah bahan-bahan pelatihan intern media massa dan diktat-diktat pelajaran di jurusan publisistik dan jurnalistik perguruan tinggi.
Mengapa hand out mutlak diperlukan dalam sebuah pelatihan?
Hand out sangat diperlukan dalam sebuah pelatihan, karena ibaratnya buku pelajaran di sekolah dan perguruan tinggi. Hand out diharapkan bisa terus membantu peserta didik setelah yang bersangkutan selesai mengikuti program pelatihan.
Bisakah hand out dibuat khusus oleh panitia atau penyelenggara pelatihan untuk kebutuhan yang juga sangat khusus? Seharusnya memang demikian. Penyelenggara pelatihan seharusnya menyusun modul, kurikulum berikut hand outnya dalam sebuah paket palatihan. Namun untuk melakukan tiga hal ini sekaligus, biayanya akan sangat mahal. Hingga bisa saja pelatihan memanfaatkan hand out berupa buku-buku, brosur, diktat dll. dari luar.

D. Alat Peraga Pelatihan
Apakah yang disebut sebagai alat peraga pelatihan? Alat peraga pelatihan adalah benda, termasuk tumbuhan, binatang dan manusia, yang bisa membantu proses transfer informasi dari instruktur, narasumber dan hand out ke peserta didik. Benda yang biasa dijadikan sebagai peraga adalah peta, gambar, poster, foto, televisi, OHP, Slide Projector, In Focus, papan panel, papan tulis dll. Barang-barang yang tidak lazim pun, termasuk tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia, bisa dijadikan alat peraga asal efektif dan efisien.
Alat peraga apakah yang minimal harus ada dalam sebuah pelatihan jurnalistik?
Contoh koran, majalah, tabloid, bulletin, jurnal dan news letter mutlak harus ada sebagai peraga. Kemudian perangkat fotografi, hasil foto-fotonya dll. Perangkat standar yang bisa membantu sebagai peraga adalah OHP, In Fokus, slide projector, papan panel dan papan tulis.
Mengapa tumbuhan, binatang dan manusia bisa dijadikan peraga dalam pelatihan jurnalistik? Tumbuhan, misalnya pohon-pohon atau tanaman lain di halaman lokasi pelatihan, bisa dijadikan peraga dalam mata pelajaran pengamatan lapang. Demikian pula halnya dengan binatang. Misalnya, pelatihan jurnalistik yang diselenggarakan di Hotel Safari Gerden di Cisarua, bisa memanfaatkan binatang di Taman Safari sebagai peraga ketika seorang instruktur atau narasumber menjelaskan proses peliputan dan pengumpulan informasi. Manusia bisa dijadikan peraga ketika kelas sedang melakukan prektek simulasi wawancara. Salah satu panitia atau instruktur dijadikan peraga untuk simulasi wawancara.
Mengapa alat peraga penting dalam sebuah pelatihan? Alat peraga memegang peran penting dalam sebuah pelatihan, karena bisa membantu meningkatkan prosentase informasi yang bisa ditangkap oleh peserta didik. Kalau seorang narasumber hanya membagikan makalah, kemudian berbicara lalu tanya jawab, maka informasi yang bisa ditangkap peserta didik sekitar 40%. Kalau dalam mata pelajaran menulis artikel tentang martabak telor, diundang seorang tukang martabak lengkap dengan gerobaknya untuk dijadikan peraga (diwawancarai), maka prosentase informasi yang bisa ditangkap peserta didik akan meningkat sampai 70%.
Mengapa selama ini alat peraga kurang dimanfaatkan secara optimal dalam tiap pelatihan? Karena penyelenggara pelatihan, instruktur dan narasumber kurang memahami pentingnya peraga dalam sebuah pelatihan. Selain itu faktor biaya kadang-kadang juga menjadi kendala dalam penyediaan dan kelengkapan peraga.
Bisakah paraga justru mengganggu proses belajar mengajar dalam sebuah pelatihan? Bisa. Misalnya, sehabis makan siang, perancang kurikulum pelatihan memasukkan jadwal pemutaran film. Sebab materi yang ada di kurikulum adalah menulis resensi film. Ketika film diputar, maka perhatian seluruh peserta didik akan tertuju ke film tersebut. Bukan pada materi palatihannya.

E. Instruktur dan Narasumber
Apakah yang dimaksud sebagai instruktur dalam sebuah pelatihan? Instruktur adalah pemimpin pelatihan, yang tugas utamanya memberi instruksi kepada peserta didik, sesuai dengan kurikulum dan metodologi yang digunakan. Dalam satu pelatihan jurnalistik dengan peserta 20 sd. 30 orang, idealnya ada dua orang instruktur yang bekerja bergantian (dua shift) atau bersamaan (berduet).
Apakah syarat utama yang harus dipenuhi oleh seorang instruktur pelatihan? Pertama dia harus ramah dan berkepribadian menyenangkan. Berpenampilan menarik namun tetap sopan. Mampu berbicara keras meskipun tanpa mike dan memiliki wibawa (pengaruh) agar instruksinya dipatuhi oleh seluruh peserta didik. Instruktur juga harus bisa memberi motivasi kepada peserta didik, bahwa yang paling diuntungkan dari program pelatihan ini adalaa para peserta didik sendiri.
Apakah instruktur tidak perlu menguasai materi pelatihan? Instruktur memang harus tahu materi pelatihan yang akan diberikan melalui modul, kurikulum, metodologi dan hand out. Namun instruktur tidak perlu menguasai materi pelatihan. Sebab yang harus menguasai materi pelatihan adalah narasumber. Yang harus dikuasai oleh instruktur justru kurikulum dan metodologinya.
Apakah yang disebut sebagai narasumber dalam pelatihan? Narasumber adalah tokoh yang diangap menguasai salah satu materi pelatihan sesuai dengan kurikulum dan hand out pelatihan. Dalam pelatihan jurnalistik maka narasumber bisa seorang wartawan profesional, fotografer, redaktur atau dosen jurnalistik di perguruan tinggi. Lebih ideal lagi kalau narasumber tersebut seorang pakar dalam bidangnya. Misalnya, narasumber untuk materi penulisan artikel, adalah seorang penulis artikel kenamaan, namun sekaligus juga tahu ilmu jurnalistik, khususnya mengenai artikel.
Apakah seorang narasumber tidak perlu menguasai metodologi pelatihan?
Narasumber tidak perlu menguasai metodologi pelatihan. Sebab yang akan menangani metodologi adalah instruktur dan panitia.
Apakah semua penulis artikel hebat (terkenal), bisa dijadikan narasumber dalam sebuah pelatihan? Pertama, penulis tersebut harus bersedia tampil dengan mamatuhi ketentuan penyelenggara pelatihan (menyangkut honor dll). Kedua, penulis tersebut harus bisa berbicara di depan peserta dengan jelas, menarik namun tetap akurat. Ketiga, narasumber tersebut diharapkan benar-benar menguasai bidang penulisan dengan cukup baik (bukan sekadar terampil menulis).

F. Penyelenggaraan Pelatihan
Apakah yang dimaksud dengan penyelenggaraan pelatihan? Penyelenggaraan pelatihan dimulai setelah ada modul, kurikulum, metodologi dan hand out. Dengan modal tersebut bisa disusun proyek proposal dengan anggaran biayanya. Namun yang terjadi selama ini, sebuah institusi membuat proyek proposal sederhana, diajukan dan ketika anggaran turun baru direncanakan pelaksanaan pelatihan. Yang disebut rencana pelatihan pun hanya terkait dengan kepesertaan, pelatih dan lokasi pelatihan. Modul, kurikulum, metodologi dan hand out tidak pernah terpikirkan dalam rapat perencanaan.
Dari manakah biaya penyelenggaraan pelatihan diperoleh? Biaya pelatihan bisa berasal dari anggaran intern institusi. Baik institusi pemerintah (departemen, pemda, BUMN), lembaga keagamaan, LSM, perguruan tinggi dan lembaga penyelenggara media massa. Bisa pula biaya berasal dari lembaga donor. Terutama lembaga donor asing (UNDP, USAID, Ford Foundation, Asia Foundation, MEE dll). Namun biaya juga bisa dipungut dari peserta pelatihan sendiri. Meskipun bisa tidak 100%. Misalnya ada subsidi 25%, 50% atau 75%.
Bagaimanakah penyelenggaraan pelatihan di pemerintahan diorganisir? Di lembaga pemerintah, baik departemen, non departemen maupun pemda, penyelenggaraan pelatihan dilakukan oleh Pimpinan Proyek (Pimpro) yang sebelum era reformasi kekuasaannya luarbiasa besar. Kontrol dari inspektorat, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan = Proyek) tidak pernah bisa efektif. Akibatnya penyelenggaraan pelatihan, termasuk pelatihan jurnalistik, hanyalah upaya untuk mencairkan dana proyek.
Bagaimanakah seharusnya penyelenggaraan pelatihan diorganisir dengan benar? Di lembaga-lembaga swasta profesional, terutama di perusahaan pengelola media massa, program in house training jurnalistik dilakukan oleh unit independen yang permanen. Baik untuk melatih calon wartawan, untuk penyegaran bagi wartawan lama maupun untuk melayani pihak luar. Pelatihan intern demikian dilakukan secara reguler dengan instruktur dan narasumber intern perusahaan tersebut. Penyelenggara pelatihan jurnalistik profesional independen, juga melakukan pelatihan reguler untuk melayani perusahaan media massa maupun pihak luar. Mereka punya unit pelaksana pelatihan yang independen dengan instruktur permanen, namun tidak memiliki narasumber. Pelatihan insidental oleh lembaga swasta, biasanya dikelola oleh satu panitia. Baik panitia pelaksana maupun pengarah. Instruktur dan narasumber semuanya dari luar.
Bagaimanakah penyelenggaraan pelatihan yang dilakukan oleh panitia? Panitia pengarah (SC), hanya bertugas menjaga agar tujuan ideal pelatihan bisa berhasil dicapai sesuai target. Panitia pelaksana (OC), bertugas melaksanakan pelatihan mulai dari menghubungi instruktur, narasumber, peserta, memilih dan booking lokasi, mendapatkan hand out dan peraga dll.
Siapakah yang lebih berkuasa dalam pelaksanaan pelatihan, instruktur atau ketua OC? Ketua OC bertanggungjawab terhadap permasalahan teknis pelatihan. Misalnya pembagian kamar, makan, minum, snack, penggandaan materi, penyediaan peraga, penjemputan narasumber, pemberian honor, transpor panitia/peserta dll. Sementara instruktur bertanggungjawab terhadap proses pelatihan, terutama pelaksanaan kurikulum dan metodologinya. Narasumber bertanggungjawab terhadap materi pelatihan.


G. Target yang Hendak Dicapai
Kapankah terget pelatihan yang hendak dicapai ditentukan? Target pelatihan yang hendak dicapai, ditentukan pada saat merancang modul (kalau modulnya belum ada) atau pada saat merevisi (kalau modul lama sudah ada).
Apakah konkritnya target pelatihan yang hendak dicapai? Misalnya saja 20 orang dosen di perguruan tinggi (……nama……), mampu menulis artikel dan 50% bisa lolos dimuat di media massa pada tahun ini. Kriteria terget harus jelas (terukur), realistis namun menantang dan ada batas waktunya. Target 20 orang menghasilkan artikel cukup jelas dan 50% (10 orang) bisa lolos dimuat di media massa pada tahun ini, sudah merupakan ukuran dan batasan. Target itu cukup realistis. Yang tidak realistis kalau tulisan seluruh peserta harus bisa lolos dimuat di media massa. Namun target 50% juga cukup menantang. Yang tidak menantang kalau misalnya hanya ditargetkan 10 atau 20%.
Apakah target itu harus dikomunikasikan ke peserta didik?
Benar. Target ini sejak awal harus dikomunikasikan ke peserta didik. Bahkan secara lebih spesifik, sejak sesi I (pembukaan) harus dideteksi, apa sebenarnya harapan peserta didik dari pelatihan ini.
Sebab bisa saja target penyelenggara ternyata tidak cocok dengan harapan peserta.
Apakah dibenarkan kalau targetnya adalah terselenggaranya pelatihan dengan peserta 25 orang dari tgl………….sd.tgl…………..dengan narasumber………………dengan biaya Rp……….? Tidak benar. Sebab itu semua merupakan target penyelenggara pelatihan (target panitia). Sementara yang dimaksud di sini adalah target pelatihan terhadap peserta didik. Artinya, perubahan apa yang akan dialami peserta didik setelah mengikuti pelatihan ini.
Bagaimanakah penyelenggara pelatihan dengan peserta umum bisa mengetahui target pelatihan tercapai atau tidak? Deteksi pencapaian target pasca pelatihan, bisa dilakukan dengan monitoring, pembentukan kelompok alumni training dll. Dari sini akan dapat dengan mudah terdeteksi, apakah benar peserta didik melanjutkan menulis, mengirimkan ke media massa dan 50%-nya dimuat?



Referensi

Ermanto, 2005, Wawasan Jurnalistik Praktis, Yogyakarta: Cinta Pena.

F. Rahardi, 2005, Panduan Lengkap Menulis Artikel, Feature, dan Esai untuk Pemula, Handout tidak diterbitkan.

Made Pramono, 2011, E-learning jurnalistik olahraga: http://ilmu.unesa.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar