09 Maret 2014

Seri Jurnalistik 7: MENGENAL BAHASA JURNALISTIK



A. Ragam Bahasa Indonesia
Apakah yang disebut sebagai bahasa jurnalistik? Bahasa Jurnalistik adalah ragam bahasa yang dipergunakan oleh dunia persurat-kabaran (dunia pers = media massa cetak). Dalam perkembangan lebih lanjut, bahasa jurnalistik adalah bahasa yang dipergunakan oleh seluruh media massa. Termasuk media massa audio (radio), audio visual (televisi) dan multi media (internet). Hingga bahasa jurnalistik adalah salah satu ragam bahasa, yang dibentuk karena spesifikasi materi yang disampaikannya.
Apakah ada ragam bahasa lain? Ragam bahasa dibedakan sesuai dengan cara penyampaiannya, yakni ragam bahasa lisan (percakapan sehari-hari) dan tulis (surat kabar, buku, surat menyurat, penulisan undang-undang dll). Ragam bahasa juga dibedakan karena spesifikasi pelaku dan suasana penyampaiannya. Yakni ragam bahasa baku (bahasa resmi/formal) dan non baku (remaja, slank, dialek dll). Terakhir, ragam bahasa juga bisa dibedakan karena spesifikasi materi yang disampaikannya (bahasa hukum, kedokteran, militer, pertanian, dagang, jurnalistik dll). Jadi, bahasa jurnalistik termasuk katagori ragam bahasa tulis, baku maupun non baku).
Apakah ada ragam bahasa ilmiah, ilmiah populer dan bahasa populer? Tidak ada. Sebab arti kata ilmiah adalah memenuhi kaidah ilmu pengetahuan. Sementara populer (populis) berarti dikenal oleh masyarakat luas. Tulisan ilmiah, bisa saja sekaligus sangat populer. Teori Relativitas Einstein misalnya, sangat ilmiah tetapi sekaligus juga sangat populer. Demikian pula halnya dengan teori Big Bangnya Stephen Hawking. Sebaliknya, tulisan yang tidak ilmiah, juga belum tentu menjadi populer. Banyak tulisan di media massa cetak yang sangat tidak ilmiah, misalnya cerita tentang hantu, gosip artis, dll. ternyata tidak sepopuler ulasan ilmiah berupa analisis ekonomi, keuangan, politik dll. yang ditulis oleh para pakar di media yang sama.
Bukankah yang dimaksud sebagai populer adalah, karena sebuah tulisan mudah dimengerti oleh masyarakat luas? Pengertian ini pun tidak benar. Sebuah tulisan akan mudah dimengerti orang banyak, kalau penulisnya terampil menggunakan bahasa Indonesia ragam tulis. Bukan karena penulisnya menggunakan teknik menulis populer. Sebab teknik menulis populer, sebenarnya tidak pernah ada. Tulisan Prof. Mubyarto dari UGM tentang Ekonomi Pertanian misalnya, jelas sangat ilmiah. Namun tulisan tersebut mudah sekali dicerna oleh kalangan awam, karena Mubyarto terampil menggunakan Bahasa Indonesia ragam tulis. Demikian pula halnya dengan tulisan ilmiah Prof. Andi Hakim Nasution dari IPB, Prof. Bambang Hidayat dari ITB dan Prof. Fuad Hasan dari UI. Semua profesor tadi tetap menghasilkan tulisan ilmiah, namun juga tetap mudah dicerna oleh kalangan awam, karena tingkat keterampilan menulis mereka yang tinggi. Bukan karena tulisan tersebut bernama ilmiah populer. Sementara tulisan para wartawan baru (yang baru belajar menulis) di media massa yang cukup ternama pun, seringkali sulit untuk dimengerti oleh pembacanya karena ia belum terampil menulis. Karenanya, pengkategorian bahasa menjadi ilmiah, ilmiah populer dan populer adalah sesuatu yang salah kaprah. Sesuatu yang salah, tetapi dimengerti sebagai kebenaran oleh masyarakat banyak.
Apakah benar bahwa ragam bahasa jurnalistik termasuk non baku (populer)?
Tidak benar. Sebab sebagian besar tulisan di koran terkemuka, menggunakan ragam bahasa baku. Namun tulisan pada rubrik remaja di koran yang sama bisa menggunakan ragam bahasa non baku. Di televisi, ragam bahasanya bisa lebih variatif. Warta berita akan menggunakan ragam bahasa baku (bahasa tulis yang dilisankan = dibaca).
Bahasa pada acara sinetron remaja, pasti menggunakan ragam non baku (bahasa gaul).
Apakah ragam bahasa baku lebih baik dan benar dibanding dengan ragam bahasa non baku? Tidak benar. Bahasa yang baik dan benar adalah yang komunikatif (mudah dipahami). Bahasa menjadi tidak baik dan tidak benar kalau digunakan oleh dan untuk kalangan yang tidak cocok, dalam suasana yang tidak cocok dan untuk membahas materi yang tidak cocok pula. Misalnya, bahasa Indonesia dialek Tegal, Madura atau Batak, baik dan benar kalau digunakan oleh para pelawak, dalam acara lawak untuk lucu-lucuan. Tetapi akan menjadi tidak baik dan tidak benar kalau digunakan oleh guru besar, pejabat pemerintah, hakim dll. dalam acara formal untuk membahas permasalahan yang juga formal. Anak-anak SMU yang berbicara dengan bahasa gaul dengan sesama teman mereka, adalah baik dan benar. Tetapi akan menjadi tidak baik dan tidak benar kalau bahasa tersebut digunakan untuk membuat karya tulis yang merupakan tugas dari sekolah.
Apakah bahasa jurnalistik lebih populer (lebih mudah dipahami) dibanding dengan bahasa dalam karya sastra? Tidak benar. Bahasa dalam karya sastra yang baik, juga sangat mudah dipahami bahkan sangat enak dibaca. Yang benar, karya jurnalistik ada yang mudah dipahami (enak dibaca) dan ada pula yang sulit dipahami. Karya sastra pun demikian. Tulisan Pramudya, Rendra, Putu Wijaya dan Arswendo, sangat mudah dipahami dan enak dibaca. Sementara ada beberapa sasterawan yang karyanya memang sulit dibaca dan dipahami.

B. Ejaan
Apakah yang dimaksud dengan ejaan? Ejaan adalah tatacara penulisan huruf, kata, kalimat, tanda baca, berikut pemenggalan dan penggabungannya dalam suatu bahasa.
Mengapa ejaan diperlukan dalam bahasa tulis dan bukan dalam bahasa lisan? Karena dalam bahasa lisan, proses komunikasi akan terbantu oleh warna suara (garang, lemah-lembut), intonasi (keras, pelan), frekuensi (cepat, lambat); mimik pembicara (sedih, gembira); gerak tubuh dan keseluruhan suasana saat peristiwa bahasa dilangsungkan. Hingga dengan kalimat tidak sempurna pun, komunikasi bisa berlangsung dengan baik dalam ragam bahasa lisan. Misalnya, dua orang sahabat di suatu kantor, pada jam 12.00 bertemu di lorong toilet. Salah seorang mengatakan: Makan. Lalu yang seorang lagi menjawab: Ayo. Komunikasi hanya dengan dua kata itu sudah bisa berlangsung dengan baik, dan dua orang sahabat itu lalu berjalan ke kantin untuk makan siang. Tetapi dalam bahasa tulis, kata makan dan ayo tersebut tidak punya arti apa pun, kecuali sebelumnya diawali dengan narasi tentang: keberadaan dua orang sahabat di suatu kantor, pada saat menjelang jam makan siang, di sebuah lorong dekat toilet. Meskipun sudah diawali dengan narasi demikian, tetap diperlukan penulisan dengan huruf besar/kecil, tanda tanya, tanda seru, titik, koma dll. terhadap kata makan dan ayo, yang kesemuanya diatur dalam penggunaan ejaan.
Apakah Bahasa Indonesia juga punya ejaan? Bahasa Indonesia yang berasal dari Ragam Bahasa Melayu, pernah punya ejaan Van Ophuijsen, yang dipergunakan sejak Sumpah Pemuda sampai dengan tahun 1947. Peninggalan ejaan Van Ophuijsen yang sampai sekarang masih diingat masyarakat adalah, penulisan u dengan oe. Hingga Sumpah Pemuda ditulis sebagai Soempah Pemoeda. Dari tahun 1947 sampai dengan tahun 1972, Bahasa Indonesia menggunakan Ejaan Soewandi. Dari ejaan Soewandi, yang masih diingat oleh masyarakat adalah penulisan c dengan tj; ny dengan nj dan j dengan dj. Dari tahun 1972 sampai sekarang dipergunakan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Apakah bahasa jurnalistik mutlak harus patuh pada EYD? Tidak harus. Hanya bahasa jurnalistik pada media massa yang bersifat formal, untuk menyampaikan fakta, data (berita) dan pendapat (opini) yang bersifat formal pula yang mutlak harus patuh pada EYD. Misalnya koran atau majalah nasional yang dibaca oleh seluruh penduduk Indonesia dan memberitakan atau menulis tentang masalah perekonomian, politik, sosial dan budaya yang bersifat nasional bahkan internasional, mutlak harus patuh pada EYD.
Jenis tulisan dan media massa manakah yang boleh tidak patuh pada EYD? Tulisan di majalah remaja, tabloid olah raga dll. penerbitan khusus (bulletin/jurnal intern) dll, bisa saja melanggar kaidah EYD, dengan maksud agar lebih menarik dan lebih dipahami oleh target pembacanya. Ragam bahasa remaja malahan cenderung memberontak bukan hanya terhadap ejaan, tetapi juga keseluruhan kaidah Bahasa Indonesia. Penggunaan pesan-pesan singkat (SMS) melalui telepon genggam (HP), juga sangat potensial merusak ejaan dan seluruh kaidah bahasa. Demikian pula dengan bahasa yang digunakan dalam chating melalui internet.
Di manakah kita bisa memperoleh pedoman penulisan sesuai dengan EYD? Pedoman penulisan dengan kaidah EYD, bisa kita dapatkan dari buku-buku pedoman berbahasa Indonesia yang banyak dijual di toko-toko buku. Bisa pula diperoleh di Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, di jalan Daksinapati, Rawamangun, Jakarta.

