12 April 2017

Rencana Pembelajaran dan Kegiatan (Mahasiswa) Bermuatan Karakter

*    Tulisan ini masih draf 90% jadi, masih ada revisi lagi setelah ada pertemuan dengan tim pengembangan karakter Unesa
** Dari rencana penerbitan (internal Unesa) "Naskah Akademik Pengembangan Karakter", saya sebagai salah satu
      anggota tim mendapat jatah menulis Bab V tentang judul di atas. Berikut tulisan "aneh" itu (aneh karena "saya" bicara 
      tentang Rencana Pembelajaran..sesuatu yang bukan aku bingitz.. hehe)

 



RENCANA PEMBELAJARAN DAN PROGRAM KEGIATAN
BERMUATAN KARAKTER

A. Kurikulum dan Kokurikulum
Kaum intelektual oleh Machiavelli disebut sebagai nabi-nabi tanpa senjata (unarmed prophets), istilah yang meneguhkan jati diri kaum intelektual sebagai moral oracle (orang bijaksana penjaga moral). Made Pramono (2014) mengutip istilah “nabi tanpa senjata” dan “moral oracle” tersebut untuk menunjukkan indikasi kuat keterkaitan antara dunia akademis dan pengembangan karakter di dalam dan terlebih di luar kampus. Pengalaman perkuliahan dimaksudkan untuk membentuk sikap dan nilai mahasiswa sebagaimana untuk meregangkan intelektual mereka dan memperluas pengetahuan mereka tentang dunia.

Karakter didefinisikan sangat beragam. Di level abstraksi, karakter disepakati sebagai jendela kepribadian, suatu konstelasi sikap, nilai, pertimbangan etis, dan pola perilaku yang merepresentasikan apa yang dipercayai dan dinilai seseorang, bagaimana mereka berpikir, dan apa yang mereka lakukan. Seseorang disebut memiliki “karakter” ketika orang tersebut mempertontonkan sifat-sifat mengagumkan baik dalam hal dimensi perilaku dan dimensi intelektual dari kehidupan dan tindakan privat dan publik dengan integritas yang sebangun dengan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan tertentu. Individu yang berkarakter “baik” dengan demikian berkarya ke arah kepentingan publik dengan integritas dan tanggung jawab personal yang mencerminkan pemahaman sadar tanggung jawab etis mereka kepada diri dan komunitas yang lebih besar (Kuh dan Umbach, 2004).
Pascarella dan Terenzini dalam How College Affects Students (1991) sudah lebih dahulu menyatakan bahwa lembaga pendidikan yang berperan penting dalam pengembangan karakter adalah kampus yang memberi pengalaman dalam pengembangan karakter mencakup pengalaman kurikuler dan ko-kurikuler, nilai-nilai dan adat kebiasaan luhur fakultas, serta sikap-sikap dan perilaku pergaulan perkuliahan. Tidak terlalu sulit untuk memahami bahwa menjadi seorang mahasiswa (atau kaum intelektual pada umumnya), tidak hanya menjadi manusia robotik yang “terprogram” secara mekanis-rasionalitik sesuai kompetensi keilmuannya (dimensi kognitif), tetapi juga niscaya berkelindan dengan permasalahan afektif di mana persoalan karakter menjadi istilah kunci afeksi ini.

Performa karakter dengan demikian menjadi salah satu pilar penyangga yang mendampingi prestasi akademik di suatu lembaga pendidikan seperti Unesa.  Dua jalur dominan untuk menyemaikan pendidikan dan pengembangan karakter mengiringi prestasi akademik tersebut, sebagaimana dinyatakan di paragraf sebelumnya, adalah kurikulum dan kokurikulum. Bab ini mengetengahkan “dua matra” pengembangan karakter di kampus tersebut, dengan memfokuskan pada dua substansi kerja: 1) matra kurikulum dengan substansi rencana pembelajaran semester (RPS), dan 2) matra ko-kurikulum dengan substansi program kerja. 

Moto (kadang-kadang disebut juga slogan) “growing with character” Universitas Negeri Surabaya mendeklarasikan karakteristik kampus ex-IKIP ini sebagai “penjaga”, “pejuang”, “pengembang”, dan “eksekutor” karakter. Naskah Akademik Pengembangan Kurikulum Unesa (2014) memaknai nilai-nilai inti (core values) Unesa sebagai karakter yang ditumbuh-kembangkan (dan diharapkan menjadi habitus akademik) pada mahasiswa Unesa yang meliputi: Iman, Cerdas, Mandiri, Jujur, Peduli, dan Tangguh (dengan akronim: “Idaman Jelita”). 

Idaman Jelita tentu saja tidak merupakan penghalang tumbuh suburnya nilai-nilai etis lain seperti amanah (trustworthy), saling menghargai (respect), integritas, keberanian, keadilan, dan banyak nilai lain yang tidak bisa dipaksakan begitu saja (tanpa landasan konseptual yang jelas) untuk “dianggap” masuk ke salah satu nilai dalam Idaman Jelita. Norma dasar (grundnorm dalam Bahasa Hukum Hans Naviasky), atau philosophisce grondslag (istilah Soekarno untuk landasan filosofis) Idaman Jelita adalah Pancasila. Nilai-nilai inti Unesa ini perlu diperjuangkan, diresapkan, didemonstrasikan oleh warga Unesa, di tengah-tengah derasnya “pertarungan nilai” yang dimediasi oleh perkembangan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi yang mampu mempengaruhi makna kemanusiaan dewasa ini (Kompas, 8 April 2017).

B. Matra Kurikulum: Rencana Pembelajaran Semester

Pengertian kurikulum menurut  UU. No. 20 Tahun 2003 adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pengajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. “Perangkat rencana” dalam kurikulum yang dimaksudkan dalam UU No. 20 tahun 2003 tersebut secara operasional diterjemahkan di Pendidikan Tinggi melalui Pasal 12 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi dalam bentuk Rencana Pembelajaran Semester (RPS) untuk setiap mata kuliah. 

RPS merupakan rencana perkuliahan dalam garis besar yang akan dilakukan selama satu semester. Menurut Pasal 12 ayat (3) Permendikbud No.49/2014, RPS paling sedikit memuat:
1)  nama program studi, nama dan kode mata kuliah, semester, sks, nama dosen pengampu;
2)  capaian pembelajaran lulusan yang dibebankan pada mata kuliah;
3) kemampuan akhir yang direncanakan pada tiap tahap pembelajaran untuk memenuhi capaian pembelajaran lulusan;
4)   bahan kajian yang terkait dengan kemampuan yang akan dicapai;
5)   metode pembelajaran;
6)   waktu yang disediakan untuk mencapai kemampuan pada tiap tahap pembelajaran;
7) pengalaman belajar mahasiswa yang diwujudkan dalam deskripsi tugas yang harus dikerjakan oleh mahasiswa selama satu semester;
8)  kriteria, indikator, dan bobot penilaian;
9) daftar referensi yang digunakan.
Unesa - dalam konteks pengembangan karakter - mengarahkan RPS setiap mata kuliah sebagai “demonstrasi” bagaimana Unesa menghubungkan kurikulum dengan nilai-nilai inti dan menumbuhkembangkan usaha-usaha pendidikan karakter. Setiap RPS memuat dan terhubung dengan Idaman Jelita ini, yang terjabar mendominasi pengalaman belajar mahasiswa sesuai landasan kepribadian dan sikap perilaku berkarya di dalam Perpres nomor 08 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). 

Di antara 9 muatan minimal RPS sebagaimana tertuang di Pasal 12 ayat (3) Permendikbud No.49/2014, maka secara eksplisit beberapa atau semua nilai Idaman Jelita dapat dituliskan di capaian pembelajaran lulusan yang kemudian diresapkan (eksplisit maupun implisit) di aspek kemampuan akhir, pengalaman belajar mahasiswa, dan kriteria atau indikator penilaian. 

Contoh interiorisasi eksplisit nilai-nilai inti Unesa (Idaman Jelita) ke dalam capaian pembelajaran:
 
Capaian Pembelajaran Matakuliah: Mampu memetakan dan menguraikan secara cerdas dan mandiri konsep-konsep dasar filsafat ilmu dalam hubungannya dengan ilmu keolahragaan serta mampu mengimplementasikan filsafat olahraga sebagai landasan dan subjek analisis berbagai persoalan keolahragaan dalam tiga matra, yakni ontologi, aksiologi, dan epistemologi.


 Gambar 5.1. Capaian Pembelajaran Mata Kuliah

Capaian pembelajaran ini kemudian terjabar dalam kemampuan akhir setiap topik berikut indikator, strategi pembelajaran, dan pengalaman belajar sebagaimana contoh berikut:

Tabel 5.1. Uraian per topik per pertemuan dari RPS mata kuliah Filsafat Olahraga
Pertemuan
Ke
Kemampuan Akhir
Indikator
Bahan Kajian
Strategi Pembelajaran
Media Belajar
Waktu (Menit)
Pengalaman Belajar
1-2
Mampu mengidentifikasi istilah olahraga atau sport berdasarkan analisis asal-usulnya
·  Menjelaskan beberapa pengertian olahraga
·  Menunjukkan akar genesis (analisis asal-usul) istilah sport
·  Mengapresiasi tubuh sebagai prasyarat olahraga
·  Pengertian olahraga atau sport
·  Asal-usul istilah sport
·  Tubuh sebagai prasyarat olahraga
1.      Kuliah mimbar (slide) dan tanya jawab
[1], [4], Slide presentasi
200’
·      Menelusuri secara mandiri melalui bacaan beberapa pengertian olahraga atau sport
·      Mengidentifikasi asal-usul istilah sport dari berbagai peradaban

Pada tabel 5.1 di atas, kemampuan akhir, indikator, dan pengalaman belajar dari topik pertama bisa secara eksplisit maupun implisit memuat juga kandungan core values Unesa. Tanpa perlu dituliskan, core values sebagai wujud pengembangan karakter di Unesa sudah terjabar pada frase di kolom Kemampuan Akhir: “Mampu mengidentifikasi...” yang secara implisit memuat nilai cerdas dan mandiri. Demikian juga untuk isian indikator dan pengalaman belajar. Pada tabel di atas, kebetulan isian pengalaman belajar memang dieksplisitkan nilai-nilai itu. 

Strategi pembelajaran (dalam tabel di atas menggunakan kuliah mimbar/ceramah dan tanya jawab) pada prakteknya juga menjabarkan core values Unesa. Dengan media pembelajaran slide presentasi misalnya, dosen memberikan ulasan materi diikuti/diselingi tanya jawab yang secara implisit bisa memuat karakter iman, cerdas, mandiri, jujur, peduli, dan tangguh sebagai salah satu muatan domain (afeksi)pembelajaran bagi mahasiswa (dan dosen). Tentu saja, kreativitas dan “kecerdasan pedagogik/andragogik” dari dosen sangat mempengaruhi capaian momentum penanaman atau perembesan karakter Idaman Jelita tersebut. 

Tanpa membatasi kebebasan dan kreativitas akademik dosen, acapkali interiorisasi eksplisit core values dari pengembangan karakter dalam isian di RPS bisa memicu dan menegaskan (kembali) suasana perkuliahan yang tidak sekedar mentransfer pengetahuan tetapi “mendidik”, khususnya dalam hal pendidikan dan pengembangan karakter. Keterkaitan pendidikan dan pengembangan karakter dengan realitas sosial di masyarakat pada gilirannya juga sangat menentukan hasil akhir internalisasi karakter bagi lulusan.

Evaluasi dan asesmen keterlaksanaan pembelajaran (dan kegiatan di luar kurikulum) merupakan rangkaian tidak terpisahkan dari pendidikan dan pengembangan karakter di RPS. Hal ini akan diuraikan tersendiri di Bab VII buku ini. Pada prinsipnya, pendidikan di domain afektif yang berfokus pada permasalahan karakter adalah salah satu kunci untuk memaknai peradaban lebih dari sekedar kecanggihan nalar dan segenap proses/hasil yang mengikutinya, tetapi juga peradaban sebagai proses menjadikan manusia lebih “beradab”, lebih mengaktualkan potensi manusia sesuai amanah UU. No. 20 Tahun 2003 - khususnya dalam hal spiritualitas/moralitas karakter subjek didiknya.

C. Matra Kokurikulum: Program Kegiatan

Istilah “ekstrakurikuler” lebih familier di dunia pendidikan Indonesia daripada istilah “kokurikuler/kokurikulum”. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online hanya mengenal istilah ekstrakurikuler. Istilah asal dari kedua istilah ini (kokurikulum dan ekstrakurikuler) adalah “cocurriculum” (bahasa Inggris). Matt Bawden (2016) dengan mengetengahkan konotasi negatif istilah “extra”curricular dia menyarankan penggunaan ekstrakurikuler sebagai “pelengkap” kokurikulum. Ekstrakurikuler (biasanya digunakan ketika berbicara tentang klub olahraga, kelompok hobi, atau pertemuan pendukung) berkonotasi suatu istilah yang tampaknya sedikit aneh, keluar dari zona kurikulum, atau lebih buruk. Bisa disimpulkan dari Bawden bahwa istilah ekstrakurikuler merupakan berbagai kegiatan di luar skenario/desain akademis (misalnya kelompok hobi olahraga ekstrim), tetapi memiliki kaitan yang signifikan dengan performa akademis. Ekstrakurikuler ini melengkapi (complementary) kokurikulum, istilah yang menunjuk pada kegiatan di lingkup akademik tetapi di luar kurikulum (misalnya Unit Kegiatan Mahasiswa Pencak Silat). Pada ekstrakurikuler maupun kokurikulum, subjek didik belajar kesabaran, mencapai pengetahuan dan pemahaman, menerapkan apa yang dipelajari ke tindakan konkrit. Secara umum, kokurikulum/ekstrakurikuler berada “di luar” kurikulum, tetapi senantiasa mendampingi kurikulum dalam proses pencapaian kompetensi lulusan yang berdaya saing dan berkarakter.

Kokurikulum melengkapi kurikulum untuk mencapai subjek didik atau lulusan agar lebih kreatif (Sudirman, 2015) dan juga untuk pengayaan wawasan dan sebagai upaya pemantapan kepribadian (Aqib & Sujak, 2011).  Secara efektif, kokurikulum dapat diproyeksikan menjadi sarana penyemaian/pengembangan karakter utama di samping kurikulum yang berlangsung. 

Penelitian Helen S. Astin dan Anthony Lising Antonio (2004) menegaskan berbagai pendapat sebelumnya bahwa terdapat asosiasi positif yang kuat yang dapat diamati antara kampus dan pengembangan karakter, yang bersumber pada karakteristik kelembagaan. Lembaga pendidikan yang berkarakteristik sebagaimana dimaksud oleh Astin dan Antonio ini, adalah lembaga yang mengedepankan kesiapan program kurikulum dan ko-kurikulumnya, khususnya yang didesain sedemikian rupa untuk berkontribusi terhadap pengembangan karakter. Kuh dan Umbach (2004) lebih komprehensif lagi dengan menyimpulkan dari penelitian keduanya bahwa perguruan tinggi menyiapkan mahasiswanya untuk hidup bermoral dan menyemaikan demokrasi melalui berbagai kebijakan dan praktek aktivitas yang memberikan mahasiswanya suatu pengalaman langsung mengarungi komunitas yang lebih besar, bergulat melalui keterlibatan di masyarakat, layanan pembelajaran, dan tugas-tugas lain. Kesempatan untuk berbaur dalam aktivitas yang melibatkan lintas rasial, agama, dan sosioekonomi juga penting bagi pengembangan karakter, sebagaimana lingkungan kampus yang menekankan kurikulum dan kokurikulum berbasis nilai-nilai yang menginisiasi dan menginduksi partisipasi mahasiswa di aktivitas-aktivitas komplementarisnya. Dalam bahasa sederhana di Indonesia, aktivitas komplementaris ini di ranah kokurikulum diwadahi dalam berbagai kegiatan tambahan di luar kurikulum. Di Unesa, wadah yang dimaksud berupa organisasi kemahasiswaan (Ormawa) dan/atau Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).

