17 Desember 2009

Dosen: proyek menulis buku ajar

Prospek Potensial Penerbitan Buku Ajar
Posted on 15 Desember 2009. http://johnherf.wordpress.com

Pertanyaan mengapa dosen tak menulis buku ajar menghasilkan temuan berupa pengakuan bahwa ada kendala menulis buku ajar dan keraguan mengapa dosen harus menulis buku ajar.

Asumsinya tugas utama dosen hanya mengajar dan mendidik mahasiswa. Berdasarkan penelusuran minat juga ada kendala berkaitan dengan terjangkitnya rasa cemas dan ketidaktahuan cara menulis buku ajar yang layak diterbitkan. Kelayakan buku ajar yang diterbitkan sering berkaitan dengan prospek potensial buku yang diminati oleh mahasiswa. Oleh karena itu, berdasarkan pendekatan jawaban atas pertanyaan mengapa menulis buku ajar, bagaimana menulis buku ajar dan siapa pembaca akan memperjelas prospek potensial buku ajar yang diterbitkan.

Bagi dosen menulis buku ajar bertujuan untuk promosi atau kenaikan pangkat. Demikian tujuan awalnya. Namun, seiring dengan perkembangan karier mengajar di kampus sering kemudian menulis buku ajar menjadi kebutuhan batin dan kebutuhan lahir — setelah ia menikmati proses penerbitan dan hasil menulis buku ajar. Dalam hal ini, kebutuhan untuk berbagi atas apa yang ia ketahui untuk mahasiswa, sekaligus menikmati hasil royalti dari penjualan buku ajar.
Kisah sukses penulis buku ajar berprofesi sebagai dosen tercatat Miriam Budiardjo, Andi Hakim Nasution, F.G. Winarno, Sjamsoe’oed Sadjad, Rhenald Kasali, Anton Moedardo Moeliono, M. Quraish Shihab, dan Harimurti Kridalaksana. Profil tokoh yang sukses menjadi dosen terkenal, pada awalnya juga sebagai penulis pemula, yang baru bisa menulis buku ajar. Pada awalnya, penulis itu menjadi penulis biasa saja, lama-kelamaan memiliki kebiasaan menulis, lama-kelamaan menjadi penulis produktif. Terkenal. Teruji. Apalagi setelah bermunculan respons positif dari mahasiswa.
Atas dasar itu, sepantasnya naskah buku ajar yang dimiliki oleh dosen segera dipublikasikan. Buku yang diterbitkan, kemudian akan mendapatkan umpan balik (feedback), seperti kritik dan saran, baik penambahan maupun pengurangan materi, misalnya melalui Surat-Menyurat Singkat (SMS), imel (posel/surel/e-mail), surat pembaca, telepon, bahkan percakapan langsung antara penulis dan pembaca.
Dalam proses komunikasi, prospek buku ajar yang potensial antara penulis dan pembaca tercermin pada kuantitas dan kualitas isi buku ajar, terutama yang memberikan komentar pada isi buku yang diterbitkan. Oleh karena itu, harapan bahwa dari sekian komentar digunakan untuk memperkaya isi buku dan menimbulkan ide baru dapat menginspirasikan kepada dosen yang bersangkutan. Tanggapan pembaca justru mengilhami dosen untuk menuliskan buku ajar yang lain.
Untuk menetapkan tujuan penulisan isi buku ajar ini dapat digunakan rumus asdamba atau apa, siapa, di mana, kapan, mengapa dan bagaimana atau 5W+H — yang diperkenalkan oleh Rudyard Kipling. What (apa yang perlu dibaca dari isi buku ajar?); who (siapa pembaca isi buku ajar?); where (di mana isi buku ajar menjadi enak dan cocok pada saat dibaca?); when (kapan isi buku ajar patut dibaca?); why (kenapa seseorang perlu membaca isi buku ajar?); how (bagaimana susunan isi buku ajar dan bagaimana pembaca menikmati isi buku ajar?).
Jawaban atas enam pertanyaan itu dapat mempermudah dosen untuk mengidentifikasi naskah yang dijadikan buku ajar. Kalau tujuan penulisan sudah jelas dan jenis pembaca juga sudah jelas, lebih mudah lagi bagi dosen untuk menetapkan tujuan penulisan buku ajar. Tujuan penulisan buku ajar dapat dilihat dari pencapaian kompetensi yang ditetapkan berdasarkan matakuliah. Alat yang paling ampuh untuk menuliskan tujuan buku ajar antara lain mengkaji rencana pembelajaran dari matakuliah tersebut.
Uraian itu beranggapan bahwa rencana pembelajaran sudah ada terlebih dahulu. Jika rencana pembelajaran belum tersedia bagaimanakah? Itu artinya dosen betul-betul diminta untuk merancang dari awal. Mulai dari menetapkan tujuan pembelajaran atau kompetensi pembelajaran, peta bahan kajian materi buku ajar, kerangka buku ajar, sampai menjadi buku ajar yang siap diterbitkan. Kendala lain bagi dosen yang mulai menulis buku ajar berkaitan dengan kekhawatiran rekan dosen yang mengejek, kekhawatiran tidak sempurna, kekhawatiran tidak ada pembaca, dan kekhawatiran tidak terjual.
Kekhawatiran muncul ketika buku tidak terjual karena dianggap tidak laku, terutama bagi dosen yang baru mulai menulis buku ajar. Pemikiran negatif itu dapat diabaikan dengan pertimbangan bahwa urusan laku atau tidak laku jual-beli buku menjadi tanggung jawab penerbit yang memasarkan buku ajar. Asumsinya, jika penerbit bersedia menerbitkan buku ajar, perhitungan di atas kertasnya, ia mempunyai optimisme untuk memasarkan buku ajar. Oleh karena itu, alasan menjadi cemas sesungguhnya tidak berdasar sama sekali. Jika ternyata buku ajar benar-benar tidak laku, dosen yang bersangkutan tetap dapat turut mempromosikan isi buku itu sesuai kapasitas sebagai pengajar.
Tugas dosen sebagai penulis hanya perlu meyakinkan kepada penerbit bahwa buku ajar akan laku dipasar. Apalagi kenyataannya jika isi buku ajar juga disampaikan di kelas, ia bukan hanya hanya menghitung jumlah populasi dari mahasiswa yang perlu memiliki buku itu, melainkan juga menyampaikan proposal atau rekomendasi pemakai buku ajar kepada penerbit.
Rekomendasi dosen diperlukan karena dianggap sebagai pihak yang paling tahu prospek pasar potensial pemasaran buku ajar. Biasanya dosen memiliki jaringan pemakai berdasarkan peta pasar. Dalam arti yang sempit, peta pasar mudah diidentifikasi jika terdiri atas mahasiswa dari matakuliah yang diampu, mahasiswa atau dosen sejurusan atau sefakultas, dan mahasiswa atau dosen yang berminat pada matakuliah seperti yang terdapat pada buku ajar (sekomunitas). Dalam arti yang luas, peta pasar meliputi mahasiswa atau dosen yang mempelajari matakuliah tanpa ada hubungan langsung dengan dosen selaku penulis buku ajar.
Bagi penerbit, gambaran pengguna buku ajar dalam arti yang luas ini seringkali agak diabaikan. Alasannya, jenis pemakai kategori bebas, sulit diprediksi. Meski demikian, seringkali peta pasar dalam arti luas tercatat sebagai pengguna yang aktif memberi kontribusi perbaikan atas isi buku ajar. Ada kekhawatiran lain, ketika buku ajar diterbitkan tanpa pertimbangan profesional, seperti fenomena mahasiswa memfotokopi isi buku ajar, hal ini perlu dikesampingkan dulu. Jadikan sebagai masukan saja untuk permasalahan berikutnya yang juga akan memiliki jalan keluar. Tindakan ekstrem bagi dosen ada juga yang mengancam tidak akan meluluskan mahasiswa yang memfotokopi isi buku ajar.
Alternatif lain dengan mencetak buku ajar dengan menggunakan kertas koran berukuran 15 x 23 sentimeter sehingga biaya fotokopi dan harga buku lebih efektif kalau membeli buku ajar. Jenis kertas isi Storenzo atau bookpaper 55 gram juga dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk mempersempit ruang gerak kebiasaan mahasiswa memfotokopi.
Bagi dosen yang merancang rencana pembelajaran, cara pengembangan ide dengan alur pembelajaran itu akan mempermudah penulisan buku ajar, khususnya pada matakuliah yang diampu. Namun, jika alur pembelajaran ini tidak tersedia, sedangkan yang tersedia hanya rencana pembelajaran, maka skenario isi buku ajar dapat disusun berdasarkan rencana pembelajaran. Selanjutnya, skenario isi dapat dikembangkan menjadi kerangka buku lengkap dalam bentuk struktur 5W + H.
Sebuah buku pada hakikatnya bukan karya pribadi dosen saja, melainkan juga menjadi sebuah proyek kolaborasi. Kecuali buku yang isinya diedit oleh dosen sendiri, dikoreksi sendiri, diset sendiri, perwajahannya dikerjakan sendiri, jenis huruf dipilih sendiri dan pewarnaan dibuat sendiri. Semua dikerjakan sendiri, seperti mendesain sampul, menata montase, membuat klise cetak, waktu naik mesin dikerjakan sendiri, waktu mencetak mesin cetak diurus sendiri, selesai cetak dipotong sendiri, menyusun halaman-halaman sendiri, menjilid sendiri, mengangkat ke gudang sendiri, mengemas atau membungkus sendiri, dan memasarkan sendiri pula. Sebuah buku juga merupakan hasil usaha maksimal yang direncanakan sedemikian rupa.
Buku yang sudah bagus, menurut orang lain boleh jadi susunannya dianggap masih kacau. Namun, jika penerbit menilai isi buku ajar memuat ide orisinil, yang memuat informasi aktual dan data yang akurat, maka penerbit optimis bahwa isi buku ajar yang diterbitkan akan laku dijual. Dalam situasi seperti itu, penerbit mempekerjakan atau menyewa jasa seseorang yang disebut asosiasi editor (asosiate editor). Asosiate editor bukan saja bertugas membenahi naskah dari segi kebahasaan, melainkan juga memperbaiki sisi substansi naskah yang memenuhi standar kelayakan untuk diterbitkan. Jadi, dosen yang menjadi penulis tidak perlu bekerja seorang diri dalam menerbitkan buku ajar.
Jika buku ajar kurang sempurna tetap ada editor kreatif yang bekerja dibalik layar yang mempercantik naskah. Editor yang membersihkan naskah yang kotor-kotor. Jika penulisan ejaan banyak yang tidak baku, istilah kurang tepat, dan tata bahasa agak kacau, editor madya yang akan memperbaiki kekacauan itu. Jika susunan isi buku ajar lebih payah lagi, tetapi inti isi buku ajar memiliki nilai yang tinggi, maka editor utama yang akan menyempurnakan isi buku ajar.
Akan tetapi, jangan terlalu mengandalkan bantuan editor. Alasannya karena isi buku ajar tetap memiliki ide orisinil dari seorang dosen. Susunlah isi buku ajar yang menarik dan dapat dipertanggungjawabkan. Hak cipta isi buku tidak bermasalah, entah kutipan langsung entah kutipan tidak langsung atau saduran. Izin publikasi sudah diproses dengan baik, entah ilustrasi entah gambar atau foto. Selain itu, paradigma lama yang menggarisbawahi penerbitan buku ajar semata-mata agar penulis (dosen) mendapatkan royalti diganti menjadi paradigma baru bahwa dosen berjiwa kewirausahaan (enterpreunership). Jadi, dosen selaku penulis memiliki komunitas pengguna buku ajar. Dosen juga memiliki jaringan pertemanan yang luas sehingga ikut mempercepat penjualan buku ajar. Daya jual semakin cepat membuat buku ajar laku keras atau terlaris (bestseller). Dosen memiliki sejumlah investasi awal atas buku ajar yang hendak diterbitkan. Jika dianggap perlu, dosen dapat membeli sejumlah buku ajar tertentu yang dicetak terbatas — sesuai dengan permintaan dari sejumlah mahasiswa yang diajar. Demikian beberapa persyaratan penerbitan buku ajar dari penulis yang aktif mengajar mahasiswa di kelas. Jadi, selesaikan saja buku ajar yang memiliki prospek pasar potensial yang terukur, teridentifikasi dan tepercaya!***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar