A. Pengantar
Materi untuk jurnalistik, memang menjadi
dasar bagi pengkhususan jurnalistik di bidang olahraga, atau disingkat
Jurnalistik Olahraga. Oleh karena bidang keilmuan langsung yang membawahi
jurnalistik adalah komunikasi, maka demikian juga dengan jurnalistik olahraga.
Perbedaan (atau pembedaan?) karakter pemberitaan media massa tentang olahraga
dengan tema lainnya (politik, pendidikan, dan sebagainya), mengikuti “warna”
komunikasi yang terbangun dalam olahraga, baik dari sisi penulisan,
ilustrasi/foto, hingga sisi suasana psikologis tulisan/laporan. Di beberapa
bagian buku ini, pemakaian istilah jurnalistik olahraga sengaja ditekankan
untuk membedakan secara khusus dari istilah jurnalistik. Misalnya, ketika
berbicara tentang sejarah jurnalistik olahraga, maka hal tersebut merupakan
kekhususan dari sejarah jurnalistik secara umum.
Penggunaan media massa elektronik (TV,
Radio, internet) juga paralel dengan hal tersebut. Media massa elektronik
sengaja diabaikan di tulisan ini, dan lebih mengedepankan media massa cetak
sebagai kajian utama. Hal ini semata-mata disebabkan karakter tulisan yang
memang diperuntukkan bagi mahasiswa penempuh mata kuliah jurnalistik olahraga
yang tidak secara khusus di bawah program studi kejurnalistikan atau
komunikasi.
B. Apa
Jurnalistik Olahraga itu?
Jurnalisme adalah bidang disiplin dalam
mengumpulkan, memastikan, melaporkan, dan menganalisis informasi yang
dikumpulkan mengenai kejadian sekarang, termasuk tren, masalah, dan tokoh.
Orang yang mempraktekkan kegiatan jurnalistik disebut jurnalis atau wartawan.
Di Indonesia, istilah ini dulu dikenal
dengan publisistik. Dua istilah ini tadinya biasa dipertukarkan, hanya berbeda
asalnya. Beberapa kampus di Indonesia
sempat menggunakannya karena berkiblat kepada Eropa. Seiring waktu, istilah
jurnalistik muncul dari Amerika Serikat dan menggantikan publisistik dengan
jurnalistik. Publisistik juga digunakan untuk membahas Ilmu Komunikasi.
Jurnalisme dapat dikatakan "coretan pertama dalam
sejarah". Meskipun berita
seringkali ditulis dalam batas waktu terakhir, tetapi biasanya diedit sebelum
diterbitkan. Jurnalis seringkali berinteraksi dengan sumber yang kadangkala
melibatkan konfidensialitas.
Banyak pemerintahan Barat menjamin kebebasan dalam pers.
Aktivitas utama dalam jurnalisme adalah pelaporan kejadian dengan
menyatakan siapa, apa, kapan, di mana, mengapa dan bagaimana (dalam bahasa
Inggris dikenal dengan 5W+1H) dan juga menjelaskan kepentingan dan akibat dari
kejadian atau trend. Jurnalisme meliputi beberapa media: koran, televisi, radio, majalah dan internet sebagai pendatang
baru.
Tentang jurnalistik olahraga. ada sebagian
pandangan yang menganggap jurnalistik olahraga merupakan profesi kuno,
mengingat Homer, seorang penulis yang hidup di zaman Yunani Kuno, sudah
menuliskan event atletik pada masanya
di The Iliad. Sebagian
pandangan lagi menganggap jurnalistik olahraga berawal sejak abad 19 dengan
dasar catatan Bat Masterson, seorang cowboy dan warga barat yang termasyhur,
yang menjadi seorang jurnalis olahraga paling awal. Masterson
(1853-1921) merupakan anggota pramuka, petarung Indian, pemburu sapi liar, dan deputy sheriff di Dodge City, Kansas.
Tahun 1902 dia mulai bekerja sebagai wartawan olahraga di kota New York.
Masterson disebut sebagai “Tim Jurnalis Cetak Impian” oleh Associated Press
Managing Editors (APME) dalam edisi "Eternal Journal"nya (Mereka juga
menamai John Steinbeck sebagai editor olahraga di tim impian tersebut).
Definisi jurnalistik olahraga pada tulisan
ini mengikuti Mulligan (1999: 5):
Jurnalistik olahraga
adalah penelitian, kompilasi, dan diseminasi informasi olahraga dalam bentuk
tulisan, ucapan, ataupun bentuk visual untuk kepentingan pembaca, pemirsa, dan
pendengar. Selain cerita fiksi, karya jurnalistik olahraga ini bersifat
faktual. Tersedia bagi penggemar olahraga di surat kabar, majalah, liputan
khusus olahraga, film dokumenter, publikasi online, periklanan, literatur dan
perencanaan pemasaran, laporan berkala, siaran berita, serta gambar.
C.
Tantangan Profesi Jurnalistik
Kemajuan teknologi komunikasi selama 50
tahun terakhir, telah membawa dampak perubahan yang luarbiasa terhadap kegiatan
jurnalistik di dunia. Koran yang terbit di Paris atau New
York, hari ini juga edisi Asianya bisa dibaca di Jakarta seperti halnya kita membaca Kompas.
Duapuluh tahun yang lalu, koran Jakarta
baru bisa dibaca di Jawa Tengah atau Jawa Timur setelah pukul 12.00 tengah
hari. Selain karena
faktor teknologi, waktu itu juga ada pembatasan (regulasi) dari Departemen
Penerangan. Namun sekarang secara serentak, Kompas dicetak di Jakarta, Bandung,
Semarang, Surabaya, Makasar, Banjarmasin, Palembang dan Medan. Hingga koran
Jakarta itu bisa dibaca di Lubuk Pakam, Plei Hari atau Maros, bersamaan dengan
saat orang Menteng membacanya.
Itu semua
bisa terjadi berkat adanya teknologi komunikasi jarak jauh melalui satelit.
Hingga pengiriman halaman dengan huruf dan gambar siap cetak itu bisa dilakukan
dalam hitungan detik dari satu tempat ke tempat lainnya. Teknologi digital
dengan komunikasi melalui satelit, saat ini juga memungkinkan seorang jurnalis
yang berada di tengah hutan belantara Zaire, Brasil atau Papua bisa memotret
perang, binatang buas atau pemandangan alam, dan saat itu juga dengan bantuan
Notebook, Modem dan HP, gambar-ambar itu bisa sampai ke Jakarta, Tokyo, Paris
atau New York. Dan saat itu juga berita berikut fotonya sudah bisa dinikmati
konsumen di seluruh dunia. Baik melalui media cetak, televisi, internet maupun
SMS.
Namun
kemajuan teknologi yang demikian pesatnya itu, di lain pihak juga telah
mengakibatkan pendangkalan berpikir di kalangan masyarakat, yang pada saat
bersamaan juga menimpa para jurnalis. Dengan adanya media televisi dan
internet, maka alokasi waktu dari tiap individu untuk membaca media cetak
menjadi menyusut tajam. Kalau tahun 1980an orang masih tahan untuk duduk membaca
koran atau majalah selama lebih dari satu jam per hari, maka tahun 2000an
alokasi waktu itu rata-rata kurang dari 0,5 jam. Tuntutan untuk serba cepat dan
serba instan, pada akhirnya juga telah menumpulkan daya pikir sebagian besar
jurnalis kita. Sebab untuk bisa menghasilkan karya jurnalistik yang baik, tetap
diperlukan waktu dan suasana kontemplatif yang cukup.
Optimalisasi
fungsi jurnalistik perlu ditekankan dalam rangka pemberdayaan masyarakat
demokratis seperti Indonesia. Ada beberapa fungsi pers, di antaranya to Educate, to Inform, to
Intertaint, dan to
Control. Apabila semua fungsi tersebut dapat dipenuhi pers, maka langkah
menuju pers sebagai pencerdas kehidupan bangsa akan semakin kokoh.
Jurnalis
Indonesia, umumnya tidak memiliki latar belakang pendidikan jurnalistik di
perguruan tinggi. Sebab daya tampung jurusan publisistik dari Fakultas
Komunikasi di perguruan tinggi negeri maupun swasta kita, terlalu kecil
dibanding dengan kebutuhan tenaga jurnalis di lingkungan media massa saat ini.
Karenaya, ketika melakukan perekrutan calon jurnalis baru, media massa
Indonesia hanya mensyaratkan lulusan perguruan tinggi, dengan IP tertentu, usia
tertentu dll. Terhadap fakultas maupun jurusannya, PSDM perusahaan pers sangat
toleran. Hingga S1 dari IPB dengan jurusan Ilmu Tanah atau dari ITB dengan
jurusan Teknologi Nuklir, akhirnya berkecimpung di dunia kewartawanan. Meskipun
di lain pihak, kebijakan darurat demikian terbukti mampu memenuhi kebutuhan
jurnalis bagi sekian banyak media massa, dalam jangka waktu yang relatif
singkat.
Karena
mengetahui bahwa latar belakang para calon jurnalisnya yang sangat beragam,
maka penerbitan-penerbitan besar pun menyelenggarakan program in house training
secara intensif. Hingga meskipun merupakan hasil kerja instan, penerbitan besar
rata-rata memiliki SDM jurnalis yang relatif lebih baik dibanding dengan
penerbitan sedang dan kecil. Namun SDM media massa cetak besar yang siap pakai
ini, ternyata juga menarik perhatian stasiun tivi nasional yang saat ini
jumlahnya ada belasan. Hingga kemudian banyak wartawan
pers senior, yang akhirnya menyeberang terjun ke media audio visual. Trend ini
pun, sebenarnya merupakan hal yang positif, sebab kuantitas dan kualitas SDM
jurnalis di media massa
audio visual, saat ini jauh lebih memprihatinkan dibanding dengan media cetak.
Yang disebut jurnalis, sebenarnya juga
mengenal strata. Ada
wartawan yang kerjanya berburu berita, ada redaktur yang mengolah bahan menjadi
tulisan, ada redaktur pelaksana dan pemimpin redaksi. Jabatan-jabatan
struktural ini biasanya diisi oleh tenaga wartawan terbaik di media
bersangkutan. Hingga
profesi jurnalis di media massa besar, sebenarnya juga banyak “diganggu” secara
intern oleh iming-iming jabatan struktural tersebut. Sebab imbalan untuk
pekerjaan profesi di negeri ini memang masih kalah jika dibanding dengan
imbalan bagi pelaksana jabatan struktural. Karenanya, banyak wartawan dengan
kualifikasi sangat tinggi, akhirnya meninggalkan pekerjaan profesinya karena
institusi menuntutnya untuk menjadi redaktur, redpel atau pemred.
Namun gangguan paling besar dari profesi kewartawanan di Indonesia saat ini
adalah, lunturnya idealisme. Godaan untuk minta-minta atau melakukan pemerasan,
tidak hanya dilakukan oleh wartawan di daerah tetapi juga di ibukota. Bukan
hanya oleh wartawan dari penerbitan kecil yang miskin, melainkan juga oleh
mereka yang bekerja di perusahaan besar dan prestisius. Ketika profesi jurnalis
berhadapan dengan kekuasaan, tekanan masih bisa dianggap sebagai kebanggaan.
Namun ketika profesi ini harus berjuang terhadap tekanan kekuasaan amplop, maka
tidak ada lagi yang bisa dibanggakan. Di kalangan jurnalis pun, sekarang ada
angapan, bahwa sikap yang lurus-lurus saja dan hanya mengandalkan pendapatan
dari menulis, merupakan tindakan bodoh.
Dengan latar
belakang semacam itu, tantangan bagi profesi kewartawanan sekarang ini menjadi
semakin besar. Di satu pihak, bekal keterampilan teknis yang dimiliki oleh para
jurnalis pemula sangat rendah atau nol sama sekali. Lebih-lebih mereka yang
bukan berasal dari latar belakang pendidikan jurnalistik/publisistik di
perguruan tinggi, dan juga tidak dipersiapkan melalui in house training oleh
perusahaan pers tempatnya bekerja. Hingga kualitas teks yang ada di media
massa, terutama di stasiun televisi, berada jauh di bawah standar kelayakan.
Padahal, semua stasiun tivi saat ini memiliki tokoh jurnalis yang direkrut
(dibajak) dari media pers. Namun tampaknya, tenaga
berpengalaman ini kurang dimanfaatkan oleh media audio visual untuk pembenahan
teks.
Tantangan berikut yang dihadapi oleh dunia
jurnalis adalah, semakin banyak dan bervariasinya tawaran media. Tahun 1970,
koran Kompas hanya terbit dengan 12 halaman. Hanya pada hari-hari tertentu
koran ini terbit dengan 16 halaman. Pada waktu itu pemilik pesawat televisi baru ada satu dua di negeri ini.
Stasiun televisinya juga baru ada satu dan hanya mengudara dari jam lima sore
sampai tengah malam. Karenanya, di kota besar pun, halaman koran itu habis
dibaca semua sampai ke iklan-iklannya. Saat ini ada belasan stasiun televisi
yang sebagian besar mengudara 24 jam, sebelum ada regulasi dari pemerintah
untuk membatasi siaran sampai tengah malam karena alasan penghematan energi.
Semua rumah tangga punya pasawat televisi. Pelanggan koran Kompas misalnya,
biasanya juga melanggan koran, majalah atau tabloid lain. Kesibukan di kota
kecamatan pun, dewasa ini juga sangat tinggi. Hingga kesempatan untuk membaca,
dan juga menonton televisi menjadi semakin terbatas.
Seperti telah disebut di atas, tantangan paling besar
bagi profesi jurnalis saat ini adalah lunturnya idealisme. Namun gejala
demikian bukan hanya monopoli jurnalis. Cendekiawan, seniman, tentara, pendidik
bahkan rohaniwan pun, akhir-akhir ini semakin berat harus bergelut dengan
godaan pengingkaran profesi. Hingga pada akhirnya yang paling penting bukan
sekadar keterampilan teknis, melainkan bagaimana memberi makna sebuah profesi
sebagai panggilan hidup. Hal semacam inilah yang dalam era hedonisme sekarang,
sangat sulit untuk terus dipertahankan. Namun justru perjuangan berat
demikianlah yang selalu menarik untuk terus-menerus digeluti. Sebab semakin
maju dan kompleks sebuah profesi, memang akan semakin banyak pula godaannya.
D.
Sejarah Jurnalistik Dunia
Ide surat
kabar sendiri sudah setua zaman Romawi kuno dimana setiap harinya, kejadian
sehari-hari diterbitkan dalam bentuk gulungan yang disebut dengan “Acta
Diurna”, yang terjemahan bebesnya adalah “Kegiatan hari”. Kemudian Setelah
Gutenberg menemukan mesin cetak di abad kelimabelas, maka buku-buku pun mulai
diterbitkan di Perancis dan Inggris, begitu pula halnya dengan surat kabar.
Surat kabar
pertama kali dibuat di Amerika Serikat, dengan nama “Public Occurrenses Both
Foreign and Domestick” di tahun 1690. Surat
kabar tersebut diusahakan oleh Benjamin Harris, seorang berkebangsaan Inggris.
Akan tetapi baru saja terbit sekali, sudah dibredel. Bukan karena beritanya
menentang pemerintah, tetapi Cuma gara-gara dia tidak mempunyai izin terbit.
Pihak kerajaan Inggris membuat peraturan bahwa usaha penerbitan harus mempunyai
izin terbit, di mana hal ini didukung oleh pemerintah kolonial dan para pejabat
agama. Mereka takut mesin-mesin cetak tersebut akan menyebarkan berita-berita
yang dapat menggeser kekuasaan mereka kecuali bila usaha itu dikontrol ketat.
Kemudian surat kabar mulai bermunculan setelah negara
Amerika Serikat berdiri. Saat itu, surat kabar
itupun tidak sama seperti surat
kabar yang kita miliki sekarang. Saat itu surat
kabar dikelola dalam abad kegelapan dalam jurnalisme. Sebab surat kabar telah jatuh ke tangan partai
politik yang saling bertentangan. Tidak ada usaha sedikitpun untuk membuat
berita secara objektif., kecuali untuk menjatuhkan terhadap satu sama lainnya. Washington dan Jefferson
dituduh sebagai penjahat terbesar oleh koran-koran dari lawan partainya.
Apapun situasinya, rakyat hanya menginginkan
Amandemen dalam konstitusi yang akan menjamin hak koran-koran ini untuk
mengungkapkan kebohongan yang terburuk sekalipun tanpa takut dibrendel oleh
pemerintah. Presiden John Adams membreidel koran ”The New Republik”. Akibatnya partai
Federal pecah dan sebaliknya menguatkan posisi Jefferson.
Aksi breidel-membreidel ini sampai membuat keheranan seorang menteri bangsa
Prusia yang berkunjung ke Kantor Jefferson. Secara kebetulan, ia membaca koran
dari partai Federalis yang isinya meyerang Jefferson
habis-habisan.
Kritik-kritik keras tidak hanya menyerang Washington,
Jefferson, John Adams ataupun James Medison,
pokoknya semua kena. Dan selama koran tetap dikuasai oleh para anggota partai
politik saja, maka tidak banyak yang bisa diharapkan.
Kemudian kecerahan tampaknya mulai menjelang dunia persurat kabaran. James
Gordon Bennet, seorang berkebangsaan Skotlandia melakukan revolusinisasi
terhadap bisnis surat
kabar pada 1835. Setelah
bekerja di beberapa surat kabar dari Boston sampai Savannah akhirnya dia pun
mendirikan surat kabar sendiri. Namanya ”New York Herald” dengan modal pinjaman
sebesar 500 dollar. Percetakannya dikerjakan di ruang bawah tanah di Wall
Street dengan mesin cetak yang sudah tuam dan semua pekerjaan reportase dilakukannya
sendiri.
”The Herald”
dan Bennet memperlihatkan kepada Amerika dan dunia tentang bagaimana cara
mendapatkan berita. Tidak lama kemudian Bennet pun berhasil meraih kesuksesan
dan membangun kantor beritanya sama seperti kantor-kantor perusahaan surat kabar
yang banyak kita jumpai sekarang. Dia juga sudah menempatkan
koresponden-korespondennya di luar negeri di mana beritanya dikirim dengan
usaha paket milik Bennet sendiri, dari pelabuhan New York ke kantornya di kota.
Dia juga yang pertama-tama mendirikan biro di Washington, dan memanfaatkan jasa
telegraf yang baru saja ditemukan.
Sejak itulah
berita sudah mulai dipilah-pilahkan menurut tingkat kepentingannya, tapi tidak
berdasarkan kepentingan politik. Bennet menempatkan politik di halaman
editorial. Isi korannya yang meliputi soal bisnis, pengadilan, dan kehidupan
sosial masyarakat New York memang tidak bisa dijamin keobyektifatnya, tetapi
setidaknya sudah jauh berubah lebih baik dibandingkan koran-koran sebelumnya.
Enam tahun setelah ”Herald” beredar, saingannya mulai
muncul. Horace Greely mengeluarkan koran “The New York Tribune”. Tribune pun
dibaca di seluruh Amerika. Pembacanya yang dominan adalah petani, yang tidak
peduli apakah mereka baru sempat membaca korannya setelah berminggu-minggu
kemudian. Bagi orang awam, koran ini dianggap membawa perbaikan bagi negara
yang saat itu kurang terkontrol dan penuh bisnis yang tidak teratur.
Koran besar yang ketiga pun muncul di New York di tahun 1851,
ketika Henry J. Raymond mendirikan koran dengan nama “The New York Times”, atas
bantuan mitra usahanya, George Jones. Raymond-lah yang mempunyai gagasan untuk
menerbitkan koran yang non partisan kepada pemerintah maupun perusahaan bisnis.
Beruntung, saat itu Presiden Lincoln tidak pernah melakukan pembreidelan terhadap
koran-koran yang menyerangnya.
Setelah serentetan perang saudara di Amerika
usai, bisnis persuratkabaran pun berkembang luar biasa. Koran-koran pun mulai
muncul di bagian negara-negara selain New York
dan Chicago. Di
selatan, Henry W. Grady dengan koran “Konstitusi Atlanta”. Lalu, muncul koran “Daily News” dan
“Kansas City Star” yang mempunyai konsep pelayanan masyarakat sebagai fungsi
dari sebuah sebuah surat
koran. Bahkan pemilik Star, Rockhill Nelson bersumpah untuk mengangkat kota Kansas
dari “kubangan lumpur” dan berhasil. Di barat, Jurnalisme Flamboyan diwakili
oleh “Denver Post” dan koran-koran San Fransisco.
Di New York, surat kabar dianggap sebuah bisnis yang bakal
menjanjikan. Charles Dana membeli surat
kabar ”Sun” dan menyempurnakannya. Editornya, John Bogart punya cerita sendiri
tentang berita. Menurutnya ”kalau anjing menggigit manusai, itu bukan berita.
Tapi kalau manusia menggigit anjing, itu baru namanya berita”.
James Gordon Bennet Junior (anak Bennet) dan Joseph Pulitzer merupakan rival-rival
utama Dana. Bennet Jr. Memperlihatkan cara membuat berita yang baik.
Prestasinya yang paling terkenal adalah ketika dia mengirimkan Henry Stanley,
seorang wartawan London, untuk mencari David Livingstone, seorang misionaris
yang hilang di hutan.
Sedangkan Pulitzer mempunyai koran yang bernama ”New York World” dan terkenal
sejak jaman perang saudara sampai akhir abad itu. Pulitzer melakukan taktik
yang lebih baik dibanding para pendahulunya. Editorialnya yang bersifat
perjuangan ke arah perbaikan dan liberal, liputan beritanya yang serba menarik,
dan taktik diversifikasinya mengundang decak kagum seperti yang pernah
dilakukan oleh Herald. Pulitzer adalah yang pertama kali menerbitkan koran
mingguan, di mana isinya ditulis oleh para penulis terbaik yang pernah ada.
Pada tahun 1892 supremasi Pulitzer ditantang
oleh William Randolp Hearst lewat koran ”World”. Dalam hal inovasi dan
keberanian, ”World”-nya Hearst lebih dari ”World”-nya Pulitzer. Bukan itu saja,
koran Hearst isi beritanya jauh lebih flamboyan daripada koran Pulitzer. Hearst
banyak mempekerjakan orang-orang terbaiknya Pulitzer. Dia mempekerjakan Richard
Outcault, kartunis Pulitzer dan mendorongnya untuk menciptakan sebuah featuer
bernama ”The Yellow Kid”, yang menandai lahirnya cergam komik di Amerika.
Pada masa perang antara Amerika dan Spanyol,
kedua koran ini berteriak paling keras mendukung Amerika Serikat untuk terjun
perang, memimpin suara rakyat dengan padan suara jurnalisme dalam skala
nasional, dan memojokkan ke dalam konflik yang tidak terhindarkan. Selanjutnya
di perang Amerika-Kuba, keduanya mengalihkan kompetisinya dalam usaha meliput
perang.
Setelah Pulitzer meninggal, ”New York World”
malah menjadi yang terbesar di dunia. Orang menyebut Pulitzer sebagai
”wartawannya surat
kabar”. Sebaliknya, Hearst bersama koran-koran lainnya terpukul keras ketika
depresi besar terjadi. Tetapi usaha majalahnya yang paling terkemuka, yakni
”Good Housekeeping” dan ”cosmopolitan” tetap terus berkembang pesat.
Dalam perkembangannya, surat kabar berangkat sebagai alat propaganda
politik, lalu menjadi perusahaan perorangan yang disertai keterkenalan dan
kebesaran nama penerbitnya, dan sekarang menjadi bisnis yang tidak segemerlap
dulu lagi, bahkan dengan nama penerbit yang semakin tidak dikenal.
Perubahan ini memberikan dampak baru. Ketika
iklan mulai menggantikan sirkulasi (penjualan langsung) sebagai sumber dana
utama bagi sebuah surat
kabar, maka minat para penerbit jadi lebih identik dengan minat para masyarakat
bisnis. Ambisi persaingan untuk mendapatkan berita paling aeal tidaklah sebesar
ketika peloporan. Walaupun begitu, perang sirkulasi masih terjadi pada tahun
1920-an, tetapi tujuan jangka panjang mereka adalah untuk mencapai perkembnagn
penghasilan dari sektor iklan. Sebagai badan usaha, yang semakin banyak
ditangani oleh para pengusaha, maka surat
kabar semakin kehilangna pamornya seperti yang dimilikinya pada abad ke-19.
Namun, surat
kabar kini mendapatkan sesuatu yang lain yang lebih penting. Surat kabar yang mapan kini tidak lagi
diperalat sebagai senjata perang politik yang saling menjatuhkan ataupun bisnis
yang individualis, melainkan menjadi media berita yang semakin obyektif, yang
lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pihak-pihak tertentu
saja.
Kenaikan koran-koran ukuran tabloid di tahun
1920-an yang dimulai oleh ”The New York Daily News”, memberikan suatu dimensi
baru terhadap jurnalisme. Akhirnya memang menjadi kegembiraan besar bagi
kehidupan surat
kabar, terutama dalam meliput berita-berita keras. Perubahan lain yang layak
mendapat perhatian adalah timbulnya sindikasi. Berkat adanya sindikat-sindikat,
maka koran-koran kecil bisa memanjakan p[embacanya dengan materi editorial,
informasi, dan hiburan. Sebab kalau tidak, koran-koran kecil itu tentu tidak
dapat mengusahakan materi-materi tersebut, lantaran biaya untuk itu tidaklah
sedikit. Sindikat adalah perusahaan yang berhubungan dengan pers yang
memperjualbelikan bahan berita, tulisan atau bahan-bahan lainuntuk digunakan
dalam penerbitan pers.
Tahun 1950,
industri televisi mulai mengancam dominasi media cetak. Namun, sampai sekarang,
koran masih bertahan. Kenyataan menunjukkan bahwa koran telah menjadi bagian
dari kehidupan manusia pada umumnya. Dengan karakter khususnya ia mampu
membedakan dirinya dari media lainnya seperti televisi dan radio.
E.
Ringkasan Jurnalistik Indonesia
1 Jaman Penjajahan
7 Agustus 1744 Terbit surat kabar pertama "Bataviase Nouvelles" atas
kebaikan hati Gubernur Jenderal Van Imhoff. Izin terbitnya diberikan kepada
Adjunct-Secretaris-General Jorden. Izin terbit enam bulan, kemudian
diperpanjang menjadi tiga tahun. Diterbitkan oleh pedagang VOC Jan Erdmans
Jordens dan isinya terutama berita-berita kapal, pengangkatan dan pemberhentian
pejabat VOC, peraturan-peraturan pemerintah di Belanda dan VOC sendiri,
ditambah berita-berita singkat dari berbagai tempat di mana ada pangkalan VOC
(mulai dari Nusantara hingga Tanjung Harapan di Afrika Selatan).
20 November 1746 Para pemilik
modal VOC di Belanda, tidak suka dengan isi surat kabar ini yang dipandang
merugikan VOC. Surat kabar itu dilarang terbit (meski baru berhenti terbit 20
Juni 1746 karena perintah pelarangan dari Negeri Kincir Angin itu lambat
diterima di Batavia). Ini kisah pemberedelan pers yang pertama.
1776 Setelah
30 tahun Batavia tanpa surat kabar, terbit mingguan Vendu Nieuws yang
bertahan relatif lama, yaitu hingga Kompeni (VOC) dibubarkan pada tahun 1799. Surat kabar yang disebut "Surat
Lelang" ini bisa bertahan lama karena isinya hanya advertensi dan
sedikit berita.
1854 Terjadi
kelonggaran kebijakan Belanda terhadap penerbitan surat
kabar di Indonesia.
Maka terbitlah di Surakarta
"Mingguan Bromartani" tiap
hari Kamis. "Bromartani"
nama ke-Indonesiaan sekaligus ke-Jawaan. Tenaga dan para pemikirnya orang Indonesia.
Tetapi modalnya tetap asing, sebuah usaha kongsi Belanda Harteveldt & Co.
Karena itu sangat sulit untuk dimasukkan ke dalam kategori pers Indonesia.
Berbahasa Djawa dan Melajoe, tenaga teknis, Indonesia,
"Bromartani" sudah
cenderung menjadi pelopor ke arah perkembangan pers nasional Indonesia.
1924 Perubahan
yang cukup signifikan terjadi ketika harian De Indische Telegraaf di
Bandung, muncul dalam edisi pagi dan edisi sore, kecuali hari Minggu dan hari
libur.
12 Januari 1901 Surat
kabar pertama yang diterbitkan kaum Cina Peranakan adalah Li Po, di
Sukabumi yang berakhit tahun 1907
1910 Terbitnya
mingguan “Medab Priyayi” yang berkembang menjadi harian yang dianggap sebagai
permakarsa pers nasional. Artinya dialah
yang pertama kali mendirikan penerbitan yang dimodali modal nasional dan
pemimipinya orang Indonesia.
2 Jaman Orde Lama
11 September 1945 Kemerdekaan Indonesia
membawa berkah bagi jurnalisme. Pemerintah Indonesia
menggunakan Radio
Republik Indonesia sebagai media komunikasi. Ini juga hari pertama
berdirinya Radio Republik Indonesia.
Kemerdekaan Indonesia juga
menguatkan kondisi pers nasional dimana banyak diterbitkannya koran yang
mempropagandakan kemerdekaan seperti, Soeara
Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta)
dan The
Voice of Free Indonesia
1948 “Sinar
Mejalengka” berbahasa Sunda
1950-an "Harian
Pikiran Rakjat" yang dirintis Djamal Ali bersama AZ. Sutan Palindih dkk.
1960 Lahir
Penetapan Presiden No 6/1960, Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) diberi
kekuasaan untuk memberlakukan Surat Izin Terbit (SIT) secara nasional.
Penggunaan perizinan sebagai alat kendali pemerintah untuk meredam kebebasan
pers terbukti ampuh.
25 Maret 1965 Pikiran
Rakjat ini berhenti terbit setelah pemerintah mengeluarkan peraturan yang
menentukan semua media cetak harus "menggandul" atau berafiliasi
dengan partai politik. Pihak Redaksi "Pikiran Rakjat" yang pada waktu
itu diwakili Sakti Alamsyah dan Atang Ruswita serta kawan-kawan ditawari
Panglima Siliwangi Mayor Jenderal Ibrahim Adjie untuk bergabung dan berafiliasi
dengan surat kabar.
1 Oktober 1965 Pepelrada
Jaya melarang terbit semua harian yang terbit di Ibu Kota kecuali koran
Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, yang memang diterbitkan pihak militer.
Surat Perintah Pangdam V/Jaya (No. 01/Drt/10/1965) yang dikeluarkan Mayjen Umar
Wirahadikumah berbunyi, "Dalam rangka mengamankan pemberitaan yang
simpang-siur mengenai peristiwa pengkhianatan oleh apa yang dinamakan Komando
Gerakan 30 September/Dewan Revolusi, perlu adanya tindakan-tindakan penguasaan
terhadap media-media pemberitaan". Masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi
pembreidelan media massa.
Kasus Harian
Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan
dua contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui
Departemen Penerangan dan Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan Aliansi
Jurnalis Indepen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna
Galih, Jawa Barat.
Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara.
3 Jaman Orde Baru
24 Maret 1966 Bertepatan
dengan peringatan Bandung Lautan Api terbitlah "Harian Angkatan Bersenjata
Edisi Jawa Barat/Pikiran Rakyat". Judul "Pikiran Rakyat"-nya
tercantum kecil di sudut kiri atas kop "Angkata Bersenjata" Edisi
Jawa Barat. Setahun kemudian baru diperkenankan memakai kop "Pikiran
Rakyat" (besar) sedangkan kop "Angkatan Bersenjata”-nya bertukar
tempat menjadi huruf kecil di kiri atas halaman pertama. Pada tahun 1967 koran
ini resmi menjadi "Harian Umum Pikiran Rakyat" hingga sekarang. DPR membuat UU Pokok Pers No 11/1966 jo No
4/1967 jis No 21/1982 dan UU Penyiaran No 24/1997 yang memberi otoritas kepada
Menteri Penerangan untuk mengatur dan mengekang kebebasan pers. Pers tidak lagi
merdeka. Berita pers harus sesuai petunjuk pemerintah. Ratusan media pers yang
kritik dan kontrolnya dinilai mengganggu stabilitas negara dibredel. Ironisnya
semua ketentuan dan UU tersebut dibuat merujuk konstitusi.
4 Jaman Reformasi
20-23 Oktober 1998 Pertemuan relawan Masyarakat Pers dan Penyiaran
Indonesia (MPPI) yang di back up Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) di
Pacet-Cianjur, selain menghasilkan RUU Tap MPR tentang Kebebasan Informasi yang
diakomodasi dalam Tap MPR No XVII/1998 tentang HAM—rumusan itu menjadi Pasal
28F UUD 1945—juga menghasilkan RUU Pers.
23 September 1999 Hari
lahir Kemerdekaan Pers Indoesia. Pembahasan intensif 25 Agustus sampai 13
September 1999 oleh empat fraksi DPR Komisi I dengan pemerintah yang diwakili
Deppen. Dalam pembahasan hampir tiga pekan itu, lahirlah UU yang memerdekakan
pers.
13-15 April 2007 Pertemuan Lokakarya Pendidikan
Jurnalisme,Yogyakarta menunjukkan iklim profesi jurnalistik di Indonesia
mengalami perubahan yang signifikan sejak berlangsung reformasi. Dalam
pertemuan ini ditemukan bahwa Indonesia
memerlukan Sekolah Jurnalistik untuk menghasilkan wartawan yang berkualitas dan
siap pakai, dimana ilmu jurnalistik berdiri sendiri tidak lagi dibawah kajian
ilmu komunikasi.
Di halaman berikut ini penulis rangkumkan
kilasan sejarah jurnalistik secara umum sebagai bahan pengaya wawasan tentang
asal-usul jurnalistik yang diakui secara akademik (beberapa kisah seperti Nabi
Nuh sebagai jurnalis pertama, dan semacamnya, sengaja tidak ditampilkan di sini
semata-mata karena perlunya kesepakatan metodis di antara ilmuwan-akademisi).
Bila dibandingkan dengan masa-masa
sebelumnya, kondisi pers hari ini jauh lebih baik (berpeluang) untuk eksis dan
berkembang, minimal jika dilihat dari sikap/kebijakan pemerintah, iklim
kebebasan pers, dan kondisi masyarakat global. Tentu saja berbagai tantangan
yang ada bisa menyurutkan kondisi ini menjadi stagnan dan kurang menguntungkan.
Dibutuhkan kesungguhan semua pihak terkait untuk membesarkan pers nasional
dalam menghadapi berbagai tantangan seperti iklim globalisasi, tuntutan pasar
(market), profesionalisme pers, kemandirian pers, dan sikap kritis masyarakat.
Referensi
Cheryl L. Webster, 2005, News Media Critique: “Crazies in the Streets”, dalam eCOMMUNITY: International Journal Of Mental
Health & Addiction, Vol. 3, No. 2, pp. 64-68, 2005, ISSN 1705-4583, Canada:
Professional Advanced Services, Inc.
Ermanto, 2005, Wawasan
Jurnalistik Praktis, Yogyakarta:
Cinta Pena.
F. Rahardi, 2005, Panduan
Lengkap Menulis Artikel, Feature, dan Esai untuk Pemula, Handout tidak diterbitkan.
Mulligan, Joseph F.; Mulligan, Kevin T, 1999, The Mulligan Guide to Sports Journalism
Careers, Illinois: NTC Contemporary.