Sebagaimana ektrakurikuler di berbagai lembaga pendidikan tinggi lain (dan juga di level pendidikan sebelumnya), pengorganisasian Ormawa dan/atau UKM Unesa memerlukan Program Kerja/Kegiatan yang akan di jadikan acuan para anggotanya untuk menjalankan kegiatan-kegiatan. Perancangan, perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi program kerja Ormawa/UKM berhubungan dengan ketercapaian prestasi akademik (ilmu dan kecakapan kompetensi) dan juga performa karakter  – sebagaimana hasil penelitian Kuh dan Umbach (2014) atau Pascarella dan Terenzini (1991) di atas. Program Kerja tersebut dengan demikian berdasarkan filosofi tertentu yang memungkinkan keterarahan program untuk menghasilkan seperangkat tujuan yang bisa dibedakan dalam dua matra: komplementer akademis dan pengembangan karakter yang dapat dirinci ke dalam berbagai capaian “hardskill” dan “softskill” sebagaimana yang terjadi pada kurikulum.  

Pengembangan karakter melalui Ormawa/UKM yang termanifestasikan melalui program kerja, dapat didesain dan dimanifestasikan secara eksplisit maupun implisit mulai dari latar belakang mengapa Ormawa/UKM itu memerlukan kegiatan tertentu, maksud dan tujuan, detail tahapan pelaksanaan, hingga proses evaluasi – sebagaimana di domain kurikulum melalui RPS. Di Unesa, pengembangan karakter yang dimaksud – sekali lagi, sebagaimana di domain kurikulum – adalah nilai-nilai inti yang disepakati sebagai nilai iman, cerdas, mandiri, jujur, peduli, dan tangguh (Idaman Jelita).   




 DAFTAR PUSTAKA

Astin, Helen S., and Antonio, Anthony Lising, 2004, The Impact of College on Character Development, dalam New Directions for Institutional Research, no. 122, Summer 2004 © Wiley Periodicals, Inc.
Bauden, M, 2016, Character education: Co-curricular not extra-curricular, dalam http://www.sec-ed.co.uk/best-practice/character-education-co-curricular-not-extra-curricular/ diakses 11 April 2017.
http://kbbi.web.id/ekstrakurikuler, diakses 11 April 2017.
Kuh, George D, dan Umbach, Paul D., 2004, College and Character: Insights from the National Survey of Student Engagement, New Directions for Institutional Research, no. 122, Summer 2004 © Wiley Periodicals, Inc.
Pascarella E. T. & Terenzini P. T. 1991. How college affects students. San Francisco, CA: Jossey-Bass.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
Peraturan Presiden Nomor 08 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.
Pramono, Made, 2014, Urgensi Penguatan Kesadaran Kritis Mahasiswa, dalam Khoiri, M dan Nurlaela, L. (ed.), 2014, Unesa Emas Bertartabat, Surabaya: Unesa University Press.
Tim, 2014, Naskah Akademik Pengembangan Kurikulum Unesa, Surabaya: Unesa University Press.
UU. No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar