15 September 2021

PARIWISATA OLAHRAGA MASYARAKAT MADANI

 PARIWISATA OLAHRAGA MASYARAKAT MADANI

Made Pramono

madepramono@unesa.ac.id

 

A. Pendahuluan

            Bukan hanya terkait dengan permasalahan moral yang tersirat dari bunyi judul, tulisan ini juga menyangkut permasalahan silang mengkarutnya dengan visi dunia yang mengangkat permasalahan etika yang dicerminkan pariwisata olahraga dalam hal keterlibatan dengan sosial kemanusaan. Indonesia dijadikan eksperimen analisisnya, karena beberapa kementerian sudah menunjuk beberapa daerah sebagai potensi diaktualisaikan secara serius seperti Banyuwangi, DKI, Magetan, dan lain-lain mengikuti Bali yang sudah lama menjadi destinasi wisata dan juga lokus pariwisata olahraga (lihat misalnya di Direktorat Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga, 2007).

Pemilihan isilah “berkemanusiaan dan berperadaban” karena melibatkan moral positif. Artinya, hukum bemuansa moral yang disepakati secara umum sebagai ada (http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/248/182) untuk menuju masyarakat madani (civil society) (Azizy, 2004). Pelibatan moral dan keberadaban secara tepat melandasi kajian filsafat ini dengan secara komprehensif dan intensif memberi penekanan bagaimana pengembangan pariwisata olahraga hendak dikembangkan di Indonesia.

           

B. Pariwisata sebagai Ilmu

Dalam kamus besar bahasa Indonesia dikemukakan bahwa pariwisata adalah suatu kegiatan yang berhubungan dengan perjalanan rekreasi. Istilah pariwisata pertama kali digunakan pada tahun 1959 dalam Musyawarah Nasional Turisme II di Tretes, Jawa Timur. Istilah ini dipakai sebagai pengganti kata Turisme sebelum kata pariwisata diambil dari bahasa Sansekerta (Suwena dan Widyatmaja, 2017).

Pembangunan pariwisata yang direncanakan dan dikelola secara berkelanjutan dengan berbasis pada masyarakat akan mampu memberikan kontribusi terhadap penerimaan devisa negara dan menciptakan lapangan kerja. Disamping itu, pembangunan pariwisata juga dapat menciptakan pendapatan yang dapat digunakan untuk melindungi dan melestarikan budaya dan lingkungan dan secara langsung menyentuh masyarakat setempat/desa tujuan wisata. Pandemi COID-19 memang sempat menghentikan laju pertumbuhan sebesar 4,3 persen setiap tahun sehingga bahkan di Indonesia, pariwisata merupakan penghasil devisa terbesar setelah sektor minyak dan gas bumi. Selain sebagai penghasil devisa, kegiatan pariwisata secara potensial juga dapat mengatasi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan menggerakkan sektor usaha kecil dan menengah (UKM). Ringkasnya pariwisata merupakan salah satu industri yang mempunyai peran cukup penting dalam pembangunan ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan (Direktorat Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga, 2007).

Eric Cohen (2018) menyebut pariwisata sebagai suatu ‘bidang’ (lebih tepatnya bidang interrelasi sebagaimana orang menyebut bidang studi. Mengutip Barret, Cohen menegaskan bahwa sebagai konsep kental dengan analisis filsafat tentang waktu luang, pariwisata merupakan filsafat waktu luang yang sepele namun ‘leisure is the end, the goal of human life’. Filsafat dan etika waktu luang dalam pariwisata (termasuk olahraga) menuai banyak tulisan di jurnal-jurnal internasional seperti Journal of the Philosophy of Sport dari berbagai penulis dengan beragam sudut pandang kefilsafatan mereka, misalnya menyebut waktu luang sebagai bentuk kedamaian, atau, prasyarat penting untuk pengalaman religius yang mendalam. Pariwisata sudah memperoleh tempat khusus di wilaya akademik secara filosofis maupuan ilmiah.

Pariwisata olahraga muncul dan berkembang sebagai ilmu baru dengan konsep-konsep kunci yang berbeda dengan disiplin lain. Pariwisata olahraga lebih dicirikan sebagai kebiasaan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain yang mengedepankan interaksi unik antara aktivitas seseorang dan suatu tempat (Weed, 2020). Pariwisata olahraga adalah salah satu jenis pariwisata yang menjadikan aktivitas olahraga sebagai daya tarik utama. Pariwisata olahraga meliputi semua pengalaman yang didapatkan dari melakukan atau mempraktekkan kegiatan olahraga maupun sekedar untuk menikmati aktivitas olahraga sebagai tontonan atau hiburan, yang membutuhkan perjalanan dari tempat tinggal serta tempat kerjanya. Pariwisata olahraga dianggap sebagai bagian dari pariwisata yang diciptakan melalui integrasi antara olahraga dan pariwisata (Masrurun, 2020).

Pariwisata olahraga memang disiplin baru bahkan sampai dengan tahun 2000an batas-batas keilmuannya belum jelas dan tegas, sehingga tawaran program, modul, bahkan asesmen kurikulum pada tahun 2000 itu masih perlu diolah (Swart, 2000). Berdasarkan penamaan ilmiahnya, pariwisata olahraga menerapkan pendekatan multidisipliner pada awal kemunculannya, yaitu pariwisata dan olahraga.  Choi dan Pak (2006: 352) memperingatkan bahwa istilah multidisipliner, interdisipliner, dan transdisipliner dipergunakan untuk menunjuk usaha-usaha ilmiah yang melibatkan beberapa disiplin. Namun acapkali ketiganya didefinisikan secara ambigu dan saling dipertukarkan – suatu situasi yang disebut “terminological quagmire” (keruwetan terminologis). Apa yang disebut Jensenius (www.arj.no/2012/03/12/disciplinarities-2/) mewakili macam disiplineritas ilmu ini: multidisipliner berarti kerjasama beberapa disiplin yang berbeda-beda, masing-masing menggambarkan pengetahuan disiplinnya sendiri-sendiri. Disiplin pariwisata sebagai disiplin asal yang dibawa mendekati objek berupa disiplin lain, olahraga. Pengaturan isi dan batang tubuh keolahragaan secara mendasar melibatkan perspektif epistemologi dibahas misalnya dalam buku Herbert Haag (1994). Bidang ilmu pariwisata mendasar dibahas dalam beberapa buku pariwisata internasional, misalnya Ian Jackson (1989). Tetapi sebagai kajian multidisipliner, meskipun sudah ada beberapa buku tentang hal itu, peluang sumbangsih para imuwan masih terbuka lebar.

Pariwisata olahraga adalah salah satu sektor pariwisata yang tumbuh paling cepat, dan telah terbukti dapat merangsang ekonomi lokal (Chang, dkk, 2020). Berdasarkan analisis Technavio (dalam Chang, dkk, 2020), nilai sport tourism diharapkan meningkat dari $ 1,41 triliun pada tahun 2016 menjadi $ 5,72 triliun pada tahun 2021 secara global (tentu sebelum pandemi COVID-19). Sejalan dengan itu, keuntungan industri pariwisata olahraga terkait dengan tidak hanya olahraga, tetapi juga kontribusinya kepada pemerintah dan masyarakat sekitar. Menurut Yamashita dan Takata (2020) pariwisata olahraga diantisipasi sebagai salah satu industri kunci yang mampu menghidupkan komunitas dengan berbagai macam sumber daya keindahan alam. Pelibatan ratusan penduduk lokal dalam kerangka penelitian citra tempat dan pengetahuan tentang pariwisata berkontribusi pada dukungan warga untuk pengembangan wisata olahraga dengan efek moderat dari ketergantungan pariwisata (Chang, dkk, 2020).

Olahraga pertama-tama dilihat oleh beberapa ilmuwan sebagai motivasi untuk aktivitas/kegiatan melakukan perjalanan sehingga pariwisata olahraga semakin menemukan landasan epistemologisnya dengan landasan batang tubuh pengetahuan itu (Rheenan, Cernaianu & Sobry, 2016). Bahkan Valerian Geffroy di judul artikelnya menegaskan “bermain dengan ruang” sebagai basis konseptual untuk menginvestigasi praktek-praktek parwisata olahraga yang penuh makna. Ini lebih darahkan sebagai ekspresi dan pragmasi pemahaman ruang yang menekankan pada dimensi prosesual dan kontekstual tindakan manusia. Wisatawan olah raga dianggap sebagai makhluk refleksif dan berwujud, menikmati sensasi, mobilitas dan menempati lokasi, dan selalu rasional. Rekreasi sebagai wujud budaya semakin diintegrasikan ke dalam aktivitas sehari-hari, semakin menyenangkan, dan semakin dimediasi (Geffroy, 2016).

Tentu saja terkait pandemi COVID-19, untuk dianggap serius dalam melakukannya, mereka yang bertanggung jawab atas organisasi kegiatan pariwisata olahraga utama yang menghasilkan aliran uang global yang signifikan dan juga masyarakat harus mempertimbangkan konteks sosial dan ekonomi untuk keputusan yang mereka buat. Pelajaran dari pandemi COVID-19 adalah  keputusan seperti penundaan dan keketatan protokol kesehatan harus diinformasikan dampaknya masyarakat, bukan hanya karena ketidaknyamanan yang mereka timbulkan kepada administrator olahraga (Weed, 2020).

Pariwisata olahraga merupakan sektor pariwisata yang memberikan kontribusi kepada berbagai pemangku kepentingan dan menguntungkan pembangunan ekonomi lokal, pertukaran sosial-budaya, dan interaksi masyarakat. Untuk menopang proyek pengembangan pariwisata, penting untuk mendapatkan dukungan dari warga sekitar. Studi Chang dkk (2020) telah memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana citra tempat dan pengetahuan mempengaruhi dukungan penduduk lokal untuk pengembangan wisata olahraga. Ini juga memberikan wawasan tentang bagaimana ketergantungan pariwisata memoderasi jalur antara variabel independen - citra tempat dan pengetahuan tentang pariwisata -  dan dukungan penduduk untuk pengembangan pariwisata olahraga. Dalam jangka panjang, ketergantungan pariwisata dapat dipertanggungjawabkan sebagai bagian dari dukungan warga untuk pengembangan pariwisata olahraga. Dengan memahami pola pikir masyarakat lokal tentang citra tempat, penelitian ini akan memberikan pemahaman yang mendalam wawasan bagi pembuat kebijakan pariwisata untuk lebih memanfaatkan atribut positif dari tempat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Studi ini juga akan membantu pemerintah dan penyelenggara acara olahraga untuk mewujudkan kesadaran yang lebih besar tentang manfaat dan memberikan pengetahuan yang relevan untuk meningkatkan dukungan penduduk lokal terhadap pariwisata olahraga di Indonesia.

 

C. Masyarakat Madani

            Masyarakat madani merupakan padanan dari konsep civil society (masyarakat sipil) yang lahir di Barat pada abad ke-18 dengan tokohnya John Locke atau Montesquieu. Sebelumnya pada zaman Yunani Kuno pernah digunakan kata societies civilis oleh Cicero, namun dengan pengertian yang identik dengan negara. Konsep civil society berusaha untuk mencegah lahirnya pemerintahan yang otoriter, dengan menciptakan masyarakat yang kuat vis-à-vis negara (Suwarni, 2011; Rochmat,http://staffnew.uny.ac.id/upload/132104866/penelitian/2003jpkmasyarakat-madani.pdf). Selain masyarakat madani, civil society disebut pula masyarakat warga, masyarakat kewargaan, masyarakat berbudaya, masyarakat beradab (Mas’udi, 1999; Parmudi, 2015). Argumen munculnya istilah terakhir ini yang mendasari penulis menyebut masyarakat madani sebagai konsep berkemanusiaan dan berkeadaban. Ciri pokok yang ditekankan pada tulisan ini adalah anyaman kemanusiaan dan keberadaban berupa moral yang menjamin berlangsungannya keseimbangan antara kebebasan individu dan kestabilan sosial yang dikenakan pada masyarakat, khususnya terkait pariwisata olahraga.

            Penekanan ciri pokok ini berasal dari konsep yang dicetus-populerkan oleh Naquib Al-Attas di Malaysia yang kemudian dipopulerkan di Indonesia oleh Nurcholis Madjid (Mas’udi, 1999; Mustapa, 2019). Nurcholis menyebut ciri mendasar dari masyarakat madani ini, yakni egaliterianisme, penghargaan pada orang lain berdasarkan prestasi, keterbukaan partisipasi, penegakan hukum dan keadilan, toleransi dan pluralisme, serta prinsip musyawarah (Nurcholis, dalam Mas’udi, 1999). Mewakili perspektif budaya, Alexis de Toqueville, Adam Ferguson, Nurcholish Madjid menyatakan bahwa civil society dibangun melalui beberapa elemen seperti civility (keberadaban), fraternity (persaudaraan), trust (kepercayaan) di antara kelompok sosial, toleransi, dijunjung tingginya HAM, akuntabilitas, keterikatan pada hukum (Mustapa, 2019).

            Permasalahan etis-antropologis yang dihubungkan dengan karakter masyarakat madani yang hendak ditumbuhkembangkan di lingkungan pariwisata olahraga menjadi titik tekan resultante penulisan artikel ini. Pariwisata olahraga masyarakat madani secara  ideal dikembangkan dari konsep filsafat, narasi sosial kebudayaan dan bermuara pada garis besar atau grand scenario nasional pariwisata khususnya dalam hal olahraga. Bagian akhir berikut ini mensarikan konseptualisasi pariwisata olahraga masyarakat madani tersebut.

 

D. Cita Etis Parisiwata Olahraga

            Etika bukan hanya sumber tambahan ajaran moral, tetapi etika merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan tentang moral (Magnis-Suseno, 1987 ). Dalam hal pariwisata olahraga berarti memikirkan dan mengonseptualisasikan secara kritis dan mendasar berbagai pandangan moral terkait pengembangan pariwisata olahraga tersebut. Untuk menyingkat proses kritis itu, penulis membatasi pada konsep mendasar tentang perencanaan, pilihan lokasi dan waktu event, pelaksanaan, dan evaluasi dalam pengembangan pariwisata olahraga.

     Geffroy (2016) menyatakan bahwa pariwisata olahraga adalah suatu praktek sosial. Hal ini berangkat dari kerangka pikir (1) menekankan karakter main-main sifat pariwisata olahraga, (2) menunjukkan sentralitas dimensi spasial dalam lakon ini dan (3) mengedepankan perspektif teoretis tentang 'praktik', yang mengundang kita untuk mempertimbangkan tindakan jasmani sebagai bermakna dan sebaliknya pemahaman (atau konsepsi) sebagaimana diwujudkan, dan menunjukkan seberapa cocoknya dengan analisis pariwisata olahraga. Pemahaman fenomenologis mendalam terbentuk dengan menghayati ‘permainan ruang’ di dalam pariwisata olahraga.

Pemahaman dan pengalaman spontan fenomenologis ini secara terbuka “diinterupsi” dengan konseptualisasi etis dala pariwisata olahraga. Sebenarnya manusia bisa melepaskan diri dari interupsi etis ini dan menghayati sebagai proses internalisasi subjektif dengan mengambil sikap pembiasaan langsung, namun tentu saja upaya untuk hal ini memakan waktu pemikiran lebih panjang. Oleh karena itu, penulis uraikan konseptualisasi etis secara sederhana dan diharapkan ada intensionalitas yang menjadi dasar penulisan untuk pemahaman fenomenologis dimaksud.

Ketika Banyuwangi, mewakili wilayah timur Pulau Jawa, dikukuhkann unggulan pariwisata olahraganya dengan surfing, niscaya ada proses perencanaan terpadu di lini ekeskutif Pemda setempat yang melibatkan juga masyarakat. Even besar terkait surfing tahunan dengan perencanaan terkait penyelenggaraan event, penataan lokasi, pemberdayaan sosial, dan berbagai aspek lain secara terprogram dan padu diuapayakan tidak hanya sukses penyelenggaraannya, namun juga sukses pemberdayaan dan kontinuitas mental mandiri (atau ‘enterpreneurship’) masyarakat.

Beberapa ciri etis dalam pemberdayaan pariwisata olahraga ini antara lain:

1)      Egaliterianisme, pada hakikatnya semua orang manusia adalah sama dalam status nilai atau moral secara fundamental. Masyarakat diberi jalan untuk menyatakan pendapatnya untuk kemudian secara terpadu diputuskan solusi terbaik terkait perencanaan, partisipasi, maupun keadilan dan hak bersuara. Ini bisa terkait usaha yang dikembangkan masyarakat, pelibatan sponsor, dan aspek lain.

2)      Penghargaan pada orang lain berdasarkan prestasi, tidak terbatas pada atlet yang bertanding tetapi masyarakat umum. Prinsip etis ini menjamin hak akses yang sama terkait peluang berprestasi sehingga prestasi yang diraihpun juga berdasarkan peluang yang sama. Atlet dari negara lain yang memenuhi syarat dibolehkan berprestasi puncak, demikian juga bagi atlet lokal. Masyarakat yang berasal dari usaha kecil yang dikelolanya mempunyai hak yang setara dengan mereka yang berasal dari usaha besar. Prinsip ini mendahulukan hak sama bagi setiap orang untuk berprestasi apapun, dan menghargainya sesuai capaian yang diraih.

3)      Keterbukaan partisipasi bagi setiap orang. Selama memenuhi syarat, semua masyarakat diberi akses partisipasi sama. Keluarga bupati mempunyai hak dan kewajiban partisipasi yang sama dengan keluarga pedagang kecil. Atlet lokal mempunyai hak yang sama dengan atlet manca negara, dengan asumsi pemberian aturannya juga sama.

4)      Penegakan hukum dan keadilan diterapkan secara sama bagi setiap orang. Aturan jalannya pertandingan, kesempatan berusaha kompetitif, maupun masalah penghargaan prestasi diasumsikan terpenuhi asas keadilan, oleh karenanya semua yang terlibat dalam berbagai proses penyuksesan olahraga surfing berkewajiban yang sama dengan jaminan hak yang juga sama sesuai peruntukannya.

5)      Prinsip toleransi dan pluralisme, tanpa membeda-bedakan golongan, usaha, jenis kelamin, suku, atau agama. Etika ini tidak hanya dipakai panitia, namun untuk semua masyarakat yang terlibat. Keanekaragaman suku, golongan, agama, dan ras adalah berkah bagi Indonesia dan dunia. Toleransi yang membangun kepercayaan bagi atlet maupun masyarakat yang terlibat terus diupayakan dengan menitikberatkan terselenggaranya event secara terpadu.

6)      Prinsip etis terakhir adalah prinsip musyawarah. Persoalan yang dihadapi bersama seyogyanya juga melibatkan analisis secara bersama-sama. Melalui musyawarah, semua bisa terjembatani kepentingannya dengan mempercayakan hasil perundingan bersama untuk mencapai keputusan bersama yang diupayakan secara mufakat.Mana permasalahan yang bisa dimusyawarahkan dan mana yang tidak bisa tentu sudah disepakati lebih dulu, karena bagaimanapun dalam olahraga ada bagian-bagian terentu yang sudah merupakan keputusan yang tidak bisa dimusyawarahkan, misalnya penilaian seorang juri.

 

E. Penutup

            Tulisan ini masih memerlukan rangkaian lebih ekstensif dan intensif dikarenakan pemilihan tema yang belum membentuk sinkronisasi yang secara efektif dan efisien antara tema kepancasilaan dan tema pariwisata olahraga. Di antara rekomendasi penulis bagi pemaca tulisan ini adalah perlunya membaca secara seksama tulisan-tulisan tentang pariwisata olahraga di satu sisi berikut bidang yang gayut, maupun tulisan-tulisan tentang masyarakat madani yang berkait erat dengan kemanusiaan dan keadaban. Penulis masih akan merangkai dua tema tulisan tersebut ke ragam tulisan lain.

            Kondisi pandemi COVID-19 saat ini yang diperketat dengan Perberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), sedikit banyak mempengaruhi keterbacaan tulisan ini. Meskipun saat menulis ini PPKM masih mencekam dan mencengkeram masyarakat, namun penempatan seting ide penulisan ini berada di waktu dan tempat yang tidak dicekam pandemi. Selalu sehat..!

 

Daftar Pustaka

 

Choi, B.C. and Pak, A.W. (2006). Multidisciplinarity, Interdisciplinarity and  Transdisciplinarity in Health Research, Rervices, Education and Policy: 1. Definitions, Objectives, and Evidence of Effectiveness. Clinical & Investigative Medicine, 29, 351-364.

Chang, Miaw-Xian, Choong, Yuen-Onn & Ng, Lee-Peng (2020). Local Residents’
Support for Sport Tourism Development: The Moderating Effect of Tourism Dependency
, Journal of Sport & Tourism, DOI: 10.1080/14775085.2020.1833747.

Cohen, Erik (2018). The Philosophical, Ethical and Theological Groundings of Tourism – an Exploratory Inquiry, Journal of Ecotourism, DOI: 10.1080/14724049.2018.1522477

Direktorat Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga. 2007. Kajian Pengembangan Industri Budaya dan Olahraga dalam Mendukung PembangunanPariwisata dalam https://www.bappenas.go.id.

Geffroy, Valérian (2016). ‘Playing With Space’: A Conceptual Basis
For Investigating Active Sport Tourism Practices
, Journal of Sport & Tourism, DOI:10.1080/14775085.2016.1271349.

Haag, H., 1994, Theoretical Foundation of Sport Science as a Scientific Discipline: Contribution to a Philosophy (Meta-Theory) of Sport Science, Schourdorf, Verlaag Karl Hoffmann, Federal Republic of Germany.

 

Jackson, Ian. (1989). An Introduction to Tourism. Melbourne: Hospitality Press

Hardman, Alun dan Jones, Carwyn (eds.), 2010, Philosophy of Sport: International Perspectives, London: Cambridge Scholars Publishing.

 

Masrurun, Zam-zam (2020). Kajian Strategi Pengembangan Pariwisata Olahraga Paralayang di Kabupaten Wonosobo. Pariwisata. Vol. 7 No. 1 April 2020.

Mas’udi, Wawan. 1999. Masyarakat Madani: Visi Etis Islam tentang Civil Society. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol 3 No 2. Yogakarta. UGM. Hlm 164-187.

 

Magnis-Suseno, Franz. 1987. Etika Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral Yogyakarta: Kanisius.

 

Parmudi, Mochamad. Kebangkitan Civil Society Di Indonesia. Fisip UIN Walisongo. Jurnal at Taqaddum, Volume 7, Nomor 2, November 2015. Hal.298

 

Qodri Azizy. 2004. Melawan Globalisasi Reinterpretasi Ajaran Islam: Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm 126-128.

Rheenen, Derek Van, Cernaianu, Sorina & Sobry, Claude (2016): Defining
Sport Tourism: A Content Analysis of An Evolving Epistemology
, Journal of Sport & Tourism, DOI: 10.1080/14775085.2016.1229212.

Swart, Kamilla (2000). An Assessment of Sport Tourism Curriculum Offerings at Academic Institutions, Journal of Sport & Tourism, 6:1, 5-9, DOI: 10.1080/10295390008718683.

Suwena, I Ketut dan Widyatmaja, I Gusti Ngurah. 2017. Pengetahuan Dasar Ilmu Pariwisata. Pustaka Larasan dan Fakultas Pariwisata Universitas Udayana.

Weed, Mike (2020). The Role of The Interface of Sport and Tourism
In The Response to The Covid-19 Pandemic
, Journal of Sport & Tourism, DOI:
10.1080/14775085.2020.1794351.

Yamashita, Rei & Takata, Kosuke (2020). Relationship Between Prior
Knowledge, Destination Reputation, and Loyalty Among Sport Tourists
, Journal of Sport & Tourism, DOI: 10.1080/14775085.2020.1763192.

www.arj.no/2012/03/12/disciplinarities-2/

http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/248/182

Tidak ada komentar:

Posting Komentar