C. Kata
Apakah yang dimaksud sebagai kata? Kata adalah unsur bahasa yang diucapkan, dituliskan atau diperagakan, untuk mewujudkan satu kesatuan pengertian. Unsur dalam kata adalah fonem dan morfem.
Apakah yang disebut sebagai fonem? Fonem adalah satuan bunyi terkecil, baik konsonan maupun vokal, yang mampu menciptakan perbedaan pengertian suatu kata. Fonem dari huruf konsonan yang berbeda, lebih mudah dipahami daripada fonem dari huruf vokal yang sama. Fonem dari huruf konsonan berbeda misalnya: cari (cé); dari (dé); hari (ha); jari (jé); lari (èl); tari (té). Fonem dari huruf vokal yang sama antara lain: kere (kéré = pengemis) dan kere (keré = tirai); seret (seret = tidak lancar) dan seret (sèrèt = menarik paksa); keset (keset = tidak licin) dan keset (kèsèt = anyaman sabut dll. pembersih sepatu); ter (ter = paling) dan ter (tèr = cat hitam); nek (nek = mual) dan nek (nèk = panggilan untuk nènèk); per (per = tiap) dan per (pèr = pegas) dll. Hingga nama kota Purwokerto (Jateng) dan Probolinggo (Jatim) ditulis dengan fenem o, agar masyarakat tidak dibingungkan dengan nama kota Purwakarta (Jabar) dan Purbalingga (Jateng).
Apakah yang disebut sebagai morfem? Morfem adalah satuan bentuk bahasa terkecil yang mengandung satu atau beberapa arti yang tidak berubah-ubah. Ada morfem bebas yang memiliki arti sendiri dalam satu kalimat. Misalnya mandi, tidur, sakit, bangku, langit dll. Ada morfem terikat, yakni morfem yang tidak bisa memiliki arti sendiri dalam sebuah kalimat. Misalnya awalan, sisipan, akhiran dan partikel lain (lah, kah, pun); yang baru akan memiliki makna apabila digabung dengan morfem lain.
Ada berapakah jenis kata dalam Bahasa Indonesia? Selama ini Bahasa Indonesia, sebagaimana bahasa modern lain di dunia, mengenal 10 jenis kata, yakni 1 kata benda (nomina); 2 kata kerja (verba); 3 kata sifat (adjektiva); 4 kata ganti (pronomina); 5 kata keterangan (adverbia); 6 kata bilangan (numeralia); 7 kata sambung (konjungsi); 8 kata sandang (artikel); 9 kata seru (interjeksi); 10 kata depan (preposisi). Dalam perkembangan terakhir, kesepuluh jenis kata itu dikelompokkan lagi hingga menjadi lima kelompok. I Verba (Kata Kerja = lahir, makan, tidur, mandi, pergi, nonton, menyanyi); II Adjektiva (Kata Sifat = baik, pandai, benar, luhur); III Adverbia (Kata Keterangan = sekarang, tadi, nanti, besuk, dulu, jauh, dekat, luas); IV Kelompok Kata Benda: 1 Nomina (kata benda / kata nama = tanah, air, pohon, rumah, Jakarta, Indonesia, Sastro), 2 Pronomina (Kata Ganti = saya, aku, kamu, dia, nya, mu, mereka, Anda, kami, kita), 3 Numeralia (Kata Bilangan = satu, dua, tiga, sedikit, banyak); V Kelompok Kata Tugas: 1 Preposisi (Kata Depan = di, ke, dari, pada, sejak, tentang, oleh, bagi), 2 Konjungtor (Kata Sambung = dan, agar, tetapi, karena, sehingga, kalau, atau, walaupun, meskipun), 3 Interjeksi (Kata Seru = astaga, wah, huh, hem, aduh), 4 Artikel (Kata Sandang = para, si, sang), 5 Partikel (lah, kah, pun).
Apakah yang disebut sebagai makna kata? Makna kata adalah pengertian yang diciptakan oleh satuan bentuk bahasa. Ada bermacam-macam makna kata. Makna gramatikal (makna berdasarkan hubungan antara satu kata dengan kata lain, dengan frasa atau klausa); makna leksikal (makna kata sebagai lambang benda, peristiwa dll); makna lokusi; makna luas; makna kontekstual; makna konotasi; makna kognitif; makna intensi; makna khusus; makna emotif (efektif); makna ekstensi; makna detonatif dll.
Apakah yang dimaksud sebagai frasa (frase)? Frasa adalah kelompok kata yang satu sama lain memiliki keterikatan, namun tidak berpredikat hingga belum membentuk kalimat. Misalnya: Negara Kesatuan Rebublik Indonesia; krisis multi dimensi; nilai tukar mata uang asing; mata pelajaran sejarah; kampanye pemilu legislatif dll. Frasa tersebut baru akan membentuk kalimat apabila diberi klausa (kelompok kata berpredikat). Misalnya: Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia; terjadi krisis multi dimensi; berpedoman pada nilai tukar mata uang asing; mengikuti mata pelajaran sejarah; menagih janji kampanye pemilu legislatif dll.
Apakah semua kelompok lalimat secara otomastis akan membentuk frasa? Tidak selalu. Gabungan kelompok kata bisa saja tidak memiliki makna karena tidak adanya keterikatan. Misalnya: negara dimensi tukar sejarah; kesatuan krisis nilai mata dll. Selain itu, gabungan kata juga bisa membentuk idiom, yang maknanya berubah dari makna masing-masing kata yang bergabung. Misalnya mata gelap = pikirannya kalut; tanah air = negara; kaki lima = trotoar; banting tulang = bekerja keras.
Apakah yang disebut sebagai diksi? Diksi atau pilihan kata adalah teknik untuk mempergunakan kata yang paling tepat untuk memperoleh efek tertentu dalam tulisan. Dalam jurnalisme olahraga misalnya, diksi banyak sekali dipakai. Misalnya: Ujung tombak kesebelasan Inggris itu telah menjebol gawang Jerman. Sebagai ganti penyerang, digunakan idiom ujung tombak. Masuknya bola ke gawang Jerman dilukiskan dengan menjebol. Diksi menjadi lebih penting lagi dalam memilih kata ganti orang kedua: engkau, kamu, kalian, situ, Anda, sampeyan, énté, you, jeng, mbak, kak, bang dll. Menyapa atasan dengan kamu pasti dianggap tidak sopan. Sebaliknya, kalau seorang sahabat karib tiba-tiba memanggil situ atau Anda, berarti sedang ada masalah hingga terkesan ada jarak.
Untuk memilih kata yang sangat tepat, diperlukan banyak pengetahuan tentang warna dan nuansa kata/bahasa. Kata cantik, ayu, manis, keren, kécé, bening, sehat, ménor, sexy, sensual, full cream, semlohoi, mengandung warna dan nuansa bahasa yang sangat berlainan. Cantik, ayu, manis, keren masih tergolong sopan dan netral. Kécé, bening, sahat, ménor sudah mulai slank. Sexy, sensual, kembali netral. Full cream, semlohoi, kembali slank. Rumah, gubuk, pondok, griya, graha, gedung, istana, memiliki makna serupa. Namun, peryataan: “Ya inilah Pak, gubuk saya!” mengandung makna merendah. Warung, depot makan, kios nasi, rumah makan, restoran, kafe, coffee shop, memiliki arti yang kurang lebih sama. Namun tampak ada strata yang menunjukkan kelas tempat menjual makanan dan minuman tersebut.

D. Kalimat
Apakah yang disebut sebagai kalimat? Kalimat adalah satuan unsur bahasa, yang terdiri dari minimal dua kata sebagai subyek dan predikat. Misalnya: Ayam mati. Ayam = subyek (S) dan mati = predikat (P). Meskipun ada beberapa kata digabungkan, kalau belum ada subyek dan predikat, belum bisa disebut kalimat. Bisa hanya merupakan frasa, bisa pula bukan frasa bukan pula kalimat. Misalnya: Pukul duabelas tengah malam. Meskipun ada empat kata, namun empat kata tersebut baru menunjukkan keterangan waktu (Ket). Belum ada subyek, belum ada predikat. Ketika ditambah dengan udara sangat dingin, maka terbentuklah kalimat: Pukul duabelas tengah malam (Ket.), udara (S), sangat dingin (P).
Apakah kalimat hanya memerlukan kata-kata sebagai subyek dan predikat? Kalimat juga memerlukan obyek (O), pelengkap (Pel) dan keterangan (Ket). Tukang kebun (S) menyiram (P) tanaman (O) dengan air sungai (Pel) pada musim kemarau (Ket). Kalimat ini lengkap dengan pola S – P – O – Pel – Ket. Pola lain adalah S – P – O – Pel (Tukang kebun menyiram tanaman dengan air sungai = tanpa keterangan); S – P – O – Ket (Tukang kebun menyiram tanaman pada musim kemarau = tanpa pelengkap); S – P – Ket (Tukang kebun menyiram pada musim kemarau = tanpa obyek, tanpa pelengkap); S – P – Pel (Tukang kebun menyiram dengan air sungai = tanpa obyek, tanpa keterangan); S – P – O (Tukang kebun menyiram tanaman = tanpa pelengkap, tanpa keterangan); S – P (Tukang kebun menyiram = tanpa obyek, tanpa pelengkap, tanpa keterangan).
Apakah dalam semua kalimat subyek harus selalu ditulis di depan predikat? Tidak harus. Kalimat yang subyeknya di depat seperti contoh tadi, merupakan kalimat aktif (subyeknya melakukan pekerjaan). Namun bisa saja predikatnya ditulis di depan, baru kemudian subyeknya. Misalnya: Pada musim kemarau (Ket) disiramnya (P) tanaman itu (S) dengan air sungai (O) oleh tukang kebun (Pel). Kalimat demikian disebut sebagai kalimat pasif. Sebab subyeknya (tanaman) tidak melakukan pekerjaan.
Apakah yang disebut sebagai kalimat tunggal dan kalimat majemuk? Kalimat tunggal hanya terdiri dari satu subyek dan satu predikat. Orang-orang (S) sedang (Ket) berangkat bekerja (P). Kalimat majemuk punya lebih dari satu subyek dan satu predikat. Orang-orang (S) sedang (Ket) berangkat bekerja (P), ketika tiba-tiba (Ket) hujan badai (S) merobohkan (P) pohon-pohon dan bangunan (O) di seluruh kota (Pel). Ini merupakan kalimat majemuk bertingkat. Kalimat majemuk setara adalah: Orang-orang (P) mulai (Ket) berangkat bekerja (P) lalu bus-bus itu (S) datang menjemput (P) mereka (O).
Apa sajakah fungsi kalimat? Kalimat bisa berfungsi sebagai penyampai berita (kalimat berita): Presiden baru (S) telah terpilih (P) oleh rakyat (O) dengan suara mutlak (Pel) bulan ini (Ket). Bisa pula sebagai penyampai pernyataan (kalimat deklaratif: Bulan ini (Ket) rakyat (S) telah memilih (P) saya (O) sebagai presiden (Pel) dengan suara mutlak (Ket). Sebagai penyampai pertanyaan (kalimat tanya): Bulan ini (Ket) siapa (S) akan terpilih sebagai presiden (P) oleh rakyat (O) dengan suara mutlak (Pel)? Sebagai penyampai perintah (kalimat perintah): Pilihlah (P) saya (S) sebagai presiden (O) dengan suara mutlak (Pel) bulan ini (Ket).
Apakah benar hanya kalimat dalam bahasa jurnalistik yang harus singkat, padat dan mudah dimengerti? Semua ragam bahasa serius (jurnalistik; ilmiah (perguruan tinggi, lembaga penelitian); hukum; perdagangan; sastra dll. harus singkat, padat dan mudah dimengerti. Namun di lain pihak, pemadatan dan penyingkatan tersebut tidak boleh mengorbankan segi kelengkapan dan keakuratan informasi yang akan disampaikan. Hingga tidak benar anggapan bahwa hanya bahasa jurnalistiklah yang harus singkat, padat dan mudah dimengerti, sementara bahasa ilmiah, hukum dan sastra boleh bertele-tele dan sulit dimengerti.
Bagaimanakah kalau kalimat terlalu panjang, kurang lengkap, salah pemilihan kata, salah penyusunan logikanya dll? Seorang penulis harus membaca ulang seluruh hasil karya yang baru saja deselesaikannya, sambil memperbaiki kesalahan dan melengkapi bagian-bagian yang masih kurang lengkap. Di perusahaan penerbitan media massa, tugas memperbaiki dan melengkapi tulisan ini ada pada redaktur, editor dan korektor.
E. Paragraf (Alinea)
Apakah yang dimaksud sebagai paragraf atau alinea dalam sebuah tulisan? Paragraf atau alinea adalah kepala kalimat, yang didukung oleh beberapa kalimat lain hingga membentuk satu pengertian (pokok pikiran) yang utuh. Misalnya:
Baru setelah 59 tahun merdeka, rakyat Indonesia bisa memilih presiden secara langsung. Pada tahun 1945, Ir. Soekarno, terpilih secara aklamasi oleh para anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), sebagai presiden pertama RI. Letjen. Soeharto, diangkat sebagai pejabat presiden oleh MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara), pada tahun 1967. Selanjutnya sebanyak enam kali, Soeharto dipilih menjadi presiden oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat).
Ketika Soeharto “lengser”, Wakil Presiden (Wapres) B.J. Habibie, dilantik menjadi Presiden RI ketiga. MPR hasil Pemilu 1999, memilih K.H. Abdurachman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden RI keempat melalui voting. Tahun 2001 Gus Dur dilengserkan oleh Sidang Istimewa (SI) MPR. dan Wapres Megawati menjadi presiden RI kelima. Setelah UUD 1945 diamandemen, baru tahun 2004 ini rakyat bisa memilih presiden mereka secara langsung.
Apakah yang disebut sebagai kepala kalimat? Kepala kalimat adalah kalimat yang mengandung pengertian (pokok pikiran) utama (paling penting), namun masih memerlukan dukungan pengertian dari kalimat-kalimat selanjutnya. Kepala kalimat disebut pula kalimat utama atau kalimat pokok. Pada contoh di atas, Setelah hampir 60 tahun merdeka, baru kali ini rakyat Indonesia berkesempatan untuk memilih presiden secara langsung, merupakan kepala kalimat. Kalimat-kalimat selanjutnya berisi informasi yang mendukung pokok pikiran dalam kepala kalimat. Kalimat terakhir merupakan peneguhan pengertian yang terkandung dalam kepala kalimat. Hingga alinea ini bersifat deduktif – induktif.
Apakah kepala kalimat harus diletakkan paling depan sebelum kalimat-kalimat pendukungnya? Letak kepala kalimat, tidak harus di depan (menjadi awal alinea). Kalau kepala kalimat diletakkan paling depan, maka alinea tersebut akan bersifat deduktif. Artinya diawali dengan pernyataan umum, baru disusul dengan rincian penjelasan yang sifatnya khusus. Kalau kepala kalimat ditaruh di belakang, maka alinea tersebut akan bersifat induktif. Uraian penjelasan khusus ditampilkan terlebih dahulu, baru kemudian diakhiri dengan pernyataan yang sifatnya umum. Namun bisa pula dalam satu alinea, masing-masing kalimat saling mendukung sama kuatnya hingga sulit menentukan mana yang paling penting dan menjadi kepala kalimat. Alinea demikian biasanya bersifat naratif atau deskriptif. Misalnya:
Tahun 1945, bangsa Indonesia memproklamirkan diri dan lepas dari penjajahan. Pada waktu itulah Ir. Soekarno terpilih sebagai presiden RI pertama. Setelah Konstituante hasil Pemilu 1955 gagal membentuk konstitusi, tahun 1959 Soekarno mengeluarkan Dekrit untuk kembali ke UUD 1945. Sejak itulah kekuasaan Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi menjadi tanpa batas. Tahun 1965 terjadi pergolakan politik yang populer dengan sebutan G. 30 S. Kekuasaan Ir. Soekarno pelan-pelan menyusut. Pada tahun 1967, MPRS mengadakan Sidang Istimewa, yang mencabut kekuasaan Ir. Soekarno dan mengangkat Letjen. Soeharto sebagai Penjabat Presiden RI. Selama 32 tahun Soeharto dengan Orde Baru dan Golkarnya berkuasa di negeri ini. Sampai pada tahun 1997, kembali krisis ekonomi melanda. Krisis ekonomi ini berkembang menjadi krisis politik yang menyebabkan jatuhnya pemerintahan Soeharto. Berturut-turut kita punya presiden B.J. Habibie, Gus Dur dan Megawati hanya dalam kurun waktu dari 1998 sd. 2004. Dan baru dalam Pemilu tahun 2004, rakyat Indonesia punya lima calon presiden, serta bisa memilihnya secara langsung.

Bolehkan dalam satu paragraf masing-masing kalimatnya memiliki pengertian sendiri-sendiri? Tidak boleh. Sebab paragraf tersebut tidak akan menjadi satu kesatuan yang utuh, yang hanya memuat satu pokok pikiran (pengertian). Meskipun sebagai bacaan, paragraf tersebut tetap enak untuk dibaca. Misalnya:
Baru setelah 59 tahun merdeka, rakyat Indonesia bisa memilih presiden secara langsung. Ir. Soekarno, presiden pertama RI, termasuk pribadi yang terkenal sebagai playboy. Tercatat istri resminya berjumlah belasan. Jenderal Besar Soeharto, meskipun hanya berpendidikan formal SMP, namun mampu berkuasa sampai 32 tahun lamanya. B.J. Habibie, Presiden RI ketiga, hanya sempat berkuasa sekitar 1,5 tahun dan sempat membuat Timor Timur lepas dari pangkuan RI. Hasil Pemilu 1999, sebenarnya dimenangkan oleh PDIP, partainya Megawati. Namun MPR justru memilih K.H. Abdurachman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden RI keempat melalui voting. Ternyata Gus Dur juga sulit untuk mempertahankan kursinya, karena penglihatannya yang bermasalah dan banyak jalan-jalan keluar negeri. Tahun 2004 rakyat Indonesia bisa beruntung karena sekaligus punya lima Capres/Cawapres, Termasuk Megawati yang sejak tahun 2001 menjadi presiden RI kelima menggantikan Gusdur.

Berapakah idealnya jumlah kalimat dalam satu alinea? Idealnya, dalam satu alinea hanya termuat lima sampai dengan 10 kalimat. Baik kalimat majemuk maupun kalimat tunggal. Jumlah karakter dalam satu alinea antara 500 sampai dengan 1.000 karakter (with spaces). Pengetikan dengan Ms. Word, Times New Roman 12 point, dalam satu paragraf idealnya terdiri dari 7 sampai 12 baris. Lebih panjang dari 10 kalimat, 1.000 karakter, 12 baris, orang akan capek membacanya.
Bagaimanakah hubungan antara satu alinea dengan alinea yang lain? Sama dengan kepala kalimat yang memerlukan dukungan dari kalimat-kalimat selanjutnya, maka alinea pun ada yang disebut sebagai kepala alinea (lead, kepala berita). Kepala alinea ini mengandung pokok pikiran utama, yang memerlukan dukungan dari alinea-alinea selanjutnya. Misalnya, alinea contoh di atas (tentang rakyat memilih presiden langsung), dianggap sebagai kepala alinea. Maka alinea selanjutnya wajib mendukung pokok pengertian tersebut dengan: Satu alinea menceritakan sudah berapa presiden yang dipilih rakyat AS dari tahun 1945 sd. 2004 ini? Alinea berikutnya, menyorot lima Capres/Cawapres, prediksi perolehan suara, bagaimana mereka berkampanye dll. Dalam dunia jurnalistik, kepala alinea, yang selalu berada paling depan, disebut sebagai lead. Fungsi lead adalah membuat pembaca bisa “terseret” masuk ke dalam seluruh tulisan tersebut tanpa bisa berhenti. Karenanya, lead menjadi faktor yang sangat penting dalam dunia jurnalistik.
Disebut apakah alinea-alinea berikutnya setelah alinea yang berfungsi sebagai lead? Alinea selanjutnya disebut sebagai body. Sifat alinea dalam body ini bisa deduktif, induktif, deduktif – induktif, naratif atau diskriptif, sangat tergantung dari bentuk tulisannya. Dalam artikel, sifat deduktif – induktif dan argumentatif pada alinea, lebih lazim digunakan. Sementara dalam feature, sifat naratif dan deskriptif pada alinea lebih cocok untuk digunakan. Selain itu, kita juga masih bisa memanfaatkan sifat-sifat lain dalam alinea. Misalnya argumentatif, persuasif, ekspositoris, definitif, klasifikatif, provokatif dll. Alinea paling akhir, biasanya bersifat ending yang salah satu kalimatnya mengulang pokok pikiran yang disampaikan dalam lead.

F. Bentuk Penyampaian
Apakah yang dimaksud dengan bentuk penyampaian dalam bahasa jurnalistik? Bentuk penyampaian dalam bahasa jurnalistik, sebenarnya sama saja dengan karya sastra, karya ilmiah, laporan kesehatan pasien, tuntutan hukum untuk terdakwa dll. Secara garis besar bentuk penyampaian bahasa tulis adalah: naratif, deskriptif, ekspositoris, argumentatif, persuasif, konfrontatif, agitatif dll.
Bagaimanakah menyampaikan gagasan tertulis dalam bentuk naratif? Naratif adalah bentuk bercerita biasa. Dalam sebuah cerita diperlukan adanya plot atau alur cerita, tokoh (subyek), kronologi (waktu) dan latar (seting = ruang). Meskipun pelukisan subyek dan latar pasti menggunakan metode penulisan deskriptif, namun dalam bangun naratif yang paling diutamakan adalah alur cerita. Contohnya:
Pagi itu pukul 07.00, Mas Yono masih santai di rumahnya di bilangan Cimanggis, Kota Depok.
Biasanya pada jam-jam ini dia sudah pulang dari pasar Cisalak sambil memanggul karung berisi daging kambing. Sehari-hari Mas Yono berjualan sate, gule dan tongseng kambing di jalan Mekarsari Raya. Tetapi hari ini dia bisa santai. Meskipun itu juga berarti dia tidak akan memperoleh penghasilan selama sehari. Tetapi apa boleh buat. Hari ini, Senin 5 Juli 2004 adalah hari Pemilu Presiden. Untuk pertamakalinya Mas Yono akan bisa memilih presidennya secara langsung, tidak diwakili oleh para anggota MPR. Maka tidak seperti biasanya, kali ini dia mengenakan celana panjang hitam, sepatu dan baju batik. Istrinya pun juga mengenakan rok terusan dengan motif kembang-kembang. Pukul 7.30, Mas Yono dan istrinya berangkat ke TPS untuk menentukan pilihannya. Meskipun dia sudah punya pilihan mantap, namun tidak pernah nama Capres pilihannya ini diceritakan ke orang lain. Bahkan istrinya sendiri pun sama sekali tidak tahu, siapa yang pagi ini akan ditusuk oleh Mas Yono. Dst.
Bentuk narasi demikian, cocok untuk digunakan dalam penulisan feature dan reportase. Tidak cocok untuk menulis artikel atau berita (news). Meskipun dalam satu tulisan, tidak pernah seorang penulis hanya menggunakan satu metode.
Biasanya narasi, deskripsi, argumentasi, persuasi dll. semua dimanfaatkan hingga feature atau artikel yang ditulis menjadi menarik.
Bagaimanakah bentuk tulisan deskriptif dalam dunia jurnalistik? Tulisan berbentuk deskriptif memberi gambaran detil secara faktual terhadap obyek, peristiwa, suasana dan latar dari materi yang ditulis. Penulisan deskriptif memerlukan kerja pengamatan lapang yang sangat cermat dengan pencatatan secara detil. Tujuan penulisan deskriptif adalah, agar pembaca bisa benar-benar berimajinasi tentang keseluruhan materi yang ditulis. Contoh tulisan deskriptif.
Tanah lapang di tengah-tengah komplek perumahan Mekarsari itu dikelilingi oleh jajaran pohon palem raja yang menjulang setinggi 15 m. Di bawah batang-batang palem raja yang membengkak bagian pangkalnya itu, bermekaran bunga-bunga helikonia warna-warni. Mulai dari kuning, merah dan pink. Luas tanah lapang sekitar 5.000 m² dan diapit oleh jalan raya di keempat sisinya. Di atas hamparan rumput hijau itulah bilik-bilik TPS dibangun. Kerangkanya dari kaso dengan atap dan dinding triplek yang dicat putih. Mungkin penggunaan cat putih ini disengaja, sebab penggunaan warna-warna lain, misalnya merah, kuning, hijau dan biru, dikhawatirkan akan dianggap “kampanye” dari salah satu parpol peserta Pemilu 2004. Di depan bilik-bilik itu ada deretan meja panitia, patok dan tali-tali yang direntangkan sebagai alur pemilih yang akan antre. Sebuah tenda parasut dibentangkan dengan sebuat tiang panjang dan tali-temalinya. Di bawah tenda darurat itulah Mas Yono dan tetangga-tetangganya satu RW duduk tertib menunggu giliran untuk dipanggil petugas.

Deskripsi dalam tulisan jurnalistik, tidak boleh imanjinatif (berdasarkan khayalan), hingga tidak sesuai dengan kondisi riil di lapangan. Gambaran deskriptif hasil imajinasi, hanya dibenarkan dalam tulisan fiksi (puisi, cerpen, novel, naskah drama, skenario film/sinetron dll). Dalam feature, reportase atau news, gambaran deskriptif latar, suasana tokoh, dan peristiwanya, mutlak harus sesuai dengan kondisi faktual di lapangan.
Bagaimanakah bentuk-bentuk penyampaian lain dalam tulisan jurnalistik? Bentuk ekspositoris (dari eksposisi = memamerkan, memaparkan), banyak dimanfaatkan dalam menulis artikel atau opini. Ekspositoris memang paling tepat untuk menyampaikan gagasan atau konsep pemikiran. Bentuk ekspositoris kurang cocok untuk menulis feature, reportase dan news. Kecuali interpreted/interpretative news. Bentuk argumentatif biasanya banyak dimanfaatkan untuk memperkuat dan mempertahankan sebuah konsep atau pendapat. Biasanya bentuk ini juga dimanfaatkan dalam artikel, opini atau esai. Argumentasi yang disampaikan, harus tetap berdasarkan pada data dan fakta riil di lapangan. Baik dara primer maupun data sekunder. Bentuk persuasif (ajakan, bujukan), biasanya banyak dimanfaatkan oleh para penulis copy iklan dalam dunia advertising. Namun bentuk persuasif juga bisa digunakan oleh para penulis artikel, opini, esai dan interpreted dan interpretative news. Tujuannya terutama untuk menindaklanjuti argumentasi yang telah disampaikan.
Bentuk penyampaian agitatif dan konfrontatif, biasanya banyak dimanfaatkan oleh koran-koran atau tabloid yang mengandalkan gosip politik, selebritis dan para publik figur lainnya. Bentuk tulisan demikian biasanya akan banyak bermunculan pada saat menjelang Pemilu (saat kampanye) atau ketika ada pergolakan politik. Sebab meskipun media massa seharusnya bersifat netral, namun dalam praktek sangat sulit bagi individu dan institusi tersebut untuk tidak memihak. Ketika AS menyerbu Afganistan dan kemudian Irak, stasiun tivi CNN jelas sangat memihak kepentingan pemerntah AS. Hingga pada saat itu tayangan tivi Al Jazera menjadi alternatif yang cukup menarik. Sebenarnya masih banyak bentuk-bentuk penyampaian dalam tulisan jurnalistik. Sebab selain bahasa selalu berkembang, ilmu jurnalistik pun juga ikut pula berkembang sesuai dengan perkembangan pembacanya.
Apakah dalam satu alinea atau tulisan, hanya boleh digunakan satu bentuk penyampaian? Tidak benar. Sebab dalam satu alinea, kita bisa mengkombinasikan bentuk narasi (menceritakan suatu peristiwa/fakta) dengan satu dua kalimat. Disusul dengan satu dua kalimat ekspositoris (pemaparan gagasan), dilanjutkan dengan kalimat argumentatif, lalu ditutup menggunakan kalimat persuasif, agitatif atau konfrontatif. Misalnya:
Kemarin (hari…..tanggal……); KPU telah menetapkan lima pasangan Capres dan Cawapres. Mereka adalah (nama-nama………). Seperti sudah diduga banyak pihak, Gus Dur tergusur sebagai Capres untuk Pemilu Presiden 5 Juli nanti. (kalimat naratif). Kita tahu bahwa UUD kita yang telah diamandemen, sama sekali tidak menyebutkan bahwa seseorang yang penglihatannya terganggu tidak boleh mencalonkan dirinya menjadi presiden. Itulah yang mencadi acuan Gus Dur, untuk terus memperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara. Ini semua dilakukan bukan karena ambisi pribadi, melainkan demi tegaknya demokrasi. Dst. (kalimat ekspositoris). Namun KPU bukan tanpa pertimbangan dalam menggugurkan Gus Dur sebagai Capres dari PKB. Dst. (uraian argumentatif). Karenanya, KPU juga akan tetap berpegang pada UU yang ada, dan mengajak semua pihak untuk tetap berpikiran jernih demi tegaknya demokrasi. (kalimat persuasif). Namun KPU tidak akan gentar menghadapi tuntutan atau intimidasi dari pihak manapun. Bahkan anggota KPU (nama……….), mengatakan tidak takut terhadap berbagai ancaman dalam bentuk apa pun. (konfrontatif). Dalam pertemuannya dengan pers hari ini, anggota KPU (nama………..) bahkan dengan berapi-api menyerukan kepada masyarakat, agar tidak takut pada teror atau ancaman dari pihak mana pun (agitatif).

Kalimat-kalimat dalam alinea tersebut memiliki bentuk penyampaian yang berlainan, sesuai dengan efektifitas yang hendak dicapai. Dalam satu tulisan pun, alinea-alinea yang ada juga bebas untuk mengambil bentuk penyampaian sesuai dengan fungsi alinea tersebut. apakah sebagai lead, body (misalnya 12 alinea dalam tiga sub judul) atau dalam ending. Tidak pernah ada pedoman baku, bagaimanakah komposisi bentuk-bentuk penyampaian itu akan disusun untuk mencapai efek tertentu dalam sebuah tulisan. Sebab semua sangat tergantung dari keterampilan si penulis sendiri. Hanya dengan banyak latihanlah seorang penulis akan memahami, bentuk penyampaian mana yang paling tepat digunakan dalam satu kalimat atau alinea, agar informasi yang ingin disampaikan ke pembaca bisa sampai dengan selamat dan lancar.


Referensi

Ermanto, 2005, Wawasan Jurnalistik Praktis, Yogyakarta: Cinta Pena.

F. Rahardi, 2005, Panduan Lengkap Menulis Artikel, Feature, dan Esai untuk Pemula, Handout tidak diterbitkan.

Made Pramono, 2011, E-learning jurnalistik olahraga: http://ilmu.unesa.ac.id

Pape, Susan & Featherstone, Sue, 2005, Newspaper Journalism: A Practical Introduction, London: SAGE Publications Ltd.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar