PARIWISATA OLAHRAGA MASYARAKAT MADANI
Made Pramono
madepramono@unesa.ac.id
A.
Pendahuluan
Bukan hanya
terkait dengan permasalahan moral yang tersirat dari bunyi judul, tulisan ini
juga menyangkut permasalahan silang mengkarutnya dengan visi dunia yang
mengangkat permasalahan etika yang dicerminkan pariwisata olahraga dalam hal
keterlibatan dengan sosial kemanusaan. Indonesia dijadikan eksperimen
analisisnya, karena beberapa kementerian sudah menunjuk beberapa daerah sebagai
potensi diaktualisaikan secara serius seperti Banyuwangi, DKI, Magetan, dan
lain-lain mengikuti Bali yang sudah lama menjadi destinasi wisata dan juga
lokus pariwisata olahraga (lihat misalnya di Direktorat Kebudayaan, Pariwisata,
Pemuda dan Olahraga, 2007).
Pemilihan isilah “berkemanusiaan dan
berperadaban” karena melibatkan moral positif. Artinya, hukum bemuansa moral
yang disepakati secara umum sebagai ada (http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/248/182)
untuk menuju masyarakat madani (civil society) (Azizy, 2004). Pelibatan
moral dan keberadaban secara tepat melandasi kajian filsafat ini dengan secara
komprehensif dan intensif memberi penekanan bagaimana pengembangan pariwisata
olahraga hendak dikembangkan di Indonesia.
B.
Pariwisata sebagai Ilmu
Dalam kamus besar bahasa Indonesia
dikemukakan bahwa pariwisata adalah suatu kegiatan yang berhubungan dengan
perjalanan rekreasi. Istilah pariwisata pertama kali digunakan pada tahun 1959
dalam Musyawarah Nasional Turisme II di Tretes, Jawa Timur. Istilah ini dipakai
sebagai pengganti kata Turisme sebelum kata pariwisata diambil dari
bahasa Sansekerta (Suwena dan Widyatmaja, 2017).
Pembangunan pariwisata yang direncanakan
dan dikelola secara berkelanjutan dengan berbasis pada masyarakat akan mampu
memberikan kontribusi terhadap penerimaan devisa negara dan menciptakan
lapangan kerja. Disamping itu, pembangunan pariwisata juga dapat menciptakan
pendapatan yang dapat digunakan untuk melindungi dan melestarikan budaya dan
lingkungan dan secara langsung menyentuh masyarakat setempat/desa tujuan
wisata. Pandemi COID-19 memang sempat menghentikan laju pertumbuhan sebesar 4,3
persen setiap tahun sehingga bahkan di Indonesia, pariwisata merupakan
penghasil devisa terbesar setelah sektor minyak dan gas bumi. Selain sebagai
penghasil devisa, kegiatan pariwisata secara potensial juga dapat mengatasi
kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan menggerakkan sektor usaha kecil dan
menengah (UKM). Ringkasnya pariwisata merupakan salah satu industri yang
mempunyai peran cukup penting dalam pembangunan ekonomi, sosial, budaya, dan
lingkungan (Direktorat Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga, 2007).
Eric Cohen (2018) menyebut pariwisata
sebagai suatu ‘bidang’ (lebih tepatnya bidang interrelasi sebagaimana orang
menyebut bidang studi. Mengutip Barret, Cohen menegaskan bahwa sebagai konsep
kental dengan analisis filsafat tentang waktu luang, pariwisata merupakan
filsafat waktu luang yang sepele namun ‘leisure is the end,
the goal of human life’. Filsafat dan etika waktu
luang dalam pariwisata (termasuk olahraga) menuai banyak tulisan di
jurnal-jurnal internasional seperti Journal of the
Philosophy of Sport dari berbagai
penulis dengan beragam sudut pandang kefilsafatan mereka, misalnya menyebut
waktu luang sebagai bentuk kedamaian, atau, prasyarat penting untuk pengalaman
religius yang mendalam. Pariwisata sudah memperoleh tempat khusus di wilaya
akademik secara filosofis maupuan ilmiah.
Pariwisata olahraga muncul dan berkembang
sebagai ilmu baru dengan konsep-konsep kunci yang berbeda dengan disiplin lain.
Pariwisata olahraga lebih dicirikan sebagai kebiasaan perjalanan dari satu
tempat ke tempat lain yang mengedepankan interaksi unik antara aktivitas
seseorang dan suatu tempat (Weed, 2020). Pariwisata olahraga adalah salah satu jenis pariwisata yang menjadikan
aktivitas olahraga sebagai daya tarik
utama. Pariwisata olahraga meliputi
semua pengalaman yang didapatkan dari
melakukan atau mempraktekkan
kegiatan olahraga maupun sekedar
untuk menikmati
aktivitas olahraga sebagai tontonan atau hiburan, yang membutuhkan perjalanan dari tempat
tinggal serta tempat kerjanya.
Pariwisata olahraga dianggap
sebagai bagian dari pariwisata yang
diciptakan melalui integrasi antara
olahraga dan pariwisata (Masrurun,
2020).
Pariwisata olahraga memang disiplin baru
bahkan sampai dengan tahun 2000an batas-batas keilmuannya belum jelas dan
tegas, sehingga tawaran program, modul, bahkan asesmen kurikulum pada tahun
2000 itu masih perlu diolah (Swart, 2000). Berdasarkan penamaan ilmiahnya,
pariwisata olahraga menerapkan pendekatan multidisipliner pada awal
kemunculannya, yaitu pariwisata dan olahraga.
Choi dan Pak (2006: 352) memperingatkan bahwa istilah multidisipliner,
interdisipliner, dan transdisipliner dipergunakan untuk menunjuk usaha-usaha
ilmiah yang melibatkan beberapa disiplin. Namun acapkali ketiganya didefinisikan
secara ambigu dan saling dipertukarkan – suatu situasi yang disebut
“terminological quagmire” (keruwetan terminologis). Apa yang disebut Jensenius (www.arj.no/2012/03/12/disciplinarities-2/) mewakili
macam disiplineritas ilmu ini: multidisipliner berarti kerjasama beberapa disiplin
yang berbeda-beda, masing-masing menggambarkan pengetahuan disiplinnya
sendiri-sendiri. Disiplin pariwisata sebagai disiplin asal yang dibawa mendekati objek
berupa disiplin lain, olahraga. Pengaturan isi dan batang tubuh keolahragaan
secara mendasar melibatkan perspektif epistemologi dibahas misalnya dalam buku
Herbert Haag (1994). Bidang ilmu pariwisata mendasar dibahas dalam beberapa
buku pariwisata internasional, misalnya Ian Jackson (1989).
Tetapi sebagai kajian multidisipliner, meskipun sudah ada beberapa buku tentang
hal itu, peluang sumbangsih para imuwan masih terbuka lebar.
Pariwisata olahraga adalah salah satu sektor
pariwisata yang tumbuh paling cepat, dan telah terbukti dapat merangsang
ekonomi lokal (Chang, dkk, 2020). Berdasarkan
analisis Technavio (dalam Chang, dkk, 2020), nilai sport
tourism diharapkan meningkat dari $ 1,41 triliun
pada tahun 2016 menjadi $ 5,72 triliun pada tahun 2021 secara global (tentu
sebelum pandemi COVID-19). Sejalan dengan itu, keuntungan industri pariwisata
olahraga terkait dengan tidak hanya olahraga, tetapi juga kontribusinya kepada
pemerintah dan masyarakat sekitar. Menurut Yamashita dan Takata (2020)
pariwisata olahraga diantisipasi sebagai salah satu industri kunci yang mampu
menghidupkan komunitas dengan berbagai macam sumber daya keindahan alam.
Pelibatan ratusan penduduk lokal dalam kerangka penelitian citra tempat dan
pengetahuan tentang pariwisata berkontribusi pada dukungan warga untuk
pengembangan wisata olahraga dengan efek moderat dari ketergantungan pariwisata
(Chang,
dkk, 2020).
Olahraga pertama-tama dilihat oleh beberapa
ilmuwan sebagai motivasi untuk aktivitas/kegiatan melakukan perjalanan sehingga
pariwisata olahraga semakin menemukan landasan epistemologisnya dengan landasan
batang tubuh pengetahuan itu (Rheenan, Cernaianu
& Sobry, 2016). Bahkan Valerian Geffroy di judul artikelnya menegaskan
“bermain dengan ruang” sebagai basis konseptual untuk menginvestigasi
praktek-praktek parwisata olahraga yang penuh makna. Ini lebih darahkan sebagai
ekspresi dan pragmasi pemahaman ruang yang menekankan pada dimensi prosesual
dan kontekstual tindakan manusia. Wisatawan olah raga dianggap sebagai makhluk
refleksif dan berwujud, menikmati sensasi, mobilitas dan menempati lokasi, dan
selalu rasional. Rekreasi sebagai wujud budaya semakin diintegrasikan ke dalam
aktivitas sehari-hari, semakin menyenangkan, dan semakin dimediasi (Geffroy,
2016).
Tentu saja terkait pandemi COVID-19, untuk
dianggap serius dalam melakukannya, mereka yang bertanggung jawab atas
organisasi kegiatan pariwisata olahraga utama yang menghasilkan aliran uang
global yang signifikan dan juga masyarakat harus mempertimbangkan konteks
sosial dan ekonomi untuk keputusan yang mereka buat. Pelajaran dari pandemi
COVID-19 adalah keputusan seperti
penundaan dan keketatan protokol kesehatan harus diinformasikan dampaknya
masyarakat, bukan hanya karena ketidaknyamanan yang mereka timbulkan kepada
administrator olahraga (Weed,
2020).
Pariwisata olahraga merupakan sektor
pariwisata yang memberikan kontribusi kepada berbagai pemangku kepentingan dan
menguntungkan pembangunan ekonomi lokal, pertukaran sosial-budaya, dan
interaksi masyarakat. Untuk menopang proyek pengembangan pariwisata, penting
untuk mendapatkan dukungan dari warga sekitar. Studi Chang dkk (2020) telah
memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana citra tempat dan pengetahuan
mempengaruhi dukungan penduduk lokal untuk pengembangan wisata olahraga. Ini
juga memberikan wawasan tentang bagaimana ketergantungan pariwisata memoderasi
jalur antara variabel independen - citra tempat dan pengetahuan tentang
pariwisata - dan dukungan penduduk untuk
pengembangan pariwisata olahraga. Dalam jangka panjang, ketergantungan
pariwisata dapat dipertanggungjawabkan sebagai bagian dari dukungan warga untuk
pengembangan pariwisata olahraga. Dengan memahami pola pikir masyarakat lokal
tentang citra tempat, penelitian ini akan memberikan pemahaman yang mendalam
wawasan bagi pembuat kebijakan pariwisata untuk lebih memanfaatkan atribut
positif dari tempat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Studi ini juga
akan membantu pemerintah dan penyelenggara acara olahraga untuk mewujudkan kesadaran
yang lebih besar tentang manfaat dan memberikan pengetahuan yang relevan untuk
meningkatkan dukungan penduduk lokal terhadap pariwisata olahraga di Indonesia.
C.
Masyarakat Madani
Masyarakat madani
merupakan padanan dari konsep civil society (masyarakat sipil) yang
lahir di Barat pada abad ke-18 dengan tokohnya John Locke atau Montesquieu.
Sebelumnya pada zaman Yunani Kuno pernah digunakan kata societies civilis
oleh Cicero, namun dengan pengertian yang identik dengan negara. Konsep civil
society berusaha untuk mencegah lahirnya pemerintahan yang otoriter, dengan
menciptakan masyarakat yang kuat vis-à-vis negara (Suwarni, 2011; Rochmat,http://staffnew.uny.ac.id/upload/132104866/penelitian/2003jpkmasyarakat-madani.pdf).
Selain masyarakat madani, civil society disebut pula masyarakat warga,
masyarakat kewargaan, masyarakat berbudaya, masyarakat beradab (Mas’udi, 1999;
Parmudi, 2015). Argumen munculnya istilah terakhir ini yang mendasari penulis
menyebut masyarakat madani sebagai konsep berkemanusiaan dan berkeadaban. Ciri
pokok yang ditekankan pada tulisan ini adalah anyaman kemanusiaan dan
keberadaban berupa moral yang menjamin berlangsungannya keseimbangan antara
kebebasan individu dan kestabilan sosial yang dikenakan pada masyarakat,
khususnya terkait pariwisata olahraga.
Penekanan ciri pokok ini berasal
dari konsep yang dicetus-populerkan oleh Naquib Al-Attas di Malaysia yang
kemudian dipopulerkan di Indonesia oleh Nurcholis Madjid (Mas’udi, 1999;
Mustapa, 2019). Nurcholis menyebut ciri mendasar dari masyarakat madani ini,
yakni egaliterianisme, penghargaan pada orang lain berdasarkan prestasi,
keterbukaan partisipasi, penegakan hukum dan keadilan, toleransi dan
pluralisme, serta prinsip musyawarah (Nurcholis, dalam Mas’udi, 1999). Mewakili
perspektif budaya, Alexis de Toqueville, Adam Ferguson, Nurcholish Madjid
menyatakan bahwa civil society dibangun melalui beberapa elemen seperti civility
(keberadaban), fraternity (persaudaraan), trust (kepercayaan) di
antara kelompok sosial, toleransi, dijunjung tingginya HAM, akuntabilitas,
keterikatan pada hukum (Mustapa, 2019).
Permasalahan etis-antropologis yang
dihubungkan dengan karakter masyarakat madani yang hendak ditumbuhkembangkan di
lingkungan pariwisata olahraga menjadi titik tekan resultante penulisan artikel
ini. Pariwisata olahraga masyarakat madani secara ideal dikembangkan dari konsep filsafat,
narasi sosial kebudayaan dan bermuara pada garis besar atau grand scenario
nasional pariwisata khususnya dalam hal olahraga. Bagian akhir berikut ini
mensarikan konseptualisasi pariwisata olahraga masyarakat madani tersebut.
D.
Cita Etis Parisiwata Olahraga
Etika bukan hanya sumber tambahan
ajaran moral, tetapi etika merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan
mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan tentang moral
(Magnis-Suseno, 1987 ). Dalam hal pariwisata olahraga berarti memikirkan dan
mengonseptualisasikan secara kritis dan mendasar berbagai pandangan moral
terkait pengembangan pariwisata olahraga tersebut. Untuk menyingkat proses
kritis itu, penulis membatasi pada konsep mendasar tentang perencanaan, pilihan
lokasi dan waktu event, pelaksanaan, dan evaluasi dalam pengembangan pariwisata
olahraga.
Geffroy
(2016) menyatakan bahwa pariwisata olahraga adalah
suatu praktek sosial. Hal ini berangkat dari kerangka pikir (1) menekankan
karakter main-main sifat pariwisata olahraga, (2) menunjukkan sentralitas
dimensi spasial dalam lakon ini dan (3) mengedepankan perspektif teoretis
tentang 'praktik', yang mengundang kita untuk mempertimbangkan tindakan jasmani
sebagai bermakna dan sebaliknya pemahaman (atau konsepsi) sebagaimana
diwujudkan, dan menunjukkan seberapa cocoknya dengan analisis pariwisata olahraga. Pemahaman fenomenologis mendalam
terbentuk dengan menghayati ‘permainan ruang’ di dalam pariwisata olahraga.
Pemahaman dan pengalaman spontan
fenomenologis ini secara terbuka “diinterupsi” dengan konseptualisasi etis dala
pariwisata olahraga. Sebenarnya manusia bisa melepaskan diri dari interupsi
etis ini dan menghayati sebagai proses internalisasi subjektif dengan mengambil
sikap pembiasaan langsung, namun tentu saja upaya untuk hal ini memakan waktu
pemikiran lebih panjang. Oleh karena itu, penulis uraikan konseptualisasi etis
secara sederhana dan diharapkan ada intensionalitas yang menjadi dasar penulisan
untuk pemahaman fenomenologis dimaksud.
Ketika Banyuwangi, mewakili wilayah timur Pulau Jawa,
dikukuhkann unggulan pariwisata olahraganya dengan surfing, niscaya ada
proses perencanaan terpadu di lini ekeskutif Pemda setempat yang melibatkan
juga masyarakat. Even besar terkait surfing tahunan dengan perencanaan
terkait penyelenggaraan event, penataan lokasi, pemberdayaan sosial, dan
berbagai aspek lain secara terprogram dan padu diuapayakan tidak hanya sukses
penyelenggaraannya, namun juga sukses pemberdayaan dan kontinuitas mental
mandiri (atau ‘enterpreneurship’) masyarakat.
Beberapa
ciri etis dalam pemberdayaan pariwisata olahraga ini antara lain:
1) Egaliterianisme,
pada hakikatnya semua orang manusia adalah sama dalam status nilai atau moral
secara fundamental. Masyarakat diberi jalan untuk menyatakan pendapatnya untuk
kemudian secara terpadu diputuskan solusi terbaik terkait perencanaan,
partisipasi, maupun keadilan dan hak bersuara. Ini bisa terkait usaha yang
dikembangkan masyarakat, pelibatan sponsor, dan aspek lain.
2) Penghargaan
pada orang lain berdasarkan prestasi, tidak terbatas pada atlet yang bertanding
tetapi masyarakat umum. Prinsip etis ini menjamin hak akses yang sama terkait
peluang berprestasi sehingga prestasi yang diraihpun juga berdasarkan peluang
yang sama. Atlet dari negara lain yang memenuhi syarat dibolehkan berprestasi
puncak, demikian juga bagi atlet lokal. Masyarakat yang berasal dari usaha
kecil yang dikelolanya mempunyai hak yang setara dengan mereka yang berasal
dari usaha besar. Prinsip ini mendahulukan hak sama bagi setiap orang untuk
berprestasi apapun, dan menghargainya sesuai capaian yang diraih.
3) Keterbukaan
partisipasi bagi setiap orang. Selama memenuhi syarat, semua masyarakat diberi
akses partisipasi sama. Keluarga bupati mempunyai hak dan kewajiban partisipasi
yang sama dengan keluarga pedagang kecil. Atlet lokal mempunyai hak yang sama
dengan atlet manca negara, dengan asumsi pemberian aturannya juga sama.
4) Penegakan
hukum dan keadilan diterapkan secara sama bagi setiap orang. Aturan jalannya
pertandingan, kesempatan berusaha kompetitif, maupun masalah penghargaan
prestasi diasumsikan terpenuhi asas keadilan, oleh karenanya semua yang
terlibat dalam berbagai proses penyuksesan olahraga surfing berkewajiban
yang sama dengan jaminan hak yang juga sama sesuai peruntukannya.
5) Prinsip
toleransi dan pluralisme, tanpa membeda-bedakan golongan, usaha, jenis kelamin,
suku, atau agama. Etika ini tidak hanya dipakai panitia, namun untuk semua
masyarakat yang terlibat. Keanekaragaman suku, golongan, agama, dan ras adalah
berkah bagi Indonesia dan dunia. Toleransi yang membangun kepercayaan bagi
atlet maupun masyarakat yang terlibat terus diupayakan dengan menitikberatkan
terselenggaranya event secara terpadu.
6) Prinsip
etis terakhir adalah prinsip musyawarah. Persoalan yang dihadapi bersama
seyogyanya juga melibatkan analisis secara bersama-sama. Melalui musyawarah,
semua bisa terjembatani kepentingannya dengan mempercayakan hasil perundingan
bersama untuk mencapai keputusan bersama yang diupayakan secara mufakat.Mana
permasalahan yang bisa dimusyawarahkan dan mana yang tidak bisa tentu sudah
disepakati lebih dulu, karena bagaimanapun dalam olahraga ada bagian-bagian
terentu yang sudah merupakan keputusan yang tidak bisa dimusyawarahkan,
misalnya penilaian seorang juri.
E.
Penutup
Tulisan ini masih memerlukan
rangkaian lebih ekstensif dan intensif dikarenakan pemilihan tema yang belum
membentuk sinkronisasi yang secara efektif dan efisien antara tema
kepancasilaan dan tema pariwisata olahraga. Di antara rekomendasi penulis bagi
pemaca tulisan ini adalah perlunya membaca secara seksama tulisan-tulisan
tentang pariwisata olahraga di satu sisi berikut bidang yang gayut, maupun
tulisan-tulisan tentang masyarakat madani yang berkait erat dengan kemanusiaan
dan keadaban. Penulis masih akan merangkai dua tema tulisan tersebut ke ragam
tulisan lain.
Kondisi pandemi COVID-19 saat ini
yang diperketat dengan Perberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM),
sedikit banyak mempengaruhi keterbacaan tulisan ini. Meskipun saat menulis ini
PPKM masih mencekam dan mencengkeram masyarakat, namun penempatan seting ide
penulisan ini berada di waktu dan tempat yang tidak dicekam pandemi. Selalu
sehat..!
Daftar
Pustaka
Choi, B.C. and Pak, A.W.
(2006). Multidisciplinarity, Interdisciplinarity and Transdisciplinarity in Health Research,
Rervices, Education and Policy: 1. Definitions, Objectives, and Evidence of
Effectiveness. Clinical & Investigative Medicine, 29, 351-364.
Chang, Miaw-Xian,
Choong, Yuen-Onn & Ng, Lee-Peng (2020). Local Residents’
Support for Sport Tourism Development: The Moderating Effect of Tourism
Dependency, Journal of Sport & Tourism, DOI:
10.1080/14775085.2020.1833747.
Cohen, Erik (2018). The
Philosophical, Ethical and Theological Groundings of Tourism – an Exploratory
Inquiry, Journal of Ecotourism, DOI: 10.1080/14724049.2018.1522477
Direktorat
Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga. 2007. Kajian
Pengembangan Industri Budaya dan Olahraga dalam Mendukung PembangunanPariwisata
dalam https://www.bappenas.go.id.
Geffroy,
Valérian (2016). ‘Playing With Space’: A Conceptual Basis
For Investigating Active Sport Tourism Practices, Journal of Sport &
Tourism, DOI:10.1080/14775085.2016.1271349.
Haag, H.,
1994, Theoretical Foundation of Sport
Science as a Scientific Discipline: Contribution to a Philosophy (Meta-Theory)
of Sport Science, Schourdorf, Verlaag Karl Hoffmann, Federal Republic of
Germany.
Jackson,
Ian. (1989). An Introduction to Tourism. Melbourne: Hospitality Press
Hardman,
Alun dan Jones, Carwyn (eds.), 2010, Philosophy
of Sport: International Perspectives, London: Cambridge Scholars
Publishing.
Masrurun,
Zam-zam (2020). Kajian Strategi Pengembangan Pariwisata Olahraga Paralayang
di Kabupaten Wonosobo. Pariwisata. Vol. 7 No. 1 April 2020.
Mas’udi, Wawan. 1999. Masyarakat
Madani: Visi Etis Islam tentang Civil Society. Jurnal Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik. Vol 3 No 2. Yogakarta. UGM. Hlm 164-187.
Magnis-Suseno, Franz. 1987. Etika
Dasar: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral Yogyakarta: Kanisius.
Parmudi, Mochamad.
Kebangkitan Civil Society Di Indonesia. Fisip UIN Walisongo. Jurnal at Taqaddum,
Volume 7, Nomor 2, November 2015. Hal.298
Qodri
Azizy. 2004. Melawan Globalisasi Reinterpretasi Ajaran Islam: Persiapan
SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm
126-128.
Rheenen,
Derek Van, Cernaianu, Sorina & Sobry, Claude (2016): Defining
Sport Tourism: A Content Analysis of An Evolving Epistemology, Journal of
Sport & Tourism, DOI: 10.1080/14775085.2016.1229212.
Swart,
Kamilla (2000). An Assessment of Sport Tourism Curriculum Offerings at
Academic Institutions, Journal of Sport & Tourism, 6:1, 5-9, DOI:
10.1080/10295390008718683.
Suwena,
I Ketut dan Widyatmaja, I Gusti Ngurah. 2017. Pengetahuan Dasar Ilmu
Pariwisata. Pustaka Larasan dan Fakultas Pariwisata Universitas Udayana.
Weed,
Mike (2020). The Role of The Interface of Sport and Tourism
In The Response to The Covid-19 Pandemic, Journal of Sport & Tourism,
DOI:
10.1080/14775085.2020.1794351.
Yamashita,
Rei & Takata, Kosuke (2020). Relationship Between Prior
Knowledge, Destination Reputation, and Loyalty Among Sport Tourists,
Journal of Sport & Tourism, DOI: 10.1080/14775085.2020.1763192.
www.arj.no/2012/03/12/disciplinarities-2/