Di Sebuah Forum...
Dalam sebuah forum senat universitas yang membahas masalah statuta Perguruan Tinggi, saya tergelitik dengan draft pembahasan rapat yang salah satu klausulnya saya cermati tidak konsisten. Tentang kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik.
Ketidakkonsistenan dipicu oleh salah satu pasal yang menyebutkan hanya “dosen” yang dimungkinkan “menyampaikan pikiran dan pendapat secara bebas di perguruan tinggi yang bersangkutan sesuai dengan norma dan kaidah keilmuan”. Padahal di Bab Ketentuan Umum sebelumnya jelas-jelas bahwa “Kebebasan akademik termasuk kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan merupakan kebebasan yang dimiliki anggota sivitas akademika untuk melaksanakan kegiatan yang terkait dengan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab dan mandiri”. Perhatikan frase “kebebasan yang dimiliki anggota sivitas akademika..”, karena yang dimaksud dengan sivitas akademika, dalam Ketentuan Umum itu juga, adalah meliputi dosen dan mahasiswa. Artinya, bukankah seharusnya mahasiswa juga dimungkinkan secara legal-yuridis untuk “menyampaikan pikiran dan pendapat secara bebas di perguruan tinggi yang bersangkutan sesuai dengan norma dan kaidah keilmuan”??
Saat itu, pimpinan sidang menjawab kegusaran saya dengan bertanya ke peserta sidang yang lain yang rata-rata terdiri dari guru besar. Apa jawaban sidang? Kebebasan mimbar akademik sebagai bagian dari kebebasan akademik memang hanya dimiliki oleh dosen..! Saya kemudian mengingatkan sidang untuk membaca Bab Ketentuan Umum yang memicu ketidakkonsistenan. Masalah yang saya ajukan-pun kemudian mengalir tanpa kejelasan, hanya diputuskan agar tim pembuat draft agar membenahi ketidakkonsistenan itu (dan ini artinya, mahasiswa nyata-nyata dianggap bukan merupakan subjek yang memiliki kebebasan mimbar akademik!).
PP No 60 Th 1999
Benarkah kebebasan mimbar akademik hanya dimiliki dosen? Pertanyaan itu terus memancing kegusaran saya. Meskipun saat di forum itu saya sempat browsing artikel melalui Nokia E5 saya dan menemukan beberapa tulisan seputar kebebasan akademik dan otonomi keilmuan yang melibatkan mahasiswa (tak hanya dosen), namun jujur saya belum menemukan landasan kuat untuk menjustifikasi. Baru seminggu setelah itu, saya menemukan bahwa landasan yuridis dari pencantuman ketidakkonsistenan masalah kebebasan akademik itu ada di Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi. Rupa-rupanya tim perumus draft “copy paste” dari PP 60 Th 1999 tersebut. Ini artinya, di PP No 60 tahun 1999 itupun, juga tersurat dan tersirat adanya ketidakkonsistenan!. Inilah bunyi aslinya:
Bab I “Ketentuan Umum” Pasal 1, ayat 10 dijelaskan:
Sivitas akademika adalah satuan yang terdiri atas dosen dan mahasiswa pada perguruan tinggi.
Bab VI “Kebebasan Akademik dan Otonomi Keilmuan” Pasal 17 ayat 1:
Kebebasan akademik termasuk kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan merupakan kebebasan yang dimiliki anggota sivitas akademika untuk melaksanakan kegiatan yang terkait dengan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab dan mandiri.
Bab yang sama di Pasal 18 ayat 1:
Kebebasan mimbar akademik berlaku sebagai bagian dari kebebasan akademik yang memungkinkan dosen menyampaikan pikiran dan pendapat secara bebas di perguruan tinggi yang bersangkutan sesuai dengan norma dan kaidah keilmuan.
(Ayat-ayat yang lain saya cermati tidak menjawab ketidakkonsistenan ini, jadi tidak saya cantumkan)
Perbarui PP 60 Th 1999!
Menurut saya, PP 60 Th 1999 itu harus segera diganti..! Bukan hanya karena masalah ketidakkonsistenan antara Bab VI Pasal 18 ayat 1 dengan Bab VI Pasal 17 ayat 1,, tetapihidden philosophy yang terrekam dari ketidakkonsistenan itu yang menurut saya malah harus diwaspadai, dimana ada sebagian kalangan di PT yang tampaknya masih bersikukuh hendak mengebiri hak-hak mahasiswa untuk bebas secara akademik menyampaikan pendapat, berkegiatan yang terkait pendidikan dan pengembangan IPTEK.
Dosen secara otonom memang harus dikuatkan selalu semangatnya untuk menyampaikan pikiran dan pendapat secara bebas tanpa harus dibayang-bayangi “masalah yang mungkin muncul” dari pihak lain baik itu birokrat di DIKTI, rektor, dekan, atau siapapun. Tetapi apakah mahasiswa tidak dimungkinkan juga untuk bebas sedemikian itu? Sivitas akademika, hanya patuh pada perundangan dan kode etik masing-masing. Ataukah kembali ke abad 16 di mana Nicholaus Copernicus harus menangguhkan penerbitan karyanya yang berjudul “De Revolutionibus Orbium Coelestium” sampai hampir 20 tahun gara-gara adanya ancaman dari pihak luar dalam hal ini gereja???
Sebagaimana ditegaskan Fuad Hassan dalam orasi ilmiahnya, kebebasan akademik bukan sekedar modus ‘kebebasan dari’ berbagai keadaan terkekang, terbelenggu, terpasung, dan berbagai keterbatasan lainnya, melainkan mendapatkan artinya sebagai modus ‘kebebasan untuk’ bertindak membuat pilihan. Berbeda dengan yang pertama, modus yang kedua terkait langsung pada suatu tanggungjawab, karena segala tindakan dilakukan dalam kebebasan sepenuhnya.
Apa yang terjadi dalam perguruan tinggi saat ini terhadap perkembangn pencarian kebenaran tetap harus berlandaskan ‘kebebasan untuk’ bukan ‘kebebasan dari’. Di lain pihak pemegang kewenangan dalam kampus (dosen) bukanlah pusat otoritas kebenaran.
Dengan berlakunya kebebasan akademik serta diakuinya otonomi keilmuan, maka lengkaplah landasan untuk menjadikan tiap lembaga pada jenjang pendidikan tinggi sebagai wahana pembelajaran dengan ciri khasnya. Kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik sekaligus membuka kesempatan bagi warga civitas akademika untuk saling menguji pikiran dan pendapat tanpa mengesampinkan tanggungjawab.
Keterbukaan ini penting dijadikan sebagai semangat dalam segala diskursus antara sesama warga masyarakat akademik, karena betapa hebatnya pun seseorang dalam penguasaan disiplin ilmunya, tak ada alasan baginya untuk beranggapan bahwa pikiran dan pendapatnyalah satu-satunya yang benar. Keterbukaan dalam diskursus menjauhkan seorang dari arogansi akademik dan menghidupkan saling-toleransi dalam berbeda pendapat. Karena pendidikan adalah proses transformasi ilmu pengetahuan hendaklah mahasiswa dalam perguruan tinggi tidak dijadikan lagi sebagai objek semata melainkan subjek terhadap setiap kebijakan kampus baik yang bersifat politis maupun apolitis.
Apa sih susahnya menambahkan kata “mahasiswa” mengiringi kata “dosen” di Pasal 18 ayat 1 tersebut? Saya menganggap PENTING untuk MEWASPADAI kenapa tidak ada kata “mahasiswa” setelah kata “dosen” pada Bab VI Pasal 18 ayat 1 itu. Padahal jelas-jelas yang dimaksud sivitas akademika pada pasal 17 ayat 1, adalah mencakup dosen dan mahasiswa. Tegasnya, ketidakkonsistenan ini disengaja untuk menyuburkan feodalisme pendidikan yang tidak sepenuhnya membebaskan mahasiswa untuk berkreasi di mimbar-mimbar akademik...
Sumber:
http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/16/mahasiswa-perguruan-tinggi-dan-kebebasan-akademik/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar