15 September 2021

PARIWISATA OLAHRAGA MASYARAKAT MADANI

 PARIWISATA OLAHRAGA MASYARAKAT MADANI

Made Pramono

madepramono@unesa.ac.id

 

A. Pendahuluan

            Bukan hanya terkait dengan permasalahan moral yang tersirat dari bunyi judul, tulisan ini juga menyangkut permasalahan silang mengkarutnya dengan visi dunia yang mengangkat permasalahan etika yang dicerminkan pariwisata olahraga dalam hal keterlibatan dengan sosial kemanusaan. Indonesia dijadikan eksperimen analisisnya, karena beberapa kementerian sudah menunjuk beberapa daerah sebagai potensi diaktualisaikan secara serius seperti Banyuwangi, DKI, Magetan, dan lain-lain mengikuti Bali yang sudah lama menjadi destinasi wisata dan juga lokus pariwisata olahraga (lihat misalnya di Direktorat Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga, 2007).

Pemilihan isilah “berkemanusiaan dan berperadaban” karena melibatkan moral positif. Artinya, hukum bemuansa moral yang disepakati secara umum sebagai ada (http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/248/182) untuk menuju masyarakat madani (civil society) (Azizy, 2004). Pelibatan moral dan keberadaban secara tepat melandasi kajian filsafat ini dengan secara komprehensif dan intensif memberi penekanan bagaimana pengembangan pariwisata olahraga hendak dikembangkan di Indonesia.

           

B. Pariwisata sebagai Ilmu

Dalam kamus besar bahasa Indonesia dikemukakan bahwa pariwisata adalah suatu kegiatan yang berhubungan dengan perjalanan rekreasi. Istilah pariwisata pertama kali digunakan pada tahun 1959 dalam Musyawarah Nasional Turisme II di Tretes, Jawa Timur. Istilah ini dipakai sebagai pengganti kata Turisme sebelum kata pariwisata diambil dari bahasa Sansekerta (Suwena dan Widyatmaja, 2017).

Pembangunan pariwisata yang direncanakan dan dikelola secara berkelanjutan dengan berbasis pada masyarakat akan mampu memberikan kontribusi terhadap penerimaan devisa negara dan menciptakan lapangan kerja. Disamping itu, pembangunan pariwisata juga dapat menciptakan pendapatan yang dapat digunakan untuk melindungi dan melestarikan budaya dan lingkungan dan secara langsung menyentuh masyarakat setempat/desa tujuan wisata. Pandemi COID-19 memang sempat menghentikan laju pertumbuhan sebesar 4,3 persen setiap tahun sehingga bahkan di Indonesia, pariwisata merupakan penghasil devisa terbesar setelah sektor minyak dan gas bumi. Selain sebagai penghasil devisa, kegiatan pariwisata secara potensial juga dapat mengatasi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan menggerakkan sektor usaha kecil dan menengah (UKM). Ringkasnya pariwisata merupakan salah satu industri yang mempunyai peran cukup penting dalam pembangunan ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan (Direktorat Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga, 2007).

Eric Cohen (2018) menyebut pariwisata sebagai suatu ‘bidang’ (lebih tepatnya bidang interrelasi sebagaimana orang menyebut bidang studi. Mengutip Barret, Cohen menegaskan bahwa sebagai konsep kental dengan analisis filsafat tentang waktu luang, pariwisata merupakan filsafat waktu luang yang sepele namun ‘leisure is the end, the goal of human life’. Filsafat dan etika waktu luang dalam pariwisata (termasuk olahraga) menuai banyak tulisan di jurnal-jurnal internasional seperti Journal of the Philosophy of Sport dari berbagai penulis dengan beragam sudut pandang kefilsafatan mereka, misalnya menyebut waktu luang sebagai bentuk kedamaian, atau, prasyarat penting untuk pengalaman religius yang mendalam. Pariwisata sudah memperoleh tempat khusus di wilaya akademik secara filosofis maupuan ilmiah.

Pariwisata olahraga muncul dan berkembang sebagai ilmu baru dengan konsep-konsep kunci yang berbeda dengan disiplin lain. Pariwisata olahraga lebih dicirikan sebagai kebiasaan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain yang mengedepankan interaksi unik antara aktivitas seseorang dan suatu tempat (Weed, 2020). Pariwisata olahraga adalah salah satu jenis pariwisata yang menjadikan aktivitas olahraga sebagai daya tarik utama. Pariwisata olahraga meliputi semua pengalaman yang didapatkan dari melakukan atau mempraktekkan kegiatan olahraga maupun sekedar untuk menikmati aktivitas olahraga sebagai tontonan atau hiburan, yang membutuhkan perjalanan dari tempat tinggal serta tempat kerjanya. Pariwisata olahraga dianggap sebagai bagian dari pariwisata yang diciptakan melalui integrasi antara olahraga dan pariwisata (Masrurun, 2020).

Pariwisata olahraga memang disiplin baru bahkan sampai dengan tahun 2000an batas-batas keilmuannya belum jelas dan tegas, sehingga tawaran program, modul, bahkan asesmen kurikulum pada tahun 2000 itu masih perlu diolah (Swart, 2000). Berdasarkan penamaan ilmiahnya, pariwisata olahraga menerapkan pendekatan multidisipliner pada awal kemunculannya, yaitu pariwisata dan olahraga.  Choi dan Pak (2006: 352) memperingatkan bahwa istilah multidisipliner, interdisipliner, dan transdisipliner dipergunakan untuk menunjuk usaha-usaha ilmiah yang melibatkan beberapa disiplin. Namun acapkali ketiganya didefinisikan secara ambigu dan saling dipertukarkan – suatu situasi yang disebut “terminological quagmire” (keruwetan terminologis). Apa yang disebut Jensenius (www.arj.no/2012/03/12/disciplinarities-2/) mewakili macam disiplineritas ilmu ini: multidisipliner berarti kerjasama beberapa disiplin yang berbeda-beda, masing-masing menggambarkan pengetahuan disiplinnya sendiri-sendiri. Disiplin pariwisata sebagai disiplin asal yang dibawa mendekati objek berupa disiplin lain, olahraga. Pengaturan isi dan batang tubuh keolahragaan secara mendasar melibatkan perspektif epistemologi dibahas misalnya dalam buku Herbert Haag (1994). Bidang ilmu pariwisata mendasar dibahas dalam beberapa buku pariwisata internasional, misalnya Ian Jackson (1989). Tetapi sebagai kajian multidisipliner, meskipun sudah ada beberapa buku tentang hal itu, peluang sumbangsih para imuwan masih terbuka lebar.

Pariwisata olahraga adalah salah satu sektor pariwisata yang tumbuh paling cepat, dan telah terbukti dapat merangsang ekonomi lokal (Chang, dkk, 2020). Berdasarkan analisis Technavio (dalam Chang, dkk, 2020), nilai sport tourism diharapkan meningkat dari $ 1,41 triliun pada tahun 2016 menjadi $ 5,72 triliun pada tahun 2021 secara global (tentu sebelum pandemi COVID-19). Sejalan dengan itu, keuntungan industri pariwisata olahraga terkait dengan tidak hanya olahraga, tetapi juga kontribusinya kepada pemerintah dan masyarakat sekitar. Menurut Yamashita dan Takata (2020) pariwisata olahraga diantisipasi sebagai salah satu industri kunci yang mampu menghidupkan komunitas dengan berbagai macam sumber daya keindahan alam. Pelibatan ratusan penduduk lokal dalam kerangka penelitian citra tempat dan pengetahuan tentang pariwisata berkontribusi pada dukungan warga untuk pengembangan wisata olahraga dengan efek moderat dari ketergantungan pariwisata (Chang, dkk, 2020).

Olahraga pertama-tama dilihat oleh beberapa ilmuwan sebagai motivasi untuk aktivitas/kegiatan melakukan perjalanan sehingga pariwisata olahraga semakin menemukan landasan epistemologisnya dengan landasan batang tubuh pengetahuan itu (Rheenan, Cernaianu & Sobry, 2016). Bahkan Valerian Geffroy di judul artikelnya menegaskan “bermain dengan ruang” sebagai basis konseptual untuk menginvestigasi praktek-praktek parwisata olahraga yang penuh makna. Ini lebih darahkan sebagai ekspresi dan pragmasi pemahaman ruang yang menekankan pada dimensi prosesual dan kontekstual tindakan manusia. Wisatawan olah raga dianggap sebagai makhluk refleksif dan berwujud, menikmati sensasi, mobilitas dan menempati lokasi, dan selalu rasional. Rekreasi sebagai wujud budaya semakin diintegrasikan ke dalam aktivitas sehari-hari, semakin menyenangkan, dan semakin dimediasi (Geffroy, 2016).

Tentu saja terkait pandemi COVID-19, untuk dianggap serius dalam melakukannya, mereka yang bertanggung jawab atas organisasi kegiatan pariwisata olahraga utama yang menghasilkan aliran uang global yang signifikan dan juga masyarakat harus mempertimbangkan konteks sosial dan ekonomi untuk keputusan yang mereka buat. Pelajaran dari pandemi COVID-19 adalah  keputusan seperti penundaan dan keketatan protokol kesehatan harus diinformasikan dampaknya masyarakat, bukan hanya karena ketidaknyamanan yang mereka timbulkan kepada administrator olahraga (Weed, 2020).

Pariwisata olahraga merupakan sektor pariwisata yang memberikan kontribusi kepada berbagai pemangku kepentingan dan menguntungkan pembangunan ekonomi lokal, pertukaran sosial-budaya, dan interaksi masyarakat. Untuk menopang proyek pengembangan pariwisata, penting untuk mendapatkan dukungan dari warga sekitar. Studi Chang dkk (2020) telah memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana citra tempat dan pengetahuan mempengaruhi dukungan penduduk lokal untuk pengembangan wisata olahraga. Ini juga memberikan wawasan tentang bagaimana ketergantungan pariwisata memoderasi jalur antara variabel independen - citra tempat dan pengetahuan tentang pariwisata -  dan dukungan penduduk untuk pengembangan pariwisata olahraga. Dalam jangka panjang, ketergantungan pariwisata dapat dipertanggungjawabkan sebagai bagian dari dukungan warga untuk pengembangan pariwisata olahraga. Dengan memahami pola pikir masyarakat lokal tentang citra tempat, penelitian ini akan memberikan pemahaman yang mendalam wawasan bagi pembuat kebijakan pariwisata untuk lebih memanfaatkan atribut positif dari tempat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Studi ini juga akan membantu pemerintah dan penyelenggara acara olahraga untuk mewujudkan kesadaran yang lebih besar tentang manfaat dan memberikan pengetahuan yang relevan untuk meningkatkan dukungan penduduk lokal terhadap pariwisata olahraga di Indonesia.

 

C. Masyarakat Madani

            Masyarakat madani merupakan padanan dari konsep civil society (masyarakat sipil) yang lahir di Barat pada abad ke-18 dengan tokohnya John Locke atau Montesquieu. Sebelumnya pada zaman Yunani Kuno pernah digunakan kata societies civilis oleh Cicero, namun dengan pengertian yang identik dengan negara. Konsep civil society berusaha untuk mencegah lahirnya pemerintahan yang otoriter, dengan menciptakan masyarakat yang kuat vis-à-vis negara (Suwarni, 2011; Rochmat,http://staffnew.uny.ac.id/upload/132104866/penelitian/2003jpkmasyarakat-madani.pdf). Selain masyarakat madani, civil society disebut pula masyarakat warga, masyarakat kewargaan, masyarakat berbudaya, masyarakat beradab (Mas’udi, 1999; Parmudi, 2015). Argumen munculnya istilah terakhir ini yang mendasari penulis menyebut masyarakat madani sebagai konsep berkemanusiaan dan berkeadaban. Ciri pokok yang ditekankan pada tulisan ini adalah anyaman kemanusiaan dan keberadaban berupa moral yang menjamin berlangsungannya keseimbangan antara kebebasan individu dan kestabilan sosial yang dikenakan pada masyarakat, khususnya terkait pariwisata olahraga.

            Penekanan ciri pokok ini berasal dari konsep yang dicetus-populerkan oleh Naquib Al-Attas di Malaysia yang kemudian dipopulerkan di Indonesia oleh Nurcholis Madjid (Mas’udi, 1999; Mustapa, 2019). Nurcholis menyebut ciri mendasar dari masyarakat madani ini, yakni egaliterianisme, penghargaan pada orang lain berdasarkan prestasi, keterbukaan partisipasi, penegakan hukum dan keadilan, toleransi dan pluralisme, serta prinsip musyawarah (Nurcholis, dalam Mas’udi, 1999). Mewakili perspektif budaya, Alexis de Toqueville, Adam Ferguson, Nurcholish Madjid menyatakan bahwa civil society dibangun melalui beberapa elemen seperti civility (keberadaban), fraternity (persaudaraan), trust (kepercayaan) di antara kelompok sosial, toleransi, dijunjung tingginya HAM, akuntabilitas, keterikatan pada hukum (Mustapa, 2019).

            Permasalahan etis-antropologis yang dihubungkan dengan karakter masyarakat madani yang hendak ditumbuhkembangkan di lingkungan pariwisata olahraga menjadi titik tekan resultante penulisan artikel ini. Pariwisata olahraga masyarakat madani secara  ideal dikembangkan dari konsep filsafat, narasi sosial kebudayaan dan bermuara pada garis besar atau grand scenario nasional pariwisata khususnya dalam hal olahraga. Bagian akhir berikut ini mensarikan konseptualisasi pariwisata olahraga masyarakat madani tersebut.

 

D. Cita Etis Parisiwata Olahraga

            Etika bukan hanya sumber tambahan ajaran moral, tetapi etika merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan tentang moral (Magnis-Suseno, 1987 ). Dalam hal pariwisata olahraga berarti memikirkan dan mengonseptualisasikan secara kritis dan mendasar berbagai pandangan moral terkait pengembangan pariwisata olahraga tersebut. Untuk menyingkat proses kritis itu, penulis membatasi pada konsep mendasar tentang perencanaan, pilihan lokasi dan waktu event, pelaksanaan, dan evaluasi dalam pengembangan pariwisata olahraga.

     Geffroy (2016) menyatakan bahwa pariwisata olahraga adalah suatu praktek sosial. Hal ini berangkat dari kerangka pikir (1) menekankan karakter main-main sifat pariwisata olahraga, (2) menunjukkan sentralitas dimensi spasial dalam lakon ini dan (3) mengedepankan perspektif teoretis tentang 'praktik', yang mengundang kita untuk mempertimbangkan tindakan jasmani sebagai bermakna dan sebaliknya pemahaman (atau konsepsi) sebagaimana diwujudkan, dan menunjukkan seberapa cocoknya dengan analisis pariwisata olahraga. Pemahaman fenomenologis mendalam terbentuk dengan menghayati ‘permainan ruang’ di dalam pariwisata olahraga.

Pemahaman dan pengalaman spontan fenomenologis ini secara terbuka “diinterupsi” dengan konseptualisasi etis dala pariwisata olahraga. Sebenarnya manusia bisa melepaskan diri dari interupsi etis ini dan menghayati sebagai proses internalisasi subjektif dengan mengambil sikap pembiasaan langsung, namun tentu saja upaya untuk hal ini memakan waktu pemikiran lebih panjang. Oleh karena itu, penulis uraikan konseptualisasi etis secara sederhana dan diharapkan ada intensionalitas yang menjadi dasar penulisan untuk pemahaman fenomenologis dimaksud.

Ketika Banyuwangi, mewakili wilayah timur Pulau Jawa, dikukuhkann unggulan pariwisata olahraganya dengan surfing, niscaya ada proses perencanaan terpadu di lini ekeskutif Pemda setempat yang melibatkan juga masyarakat. Even besar terkait surfing tahunan dengan perencanaan terkait penyelenggaraan event, penataan lokasi, pemberdayaan sosial, dan berbagai aspek lain secara terprogram dan padu diuapayakan tidak hanya sukses penyelenggaraannya, namun juga sukses pemberdayaan dan kontinuitas mental mandiri (atau ‘enterpreneurship’) masyarakat.

Beberapa ciri etis dalam pemberdayaan pariwisata olahraga ini antara lain:

1)      Egaliterianisme, pada hakikatnya semua orang manusia adalah sama dalam status nilai atau moral secara fundamental. Masyarakat diberi jalan untuk menyatakan pendapatnya untuk kemudian secara terpadu diputuskan solusi terbaik terkait perencanaan, partisipasi, maupun keadilan dan hak bersuara. Ini bisa terkait usaha yang dikembangkan masyarakat, pelibatan sponsor, dan aspek lain.

2)      Penghargaan pada orang lain berdasarkan prestasi, tidak terbatas pada atlet yang bertanding tetapi masyarakat umum. Prinsip etis ini menjamin hak akses yang sama terkait peluang berprestasi sehingga prestasi yang diraihpun juga berdasarkan peluang yang sama. Atlet dari negara lain yang memenuhi syarat dibolehkan berprestasi puncak, demikian juga bagi atlet lokal. Masyarakat yang berasal dari usaha kecil yang dikelolanya mempunyai hak yang setara dengan mereka yang berasal dari usaha besar. Prinsip ini mendahulukan hak sama bagi setiap orang untuk berprestasi apapun, dan menghargainya sesuai capaian yang diraih.

3)      Keterbukaan partisipasi bagi setiap orang. Selama memenuhi syarat, semua masyarakat diberi akses partisipasi sama. Keluarga bupati mempunyai hak dan kewajiban partisipasi yang sama dengan keluarga pedagang kecil. Atlet lokal mempunyai hak yang sama dengan atlet manca negara, dengan asumsi pemberian aturannya juga sama.

4)      Penegakan hukum dan keadilan diterapkan secara sama bagi setiap orang. Aturan jalannya pertandingan, kesempatan berusaha kompetitif, maupun masalah penghargaan prestasi diasumsikan terpenuhi asas keadilan, oleh karenanya semua yang terlibat dalam berbagai proses penyuksesan olahraga surfing berkewajiban yang sama dengan jaminan hak yang juga sama sesuai peruntukannya.

5)      Prinsip toleransi dan pluralisme, tanpa membeda-bedakan golongan, usaha, jenis kelamin, suku, atau agama. Etika ini tidak hanya dipakai panitia, namun untuk semua masyarakat yang terlibat. Keanekaragaman suku, golongan, agama, dan ras adalah berkah bagi Indonesia dan dunia. Toleransi yang membangun kepercayaan bagi atlet maupun masyarakat yang terlibat terus diupayakan dengan menitikberatkan terselenggaranya event secara terpadu.

6)      Prinsip etis terakhir adalah prinsip musyawarah. Persoalan yang dihadapi bersama seyogyanya juga melibatkan analisis secara bersama-sama. Melalui musyawarah, semua bisa terjembatani kepentingannya dengan mempercayakan hasil perundingan bersama untuk mencapai keputusan bersama yang diupayakan secara mufakat.Mana permasalahan yang bisa dimusyawarahkan dan mana yang tidak bisa tentu sudah disepakati lebih dulu, karena bagaimanapun dalam olahraga ada bagian-bagian terentu yang sudah merupakan keputusan yang tidak bisa dimusyawarahkan, misalnya penilaian seorang juri.

 

E. Penutup

            Tulisan ini masih memerlukan rangkaian lebih ekstensif dan intensif dikarenakan pemilihan tema yang belum membentuk sinkronisasi yang secara efektif dan efisien antara tema kepancasilaan dan tema pariwisata olahraga. Di antara rekomendasi penulis bagi pemaca tulisan ini adalah perlunya membaca secara seksama tulisan-tulisan tentang pariwisata olahraga di satu sisi berikut bidang yang gayut, maupun tulisan-tulisan tentang masyarakat madani yang berkait erat dengan kemanusiaan dan keadaban. Penulis masih akan merangkai dua tema tulisan tersebut ke ragam tulisan lain.

            Kondisi pandemi COVID-19 saat ini yang diperketat dengan Perberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), sedikit banyak mempengaruhi keterbacaan tulisan ini. Meskipun saat menulis ini PPKM masih mencekam dan mencengkeram masyarakat, namun penempatan seting ide penulisan ini berada di waktu dan tempat yang tidak dicekam pandemi. Selalu sehat..!

 

Daftar Pustaka

 

Choi, B.C. and Pak, A.W. (2006). Multidisciplinarity, Interdisciplinarity and  Transdisciplinarity in Health Research, Rervices, Education and Policy: 1. Definitions, Objectives, and Evidence of Effectiveness. Clinical & Investigative Medicine, 29, 351-364.

Chang, Miaw-Xian, Choong, Yuen-Onn & Ng, Lee-Peng (2020). Local Residents’
Support for Sport Tourism Development: The Moderating Effect of Tourism Dependency
, Journal of Sport & Tourism, DOI: 10.1080/14775085.2020.1833747.

Cohen, Erik (2018). The Philosophical, Ethical and Theological Groundings of Tourism – an Exploratory Inquiry, Journal of Ecotourism, DOI: 10.1080/14724049.2018.1522477

Direktorat Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga. 2007. Kajian Pengembangan Industri Budaya dan Olahraga dalam Mendukung PembangunanPariwisata dalam https://www.bappenas.go.id.

Geffroy, Valérian (2016). ‘Playing With Space’: A Conceptual Basis
For Investigating Active Sport Tourism Practices
, Journal of Sport & Tourism, DOI:10.1080/14775085.2016.1271349.

Haag, H., 1994, Theoretical Foundation of Sport Science as a Scientific Discipline: Contribution to a Philosophy (Meta-Theory) of Sport Science, Schourdorf, Verlaag Karl Hoffmann, Federal Republic of Germany.

 

Jackson, Ian. (1989). An Introduction to Tourism. Melbourne: Hospitality Press

Hardman, Alun dan Jones, Carwyn (eds.), 2010, Philosophy of Sport: International Perspectives, London: Cambridge Scholars Publishing.

 

Masrurun, Zam-zam (2020). Kajian Strategi Pengembangan Pariwisata Olahraga Paralayang di Kabupaten Wonosobo. Pariwisata. Vol. 7 No. 1 April 2020.

Mas’udi, Wawan. 1999. Masyarakat Madani: Visi Etis Islam tentang Civil Society. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol 3 No 2. Yogakarta. UGM. Hlm 164-187.

 

Magnis-Suseno, Franz. 1987. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral Yogyakarta: Kanisius.

 

Parmudi, Mochamad. Kebangkitan Civil Society Di Indonesia. Fisip UIN Walisongo. Jurnal at Taqaddum, Volume 7, Nomor 2, November 2015. Hal.298

 

Qodri Azizy. 2004. Melawan Globalisasi Reinterpretasi Ajaran Islam: Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm 126-128.

Rheenen, Derek Van, Cernaianu, Sorina & Sobry, Claude (2016): Defining
Sport Tourism: A Content Analysis of An Evolving Epistemology
, Journal of Sport & Tourism, DOI: 10.1080/14775085.2016.1229212.

Swart, Kamilla (2000). An Assessment of Sport Tourism Curriculum Offerings at Academic Institutions, Journal of Sport & Tourism, 6:1, 5-9, DOI: 10.1080/10295390008718683.

Suwena, I Ketut dan Widyatmaja, I Gusti Ngurah. 2017. Pengetahuan Dasar Ilmu Pariwisata. Pustaka Larasan dan Fakultas Pariwisata Universitas Udayana.

Weed, Mike (2020). The Role of The Interface of Sport and Tourism
In The Response to The Covid-19 Pandemic
, Journal of Sport & Tourism, DOI:
10.1080/14775085.2020.1794351.

Yamashita, Rei & Takata, Kosuke (2020). Relationship Between Prior
Knowledge, Destination Reputation, and Loyalty Among Sport Tourists
, Journal of Sport & Tourism, DOI: 10.1080/14775085.2020.1763192.

www.arj.no/2012/03/12/disciplinarities-2/

http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/248/182

Baca Selengkapnya →PARIWISATA OLAHRAGA MASYARAKAT MADANI

URGENSI PENGUATAN KESADARAN KRITIS MAHASISWA

  URGENSI PENGUATAN KESADARAN KRITIS MAHASISWA

Mengokohkan Unesa Bermartabat

Made Pramono[1]

 

Kesadaran Kritis sebagai Instrumen Penting Pendidikan

Hikmah dari kisah Promotheus, ilmu digambarkan sebagai momok bagi dewa, karena melaluinya manusia tidak lagi hanya menerima begitu saja pada apapun yang terjadi padanya, bahkan di titik tertentu mampu mengancam kenyamanan para dewa. Ilmu pengetahuan sebagai buah utama pendidikan, memang menjadi musuh bagi ketundukan irasionalitas, kebodohan, dan kemiskinan dengan peran penyadaran yang diembannya. Abad 16 dalam sejarah dikenang dengan kebangkitan ilmu menguak kenyataan alam yang merupakan “tabu agama”: Galileo Galilei menghadapi hukuman inkuisisi gereja karena dukungannya pada Heliosentrisme Copernicus yang bertentangan dengan pendapat Gereja bahwa bumi adalah pusat semesta.

Melalui pendidikan, seorang anak manusia termampukan keluar dari “takdir” kondisi lingkungannya. Akses informasi dan pengaruh tokoh-tokoh yang dikenalnya selama masa pendidikan, menjadikan subjek didik tidak sekedar “melek huruf dan angka”, namun juga “melek budaya”. Inilah kesadaran kritis, suatu kapasitas kognitif di lapisan dasar yang memampukan seseorang untuk tidak hanya mengenali dan meresapi kenyataan yang dialaminya, namun juga mempertanyakan secara radikal dan me(re)konseptualisasikannya secara orisinal dan kreatif. Paulo Freire – tokoh pendidikan Brazil - menyebut misi kritis pendidikan ini sebagai conscientizacao. Lembaga pendidikan di level apapun dan di ranah apapun, memiliki tanggung jawab untuk memutus kemiskinan dan kebodohan melalui proses penyadaran terus menerus ini.

Memang penulis belum menemukan penelitian yang memadai tentang hubungan tingkat penguatan afirmatif dari kesadaran kritis dengan produktivitas ilmiah maupun jenis-jenis konsepsi dan aksi dari mahasiswa, namun setidaknya bisa disepakati bahwa tanpa adanya kesadaran kritis, pendidikan kehilangan identitas “pengembangan potensi manusia” sebagaimana ditekankan undang-undang sistem pendidikan nasional. Dengan membuka keteraksesan informasi dan memberi gambaran tentang berbagai proses dan produk pemikiran, pendidikan bernilai sangat strategis bagi pematangan potensi, dan sekaligus di lapisan fundamental memungkinkan keterasahan kesadaran kritis manusis-manusia terdidik. Pada gilirannya, aktualisasi potensi subjek didik ini mengerucut pada berbagai pemikiran dan tindakan yang produktif sesuai kompetensi keilmuan yang dicapai.

Sebagai lembga pendidikan tinggi, Universitas Negeri Surabaya (Unesa) juga berperan menyangga misi kritis penyadaran ini dengan berbagai perangkat keras (misalnya gedung atau perangkat teknologi), perangkat lunak (misalnya sistem manajemen atau kurikulum), maupun brainware (sikap mentalitas sivitas akademikanya). Pada gilirannya, kesadaran kritis yang dialami mahasiswa, akan memunculkan karakter lain yang memicu pengembangan ilmu dan teknologi baik demi kepentingan pribadi mahasiswa itu sendiri, maupun demi kemaslahatan masyarakat luas. Di antara karakter yang dimaksud adalah keberanian mempertanyakan segala sesuatu, “naluri” untuk selalu haus pengetahuan, hingga “naluri” untuk secara cerdas dan tepat mendapatkan solusi dari berbagai permasalahan yang dihadapinya maupun permasalahan masyarakat luas yang dicernanya. Tentu saja, peran cendekiawan lulusan universitas sebagai moral oracle (orang bijaksana penjaga moral) mengiringi implementasi kesadaran kritis di tataran praksis. Kesadaran kritis ini pula yang nantinya mampu mengarahkan mahasiswa bergabung dalam intelektual organik yang bahu membahu mengabdikan wawasan yang dimiliki untuk kepentingan masyarakat luas sebagaimana dicetuskan Antonio Gramsci. Cendekiawan berkesadaran kritis dan melibatkan diri dalam masalah-masalah aktual masyarakat inilah yang disebut sebagai nabi-nabi tanpa senjata (unarmed prophets) oleh Machiavelli, yang ditengarai Karl Mannheim sebagai cendekiawan yang menghindarkan diri dari tindak pengkhianatan intelektual, menyuarakan kebenaran hanya dari menara gading.

Satu hal lagi yang bisa diharapkan sebagai konsekuensi kesadaran kritis ini adalah bermunculannya mahasiswa/alumni Unesa yang menjadi agen-agen perubahan kritis dan kreatif yang mewujud dalam berbagai jalur: penelitian, tulisan, dan gerakan. Isu-isu seperti masalah perundang-undangan di bidang pendidikan atau penyelenggaraan ujian akhir nasional yang sempat memicu kontroversi nasional, merupakan contoh tantangan nyata yang harus ikut dihadapi secara kritis dan kreatif oleh mahasiswa/alumni Unesa.

Bisa saja masih ada yang bertanya: mengapa “harus”? Kesadaran kritis apabila sudah terinternalisasikan dalam diri mahasiswa Unesa yang secara strategis memposisikan diri sebagai lembaga pendidikan tinggi yang concern terhadap permasalahan pendidikan, tentu isu-isu seperti di atas menarik nalar kritis mahasiswa. Hal ini menjadi keniscayaan intelektual, kecuali jika memang kita warga Unesa masih berpuas diri menjadi ahli-ahli pembelajaran, namun gagap dengan permasalahan pendidikan. Menenggelamkan diri dengan bermacam-macam tabel dan model pembelajaran, sehingga tidak peka (dan lebih parah lagi: tidak ada waktu/energi) untuk berperan aktif memikirkan berbagai permasalahan pendidikan nasional dan internasional.

Lebih konyol lagi jika ditanyakan juga: apa untungnya menjadi mahasiswa peka dan kritis? Bukankah “kuliah, berprestasi akademis dan syukur-syukur non-akademis, lulus, menjadi guru atau profesi yang mapan” sudah cukup membanggakan keluarga dan almamater? Laksanakan saja tugas sebaik mungkin hingga mencapai posisi dan/atau nilai yang cemerlang!

Meminjam ilustrasi di Novel Dunia Sophie, kebanyakan kita cukup nyaman menjadi kutu di kehangatan bulu-bulu kelinci yang menghisap darah kelinci lalu tidur dalam kenyamanan. Itu boleh dan tidak salah. Tetapi sejarah membuktikan, selalu ada satu atau beberapa kutu kelinci yang naik ke permukaan bulu-bulu kelinci, lalu menyadari bahwa dia hanyalah kutu di tubuh kelinci yang dipakai tukang sulap untuk mencari uang. Sejarah mencatat orang-orang yang keluar dari zona nyaman, mengubah nasib diri dan masyarakatnya, hingga sampai ke zaman kita. Mereka adalah para Nabi, para ilmuwan, para penggerak zaman yang acapkali dicemooh oleh orang-orang sekelilingnya sebagai orang aneh, sia-sia, dan sejenisnya, namun kemudian dari orang-orang yang dianggap “aneh, gila, atau pemberontak” itulah, peradaban baru muncul, teknologi berkembang, kesalahan demi kesalahan tereliminasi, dan seterusnya. “Hidup yang tak pernah dipertanyakan”, kata Socrates, “adalah hidup yang tidak berharga”.

 

Penalaran Mahasiswa

Tidak hanya permasalahan pendidikan, sebagai bagian dari mahasiswa nasional, mahasiswa Unesa juga dituntut kepedulian kritis dan kreatifnya dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Salah satu ilustrasi yang sering penulis sampaikan di berbagai forum adalah tentang status “mahasiswa”. Embel-embel “maha” di depan “siswa” dalam kata “mahasiswa”, bisa diterjemahkan bebas sebagai tantangan yang harus disadari mahasiswa, bahwa memperoleh dan aktif dalam materi perkuliahan, mengerjakan tugas, melaksanakan ujian, dan rutinitas sehari-hari sebagai subjek didik di perguruan tinggi, itu memang kegiatan yang tampak dominan dalam kehidupan kampus. Namun hanya berkutat dengan kegiatan tersebut, meskipun boleh, adalah hal yang tidak memadai disandang seorang “maha”siswa. Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian kepada masyarakat adalah tiga hal yang harus dilaksanakan setiap perguruan tinggi yang dikenal dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Oleh karena itu, penulis menyebut “tidak memadai” bagi mahasiswa yang hanya berjibaku dengan salah satu di antara tiga dharma itu, yakni pendidikan (khususnya dalam arti pembelajaran). Apalagi jika dikaitkan dengan dana milyaran rupiah yang digelontorkan pemerintah (juga pihak swasta) untuk mahasiswa tiap tahun – di luar koridor dana pembelajaran – yang salah satu tujuannya untuk mengintegrasikan empat komponen penentu mutu lulusan perguruan tinggi: academic knowledge, skill of thinking, management skill, dan communication skill.

Di antara program-program pemerintah (dalam hal ini Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi) yang menstimuli mahasiswa dengan berbagai kompetisi penalaran yang pada gilirannya mampu menentukan reputasi perguruan tinggi itu sendiri, adalah Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Dalam program ini, terbuka luas kontribusi lintas bidang dari mahasiswa, misalnya mahasiswa Fakultas Teknik bisa saja menuliskan ide kreatif-kritisnya di bidang pengembangan budaya. Selain PKM, kompetisi Program Mahasiswa Wirausaha (PMW), Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional (POMNAS), Pekan Seni Mahasiswa Nasional (PEKSIMINAS), MTQ dan lain-lain juga diprogramkan pemerintah untuk menampung aktivitas positif-produktif mahasiswa.

Memperkokoh daya saing Unesa dengan mahasiswa sebagai subjek utamanya, tentu saja tidak terbatas pada permasalahan PKM ini saja. Namun dengan bercermin dari PKM di Unesa, penulis mengajak pembaca untuk memproyeksikan kondisi, tantangan, hambatan, dan harapan terkait kesadaran kritis mahasiswa serta bagaimana kesadaran kritis tersebut mampu diimplementasikan dalam berbagai hal positif lain yang meningkatkan daya saing Unesa ke depan. Selain itu, penulis sengaja mengangkat wacana PKM karena saat ini memang sebagian besar energi penulis untuk mahasiswa tercurah untuk ikut meningkatkan prestasi PKM – tentu saja selain dalam proses perkuliahan.

Sejak tahun 2006 hingga 2014 ini, penulis terlibat langsung dalam kiprah mahasiswa Unesa di bidang penalaran. Pertama sebagai pembina Unit Kegiatan Ilmiah Mahasiswa (UKIM), dan berikutnya sebagai koordinator tim penalaran Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) Unesa sekaligus salah satu tim penalaran di universitas. Berbeda dengan masa sekolah menengah, kegiatan ekstrakurikuler di kalangan mahasiswa mengandaikan adanya kemandirian di tingkat pengelolaan manajerial organisasi dan pemberdayaan sumber daya manusia, sehingga peran dosen pendamping (dulu pembina), lebih berfungsi sebagai mediator-fasilitator daripada sebagai instruktur (pemberi instruksi). UKIM maupun tim penalaran secara rutin selalu memprioritaskan PKM sebagai proyek utamanya. Hal ini bisa dipahami sebagai konsekuensi dari tantangan penalaran ilmiah tingkat nasional yang terorganisir oleh Dikti, sehingga gambaran umum tentang refleksi implementasi kesadaran kritis bisa diproyeksikan dari PKM ini.

PKM dikembangkan untuk mengantarkan mahasiswa mencapai taraf pencerahan kreativitas dan inovasi berlandaskan penguasaan sains dan teknologi serta keimanan yang tinggi. Dalam rangka mempersiapkan diri menjadi pemimpin yang cendekiawan, wirausahawan serta berjiwa mandiri dan arif, mahasiswa diberi peluang untuk mengimplementasikan kemampuan, keahlian, sikap tanggung jawab, membangun kerjasama tim maupun mengembangkan kemandirian melalui kegiatan yang kreatif dalam bidang ilmu yang ditekuni.

Saat ini dikenal 7 (tujuh) jenis kegiatan yang ditawarkan dalam PKM, yaitu PKM- Penelitian (PKM-P), PKM-Kewirausahaan (PKM-K), PKM-Pengabdian kepada Masyarakat (PKM-M), PKM-Penerapan Teknologi (PKM-T),  PKM-KARSACIPTA (PKM-KC), dan PKM-Karya Tulis (PKM-KT).  Di dalam PKM-KT terkandung 2 (dua) program penulisan, yaitu: PKM-Artikel Ilmiah (PKM-AI) dan PKM-Gagasan Tertulis (PKM-GT). Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) merupakan muara akhir yang prestisius bagi semua jenis PKM, kecuali PKM-AI yang merupakan artikel hasil kegiatan.

Harus diakui, Unesa masih perlu berbenah untuk mampu bersaing dalam hal prestasi PKM ini dengan berbagai universitas lain. Universitas Brawijaya (UB), ITS, dan Unair adalah tiga perguruan tinggi Jawa Timur yang selalu bertengger di posisi atas dalam kuantitas proposal yang lolos didanai maupun perolehan (setara) medali di PIMNAS sebagai ajang prestisius tahunan puncak PKM. Apabila sistem sudah berlangsung baik dan terformat sedemikian rupa sehingga memungkinkan terciptanya suasana kondusif bagi mahasiswa untuk menuangkan ide-ide orisinil, kreatif, dan kritis dalam PKM, bukan tidak mungkin Unesa bisa menggeser ITS yang pada tahun 2013 menyandang Juara Umum PIMNAS.

Dalam hal produktivitas, sebagian fakultas di Unesa sudah semakin melesat meninggalkan fakultas lainnya. Penulis ambil contoh ketika Fakultas Ekonomi sudah mencadangkan lebih dari 200 proposal PKM yang hendak dikirimkan ke Dikti, di saat yang sama fakultas lain masih belum terdeteksi alias belum ada pengarsipan PKM yang terkumpul. Tentu saja  pembenahan sistemik di fakultas yang sudah tercipta baik ini harus tertularkan ke fakultas lain. Memang kuantitas PKM yang terkumpul tidak mencerminkan kualitas yang memungkinkan PKM tersebut bisa berkompetisi ketat dengan universitas lain saat PIMNAS. Meskipun demikian, bisa diasumsikan bahwa jika jumlah mahasiswa yang terlibat dalam penulisan ide kreatif PKM semakin banyak, maka semakin terasah juga kualitasnya. Yang lebih penting lagi, hal ini menunjukkan adanya suasana kondusif bagi kompetisi ilmiah. Suasana semacam ini, di lapisan yang lebih mendasar juga mensyaratkan adanya kesadaran dari kalangan mahasiswa tentang pentingnya penuangan pemikiran kritis, kreatif, dan orisinil.

Proses penularan kesadaran yang memunculkan keberanian untuk selalu mempertanyakan segala sesuatu, rasa ingin tahu yang besar, dan kemauan kuat untuk mencari solusi atas berbagai permasalahan secara tepat ini, tentu tidak terjadi semudah membalik telapak tangan. Tidak hanya mahasiswa itu sendiri, namun membutuhkan kemauan dan partisipasi semua pihak yang merasa berkepentingan. Secara singkat, proses ini membutuhkan kemauan, keyakinan, dan wawasan yang kuat dan tepat sebagaimana tergambar berikut.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 1. Model Empat Lingkaran

 

Apa yang kita inginkan mewujud misalnya dalam (1) lingkungan yang nyaman, kondusif, dan positif; (2) Budaya mahasiswa dalam hal pemikiran kreatif-kritis, kerja keras, dan memanfaatkan peluang yang ada; (3) Forum-forum diskusi/pelatihan; (4) koordinasi sinergis antar mahasiswa, mahasiswa dengan dosen kuliah, mahasiswa dengan pimpinan lembaga, antar dosen, dosen-pimpinan. Artikulasi singkatnya, apa yang kita inginkan menyangkut tujuan bersama maupun tujuan masing-masing individu yang diupayakan terpenuhi.

Apa yang kita yakini berkenaan dengan persoalan prinsip-prinsip pemandu yang mempengaruhi semua aspek, misalnya (1) Semua pribadi adalah makhluk yang selalu belajar dan berbenah; (2) Keberhasilan semua usaha adalah resultante kerja keras, keberuntungan, dan dukungan alam (bakat maupun ketakterdugaan yang menguntungkan); (3) Kesuksesan menjadi bibit kesuksesan yang lain; (4) Mahasiswa meneladani dosen dan seniornya; (5) Lembaga harus responsif dan respektif terhadap dosen maupun mahasiswa; (6) Semua usaha memiliki nilai dan martabat. Apa yang kita yakini merupakan determinan paling penting dalam operasionalisasi budaya, kebijakan, dan praktek pengelolaan (dalam hal ini misalnya) PKM.  

Apa yang kita ketahui memberikan rujukan berbasis riset bagi mahasiswa, dosen, maupun tenaga administrasi yang terlibat dalam pengelolaan PKM. Di antara manifestasi dari apa yang kita ketahui ini misalnya berupa pedoman PKM, peta atau trend tema PKM sesuai bidangnya, strategi lembaga lain, pengalaman mahasiswa dengan PKM yang sudah pernah sampai PIMNAS, dan berbagai materi untuk pelatihan.

Dengan memahami ketiga hal tersebut di atas, maka semua pihak niscaya juga memahami apa yang kita lakukan. Berbagai kebijakan dan program di level organisasi kelembagaan maupun disiplin kerja di level mahasiswa (dan pihak terkait lain), merupakan implementasi dari apa yang kita inginkan, yakini, dan ketahui. Dengan demikian pengelolaan PKM yang berangkat dari kesadaran semua pihak yang berkepentingan terhadap keempat hal tersebut, memampukan tidak hanya fakultas namun juga universitas untuk memproyeksikan proses yang harus dilalui dalam rangka meningkatkan kuantitas maupun kualitas PKM. Blog dan media sosial “penalaran Unesa” sejak tahun 2009 penulis dirikan untuk mendukung terciptanya kondisi kampus Unesa yang kondusif bagi penyemaian kesadaran kritis di kalangan mahasiswa ini, dan tentu saja untuk mengkomunikasikan berbagai hal terkait implementasi dari apa yang kita inginkan, yakini, ketahui, dan lakukan salah satunya dalam hal pengelolaan PKM di Unesa. Sebagian tulisan inipun mengambil ide/data dari blog dan media sosial tersebut.

Oleh karena fokusnya adalah penalaran mahasiswa, maka sesungguhnya mahasiswa juga yang paling berkepentingan, sehingga syarat mutlak yang melandasi pengelolaan PKM adalah kesadaran kritis-kreatif dari mahasiswa itu sendiri. “Paceklik” PIMNAS sempat menimpa Unesa di tahun 2011, 2012, dan 2013 dengan hanya memberangkatkan masing-masing satu tim PKM ke PIMNAS. Medali perunggu diraih duta PKM Unesa di tahun 2013, setelah tiga tahun sebelumnya nihil medali (perolehan terakhir tahun 2009, 2006, 2005, 2004).

Hal ini tentu bukan menjadi penghalang psikologis bagi mahasiswa di tahun 2014 ini untuk berjuang (amat) keras menjulangkan Unesa sejajar dengan universitas-universitas “pencakar langit” seperti UB dan UGM di PIMNAS. Yang tidak kalah penting, hal tersebut juga (semoga) bukan menjadi penghalang bagi dosen maupun tenaga administrasi yang terlibat dalam pengelolaan PKM untuk membantu, mendukung, dan memfasilitasi mahasiswa secara maksimal. Bisa jadi, perjuangan keras Unesa dalam mengelola PKM secara maksimal, masih belum sebanding dengan perguruan tinggi lain. Tetapi selalu berusaha, jauh lebih baik daripada terpasung pasrah menyerah pada ketertinggalan.

 

Mahasiswa antara Intelektual Tradisional dan Intelektual Organik

Mahasiswa Unesa, perlu menyadari posisinya di antara mahasiswa lain dalam satu program studi/jurusan, satu fakultas, satu universitas, sesama universitas ex-IKIP, sesama Perguruan Tinggi se-Indonesia, bahkan dunia, untuk kemudian diproyeksikan ke dalam berbagai aktivitas yang mendukung prestasi kebanggaannya di antara mahasiswa lain tersebut. Saat penulis menjadi mahasiswa di UGM tahun 1993-1997, sudah ada sistem di kemahasiswaan fakultas (dan juga universitas) yang memungkinkan penulis untuk tampil berbicara sebagai narasumber non-akademik di hadapan publik (mahasiswa, akademisi, dan berbagai kalangan sesuai tema) untuk mempresentasikan pemikiran tentang berbagai hal. Penulis juga sempat menjadi pimpinan redaksi sebuah jurnal filsafat yang dipublikasikan secara nasional. Itu dua dasawarsa yang lalu. Saat ini, Unesa sudah memiliki beragam “saluran” resmi yang bisa dipergunakan untuk menuangkan pemikiran mahasiswa tentang berbagai hal. Ada tabloid GEMA, majalah Unesa, media cetak di level jurusan/fakultas, maupun buletin. Belum lagi website, blog, maupun media sosial seperti mailing list, facebook, dan sebagainya termasuk radio. Kemampuan mempresentasikan pemikiran di hadapan publik secara langsung juga sudah terbuka. Tanpa perlu didorong-dorong oleh dosen, mahasiswa seyogyanya menyadari peluang dan potensinya untuk diaktualisasikan dengan memanfaatkan momentum kemandirian intelektualnya secara positif dan berkelanjutan.

Prestasi mahasiswa “tidak dihargai” dalam program Mahasiswa Berprestasi (MAWAPRES) jika mereka hanya menjadi peserta seminar internasional, tetapi harus menjadi pembicaranya; tidak sekedar juara di level Unesa, tetapi antar perguruan tiinggi se-provinsi atau nasional; tidak cukup hanya menjadi ketua UKM atau BEM, tetapi mahasiswa harus mampu menggerakkan organisasi yang dipimpinnya untuk melambungkan dirinya dan teman-teman mahasiswa yang lain untuk berkiprah sebagai tokoh penting di level regional, nasional, atau internasional.

Kesadaran kritis bukan sesuatu yang kontraproduktif, namun bisa saja negatif (tergantung apa yang kita yakini). Dia bisa meletupkan energi dahsyat yang mengubah wajah masyarakat lebih baik (dalam arti lebih bermoral, produktif, inovatif, efektif, efisien, dan sebagainya). Kesadaran ini jika dituangkan dalam bentuk karya ilmiah sebagaimana PKM, tentu bernilai positif dan produktif. Apapun konsekuensinya, kesadaran kritis sesungguhnya menjadi “otak pendidikan” yang memungkinkan segala fungsi organ berjalan semestinya dalam tumbuh-kembang bersama realitas di hadapannya. Kesadaran kritis ini menurut Freire mampu membongkar budaya bisu, artinya, secara aktif menyuarakan dan memunculkan aksi-aksi positif dan kreatif dalam menghadapi hegemoni menyejarah dari kuasa-kuasa tradisi yang kadaluarsa. Tentu, Pancasila sebagai ideologi bangsa yang melandasi pilar bangsa ini, tetap menjadi jaminan harga mati bagi interpretasi-interpretasi dan aksi-aksi cendekiawan ber-kesadaran kritis. Kritis bukan untuk anarkis-destruktif, tetapi kreatif-(re)konstruktif.

Suasana dunia kampus di Indonesia (termasuk Unesa) awal-awal milenium ketiga, memang lebih bermuara back to campus, setelah euforia penumbangan orde baru 1998. Tentu dengan alasan berbeda. Penulis mencermati bahwa back to campus-nya mahasiswa saat ini bukan disebabkan keengganan larut dalam arus politik sebagai panglima sebagaimana terjadi pasca penggulingan Soekarno tahun 1966, namun saat ini mahasiswa lebih disibukkan dengan berbagai tawaran kegiatan produktif-ilmiah baik dari dunia kampus itu sendiri maupun dari pemerintah atau pihak luar kampusnya (misalnya PKM). Apakah secara umum mahasiswa sekarang lebih berorientasi intelektual tradisional dan kurang tertarik memposisikan diri sebagai intelektual organik yang mengajukan diri bahu membahu bersama komponen masyarakat lain mengatasi berbagai permasalahan aktual yang ada sebagaimana dikategorikan Gramsci? Agak dini untuk menjawab tegas hal tersebut. Namun setidaknya, puisi penulis berikut ini (yang sempat dipublikasikan di notes akun facebook pribadi penulis) bisa mewakili warning terhadap ketidakpedulian dan ketidakkonsistenan mahasiswa yang berujung pada pengkhianat (idealisme) intelektual sebagaimana diperingatkan Karl Mannheim. Selamat meniti masa muda...

 

Mahasiswa Sejati

 

Sore ini di kampus yang (kabarnya) merakyat

Puluhan teriak memadati rapat penat

“kita harus beraksi, karena besok negeri ini dibantai”

“tumbangkan rezim kotor, robohkan akar pohon koruptor”

“jangan biarkan mereka menyela, kita bakar saja”

Lalu satu persatu mereka kering tenggorokannya

 

Sore ini di kampus bisu

Tengik mesum bau kotoran moral

Tercium gelagat khianat

Terkapar pada hegemoni bisu,

Yang merasuk di hulu intelek muda bersemangat

Sebab ideologi harus dihambakan pada kepentingan

Sebab aturan harus disetir kuasa baru

Dan sebab mahasiswa harus tidak merasa ditipu

Padahal telah tumbang mereka oleh sapuan zaman:

“kamu bayar mahal, segeralah lulus.. kembalikan sawah sapi es-pe-pe-mu”

“kamu ga pa pa jadi demonstran suruhan, sebab harus ada yang di jalanan”

“kamu  jangan julurkan pikiran kritismu, industri menunggumu patuh”

Maka makarpun berbalik arah,

Tuhan didongkel dari singgasana kampus

Matilah mahasiswa yang dulu berdikari,

Diganti definisi rumit tentang cinta, dijambak rindu persetubuhan

Diganti kelindan eksistensial, tentang mau kemana

Diganti tangisan bunda, melihat tetangga sudah kaya

Diganti ideologi orang sakti, yang bekerja rahasia membeli nurani di sudut-sudut rasio

 

Sore ini di kampus gagah

Berdiri lunglai mahasiswa sejati,

Tak punya tinta dia tak sanggup menulis darah

Tak punya teman dia merana

Tak punya uang diapun bisu

Dia gumamkan idealismenya, tanpa suara

Dia langkahkan kaki seoknya, sendiri

Dia masih punya Tuhan, yang oleh teman-temannya disingkirkan

“aku mengabdi untuk siapa?”

“maksud baikku kenapa dicela?”

Dan dia berusaha setia

 

Duh, kampus megah berdiri gagah,

Tak ubahnya pabrik manusia pekerja

Yang teriak pura-pura marah pada kuasa

Padahal hanya untuk mencari muka,

Atau tertipu juragan-juragan tak tersentuh

Menghabisi kaum-kaum yang ikhlas

Menggantinya dengan remote control: dunia tak seberapa butuh belas kasihan

Kendali mutu dengan kaku logika kerontang

“maksud baikku kenapa dicela”,

Karena tak terbeli,

Dan itu harga mati…!

Dilindas transaksi berkisah-kisah

Sore ini di kampus sendu

Muram wajah tanah saksi sejarah

Menyaksikan bergugurannya pikiran-pikiran murni

tumbuh suburnya kapitalis-kapitalis penerus bangsa

Pancasila dan filsafat, diajarkan untuk didiskusikan, lantas ditinggalkan

Ilmu-ilmu terapan, menggilas moral kepedulian

Berbaju demi pembangunan, kreativitas kompetisi global

Tapi lupa mengancingkan lubang kemaluan, hingga tampak semangat kerakusan

Mendidik akal, mematikan hati

 

Sore ini di kampus milyaran rupiah,

Gadis dan jejaka berpamer kebebasan

Menjeritkan semua luka, tanpa ada yang terluka

Meneriakkan perlawanan untuk para penjahat bangsa,

(sengaja) lupa dibiayai oleh siapa dia

“kami ada untuk rakyat”, tapi rakyat yang mana: yang duduk di balkon glamour

“kami adalah agen perubahan”, ya, merubah wajah bangsa sesuai selera mereka

Rektor, Dekan, dan pejabat se universitas, berkumpul mengamini instruksi pengusaha

Yang sudah menitip kuasa di proyek-proyek suci negeri ini

Lalu siapa yang sejati?

Mahasiswa yang lunglai tadi.. yang sedang terkapar mati

 

Sore ini di kampus hiruk pikuk

Tidak ada yang sadar lagi,

Semaput dalam riuh internet, gadget, dan diksi-diksi ilmiah

Pulang hanya untuk mengamini televisi hiperrealitas

“kami kaum bebas” termasuk bebas meniru

Meniru tiruannya tiruan dari tiruan tiruan palsu

Disentak tiap saat oleh pilihan-pilihan sikap

Rumit menghamburkan energi dunia

Tenggelam dalam kebenaran zaman (bukan kebenaran asasi)

 

Sore ini di kampus yang (kabarnya) merakyat

Perlahan-lahan sepi

Oleh despot dan tirani baru

Mencengkeram tanpa terasa

Menghegemoni tanpa disadari

Karena penguasa baru tahu,

Bahwa menguasai berarti menyenangkan nafsu

 

Si mahasiswa sejati

Sudah lama tadi ketemu Tuhan,,

Sendiri



[1] Made Pramono, S.S., M.Hum. adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan. Email: made.pramono@gmail.com

Baca Selengkapnya →URGENSI PENGUATAN KESADARAN KRITIS MAHASISWA