A. Fakta, Peristiwa dan Khayalan
Apa sajakah yang bisa disebut sebagai bahan
tulisan? Yang bisa dikatagorikan sebagai bahan tulisan adalah fakta, peristiwa,
gagasan, lamunan, keinginan, angan-angan (khayalan) dll.
Apakah yang disebut sebagai fakta? Menurut
KBBI, fakta adalah n hal (keadaan, peristiwa) yang merupakan kenyataan, sesuatu
yang benar-benar ada atau terjadi.
Apakah yang disebut sebagai peristiwa?
Menurut KBBI, peristiwa adalah n 1 kejadian (hal, perkara, dsb); kejadian yang
luarbiasa (menarik perhatian dsb); yang benar-benar terjadi: memperingati —
penting di sejarah; 2 pada suatu kejadian (kerap kali dipakai untuk memulai
cerita): sekali –;
Mengapa gagasan, lamunan, keinginan, impian,
khayalan dll. juga bisa dijadikan bahan tulisan non fiksi? Karena banyak
perubahan di dunia ini yang diawali dengan kombinasi antara fakta dan peristiwa
dengan lamunan dan impian. Misalnya fakta dan peristiwa tentang tutup cerek
yang bergerak-gerak karena didorong oleh uap air mendidih, ketika
dikombinasikan dengan lamunan James Watt, telah mengubah dunia dengan mesin
uap, yang kemudian berkembang menjadi berbagai mesin penggerak lain.
Mungkinkah khayalan murni dijadikan bahan
artikel? Khayalan murni tidak hanya bisa dijadikan fiksi melainkan juga tulisan
non fiksi. Dalam hal ini sebagai bahan artikel. Contohnya pernah ada artikel di
Harian Kompas dengan judul: Seandainya Saya Menjadi Presiden. Isinya jelas
murni khayalan. Namun karena bentuk tulisannya artikel, maka khayalan itu
dibuat relevan dengan fakta dan peristiwa aktual saat ini.
B.
Data Primer dan Sekunder
Apakah semua fakta, peristiwa dan khayalan
bisa dijadikan bahan tulisan? Tidak semua fakta, peristiwa dan khayalan bisa
dijadikan bahan tulisan. Yang bisa menjadi bahan tulisan hanyalah yang paling
menarik bagi penulis. Meskipun setelah menjadi tulisan, belum tentu tulisan
tersebut menarik bagi penerbit dan pembaca.
Apakah semua fakta, peristiwa dan khayalan
yang menarik bagi penulis bisa langsung ditulis? Bisa saja. Tetapi hasilnya
bisa tidak lengkap dan tidak akurat.
Bagaimana agar fakta, peristiwa dan khayalan
itu ketika ditulis bisa menjadi lengkap dan akurat? Caranya, fakta, peristiwa
dan khayalan yang menarik itu, masih harus dikumpulkan, didokumentasikan,
diseleksi, diberi sistematika (dikelompokkan secara sistematis), baru kemudian
bisa ditulis. Kalau perlu dengan terlebih dahulu dianalisis.
Disebut apakah fakta, peristiwa dan khayalan
yang telah didokumentasikan tersebut? Semuanya bisa disebut sebagai data. Ada data primer (dari tangan
pertama) ada data sekunder (dari tangan kedua/bank data, perpustakaan dll),
data tersier dst.
Di manakah
bisa diperoleh data primer dan data sekunder? Data primer harus didapat secara
langsung dari sumber pertama. Sementara data sekunder dst. bisa diperoleh
secara estafet melalui sumber-sumber tidak langsung.
C. Sumber Bahan
Apakah yang
disebut sebagai sumber bahan? Yang disebut sebagai sumber bahan adalah alam
(batu-batuan, bukit, gunung, sungai, rawa, danau, laut, salju, kawah gunung
api, langit, awan, bulan, bintang, matahari dll); makhluk hidup (tumbuhan,
binatang dan manusia dengan berbagai peralatannya); dan dunia
spiritual/supranatural (Tuhan, malaikat, setan, jin, hantu, kuntilanak,
drakula, vampir, kolor ijo dll).
Apakah semua
obyek tersebut bisa dijadikan bahan tulisan? Benar. Asal menarik bagi penulis
dan memungkinkan untuk diambil dan dikumpulkan.
Dari manakah
bahan-bahan itu bisa diambil dan dikumpulkan? Pertama, bahan tulisan bisa
dikumpulkan sendiri secara langsung. Baik dengan cara pengamatan, penelitian
maupun keterlibatan. Kedua, melalui sumber indivudual. Baik sumber primer
(pelaku langsung) maupun sekunder (bukan pelaku langsung). Ketiga, melalui
institusi (lembaga). Baik lembaga pemerintah, militer, keagamaan, BUMN, swasta,
perguruan tinggi, media massa, LSM dll.
Secara konkrit, berupa apakah bahan tulisan
tersebut? Secara konkrit, bahan tulisan tersebut berupa kliping koran/majalah,
buku, brosur, booklet, poster, prasasti, daftar, katalog, pengumuman, iklan,
undangan, e-mail, weeb site dll.
Di manakah bahan tulisan paling banyak
terhimpun? Secara umum, bahan tulisan paling banyak terkumpul di perpustakaan
umum. Selain di perpustakaan, bahan tulisan juga bisa diperoleh di lembaga
pemilik data seperti Badan Pusat Statistik, Gedung Arsip (nasional maupun
daerah), Museum, lembaga penelitian, kantor berita dll.
D.
Cara Pengumpulan Bahan
Bagaimanakah cara pengumpulan bahan tulisan?
Bahan tulisan bisa dikumpulkan dengan pengamatan, penelitian dan keterlibatan
langsung terhadap obyek. Bisa pula dengan mewawancarai sumber bahan, meminta
secara gratis, bekerjasama (nama sumber ikut dicantumkan, honornya dibagi dua),
membeli (baik cash maupun kredit) dan investigasi.
Apakah fisik bahan tulisan harus diambil
secara langsung oleh penulis? Kalau bahan tulisan itu berupa buku dan buku itu
harus dikopi di perpustakaan atau dibeli di toko buku, maka pengambilannya
harus dilakukan secara langsung terhadap fisik bahan.
Bagaimanakah kalau bahan fisik itu tidak
bisa diambil secara langsung? Bahan tersebut bisa dipesan. Misalnya seorang
penulis artikel yang tinggal di Yogya, memerlukan bahan berupa buku yang hanya
ada di salah satu perpustakaan di Jakarta.
Kalau dia datang ke Jakarta
secara langsung, pasti akan berat di ongkos. Caranya, dia bisa menelepon
petugas perpustakaan, minta dikopikan bahan tersebut, dikemas dan dikirimkan
kepadanya. Petugas akan menyebutkan biayanya yang bisa ditransfer ke rekening
perpustakaan atau petugas tersebut. Bukti transfer difax dan barang akan
dikirim.
Apakah tidak mungkin hanya mengambil satu
atau dua halaman dari buku tersebut untuk difaxkan kepadanya? Bisa saja kalau
yang diperlukan memang hanya beberapa halaman dari buku tersebut, dan petugas
perpustakaan bersedia melayaninya.
Apakah dimungkinkan hanya telepon saja atau
mengekses di internet? Telepon hanya layak dilakukan untuk wawancara singkat
atau konfirmasi kebenaran fakta, peristiwa atau data. Internet atau weeb bisa
dimanfaatkan karena inilah cara paling murah dan mudah untuk memperoleh bahan
tulisan.
E. Teknik Mengumpulkan Berita[1]
1. Observasi
Secara
sederhana observasi merupakan pengamatan terhadap realitas sosial. Ada
pengamatan langsung, ada juga pengamatan tak langsung. Seseorang disebut
melakukan pengamatan langsung bila ia menyaksikan sebuah peristiwa dengan mata
kepalanya sendiri. Pengamatan ini bisa dilakukan dalam
waktu yang pendek dan panjang. Pendek artinya, setelah melihat sebuah peristiwa
dan mencatat seperlunya, seseorang meninggalkan tempat kejadian untu menulis
laporan. Misalnya: peristiwa kecelakaan lalu lintas. Sedangkan panjang berarti
seseorang berada di tempat kejadian dalam waktu yang lama. Bahkan ia menulis laporan dari
tempat kejadian. Contoh:peristiwa bencana alam.
Seseorang
disebut melakukan pengamatan tidak langsung bila ia tidak menyaksikan peristiwa
yang terjadi, melainkan mendapat keterangan dari orang lain yang menyaksikan
peristiwa itu. Misalnya: peristiwa penemuan mayat suami-istri di sebuah rumah.
Si Bujang mendapat informasi bahwa di jalan Melati No. 24
ditemukan mayat sepasang suami-istri. Ia bergegas ke daerah itu. Sesampai di
sana, ia masih melihat epasang mayat tersebut. Kalau ia kemudian mendapatkan
data tentang siapa yang meninggal dunia, kapan dan kenapa meninggal dunia, data
itu merupakan hasil pengamatan tidak langsung.Pengamatan di sini tidak sama
persis dengan pengamatan seorang peneliti. Seseorang peneliti melakukan
pengamatan berdasarkan konsep dan hipotesis. Hasilnya, biasanya dilaporkan
dengan disertai pemecahan masalah ala mereka. Sedangkan seorang pekerja pers
melakukan pengamatan untuk melaporkan kejadian sebuah peristiwa apa adanya.
2. Wawancara
Wawancara
adalah tanya jawab antara seorang wartawan dengan narasumber untuk mendapatkan
data tentang sebuah fenomena (Itule dan Anderson 1987:184). Dalam hal ini, yang
perlu diperhatikan adalah:
a. Posisi narasumber dalam wawancara
Posisi
narasumber dalam sebuah wawancara adalah ibarat posisi pembeli dalam sebuah
transaksi dagang, yaitu sebagai ?raja?. Semua keinginan narasumber harus
dipenuhi oleh wartawan. Karena itu, sebelum melakukan wawancara, wartawan harus
menanyakan keinginan narasumber. Sebelum itu, wartawan harus memperkenalkan
secara langsung jati dirinya dan untuk siapa ia bekerja kepada narasumber.
Tahap-tahap ini, menurut prinsip etika jurnalistik yang umum, harus ditempuh
oleh setiap wartawan sebelum melakukan wawancara dengan narasumber, terlepas
dari narasumber mengetahui cara kerja jurnalisme atau tidak. Terdapat beberapa
hal mendasar yang perlu ditanyakan kepada narasumber, misalnya:
·
Apakah
narasumber tidak keberatan bila kalimatnya dikutip secara langsung?
·
Apakah narasumber tidak berniat
namanya dirahasiakan dalam sebagian hasil wawancara?
·
Apakah narasumber memiliki
keinginan lain yang berkaitan dengan hasil wawancara?
Bila wartawan sudah mengetahui jawaban
ketiga pertanyaan ini ditambah dengan keinginan narasumber lain, maka terpulang
kepada wartawan bersangkutan untuk segera memenuhinya atau bernegosiasi terlbih
dahulu. Bernegosiasi dengan narasumber bukanlah pekerjaan yang haram. Wartawan
boleh bernegosiasi tidak berlangsung di bawah tekanan pihak tertentu (ada
dugaan wartawan yang handal sering melakukan negosiasi dengan narasumber).
Kesepakatan yang dicapai berdasarkan negosiasi, biasanya, lebih memuaskan kedua
belah pihak. Terlepas dari cara pencapaian kesepakatan, kesepakatan ini perlu
dicapai sebelum melakukan wawancara (tidak ada salahnya wartawan juga merekan
kesepakatan yang sudah dicapai. Rekaman ini bisa dijadikan bukti bila kelak ada
pihak yang protes terhadap keberadaan wawancara tersebut). Berdasarkan
kesepakatan inilah seharusnya wawancara berlangsung.
Setelah wawancara selesai, wartawan perlu
menanyakan kembali kepada narasumber, apakah narasumber masih setuju dengan
kesepakatan yang sudah dibuat? Wartawan juga perlu meyakinkan narasumber bahwa
tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari atas segala akibat kesepakatan
yang sudah dibuat.
Dalam pandangan sebagian kecil wartawan,
pelaksanaan tahap-tahap wawancara tersebut di atas menghambat kelancaran kerja
mereka. Karena itu, mereka enggan melakukannya. Tetapi, bagi mereka yang pernah
ketanggor, pelaksanaan tahap-tahap itu menjadi satu keharusan.
b. Posisi wartawan dalam
wawancara
Sebagian besar individu akan merasa sangat
senang bila diwawancarai wartawan. Menurut mereka, bila hasil wawancara
tersebut disiarkan kepada khalayak, nama mereka juga akan dikenal khalayak.
Semakin sering mereka diwawancarai wartawan, semakin populerlah mereka.
Individu-individu model begini akan selalu bersikap manis kepada wartawan.
Tidak heran bila wartawan berada ?di atas angin? ketika berhadapan dengan
mereka.
Lalu, dimana posisi wartawan yang
sebenarnya? Kedudukan wartawan adalah penjaga kepentingan umum. Para wartawan berhak mengorek informasi yang berkaitan
dengan kepentingan umum dari narasumber. Mereka bebas menanyakan apa saja
kepada narasumber untuk menjaga kepentingan umum. Posisi inilah yang
menyebabkan mereka mendapat tempat di hati khalayak. Kendati begitu, para
wartawan, seperti dinyatakan oleh Jeffrey Olen, harus menghormati keberadaan narasumber.
Mereka haurs mengakui bahwa narasumber adalah individu yang bisa berpikir,
memiliki alasan untuk berbuat dan mempunyai keinginan-keinginan (Olen 1988:59).
Akibatnya, para wartawan harus memperlakukan narasumber sebagai individu yang
memiliki otonomi dan bebas mengekspresikan segala keinginannya. Kalau pada satu
saat narasumber keberatan hasil wawancaraya disiarkan, maka wartawan harus
menghormati keinginan ini dan tidak menyiarkannya.
Menurut para ahli, terdapat tujuh jenis
wawancara, yaitu man in the street interview, casual interview, personal
interview, news peg interview, telephone interview, question interview dan
group interview (Itule dan Andersin 1987:207-213). Operasionalisasinya begini:
Man in the street interview
Wawancara
yang dilakukan untuk mengumpulkan pendapat beberapa orang awam mengenai sebuah
peristiwa, bisa menyangkut satu keadaan dan bisa pula tentang sebuah
kebijaksanaan baru. Biasanya wawancara ini diperlukan setelah terjadinya sebuah
peristiwa yang sangat penting.
Casual interview
Sebuah
wawancara mendadak. Dalam hal ini seorang wartawan minta kesediaan seorang
narasumber untuk diwawancarai. Si wartawan berbuat begitu karena ia bertemu
dengan narasumber yang dianggapnya punya informasi yang perlu dilaporkan kepada
khalayak.
Personal interview
Merupakan
wawancara untuk mengenal pribadi seseorang yang memiliki nilai berita lebih
dalam lagi. Hasilnya, biasanya berupa profil tentang orang bersangkutan. News
peg interview Wawancara yang berkaitan dengan sebuah laporan tentang sebuah peristiwa
yang sudah direncanakan. Wawancara inisering juga disebut information
interview.
Telephone interview
Wawancara
yang dilakukan lewat telepon. Ini biasanya dilakukan wartawan kepada narasumber
yang sudah dikenalnya dengan baik dan untuk melengkapi sebuah berita yang
sedang ditulis. Dengan perkataan lain, seorang wartawan memilih jenis wawancara
memilih jenis wawancara ini karena ia dalam keadaan terdesak.
Question interview
Wawancara
tertulis. Biasanya dilakukan seorang wartawan yang sudah mengalami jalan buntu.
Setelah ditelepon, didatangi ke rumah dan ke kantor, si wartawan tidak bisa
bertemu dengan anrasumber, maka ia memilih wawancara jenis ini. Keuntungan wawancara ini adalah:
Informasi yang diperoleh lebih jelas dan mudah dimengerti. Kelemahannya adalah:
wartawan tidak bisa mengamati sukap-sikap pribadi narasumber ketika manjawab
pertanyaan-pertanyaan wartawan.
Group interview
Wawancara yang dilakukan terhadap beberapa
orang sekaligus untuk membahas satu persoalan atau implikasi satu kebijaksanaan
pemerintah. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berbicara.
Contohnya adalah acara “Pelaku dan Peristiwa” TVRI.
Semua jenis
wawancara tersebut di atas akan terlaksana dengan baik bila dipenuhi
teknik-teknik berikut:
·
Menggunakan
daftar pertanyaan yang tersusun baik, yang sudah disiapkan lebih dulu;
·
Memulai
wawancara dengan pertanyaan-pertanyaan yang ringan;
·
Mengajukan
pertanyaan secara langsung dan tepat;
·
Tidak
malu bertanya bila ada jawaban yang tidak dimengerti; dan
·
Mengajukan
pertanyaan tambahan berdasarkan perkembangan wawancara.
c. Konferensi Pers
Pernyataan
yang disampaikan seseorang yang mewakili sebuah lembaga mengenai kegiatannya
kepada para wartawan. Biasanya menyangkut citra
lembaga, peristiwa yang sangat penting dan bersifat insidental. Tetapi, tidak
jarang bersifat periodik, seperti konferensi pers Menteri Luar Negeri, yang
berlangsung seminggu sekali. Pada setiap konferensi pers, setiap wartawan
memiliki hak yang sama untuk mengajukan pertanyaan kepada orang yang memberikan
konferensi pers. Umumnya, lalu lintas informasi dalam konferensi pers dilakukan
lewat dialog langsung. Tetapi, ada juga konferensi pers yang menggunakan
informasi tertulis yang dibagikan kepada para wartawan. Untuk melengkapi
informasi tersebut, para wartawan diberi kesempatan untuk bertanya.
d. Press Release
Bisa diartikan sebagai siaran pers yang
dikeluarkan oleh satu lembaga, satu organisasi atau seorang individu secara
tertulis untuk para wartawan. Ia mewakili kepentingan lembaga, organisasi atau individu. Itulah
sebabnya media massa cetak yang besar, seperti ?Kompas? tidak mau memuat siaran
pers ini. Tidak ada keharusan bagi wartawan untuk
memuat siaran pers ini. Juga tidak ada kesempatan bagi para wartawan untuk
bertanya kepada pihak yang mengeluarkan siaran pers tentang siaran pers. Inilah
yang membedakannya dengan konferensi pers. Tegasnya, pada press release tidak
ada tanya jawab dengan wartawan dan narasumber, sedangkan pada konferensi, ada.
E.
Sistematika Pengelompokan Bahan
Apakah yang dimaksud dengan sistematika
pengelompokan bahan? Sistematika pengelompokan bahan adalah cara agar bahan
yang demikian banyak dan tidak beraturan menjadi rapi hingga lebih mudah
dimanfaatkan sebagai bahan tulisan.
Bagaimanakah cara pengelompokan bahan-bahan
tersebut? Secara umum, bahan dikelompokkan sesuai dengan bidangnya. Misalnya
bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, humaniora dll. Bidang tersebut bisa
dikelompokkan lagi menjadi sektor. Misalnya bidang ekonomi menjadi sektor
industri, perdagangan, jasa, pariwisata, pertambangan, pertanian, perhubungan
dll.
Bagaimanakah kalau pengelompokan dalam
sektor tersebut masih membingungkan kita? Bahan tersebut bisa dikelompokkan
lagi dalam sub sektor, sub-sub sektor dan komoditas. Misalnya sektor industri
menjadi sub sektor industri logam, keramik, kayu, elektronik, otomotif dll. Sub
sektor dikelompokkan lagi menjadi sub-sub sektor dan komoditas. Misalnya sub sektor industri logam
secara spesifik bisa dirinci menjadi industri baja, aluminium, tembaga, emas,
perak, dll. sampai ke komoditasnya. Misalnya industri panci aluminium, gelang
perak, kabel tembaga dll.
Apakah ada
cara pengelompokan selain bidang, sektor, sub sektor dan komoditas? Ada, yakni pengelompokan berdasarkan aspek hulu hilirnya (proses).
Misalnya industri buku. Pelakunya adalah penerbit. Aspek hulunya adalah
penulisan naskah, pembuatan foto, gambar, grafis dll. Aspek tengahnya adalah
editing, seting/layout dan cetak/jilid. Aspek hilirnya adalah ekspedisi, toko
buku (pamasaran) dan promosi. Selain itu masih ada aspek pendukung yakni
administrasi, keuangan, PSDM dll.
Bagaimanakah dengan pengelompokan sumber
bahan yang siap pakai? Sumber bahan yang siap pakai misalnya kliping,
dokumentasi, buku dll. bisa dikelompokkan dalam index judul, index penulis dan
index subyek/obyek. Bisa pula gabungan antara ketiganya.
F.
Meliput dan Wawancara
Apakah yang disebut sebagai meliput dan
wawancara? Meliput adalah “hunting” informasi. Hingga kegiatannya bisa hanya
datang ke perpustakaan, pertunjukan, bencana alam, kecelakaan, pembangunan
jembatan dll. tanpa perlu melakukan wawancara. Pekerjaan konkrit yang dilakukan
adalah pengamatan lapang (kondisi setempat, masyarakat dll. kalau perlu
dipotret), pengumpulan data (docopy, dicatat), menonton (untuk pertunjukan,
pertandingan), membaca (di perpustakaan), makan dan berbelanja (untuk menulis
rubrik restoran/menu atau belanja) dll.]
Mengapa banyak pihak yang menganggap meliput
hanya sebagai wawancara? Karena banyak penerbit yang mempekerjakan wartawan
yang tidak memiliki standar pendidikan kewartawanan (jurnalistik), dan
penerbitan tersebut tidak melakukan inhouse training pendidikan kewartawanan.
Akibatnya, pekerjaan meliput hanya diartikan sebagai mendatangi narasumber dan
mewawancarainya. Datang ke seminar juga hanya untuk meminta makalahnya dst.
Apakah meliput bisa dilakukan dengan tanpa
persiapan? Tidak mungkin. Bahkan untuk meliput perang, seorang wartawan mutlak
dilengkapi dengan pengetahuan kemiliteran, bahkan juga peralatannya seperti
rompi anti peluru. Persiapan untuk meliput konser misalnya, juga harus disertai
dengan pengetahuan mengenai grup musik tersebut, jenis musiknya, sejarahnya,
fansnya dll. Wawancara harus dilakukan dengan cara diskusi, bukan sekadar
tanya-jawab. Untuk itu wartawan mutlak memerlukan pengetahuan standar mengenati
subyek yang akan dibicarakan dengan narasumber.
Apakah dalam meliput seseorang harus merekam
hasil wawancara dan memotret peristiwa atau obyek yang diliputnya? Sebaiknya
hasil wawancara dicatat dan sekaligus direkam dengan alat perekam. Rekaman
dimaksudkan untuk melengkapi hasil catatan serta untuk bukti apabila ternyata
narasumber membantah hasil wawancaranya setelah dimuat media massa. Foto dimaksudkan untuk menunjukkan
bukti otentik bahwa penulis artikel/feature benar-benar mendatangi lokasi dari
obyek yang ditulisnya.
Bisakah seseorang menulis artikel atau
feature tanpa mendatangi obyek yang akan ditulisnya secara langsung? Dalam
menulis artikel, seseorang bisa tidak perlu mendatangi obyek yang ditulisnya
secara langsung. Namun dalam menulis feature, penulis mutlak harus melakukan
peliputan.
Referensi
Ermanto,
2005, Wawasan Jurnalistik Praktis, Yogyakarta:
Cinta Pena.
Cheryl L. Webster, 2005,
News Media Critique: “Crazies in the Streets”, dalam eCOMMUNITY: International Journal Of Mental
Health & Addiction, Vol. 3, No. 2, pp. 64-68, 2005, ISSN 1705-4583, Canada:
Professional Advanced Services, Inc.
F.
Rahardi, 2005, Panduan Lengkap Menulis
Artikel, Feature, dan Esai untuk Pemula, Handout tidak diterbitkan.
Made
Pramono, 2011, E-learning jurnalistik olahraga: http://ilmu.unesa.ac.id
Steen, Rob, 2008, Sports Journalism: A
Multimedia Primer, New York: Routledge.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar