A. Ragam Bahasa Indonesia
Apakah yang disebut sebagai bahasa
jurnalistik? Bahasa Jurnalistik adalah ragam bahasa yang dipergunakan oleh
dunia persurat-kabaran (dunia pers = media massa cetak). Dalam perkembangan
lebih lanjut, bahasa jurnalistik adalah bahasa yang dipergunakan oleh seluruh
media massa. Termasuk
media massa audio (radio), audio visual (televisi) dan multi media (internet).
Hingga bahasa jurnalistik adalah salah satu ragam bahasa, yang dibentuk karena
spesifikasi materi yang disampaikannya.
Apakah ada
ragam bahasa lain? Ragam bahasa dibedakan sesuai dengan cara penyampaiannya,
yakni ragam bahasa lisan (percakapan sehari-hari) dan tulis (surat kabar, buku,
surat menyurat, penulisan undang-undang dll). Ragam bahasa juga dibedakan
karena spesifikasi pelaku dan suasana penyampaiannya. Yakni ragam bahasa baku
(bahasa resmi/formal) dan non baku (remaja, slank, dialek dll). Terakhir, ragam
bahasa juga bisa dibedakan karena spesifikasi materi yang disampaikannya
(bahasa hukum, kedokteran, militer, pertanian, dagang, jurnalistik dll). Jadi,
bahasa jurnalistik termasuk katagori ragam bahasa tulis, baku maupun non baku).
Apakah ada
ragam bahasa ilmiah, ilmiah populer dan bahasa populer? Tidak ada. Sebab arti
kata ilmiah adalah memenuhi kaidah ilmu pengetahuan. Sementara populer (populis)
berarti dikenal oleh masyarakat luas. Tulisan ilmiah, bisa saja sekaligus
sangat populer. Teori Relativitas Einstein misalnya, sangat ilmiah tetapi
sekaligus juga sangat populer. Demikian pula halnya dengan teori Big Bangnya
Stephen Hawking. Sebaliknya, tulisan yang tidak ilmiah, juga belum tentu
menjadi populer. Banyak tulisan di media massa cetak yang sangat tidak ilmiah,
misalnya cerita tentang hantu, gosip artis, dll. ternyata tidak sepopuler
ulasan ilmiah berupa analisis ekonomi, keuangan, politik dll. yang ditulis oleh
para pakar di media yang sama.
Bukankah
yang dimaksud sebagai populer adalah, karena sebuah tulisan mudah dimengerti
oleh masyarakat luas? Pengertian ini pun tidak benar. Sebuah tulisan akan mudah
dimengerti orang banyak, kalau penulisnya terampil menggunakan bahasa Indonesia
ragam tulis. Bukan karena penulisnya menggunakan teknik menulis populer. Sebab
teknik menulis populer, sebenarnya tidak pernah ada. Tulisan Prof. Mubyarto
dari UGM tentang Ekonomi Pertanian misalnya, jelas sangat ilmiah. Namun tulisan
tersebut mudah sekali dicerna oleh kalangan awam, karena Mubyarto terampil
menggunakan Bahasa Indonesia ragam tulis. Demikian pula halnya dengan tulisan
ilmiah Prof. Andi Hakim Nasution dari IPB, Prof. Bambang Hidayat dari ITB dan Prof.
Fuad Hasan dari UI. Semua profesor tadi tetap menghasilkan tulisan ilmiah,
namun juga tetap mudah dicerna oleh kalangan awam, karena tingkat keterampilan
menulis mereka yang tinggi. Bukan karena tulisan tersebut bernama ilmiah
populer. Sementara tulisan para wartawan baru (yang baru belajar menulis) di
media massa yang cukup ternama pun, seringkali sulit untuk dimengerti oleh
pembacanya karena ia belum terampil menulis. Karenanya,
pengkategorian bahasa menjadi ilmiah, ilmiah populer dan populer adalah sesuatu
yang salah kaprah. Sesuatu yang salah, tetapi dimengerti sebagai kebenaran oleh
masyarakat banyak.
Apakah benar bahwa ragam bahasa jurnalistik
termasuk non baku (populer)?
Tidak benar. Sebab sebagian besar tulisan di koran terkemuka, menggunakan ragam bahasa baku. Namun tulisan pada rubrik remaja di koran yang sama bisa menggunakan ragam bahasa non baku. Di televisi, ragam bahasanya bisa lebih variatif. Warta berita akan menggunakan ragam bahasa baku (bahasa tulis yang dilisankan = dibaca). Bahasa pada acara sinetron remaja, pasti menggunakan ragam non baku (bahasa gaul).
Tidak benar. Sebab sebagian besar tulisan di koran terkemuka, menggunakan ragam bahasa baku. Namun tulisan pada rubrik remaja di koran yang sama bisa menggunakan ragam bahasa non baku. Di televisi, ragam bahasanya bisa lebih variatif. Warta berita akan menggunakan ragam bahasa baku (bahasa tulis yang dilisankan = dibaca). Bahasa pada acara sinetron remaja, pasti menggunakan ragam non baku (bahasa gaul).
Apakah ragam bahasa baku lebih baik dan
benar dibanding dengan ragam bahasa non baku? Tidak benar. Bahasa yang baik dan
benar adalah yang komunikatif (mudah dipahami). Bahasa menjadi tidak baik dan
tidak benar kalau digunakan oleh dan untuk kalangan yang tidak cocok, dalam
suasana yang tidak cocok dan untuk membahas materi yang tidak cocok pula.
Misalnya, bahasa Indonesia dialek Tegal, Madura atau Batak, baik dan benar
kalau digunakan oleh para pelawak, dalam acara lawak untuk lucu-lucuan. Tetapi
akan menjadi tidak baik dan tidak benar kalau digunakan oleh guru besar,
pejabat pemerintah, hakim dll. dalam acara formal untuk membahas permasalahan
yang juga formal. Anak-anak SMU yang berbicara dengan bahasa gaul dengan sesama
teman mereka, adalah baik dan benar. Tetapi akan menjadi tidak baik dan tidak
benar kalau bahasa tersebut digunakan untuk membuat karya tulis yang merupakan
tugas dari sekolah.
Apakah bahasa jurnalistik lebih populer
(lebih mudah dipahami) dibanding dengan bahasa dalam karya sastra? Tidak benar.
Bahasa dalam karya sastra yang baik, juga sangat mudah dipahami bahkan sangat
enak dibaca. Yang benar, karya jurnalistik ada yang mudah dipahami (enak
dibaca) dan ada pula yang sulit dipahami. Karya sastra pun demikian. Tulisan
Pramudya, Rendra, Putu Wijaya dan Arswendo, sangat mudah dipahami dan enak
dibaca. Sementara ada
beberapa sasterawan yang karyanya memang sulit dibaca dan dipahami.
B.
Ejaan
Apakah yang dimaksud dengan ejaan? Ejaan
adalah tatacara penulisan huruf, kata, kalimat, tanda baca, berikut pemenggalan
dan penggabungannya dalam suatu bahasa.
Mengapa
ejaan diperlukan dalam bahasa tulis dan bukan dalam bahasa lisan? Karena dalam
bahasa lisan, proses komunikasi akan terbantu oleh warna suara (garang,
lemah-lembut), intonasi (keras, pelan), frekuensi (cepat, lambat); mimik
pembicara (sedih, gembira); gerak tubuh dan keseluruhan suasana saat peristiwa
bahasa dilangsungkan. Hingga dengan kalimat tidak sempurna pun, komunikasi bisa
berlangsung dengan baik dalam ragam bahasa lisan. Misalnya, dua orang sahabat
di suatu kantor, pada jam 12.00 bertemu di lorong toilet. Salah seorang mengatakan: Makan. Lalu yang seorang lagi menjawab:
Ayo. Komunikasi hanya dengan dua kata itu sudah bisa berlangsung dengan baik,
dan dua orang sahabat itu lalu berjalan ke kantin untuk makan siang. Tetapi
dalam bahasa tulis, kata makan dan ayo tersebut tidak punya arti apa pun,
kecuali sebelumnya diawali dengan narasi tentang: keberadaan dua orang sahabat
di suatu kantor, pada saat menjelang jam makan siang, di sebuah lorong dekat
toilet. Meskipun sudah diawali dengan narasi demikian, tetap diperlukan
penulisan dengan huruf besar/kecil, tanda tanya, tanda seru, titik, koma dll.
terhadap kata makan dan ayo, yang kesemuanya diatur dalam penggunaan ejaan.
Apakah
Bahasa Indonesia juga punya ejaan? Bahasa Indonesia yang berasal dari Ragam
Bahasa Melayu, pernah punya ejaan Van Ophuijsen, yang dipergunakan sejak Sumpah
Pemuda sampai dengan tahun 1947. Peninggalan ejaan Van Ophuijsen yang sampai
sekarang masih diingat masyarakat adalah, penulisan u dengan oe. Hingga Sumpah
Pemuda ditulis sebagai Soempah Pemoeda. Dari tahun 1947 sampai dengan tahun
1972, Bahasa Indonesia menggunakan Ejaan Soewandi. Dari ejaan Soewandi, yang
masih diingat oleh masyarakat adalah penulisan c dengan tj; ny dengan nj dan j
dengan dj. Dari tahun 1972 sampai sekarang dipergunakan Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD).
Apakah
bahasa jurnalistik mutlak harus patuh pada EYD? Tidak harus. Hanya bahasa
jurnalistik pada media massa yang bersifat formal, untuk menyampaikan fakta,
data (berita) dan pendapat (opini) yang bersifat formal pula yang mutlak harus
patuh pada EYD. Misalnya koran atau majalah nasional yang dibaca oleh seluruh
penduduk Indonesia dan memberitakan atau menulis tentang masalah perekonomian,
politik, sosial dan budaya yang bersifat nasional bahkan internasional, mutlak
harus patuh pada EYD.
Jenis
tulisan dan media massa manakah yang boleh tidak patuh pada EYD? Tulisan di
majalah remaja, tabloid olah raga dll. penerbitan khusus (bulletin/jurnal
intern) dll, bisa saja melanggar kaidah EYD, dengan maksud agar lebih menarik
dan lebih dipahami oleh target pembacanya. Ragam bahasa remaja malahan
cenderung memberontak bukan hanya terhadap ejaan, tetapi juga keseluruhan
kaidah Bahasa Indonesia. Penggunaan pesan-pesan singkat (SMS) melalui telepon
genggam (HP), juga sangat potensial merusak ejaan dan seluruh kaidah bahasa. Demikian pula dengan bahasa yang digunakan dalam chating melalui internet.
Di manakah kita bisa memperoleh pedoman
penulisan sesuai dengan EYD? Pedoman penulisan dengan kaidah EYD, bisa kita
dapatkan dari buku-buku pedoman berbahasa Indonesia yang banyak dijual di
toko-toko buku. Bisa pula diperoleh di Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan
Nasional, di jalan Daksinapati, Rawamangun, Jakarta.
C.
Kata
Apakah yang dimaksud sebagai kata? Kata
adalah unsur bahasa yang diucapkan, dituliskan atau diperagakan, untuk
mewujudkan satu kesatuan pengertian. Unsur dalam kata adalah fonem dan morfem.
Apakah yang disebut sebagai fonem? Fonem
adalah satuan bunyi terkecil, baik konsonan maupun vokal, yang mampu
menciptakan perbedaan pengertian suatu kata. Fonem dari huruf konsonan yang
berbeda, lebih mudah dipahami daripada fonem dari huruf vokal yang sama. Fonem dari huruf konsonan berbeda
misalnya: cari (cé); dari (dé); hari (ha); jari (jé); lari (èl); tari (té).
Fonem dari huruf vokal yang sama antara lain: kere (kéré = pengemis) dan kere
(keré = tirai); seret (seret = tidak lancar) dan seret (sèrèt = menarik paksa);
keset (keset = tidak licin) dan keset (kèsèt = anyaman sabut dll. pembersih
sepatu); ter (ter = paling) dan ter (tèr = cat hitam); nek (nek = mual) dan nek
(nèk = panggilan untuk nènèk); per (per = tiap) dan per (pèr = pegas) dll.
Hingga nama kota Purwokerto (Jateng) dan Probolinggo (Jatim) ditulis dengan
fenem o, agar masyarakat tidak dibingungkan dengan nama kota Purwakarta (Jabar)
dan Purbalingga (Jateng).
Apakah yang disebut sebagai morfem? Morfem
adalah satuan bentuk bahasa terkecil yang mengandung satu atau beberapa arti
yang tidak berubah-ubah. Ada
morfem bebas yang memiliki arti sendiri dalam satu kalimat. Misalnya mandi,
tidur, sakit, bangku, langit dll. Ada morfem terikat, yakni morfem yang tidak
bisa memiliki arti sendiri dalam sebuah kalimat. Misalnya
awalan, sisipan, akhiran dan partikel lain (lah, kah, pun); yang baru akan
memiliki makna apabila digabung dengan morfem lain.
Ada
berapakah jenis kata dalam Bahasa Indonesia? Selama ini Bahasa Indonesia,
sebagaimana bahasa modern lain di dunia, mengenal 10 jenis kata, yakni 1 kata
benda (nomina); 2 kata kerja (verba); 3 kata sifat (adjektiva); 4 kata ganti
(pronomina); 5 kata keterangan (adverbia); 6 kata bilangan (numeralia); 7 kata
sambung (konjungsi); 8 kata sandang (artikel); 9 kata seru (interjeksi); 10
kata depan (preposisi). Dalam perkembangan terakhir, kesepuluh jenis kata itu
dikelompokkan lagi hingga menjadi lima kelompok. I Verba (Kata Kerja = lahir,
makan, tidur, mandi, pergi, nonton, menyanyi); II Adjektiva (Kata Sifat = baik,
pandai, benar, luhur); III Adverbia (Kata Keterangan = sekarang, tadi, nanti,
besuk, dulu, jauh, dekat, luas); IV Kelompok Kata Benda: 1 Nomina (kata benda /
kata nama = tanah, air, pohon, rumah, Jakarta, Indonesia, Sastro), 2 Pronomina
(Kata Ganti = saya, aku, kamu, dia, nya, mu, mereka, Anda, kami, kita), 3
Numeralia (Kata Bilangan = satu, dua, tiga, sedikit, banyak); V Kelompok Kata
Tugas: 1 Preposisi (Kata Depan = di, ke, dari, pada, sejak, tentang, oleh,
bagi), 2 Konjungtor (Kata Sambung = dan, agar, tetapi, karena, sehingga, kalau,
atau, walaupun, meskipun), 3 Interjeksi (Kata Seru = astaga, wah, huh, hem,
aduh), 4 Artikel (Kata Sandang = para, si, sang), 5 Partikel (lah, kah, pun).
Apakah yang disebut sebagai makna kata?
Makna kata adalah pengertian yang diciptakan oleh satuan bentuk bahasa. Ada
bermacam-macam makna kata. Makna gramatikal (makna berdasarkan hubungan antara
satu kata dengan kata lain, dengan frasa atau klausa); makna leksikal (makna
kata sebagai lambang benda, peristiwa dll); makna lokusi; makna luas; makna
kontekstual; makna konotasi; makna kognitif; makna intensi; makna khusus; makna
emotif (efektif); makna ekstensi; makna detonatif dll.
Apakah yang dimaksud sebagai frasa (frase)?
Frasa adalah kelompok kata yang satu sama lain memiliki keterikatan, namun
tidak berpredikat hingga belum membentuk kalimat. Misalnya: Negara Kesatuan
Rebublik Indonesia; krisis multi dimensi; nilai tukar mata uang asing; mata
pelajaran sejarah; kampanye pemilu legislatif dll. Frasa tersebut baru akan
membentuk kalimat apabila diberi klausa (kelompok kata berpredikat). Misalnya:
Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia; terjadi krisis multi
dimensi; berpedoman pada nilai tukar mata uang asing; mengikuti mata pelajaran
sejarah; menagih janji kampanye pemilu legislatif dll.
Apakah semua kelompok lalimat secara
otomastis akan membentuk frasa? Tidak selalu. Gabungan kelompok kata bisa saja
tidak memiliki makna karena tidak adanya keterikatan. Misalnya: negara dimensi tukar sejarah; kesatuan
krisis nilai mata dll. Selain itu, gabungan kata juga bisa membentuk idiom,
yang maknanya berubah dari makna masing-masing kata yang bergabung. Misalnya
mata gelap = pikirannya kalut; tanah air = negara; kaki lima = trotoar; banting
tulang = bekerja keras.
Apakah yang disebut sebagai diksi? Diksi
atau pilihan kata adalah teknik untuk mempergunakan kata yang paling tepat
untuk memperoleh efek tertentu dalam tulisan. Dalam jurnalisme olahraga
misalnya, diksi banyak sekali dipakai. Misalnya: Ujung tombak kesebelasan
Inggris itu telah menjebol gawang Jerman. Sebagai ganti penyerang, digunakan
idiom ujung tombak. Masuknya bola ke gawang Jerman dilukiskan dengan menjebol.
Diksi menjadi lebih penting lagi dalam memilih kata ganti orang kedua: engkau,
kamu, kalian, situ, Anda, sampeyan, énté, you, jeng, mbak, kak, bang dll.
Menyapa atasan dengan kamu pasti dianggap tidak sopan. Sebaliknya, kalau
seorang sahabat karib tiba-tiba memanggil situ atau Anda, berarti sedang ada
masalah hingga terkesan ada jarak.
Untuk memilih kata yang sangat tepat,
diperlukan banyak pengetahuan tentang warna dan nuansa kata/bahasa. Kata
cantik, ayu, manis, keren, kécé, bening, sehat, ménor, sexy, sensual, full
cream, semlohoi, mengandung warna dan nuansa bahasa yang sangat berlainan.
Cantik, ayu, manis, keren masih tergolong sopan dan netral. Kécé, bening,
sahat, ménor sudah mulai slank. Sexy, sensual, kembali netral. Full cream,
semlohoi, kembali slank. Rumah, gubuk, pondok, griya, graha, gedung, istana,
memiliki makna serupa. Namun, peryataan: “Ya inilah Pak, gubuk saya!”
mengandung makna merendah. Warung, depot makan, kios nasi, rumah makan,
restoran, kafe, coffee shop, memiliki arti yang kurang lebih sama. Namun tampak
ada strata yang menunjukkan kelas tempat menjual makanan dan minuman tersebut.
D.
Kalimat
Apakah yang disebut sebagai kalimat? Kalimat
adalah satuan unsur bahasa, yang terdiri dari minimal dua kata sebagai subyek
dan predikat. Misalnya: Ayam mati. Ayam = subyek (S) dan mati = predikat (P).
Meskipun ada beberapa kata digabungkan, kalau belum ada subyek dan predikat,
belum bisa disebut kalimat. Bisa hanya merupakan frasa, bisa pula bukan frasa bukan pula kalimat.
Misalnya: Pukul duabelas tengah malam. Meskipun ada empat kata, namun empat
kata tersebut baru menunjukkan keterangan waktu (Ket). Belum ada subyek, belum
ada predikat. Ketika ditambah dengan udara sangat dingin, maka terbentuklah
kalimat: Pukul duabelas tengah malam (Ket.), udara (S), sangat dingin (P).
Apakah kalimat hanya memerlukan kata-kata
sebagai subyek dan predikat? Kalimat juga memerlukan obyek (O), pelengkap (Pel)
dan keterangan (Ket). Tukang kebun (S) menyiram (P) tanaman (O) dengan air
sungai (Pel) pada musim kemarau (Ket). Kalimat ini lengkap dengan pola S – P –
O – Pel – Ket. Pola lain adalah S – P – O – Pel (Tukang kebun menyiram tanaman
dengan air sungai = tanpa keterangan); S – P – O – Ket (Tukang kebun menyiram
tanaman pada musim kemarau = tanpa pelengkap); S – P – Ket (Tukang kebun
menyiram pada musim kemarau = tanpa obyek, tanpa pelengkap); S – P – Pel
(Tukang kebun menyiram dengan air sungai = tanpa obyek, tanpa keterangan); S –
P – O (Tukang kebun menyiram tanaman = tanpa pelengkap, tanpa keterangan); S –
P (Tukang kebun menyiram = tanpa obyek, tanpa pelengkap, tanpa keterangan).
Apakah dalam semua kalimat subyek harus
selalu ditulis di depan predikat? Tidak harus. Kalimat yang subyeknya di depat
seperti contoh tadi, merupakan kalimat aktif (subyeknya melakukan pekerjaan).
Namun bisa saja predikatnya ditulis di depan, baru kemudian subyeknya.
Misalnya: Pada musim kemarau (Ket) disiramnya (P) tanaman itu (S) dengan air
sungai (O) oleh tukang kebun (Pel). Kalimat demikian disebut sebagai kalimat
pasif. Sebab subyeknya (tanaman) tidak melakukan pekerjaan.
Apakah yang disebut sebagai kalimat tunggal
dan kalimat majemuk? Kalimat tunggal hanya terdiri dari satu subyek dan satu
predikat. Orang-orang (S) sedang (Ket) berangkat bekerja (P). Kalimat majemuk
punya lebih dari satu subyek dan satu predikat. Orang-orang (S) sedang (Ket)
berangkat bekerja (P), ketika tiba-tiba (Ket) hujan badai (S) merobohkan (P)
pohon-pohon dan bangunan (O) di seluruh kota (Pel). Ini merupakan kalimat
majemuk bertingkat. Kalimat majemuk setara adalah: Orang-orang (P) mulai (Ket)
berangkat bekerja (P) lalu bus-bus itu (S) datang menjemput (P) mereka (O).
Apa sajakah fungsi kalimat? Kalimat bisa
berfungsi sebagai penyampai berita (kalimat berita): Presiden baru (S) telah
terpilih (P) oleh rakyat (O) dengan suara mutlak (Pel) bulan ini (Ket). Bisa
pula sebagai penyampai pernyataan (kalimat deklaratif: Bulan ini (Ket) rakyat
(S) telah memilih (P) saya (O) sebagai presiden (Pel) dengan suara mutlak
(Ket). Sebagai penyampai pertanyaan (kalimat tanya): Bulan ini (Ket) siapa (S)
akan terpilih sebagai presiden (P) oleh rakyat (O) dengan suara mutlak (Pel)?
Sebagai penyampai perintah (kalimat perintah): Pilihlah (P) saya (S) sebagai
presiden (O) dengan suara mutlak (Pel) bulan ini (Ket).
Apakah benar hanya kalimat dalam bahasa
jurnalistik yang harus singkat, padat dan mudah dimengerti? Semua ragam bahasa
serius (jurnalistik; ilmiah (perguruan tinggi, lembaga penelitian); hukum;
perdagangan; sastra dll. harus singkat, padat dan mudah dimengerti. Namun di
lain pihak, pemadatan dan penyingkatan tersebut tidak boleh mengorbankan segi
kelengkapan dan keakuratan informasi yang akan disampaikan. Hingga tidak benar
anggapan bahwa hanya bahasa jurnalistiklah yang harus singkat, padat dan mudah
dimengerti, sementara bahasa ilmiah, hukum dan sastra boleh bertele-tele dan
sulit dimengerti.
Bagaimanakah kalau kalimat terlalu panjang,
kurang lengkap, salah pemilihan kata, salah penyusunan logikanya dll? Seorang
penulis harus membaca ulang seluruh hasil karya yang baru saja deselesaikannya,
sambil memperbaiki kesalahan dan melengkapi bagian-bagian yang masih kurang
lengkap. Di perusahaan
penerbitan media massa, tugas memperbaiki dan melengkapi tulisan ini ada pada
redaktur, editor dan korektor.
E. Paragraf (Alinea)
Apakah yang
dimaksud sebagai paragraf atau alinea dalam sebuah tulisan? Paragraf atau alinea
adalah kepala kalimat, yang didukung oleh beberapa kalimat lain hingga
membentuk satu pengertian (pokok pikiran) yang utuh. Misalnya:
Baru setelah 59 tahun merdeka, rakyat Indonesia bisa memilih presiden secara langsung. Pada tahun 1945, Ir. Soekarno, terpilih secara aklamasi oleh para anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), sebagai presiden pertama RI. Letjen. Soeharto, diangkat sebagai pejabat presiden oleh MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara), pada tahun 1967. Selanjutnya sebanyak enam kali, Soeharto dipilih menjadi presiden oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Ketika Soeharto “lengser”, Wakil Presiden (Wapres) B.J. Habibie, dilantik menjadi Presiden RI ketiga. MPR hasil Pemilu 1999, memilih K.H. Abdurachman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden RI keempat melalui voting. Tahun 2001 Gus Dur dilengserkan oleh Sidang Istimewa (SI) MPR. dan Wapres Megawati menjadi presiden RI kelima. Setelah UUD 1945 diamandemen, baru tahun 2004 ini rakyat bisa memilih presiden mereka secara langsung.
Baru setelah 59 tahun merdeka, rakyat Indonesia bisa memilih presiden secara langsung. Pada tahun 1945, Ir. Soekarno, terpilih secara aklamasi oleh para anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), sebagai presiden pertama RI. Letjen. Soeharto, diangkat sebagai pejabat presiden oleh MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara), pada tahun 1967. Selanjutnya sebanyak enam kali, Soeharto dipilih menjadi presiden oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Ketika Soeharto “lengser”, Wakil Presiden (Wapres) B.J. Habibie, dilantik menjadi Presiden RI ketiga. MPR hasil Pemilu 1999, memilih K.H. Abdurachman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden RI keempat melalui voting. Tahun 2001 Gus Dur dilengserkan oleh Sidang Istimewa (SI) MPR. dan Wapres Megawati menjadi presiden RI kelima. Setelah UUD 1945 diamandemen, baru tahun 2004 ini rakyat bisa memilih presiden mereka secara langsung.
Apakah yang disebut sebagai kepala kalimat?
Kepala kalimat adalah kalimat yang mengandung pengertian (pokok pikiran) utama
(paling penting), namun masih memerlukan dukungan pengertian dari
kalimat-kalimat selanjutnya. Kepala kalimat disebut pula kalimat utama atau
kalimat pokok. Pada contoh di atas, Setelah hampir 60 tahun merdeka, baru kali
ini rakyat Indonesia berkesempatan untuk memilih presiden secara langsung,
merupakan kepala kalimat. Kalimat-kalimat selanjutnya berisi informasi yang
mendukung pokok pikiran dalam kepala kalimat. Kalimat terakhir merupakan
peneguhan pengertian yang terkandung dalam kepala kalimat. Hingga alinea ini
bersifat deduktif – induktif.
Apakah kepala kalimat harus diletakkan
paling depan sebelum kalimat-kalimat pendukungnya? Letak kepala kalimat, tidak
harus di depan (menjadi awal alinea). Kalau kepala kalimat diletakkan paling
depan, maka alinea tersebut akan bersifat deduktif. Artinya diawali dengan
pernyataan umum, baru disusul dengan rincian penjelasan yang sifatnya khusus.
Kalau kepala kalimat ditaruh di belakang, maka alinea tersebut akan bersifat
induktif. Uraian penjelasan khusus ditampilkan terlebih dahulu, baru kemudian
diakhiri dengan pernyataan yang sifatnya umum. Namun bisa pula dalam satu
alinea, masing-masing kalimat saling mendukung sama kuatnya hingga sulit
menentukan mana yang paling penting dan menjadi kepala kalimat. Alinea demikian
biasanya bersifat naratif atau deskriptif. Misalnya:
Tahun 1945, bangsa
Indonesia memproklamirkan diri dan lepas dari penjajahan. Pada waktu itulah Ir. Soekarno
terpilih sebagai presiden RI pertama. Setelah Konstituante hasil Pemilu 1955
gagal membentuk konstitusi, tahun 1959 Soekarno mengeluarkan Dekrit untuk
kembali ke UUD 1945. Sejak itulah kekuasaan Soekarno sebagai Pemimpin Besar
Revolusi menjadi tanpa batas. Tahun 1965 terjadi pergolakan politik yang
populer dengan sebutan G. 30 S. Kekuasaan Ir. Soekarno pelan-pelan menyusut.
Pada tahun 1967, MPRS mengadakan Sidang Istimewa, yang mencabut kekuasaan Ir.
Soekarno dan mengangkat Letjen. Soeharto sebagai Penjabat Presiden RI. Selama
32 tahun Soeharto dengan Orde Baru dan Golkarnya berkuasa di negeri ini. Sampai
pada tahun 1997, kembali krisis ekonomi melanda. Krisis ekonomi ini berkembang
menjadi krisis politik yang menyebabkan jatuhnya pemerintahan Soeharto.
Berturut-turut kita punya presiden B.J. Habibie, Gus Dur dan Megawati hanya
dalam kurun waktu dari 1998 sd. 2004. Dan baru dalam Pemilu tahun 2004, rakyat
Indonesia punya lima calon presiden, serta bisa memilihnya secara langsung.
Bolehkan
dalam satu paragraf masing-masing kalimatnya memiliki pengertian
sendiri-sendiri? Tidak boleh. Sebab paragraf tersebut tidak akan menjadi satu
kesatuan yang utuh, yang hanya memuat satu pokok pikiran (pengertian). Meskipun
sebagai bacaan, paragraf tersebut tetap enak untuk dibaca. Misalnya:
Baru setelah 59 tahun merdeka, rakyat Indonesia bisa memilih presiden
secara langsung. Ir. Soekarno, presiden pertama RI, termasuk pribadi yang
terkenal sebagai playboy. Tercatat istri resminya berjumlah belasan. Jenderal
Besar Soeharto, meskipun hanya berpendidikan formal SMP, namun mampu berkuasa
sampai 32 tahun lamanya. B.J. Habibie, Presiden RI ketiga, hanya sempat
berkuasa sekitar 1,5 tahun dan sempat membuat Timor Timur lepas dari pangkuan
RI. Hasil Pemilu 1999, sebenarnya dimenangkan oleh PDIP, partainya Megawati.
Namun MPR justru memilih K.H. Abdurachman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden RI
keempat melalui voting. Ternyata Gus Dur juga sulit untuk mempertahankan
kursinya, karena penglihatannya yang bermasalah dan banyak jalan-jalan keluar
negeri. Tahun 2004 rakyat Indonesia bisa beruntung karena sekaligus punya lima
Capres/Cawapres, Termasuk Megawati yang sejak tahun 2001 menjadi presiden RI
kelima menggantikan Gusdur.
Berapakah
idealnya jumlah kalimat dalam satu alinea? Idealnya, dalam satu alinea hanya
termuat lima sampai dengan 10 kalimat. Baik kalimat majemuk maupun kalimat
tunggal. Jumlah karakter dalam satu alinea antara 500 sampai dengan 1.000
karakter (with spaces). Pengetikan dengan Ms. Word,
Times New Roman 12 point, dalam satu paragraf idealnya terdiri dari 7 sampai 12
baris. Lebih panjang dari 10 kalimat, 1.000 karakter, 12 baris, orang akan
capek membacanya.
Bagaimanakah hubungan antara satu alinea
dengan alinea yang lain? Sama dengan kepala kalimat yang memerlukan dukungan
dari kalimat-kalimat selanjutnya, maka alinea pun ada yang disebut sebagai
kepala alinea (lead, kepala berita). Kepala alinea ini mengandung pokok pikiran
utama, yang memerlukan dukungan dari alinea-alinea selanjutnya. Misalnya,
alinea contoh di atas (tentang rakyat memilih presiden langsung), dianggap
sebagai kepala alinea. Maka alinea selanjutnya wajib mendukung pokok pengertian
tersebut dengan: Satu alinea menceritakan sudah berapa presiden yang dipilih
rakyat AS dari tahun 1945 sd. 2004 ini? Alinea berikutnya, menyorot lima
Capres/Cawapres, prediksi perolehan suara, bagaimana mereka berkampanye dll.
Dalam dunia jurnalistik, kepala alinea, yang selalu berada paling depan,
disebut sebagai lead. Fungsi lead adalah membuat pembaca bisa “terseret” masuk
ke dalam seluruh tulisan tersebut tanpa bisa berhenti. Karenanya, lead menjadi
faktor yang sangat penting dalam dunia jurnalistik.
Disebut apakah alinea-alinea berikutnya
setelah alinea yang berfungsi sebagai lead? Alinea selanjutnya disebut sebagai
body. Sifat alinea dalam body ini bisa deduktif, induktif, deduktif – induktif,
naratif atau diskriptif, sangat tergantung dari bentuk tulisannya. Dalam
artikel, sifat deduktif – induktif dan argumentatif pada alinea, lebih lazim
digunakan. Sementara dalam feature, sifat naratif dan deskriptif pada alinea
lebih cocok untuk digunakan. Selain itu, kita juga masih bisa memanfaatkan
sifat-sifat lain dalam alinea. Misalnya argumentatif, persuasif, ekspositoris,
definitif, klasifikatif, provokatif dll. Alinea paling akhir, biasanya bersifat
ending yang salah satu kalimatnya mengulang pokok pikiran yang disampaikan
dalam lead.
F.
Bentuk Penyampaian
Apakah yang dimaksud dengan bentuk
penyampaian dalam bahasa jurnalistik? Bentuk penyampaian dalam bahasa
jurnalistik, sebenarnya sama saja dengan karya sastra, karya ilmiah, laporan
kesehatan pasien, tuntutan hukum untuk terdakwa dll. Secara garis besar bentuk
penyampaian bahasa tulis adalah: naratif, deskriptif, ekspositoris,
argumentatif, persuasif, konfrontatif, agitatif dll.
Bagaimanakah menyampaikan gagasan tertulis
dalam bentuk naratif? Naratif adalah bentuk bercerita biasa. Dalam sebuah
cerita diperlukan adanya plot atau alur cerita, tokoh (subyek), kronologi (waktu)
dan latar (seting = ruang). Meskipun pelukisan subyek dan latar pasti
menggunakan metode penulisan deskriptif, namun dalam bangun naratif yang paling
diutamakan adalah alur cerita. Contohnya:
Pagi itu pukul 07.00, Mas Yono masih santai di rumahnya di bilangan Cimanggis, Kota Depok. Biasanya pada jam-jam ini dia sudah pulang dari pasar Cisalak sambil memanggul karung berisi daging kambing. Sehari-hari Mas Yono berjualan sate, gule dan tongseng kambing di jalan Mekarsari Raya. Tetapi hari ini dia bisa santai. Meskipun itu juga berarti dia tidak akan memperoleh penghasilan selama sehari. Tetapi apa boleh buat. Hari ini, Senin 5 Juli 2004 adalah hari Pemilu Presiden. Untuk pertamakalinya Mas Yono akan bisa memilih presidennya secara langsung, tidak diwakili oleh para anggota MPR. Maka tidak seperti biasanya, kali ini dia mengenakan celana panjang hitam, sepatu dan baju batik. Istrinya pun juga mengenakan rok terusan dengan motif kembang-kembang. Pukul 7.30, Mas Yono dan istrinya berangkat ke TPS untuk menentukan pilihannya. Meskipun dia sudah punya pilihan mantap, namun tidak pernah nama Capres pilihannya ini diceritakan ke orang lain. Bahkan istrinya sendiri pun sama sekali tidak tahu, siapa yang pagi ini akan ditusuk oleh Mas Yono. Dst.
Bentuk narasi demikian, cocok untuk digunakan dalam penulisan feature dan reportase. Tidak cocok untuk menulis artikel atau berita (news). Meskipun dalam satu tulisan, tidak pernah seorang penulis hanya menggunakan satu metode. Biasanya narasi, deskripsi, argumentasi, persuasi dll. semua dimanfaatkan hingga feature atau artikel yang ditulis menjadi menarik.
Pagi itu pukul 07.00, Mas Yono masih santai di rumahnya di bilangan Cimanggis, Kota Depok. Biasanya pada jam-jam ini dia sudah pulang dari pasar Cisalak sambil memanggul karung berisi daging kambing. Sehari-hari Mas Yono berjualan sate, gule dan tongseng kambing di jalan Mekarsari Raya. Tetapi hari ini dia bisa santai. Meskipun itu juga berarti dia tidak akan memperoleh penghasilan selama sehari. Tetapi apa boleh buat. Hari ini, Senin 5 Juli 2004 adalah hari Pemilu Presiden. Untuk pertamakalinya Mas Yono akan bisa memilih presidennya secara langsung, tidak diwakili oleh para anggota MPR. Maka tidak seperti biasanya, kali ini dia mengenakan celana panjang hitam, sepatu dan baju batik. Istrinya pun juga mengenakan rok terusan dengan motif kembang-kembang. Pukul 7.30, Mas Yono dan istrinya berangkat ke TPS untuk menentukan pilihannya. Meskipun dia sudah punya pilihan mantap, namun tidak pernah nama Capres pilihannya ini diceritakan ke orang lain. Bahkan istrinya sendiri pun sama sekali tidak tahu, siapa yang pagi ini akan ditusuk oleh Mas Yono. Dst.
Bentuk narasi demikian, cocok untuk digunakan dalam penulisan feature dan reportase. Tidak cocok untuk menulis artikel atau berita (news). Meskipun dalam satu tulisan, tidak pernah seorang penulis hanya menggunakan satu metode. Biasanya narasi, deskripsi, argumentasi, persuasi dll. semua dimanfaatkan hingga feature atau artikel yang ditulis menjadi menarik.
Bagaimanakah bentuk tulisan deskriptif dalam
dunia jurnalistik? Tulisan berbentuk deskriptif memberi gambaran detil secara
faktual terhadap obyek, peristiwa, suasana dan latar dari materi yang ditulis.
Penulisan deskriptif memerlukan kerja pengamatan lapang yang sangat cermat
dengan pencatatan secara detil. Tujuan penulisan deskriptif adalah, agar
pembaca bisa benar-benar berimajinasi tentang keseluruhan materi yang ditulis.
Contoh tulisan deskriptif.
Tanah lapang di
tengah-tengah komplek perumahan Mekarsari itu dikelilingi oleh jajaran pohon
palem raja yang menjulang setinggi 15 m. Di bawah batang-batang palem raja yang
membengkak bagian pangkalnya itu, bermekaran bunga-bunga helikonia warna-warni.
Mulai dari kuning, merah dan pink. Luas tanah lapang sekitar 5.000 m² dan
diapit oleh jalan raya di keempat sisinya. Di atas hamparan rumput hijau itulah
bilik-bilik TPS dibangun. Kerangkanya dari kaso dengan atap dan dinding triplek
yang dicat putih. Mungkin penggunaan cat putih ini disengaja, sebab penggunaan
warna-warna lain, misalnya merah, kuning, hijau dan biru, dikhawatirkan akan
dianggap “kampanye” dari salah satu parpol peserta Pemilu 2004. Di depan
bilik-bilik itu ada deretan meja panitia, patok dan tali-tali yang direntangkan
sebagai alur pemilih yang akan antre. Sebuah tenda parasut dibentangkan dengan
sebuat tiang panjang dan tali-temalinya. Di bawah tenda darurat itulah Mas Yono
dan tetangga-tetangganya satu RW duduk tertib menunggu giliran untuk dipanggil
petugas.
Deskripsi dalam tulisan jurnalistik, tidak
boleh imanjinatif (berdasarkan khayalan), hingga tidak sesuai dengan kondisi
riil di lapangan. Gambaran deskriptif hasil imajinasi, hanya dibenarkan dalam
tulisan fiksi (puisi, cerpen, novel, naskah drama, skenario film/sinetron dll).
Dalam feature, reportase atau news, gambaran deskriptif latar, suasana tokoh,
dan peristiwanya, mutlak harus sesuai dengan kondisi faktual di lapangan.
Bagaimanakah bentuk-bentuk penyampaian lain
dalam tulisan jurnalistik? Bentuk ekspositoris (dari eksposisi = memamerkan,
memaparkan), banyak dimanfaatkan dalam menulis artikel atau opini. Ekspositoris
memang paling tepat untuk menyampaikan gagasan atau konsep pemikiran. Bentuk
ekspositoris kurang cocok untuk menulis feature, reportase dan news. Kecuali
interpreted/interpretative news. Bentuk argumentatif biasanya banyak
dimanfaatkan untuk memperkuat dan mempertahankan sebuah konsep atau pendapat. Biasanya bentuk ini juga
dimanfaatkan dalam artikel, opini atau esai. Argumentasi yang disampaikan,
harus tetap berdasarkan pada data dan fakta riil di lapangan. Baik dara primer
maupun data sekunder. Bentuk persuasif (ajakan, bujukan), biasanya banyak
dimanfaatkan oleh para penulis copy iklan dalam dunia advertising. Namun bentuk
persuasif juga bisa digunakan oleh para penulis artikel, opini, esai dan
interpreted dan interpretative news. Tujuannya terutama untuk menindaklanjuti
argumentasi yang telah disampaikan.
Bentuk
penyampaian agitatif dan konfrontatif, biasanya banyak dimanfaatkan oleh
koran-koran atau tabloid yang mengandalkan gosip politik, selebritis dan para
publik figur lainnya. Bentuk tulisan demikian biasanya akan banyak bermunculan
pada saat menjelang Pemilu (saat kampanye) atau ketika ada pergolakan politik.
Sebab meskipun media massa seharusnya bersifat netral, namun dalam praktek
sangat sulit bagi individu dan institusi tersebut untuk tidak memihak. Ketika AS menyerbu Afganistan dan kemudian Irak, stasiun tivi CNN
jelas sangat memihak kepentingan pemerntah AS. Hingga pada saat itu tayangan tivi Al Jazera
menjadi alternatif yang cukup menarik. Sebenarnya masih banyak bentuk-bentuk
penyampaian dalam tulisan jurnalistik. Sebab selain bahasa selalu berkembang,
ilmu jurnalistik pun juga ikut pula berkembang sesuai dengan perkembangan
pembacanya.
Apakah dalam
satu alinea atau tulisan, hanya boleh digunakan satu bentuk penyampaian? Tidak
benar. Sebab dalam satu alinea, kita bisa mengkombinasikan bentuk narasi
(menceritakan suatu peristiwa/fakta) dengan satu dua kalimat. Disusul dengan
satu dua kalimat ekspositoris (pemaparan gagasan), dilanjutkan dengan kalimat
argumentatif, lalu ditutup menggunakan kalimat persuasif, agitatif atau
konfrontatif. Misalnya:
Kemarin (hari…..tanggal……); KPU telah menetapkan lima pasangan Capres
dan Cawapres. Mereka adalah (nama-nama………). Seperti sudah diduga banyak pihak,
Gus Dur tergusur sebagai Capres untuk Pemilu Presiden 5 Juli nanti. (kalimat
naratif). Kita tahu bahwa UUD kita yang telah diamandemen, sama sekali tidak
menyebutkan bahwa seseorang yang penglihatannya terganggu tidak boleh
mencalonkan dirinya menjadi presiden. Itulah yang mencadi acuan Gus Dur, untuk
terus memperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara. Ini semua dilakukan bukan
karena ambisi pribadi, melainkan demi tegaknya demokrasi. Dst. (kalimat
ekspositoris). Namun KPU bukan tanpa pertimbangan dalam menggugurkan Gus Dur
sebagai Capres dari PKB. Dst. (uraian argumentatif). Karenanya, KPU juga akan
tetap berpegang pada UU yang ada, dan mengajak semua pihak untuk tetap
berpikiran jernih demi tegaknya demokrasi. (kalimat persuasif). Namun KPU tidak
akan gentar menghadapi tuntutan atau intimidasi dari pihak manapun. Bahkan
anggota KPU (nama……….), mengatakan tidak takut terhadap berbagai ancaman dalam
bentuk apa pun. (konfrontatif). Dalam pertemuannya dengan pers hari ini,
anggota KPU (nama………..) bahkan dengan berapi-api menyerukan kepada masyarakat,
agar tidak takut pada teror atau ancaman dari pihak mana pun (agitatif).
Kalimat-kalimat
dalam alinea tersebut memiliki bentuk penyampaian yang berlainan, sesuai dengan
efektifitas yang hendak dicapai. Dalam satu tulisan pun, alinea-alinea yang ada
juga bebas untuk mengambil bentuk penyampaian sesuai dengan fungsi alinea
tersebut. apakah sebagai lead, body (misalnya 12 alinea dalam tiga sub judul)
atau dalam ending. Tidak pernah ada pedoman baku, bagaimanakah komposisi
bentuk-bentuk penyampaian itu akan disusun untuk mencapai efek tertentu dalam
sebuah tulisan. Sebab semua sangat tergantung dari keterampilan si penulis
sendiri. Hanya dengan banyak latihanlah seorang penulis akan memahami, bentuk
penyampaian mana yang paling tepat digunakan dalam satu kalimat atau alinea,
agar informasi yang ingin disampaikan ke pembaca bisa sampai dengan selamat dan
lancar.
Referensi
Ermanto, 2005, Wawasan
Jurnalistik Praktis, Yogyakarta: Cinta Pena.
F. Rahardi, 2005, Panduan
Lengkap Menulis Artikel, Feature, dan Esai untuk Pemula, Handout tidak diterbitkan.
Made Pramono, 2011, E-learning jurnalistik olahraga: http://ilmu.unesa.ac.id
Pape, Susan &
Featherstone, Sue, 2005, Newspaper
Journalism: A Practical Introduction, London: SAGE Publications Ltd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar