09 Maret 2014

Seri Jurnalistik 6: MELIPUT DAN MENGUMPULKAN BAHAN TULISAN


A.  Fakta, Peristiwa dan Khayalan
Apa sajakah yang bisa disebut sebagai bahan tulisan? Yang bisa dikatagorikan sebagai bahan tulisan adalah fakta, peristiwa, gagasan, lamunan, keinginan, angan-angan (khayalan) dll.
Apakah yang disebut sebagai fakta? Menurut KBBI, fakta adalah n hal (keadaan, peristiwa) yang merupakan kenyataan, sesuatu yang benar-benar ada atau terjadi.
Apakah yang disebut sebagai peristiwa? Menurut KBBI, peristiwa adalah n 1 kejadian (hal, perkara, dsb); kejadian yang luarbiasa (menarik perhatian dsb); yang benar-benar terjadi: memperingati — penting di sejarah; 2 pada suatu kejadian (kerap kali dipakai untuk memulai cerita): sekali –;
Mengapa gagasan, lamunan, keinginan, impian, khayalan dll. juga bisa dijadikan bahan tulisan non fiksi? Karena banyak perubahan di dunia ini yang diawali dengan kombinasi antara fakta dan peristiwa dengan lamunan dan impian. Misalnya fakta dan peristiwa tentang tutup cerek yang bergerak-gerak karena didorong oleh uap air mendidih, ketika dikombinasikan dengan lamunan James Watt, telah mengubah dunia dengan mesin uap, yang kemudian berkembang menjadi berbagai mesin penggerak lain.
Mungkinkah khayalan murni dijadikan bahan artikel? Khayalan murni tidak hanya bisa dijadikan fiksi melainkan juga tulisan non fiksi. Dalam hal ini sebagai bahan artikel. Contohnya pernah ada artikel di Harian Kompas dengan judul: Seandainya Saya Menjadi Presiden. Isinya jelas murni khayalan. Namun karena bentuk tulisannya artikel, maka khayalan itu dibuat relevan dengan fakta dan peristiwa aktual saat ini.

B. Data Primer dan Sekunder
Apakah semua fakta, peristiwa dan khayalan bisa dijadikan bahan tulisan? Tidak semua fakta, peristiwa dan khayalan bisa dijadikan bahan tulisan. Yang bisa menjadi bahan tulisan hanyalah yang paling menarik bagi penulis. Meskipun setelah menjadi tulisan, belum tentu tulisan tersebut menarik bagi penerbit dan pembaca.
Apakah semua fakta, peristiwa dan khayalan yang menarik bagi penulis bisa langsung ditulis? Bisa saja. Tetapi hasilnya bisa tidak lengkap dan tidak akurat.
Bagaimana agar fakta, peristiwa dan khayalan itu ketika ditulis bisa menjadi lengkap dan akurat? Caranya, fakta, peristiwa dan khayalan yang menarik itu, masih harus dikumpulkan, didokumentasikan, diseleksi, diberi sistematika (dikelompokkan secara sistematis), baru kemudian bisa ditulis. Kalau perlu dengan terlebih dahulu dianalisis.
Disebut apakah fakta, peristiwa dan khayalan yang telah didokumentasikan tersebut? Semuanya bisa disebut sebagai data. Ada data primer (dari tangan pertama) ada data sekunder (dari tangan kedua/bank data, perpustakaan dll), data tersier dst.
Di manakah bisa diperoleh data primer dan data sekunder? Data primer harus didapat secara langsung dari sumber pertama. Sementara data sekunder dst. bisa diperoleh secara estafet melalui sumber-sumber tidak langsung.

C. Sumber Bahan
Apakah yang disebut sebagai sumber bahan? Yang disebut sebagai sumber bahan adalah alam (batu-batuan, bukit, gunung, sungai, rawa, danau, laut, salju, kawah gunung api, langit, awan, bulan, bintang, matahari dll); makhluk hidup (tumbuhan, binatang dan manusia dengan berbagai peralatannya); dan dunia spiritual/supranatural (Tuhan, malaikat, setan, jin, hantu, kuntilanak, drakula, vampir, kolor ijo dll).
Apakah semua obyek tersebut bisa dijadikan bahan tulisan? Benar. Asal menarik bagi penulis dan memungkinkan untuk diambil dan dikumpulkan.
Dari manakah bahan-bahan itu bisa diambil dan dikumpulkan? Pertama, bahan tulisan bisa dikumpulkan sendiri secara langsung. Baik dengan cara pengamatan, penelitian maupun keterlibatan. Kedua, melalui sumber indivudual. Baik sumber primer (pelaku langsung) maupun sekunder (bukan pelaku langsung). Ketiga, melalui institusi (lembaga). Baik lembaga pemerintah, militer, keagamaan, BUMN, swasta, perguruan tinggi, media massa, LSM dll.
Secara konkrit, berupa apakah bahan tulisan tersebut? Secara konkrit, bahan tulisan tersebut berupa kliping koran/majalah, buku, brosur, booklet, poster, prasasti, daftar, katalog, pengumuman, iklan, undangan, e-mail, weeb site dll.
Di manakah bahan tulisan paling banyak terhimpun? Secara umum, bahan tulisan paling banyak terkumpul di perpustakaan umum. Selain di perpustakaan, bahan tulisan juga bisa diperoleh di lembaga pemilik data seperti Badan Pusat Statistik, Gedung Arsip (nasional maupun daerah), Museum, lembaga penelitian, kantor berita dll.

D. Cara Pengumpulan Bahan
Bagaimanakah cara pengumpulan bahan tulisan? Bahan tulisan bisa dikumpulkan dengan pengamatan, penelitian dan keterlibatan langsung terhadap obyek. Bisa pula dengan mewawancarai sumber bahan, meminta secara gratis, bekerjasama (nama sumber ikut dicantumkan, honornya dibagi dua), membeli (baik cash maupun kredit) dan investigasi.
Apakah fisik bahan tulisan harus diambil secara langsung oleh penulis? Kalau bahan tulisan itu berupa buku dan buku itu harus dikopi di perpustakaan atau dibeli di toko buku, maka pengambilannya harus dilakukan secara langsung terhadap fisik bahan.
Bagaimanakah kalau bahan fisik itu tidak bisa diambil secara langsung? Bahan tersebut bisa dipesan. Misalnya seorang penulis artikel yang tinggal di Yogya, memerlukan bahan berupa buku yang hanya ada di salah satu perpustakaan di Jakarta. Kalau dia datang ke Jakarta secara langsung, pasti akan berat di ongkos. Caranya, dia bisa menelepon petugas perpustakaan, minta dikopikan bahan tersebut, dikemas dan dikirimkan kepadanya. Petugas akan menyebutkan biayanya yang bisa ditransfer ke rekening perpustakaan atau petugas tersebut. Bukti transfer difax dan barang akan dikirim.
Apakah tidak mungkin hanya mengambil satu atau dua halaman dari buku tersebut untuk difaxkan kepadanya? Bisa saja kalau yang diperlukan memang hanya beberapa halaman dari buku tersebut, dan petugas perpustakaan bersedia melayaninya.
Apakah dimungkinkan hanya telepon saja atau mengekses di internet? Telepon hanya layak dilakukan untuk wawancara singkat atau konfirmasi kebenaran fakta, peristiwa atau data. Internet atau weeb bisa dimanfaatkan karena inilah cara paling murah dan mudah untuk memperoleh bahan tulisan.

E. Teknik Mengumpulkan Berita[1]
foto berita artikel1. Observasi
Secara sederhana observasi merupakan pengamatan terhadap realitas sosial. Ada pengamatan langsung, ada juga pengamatan tak langsung. Seseorang disebut melakukan pengamatan langsung bila ia menyaksikan sebuah peristiwa dengan mata kepalanya sendiri. Pengamatan ini bisa dilakukan dalam waktu yang pendek dan panjang. Pendek artinya, setelah melihat sebuah peristiwa dan mencatat seperlunya, seseorang meninggalkan tempat kejadian untu menulis laporan. Misalnya: peristiwa kecelakaan lalu lintas. Sedangkan panjang berarti seseorang berada di tempat kejadian dalam waktu yang lama. Bahkan ia menulis laporan dari tempat kejadian. Contoh:peristiwa bencana alam.
Seseorang disebut melakukan pengamatan tidak langsung bila ia tidak menyaksikan peristiwa yang terjadi, melainkan mendapat keterangan dari orang lain yang menyaksikan peristiwa itu. Misalnya: peristiwa penemuan mayat suami-istri di sebuah rumah. Si Bujang mendapat informasi bahwa di jalan Melati No. 24 ditemukan mayat sepasang suami-istri. Ia bergegas ke daerah itu. Sesampai di sana, ia masih melihat epasang mayat tersebut. Kalau ia kemudian mendapatkan data tentang siapa yang meninggal dunia, kapan dan kenapa meninggal dunia, data itu merupakan hasil pengamatan tidak langsung.Pengamatan di sini tidak sama persis dengan pengamatan seorang peneliti. Seseorang peneliti melakukan pengamatan berdasarkan konsep dan hipotesis. Hasilnya, biasanya dilaporkan dengan disertai pemecahan masalah ala mereka. Sedangkan seorang pekerja pers melakukan pengamatan untuk melaporkan kejadian sebuah peristiwa apa adanya.
2. Wawancara
Wawancara adalah tanya jawab antara seorang wartawan dengan narasumber untuk mendapatkan data tentang sebuah fenomena (Itule dan Anderson 1987:184). Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan adalah:
a. Posisi narasumber dalam wawancara
Posisi narasumber dalam sebuah wawancara adalah ibarat posisi pembeli dalam sebuah transaksi dagang, yaitu sebagai ?raja?. Semua keinginan narasumber harus dipenuhi oleh wartawan. Karena itu, sebelum melakukan wawancara, wartawan harus menanyakan keinginan narasumber. Sebelum itu, wartawan harus memperkenalkan secara langsung jati dirinya dan untuk siapa ia bekerja kepada narasumber. Tahap-tahap ini, menurut prinsip etika jurnalistik yang umum, harus ditempuh oleh setiap wartawan sebelum melakukan wawancara dengan narasumber, terlepas dari narasumber mengetahui cara kerja jurnalisme atau tidak. Terdapat beberapa hal mendasar yang perlu ditanyakan kepada narasumber, misalnya:
·        Apakah narasumber tidak keberatan bila kalimatnya dikutip secara langsung?
·        Apakah narasumber tidak berniat namanya dirahasiakan dalam sebagian hasil wawancara?
·        Apakah narasumber memiliki keinginan lain yang berkaitan dengan hasil wawancara?
Bila wartawan sudah mengetahui jawaban ketiga pertanyaan ini ditambah dengan keinginan narasumber lain, maka terpulang kepada wartawan bersangkutan untuk segera memenuhinya atau bernegosiasi terlbih dahulu. Bernegosiasi dengan narasumber bukanlah pekerjaan yang haram. Wartawan boleh bernegosiasi tidak berlangsung di bawah tekanan pihak tertentu (ada dugaan wartawan yang handal sering melakukan negosiasi dengan narasumber). Kesepakatan yang dicapai berdasarkan negosiasi, biasanya, lebih memuaskan kedua belah pihak. Terlepas dari cara pencapaian kesepakatan, kesepakatan ini perlu dicapai sebelum melakukan wawancara (tidak ada salahnya wartawan juga merekan kesepakatan yang sudah dicapai. Rekaman ini bisa dijadikan bukti bila kelak ada pihak yang protes terhadap keberadaan wawancara tersebut). Berdasarkan kesepakatan inilah seharusnya wawancara berlangsung.
Setelah wawancara selesai, wartawan perlu menanyakan kembali kepada narasumber, apakah narasumber masih setuju dengan kesepakatan yang sudah dibuat? Wartawan juga perlu meyakinkan narasumber bahwa tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari atas segala akibat kesepakatan yang sudah dibuat.
Dalam pandangan sebagian kecil wartawan, pelaksanaan tahap-tahap wawancara tersebut di atas menghambat kelancaran kerja mereka. Karena itu, mereka enggan melakukannya. Tetapi, bagi mereka yang pernah ketanggor, pelaksanaan tahap-tahap itu menjadi satu keharusan.
b. Posisi wartawan dalam wawancara
Sebagian besar individu akan merasa sangat senang bila diwawancarai wartawan. Menurut mereka, bila hasil wawancara tersebut disiarkan kepada khalayak, nama mereka juga akan dikenal khalayak. Semakin sering mereka diwawancarai wartawan, semakin populerlah mereka. Individu-individu model begini akan selalu bersikap manis kepada wartawan. Tidak heran bila wartawan berada ?di atas angin? ketika berhadapan dengan mereka.
Lalu, dimana posisi wartawan yang sebenarnya? Kedudukan wartawan adalah penjaga kepentingan umum. Para wartawan berhak mengorek informasi yang berkaitan dengan kepentingan umum dari narasumber. Mereka bebas menanyakan apa saja kepada narasumber untuk menjaga kepentingan umum. Posisi inilah yang menyebabkan mereka mendapat tempat di hati khalayak. Kendati begitu, para wartawan, seperti dinyatakan oleh Jeffrey Olen, harus menghormati keberadaan narasumber. Mereka haurs mengakui bahwa narasumber adalah individu yang bisa berpikir, memiliki alasan untuk berbuat dan mempunyai keinginan-keinginan (Olen 1988:59). Akibatnya, para wartawan harus memperlakukan narasumber sebagai individu yang memiliki otonomi dan bebas mengekspresikan segala keinginannya. Kalau pada satu saat narasumber keberatan hasil wawancaraya disiarkan, maka wartawan harus menghormati keinginan ini dan tidak menyiarkannya.
Menurut para ahli, terdapat tujuh jenis wawancara, yaitu man in the street interview, casual interview, personal interview, news peg interview, telephone interview, question interview dan group interview (Itule dan Andersin 1987:207-213). Operasionalisasinya begini:
Man in the street interview
Wawancara yang dilakukan untuk mengumpulkan pendapat beberapa orang awam mengenai sebuah peristiwa, bisa menyangkut satu keadaan dan bisa pula tentang sebuah kebijaksanaan baru. Biasanya wawancara ini diperlukan setelah terjadinya sebuah peristiwa yang sangat penting.
Casual interview
Sebuah wawancara mendadak. Dalam hal ini seorang wartawan minta kesediaan seorang narasumber untuk diwawancarai. Si wartawan berbuat begitu karena ia bertemu dengan narasumber yang dianggapnya punya informasi yang perlu dilaporkan kepada khalayak.
Personal interview
Merupakan wawancara untuk mengenal pribadi seseorang yang memiliki nilai berita lebih dalam lagi. Hasilnya, biasanya berupa profil tentang orang bersangkutan. News peg interview Wawancara yang berkaitan dengan sebuah laporan tentang sebuah peristiwa yang sudah direncanakan. Wawancara inisering juga disebut information interview.
Telephone interview
Wawancara yang dilakukan lewat telepon. Ini biasanya dilakukan wartawan kepada narasumber yang sudah dikenalnya dengan baik dan untuk melengkapi sebuah berita yang sedang ditulis. Dengan perkataan lain, seorang wartawan memilih jenis wawancara memilih jenis wawancara ini karena ia dalam keadaan terdesak.
Question interview
Wawancara tertulis. Biasanya dilakukan seorang wartawan yang sudah mengalami jalan buntu. Setelah ditelepon, didatangi ke rumah dan ke kantor, si wartawan tidak bisa bertemu dengan anrasumber, maka ia memilih wawancara jenis ini. Keuntungan wawancara ini adalah: Informasi yang diperoleh lebih jelas dan mudah dimengerti. Kelemahannya adalah: wartawan tidak bisa mengamati sukap-sikap pribadi narasumber ketika manjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan.
Group interview
Wawancara yang dilakukan terhadap beberapa orang sekaligus untuk membahas satu persoalan atau implikasi satu kebijaksanaan pemerintah. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berbicara. Contohnya adalah acara “Pelaku dan Peristiwa” TVRI.
Semua jenis wawancara tersebut di atas akan terlaksana dengan baik bila dipenuhi teknik-teknik berikut:
·        Menggunakan daftar pertanyaan yang tersusun baik, yang sudah disiapkan lebih dulu;
·        Memulai wawancara dengan pertanyaan-pertanyaan yang ringan;
·        Mengajukan pertanyaan secara langsung dan tepat;
·        Tidak malu bertanya bila ada jawaban yang tidak dimengerti; dan
·        Mengajukan pertanyaan tambahan berdasarkan perkembangan wawancara.
c. Konferensi Pers
Pernyataan yang disampaikan seseorang yang mewakili sebuah lembaga mengenai kegiatannya kepada para wartawan. Biasanya menyangkut citra lembaga, peristiwa yang sangat penting dan bersifat insidental. Tetapi, tidak jarang bersifat periodik, seperti konferensi pers Menteri Luar Negeri, yang berlangsung seminggu sekali. Pada setiap konferensi pers, setiap wartawan memiliki hak yang sama untuk mengajukan pertanyaan kepada orang yang memberikan konferensi pers. Umumnya, lalu lintas informasi dalam konferensi pers dilakukan lewat dialog langsung. Tetapi, ada juga konferensi pers yang menggunakan informasi tertulis yang dibagikan kepada para wartawan. Untuk melengkapi informasi tersebut, para wartawan diberi kesempatan untuk bertanya.
d. Press Release
Bisa diartikan sebagai siaran pers yang dikeluarkan oleh satu lembaga, satu organisasi atau seorang individu secara tertulis untuk para wartawan. Ia mewakili kepentingan lembaga, organisasi atau individu. Itulah sebabnya media massa cetak yang besar, seperti ?Kompas? tidak mau memuat siaran pers ini. Tidak ada keharusan bagi wartawan untuk memuat siaran pers ini. Juga tidak ada kesempatan bagi para wartawan untuk bertanya kepada pihak yang mengeluarkan siaran pers tentang siaran pers. Inilah yang membedakannya dengan konferensi pers. Tegasnya, pada press release tidak ada tanya jawab dengan wartawan dan narasumber, sedangkan pada konferensi, ada.

E. Sistematika Pengelompokan Bahan
Apakah yang dimaksud dengan sistematika pengelompokan bahan? Sistematika pengelompokan bahan adalah cara agar bahan yang demikian banyak dan tidak beraturan menjadi rapi hingga lebih mudah dimanfaatkan sebagai bahan tulisan.
Bagaimanakah cara pengelompokan bahan-bahan tersebut? Secara umum, bahan dikelompokkan sesuai dengan bidangnya. Misalnya bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, humaniora dll. Bidang tersebut bisa dikelompokkan lagi menjadi sektor. Misalnya bidang ekonomi menjadi sektor industri, perdagangan, jasa, pariwisata, pertambangan, pertanian, perhubungan dll.
Bagaimanakah kalau pengelompokan dalam sektor tersebut masih membingungkan kita? Bahan tersebut bisa dikelompokkan lagi dalam sub sektor, sub-sub sektor dan komoditas. Misalnya sektor industri menjadi sub sektor industri logam, keramik, kayu, elektronik, otomotif dll. Sub sektor dikelompokkan lagi menjadi sub-sub sektor dan komoditas. Misalnya sub sektor industri logam secara spesifik bisa dirinci menjadi industri baja, aluminium, tembaga, emas, perak, dll. sampai ke komoditasnya. Misalnya industri panci aluminium, gelang perak, kabel tembaga dll.
Apakah ada cara pengelompokan selain bidang, sektor, sub sektor dan komoditas? Ada, yakni pengelompokan berdasarkan aspek hulu hilirnya (proses). Misalnya industri buku. Pelakunya adalah penerbit. Aspek hulunya adalah penulisan naskah, pembuatan foto, gambar, grafis dll. Aspek tengahnya adalah editing, seting/layout dan cetak/jilid. Aspek hilirnya adalah ekspedisi, toko buku (pamasaran) dan promosi. Selain itu masih ada aspek pendukung yakni administrasi, keuangan, PSDM dll.
Bagaimanakah dengan pengelompokan sumber bahan yang siap pakai? Sumber bahan yang siap pakai misalnya kliping, dokumentasi, buku dll. bisa dikelompokkan dalam index judul, index penulis dan index subyek/obyek. Bisa pula gabungan antara ketiganya.

F. Meliput dan Wawancara
Apakah yang disebut sebagai meliput dan wawancara? Meliput adalah “hunting” informasi. Hingga kegiatannya bisa hanya datang ke perpustakaan, pertunjukan, bencana alam, kecelakaan, pembangunan jembatan dll. tanpa perlu melakukan wawancara. Pekerjaan konkrit yang dilakukan adalah pengamatan lapang (kondisi setempat, masyarakat dll. kalau perlu dipotret), pengumpulan data (docopy, dicatat), menonton (untuk pertunjukan, pertandingan), membaca (di perpustakaan), makan dan berbelanja (untuk menulis rubrik restoran/menu atau belanja) dll.]
Mengapa banyak pihak yang menganggap meliput hanya sebagai wawancara? Karena banyak penerbit yang mempekerjakan wartawan yang tidak memiliki standar pendidikan kewartawanan (jurnalistik), dan penerbitan tersebut tidak melakukan inhouse training pendidikan kewartawanan. Akibatnya, pekerjaan meliput hanya diartikan sebagai mendatangi narasumber dan mewawancarainya. Datang ke seminar juga hanya untuk meminta makalahnya dst.
Apakah meliput bisa dilakukan dengan tanpa persiapan? Tidak mungkin. Bahkan untuk meliput perang, seorang wartawan mutlak dilengkapi dengan pengetahuan kemiliteran, bahkan juga peralatannya seperti rompi anti peluru. Persiapan untuk meliput konser misalnya, juga harus disertai dengan pengetahuan mengenai grup musik tersebut, jenis musiknya, sejarahnya, fansnya dll. Wawancara harus dilakukan dengan cara diskusi, bukan sekadar tanya-jawab. Untuk itu wartawan mutlak memerlukan pengetahuan standar mengenati subyek yang akan dibicarakan dengan narasumber.
Apakah dalam meliput seseorang harus merekam hasil wawancara dan memotret peristiwa atau obyek yang diliputnya? Sebaiknya hasil wawancara dicatat dan sekaligus direkam dengan alat perekam. Rekaman dimaksudkan untuk melengkapi hasil catatan serta untuk bukti apabila ternyata narasumber membantah hasil wawancaranya setelah dimuat media massa. Foto dimaksudkan untuk menunjukkan bukti otentik bahwa penulis artikel/feature benar-benar mendatangi lokasi dari obyek yang ditulisnya.
Bisakah seseorang menulis artikel atau feature tanpa mendatangi obyek yang akan ditulisnya secara langsung? Dalam menulis artikel, seseorang bisa tidak perlu mendatangi obyek yang ditulisnya secara langsung. Namun dalam menulis feature, penulis mutlak harus melakukan peliputan.

Referensi

Ermanto, 2005, Wawasan Jurnalistik Praktis, Yogyakarta: Cinta Pena.

Cheryl L. Webster, 2005, News Media Critique: “Crazies in the Streets”, dalam eCOMMUNITY: International Journal Of Mental Health & Addiction, Vol. 3, No. 2, pp. 64-68, 2005, ISSN 1705-4583, Canada: Professional Advanced Services, Inc.

F. Rahardi, 2005, Panduan Lengkap Menulis Artikel, Feature, dan Esai untuk Pemula, Handout tidak diterbitkan.

Made Pramono, 2011, E-learning jurnalistik olahraga: http://ilmu.unesa.ac.id

Steen, Rob, 2008, Sports Journalism: A Multimedia Primer, New York: Routledge.


[1] sumber : http://aliefnews.wordpress.com/2008/01/11/teknik-mengumpulkan-berita/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar