BAB 2
PENGERTIAN DAN SEJARAH PSIKOLOGI OLAHRAGA
A. Pengertian Psikologi Olahraga
1. Apakah Psikologi Olahraga?
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam hubungan dengan lingkungannya, mulai dari perilaku sederhana sampai yang kompleks. Perilaku manusia ada yang disadari, namun ada pula yang tidak disadari, dan perilaku yang ditampilkan seseorang dapat bersumber dari luar ataupun dari dalam dirinya sendiri.
Ilmu psikologi diterapkan pula ke dalam bidang olahraga yang lalu dikenal sebagai psikologi olahraga. Penerapan psikologi ke dalam bidang olahraga ini adalah untuk membantu agar bakat olahraga yang ada dalam diri seseorang dapat dikembangkan sebaik-baiknya tanpa adanya hambatan dan factor-faktor yang ada dalam kepribadiannya. Dengan kata lain, tujuan umum dari psikologi olahraga adalah untuk membantu seseorang agar dapat menampilkan prestasi optimal, yang lebih baik dari sebelumnya.
2. Mengapa Psikologi Olahraga Diperlukan dalam Olahraga?
Meningkatnya stres dalam pertandingan dapat menyebabkan atlet bereaksi secara negatif, baik dalam hal fisik maupun psikis, sehingga kemampuan olahraganya menurun. Mereka dapat menjadi tegang. denyut nadi meningkat, berkeringat dingin, cemas akan hasil pertandingannya, dan mereka merasakan sulit berkonsentrasi. Keadaan ini seringkali menyebabkan para atlet tidak dapat menampilkan permainan terbaiknya. Para pelatih pun menaruh minat terhadap bidang psikologi olahraga, khususnya dalam pengendalian stres.
Psikologi olahraga juga diperlukan agar atlet berpikir mengenai. mengapa mereka berolahraga dan apa yang ingin mereka capai? Sekali tujuannya diketahui, latihan-latihan ketrampilan psikologis dapat menolong tercapainya tujuan tersebut.
3. Bagaimanakah Psikologi Olahraga Dapat Membantu Atlet?
Mental yang tegar, sama halnya dengan teknik dan fisik, akan didapat melalui latihan yang terencana, teratur, dan sistematis. Dalam membina aspek psikis atau mental atlet, pertama-tama perlu disadari bahwa setiap atlet harus dipandang secara individual, yang satu berbeda dengan yang lainnya. Untuk membantu mengenal profil setiap atlet, dapat dilakukan pemeriksaan psikologis, yang biasa dikenal dengan “psikotes”, dengan bantuan psikometri.
Profil psikologis atlet biasanya berupa gambaran kepnbadian secara umum, potensi intelektual. dan fungsi daya pikimya yang dihubungkan dengan olahraga. Profil atlet pada umumnya tidak berubah banyak dari waktu ke waktu. Oleh karenanya, orang sering beranggapan bahwa calon atlet berbakat dapat ditelusun semata-mata dari profil psikologisnya. Anggapan semacam ini keliru, karena gambaran psikologis seseorang tidak menjamin keberhasilan atau kegagalannya dalam prestasi olahraga, karena banyak sekali faktor lain yang mempengaruhinya. Beberapa aspek psikologis dapat diperbaiki melalui latihan ketrampilan psikologis yang terencana dan sistematis, yang pelaksanaannya sangat tergantung dari komitmen si atlet terhadap program tersebut.
B. Sejarah Singkat Psikologi Olahraga[1]
Psikologi olahraga pertama kali dikenalkan oleh Norman Triplett pada tahun 1898. Norman Triplett menemukan bahwa waktu tempuh pembalap sepeda menjadi lebih cepat jika mereka membalap di dalam sebuah tim atau berpasangan dibanding jika membalap sendiri. Baru tahun 1925 laboratorium psikologi olahraga pertama di Kawasan Amerika Utara berdiri. Pendirinya adalah Coleman Griffith dari Universitas Illinois. Griffith tertarik pada pengaruh faktor-faktor penampilan atletis seperti waktu reaksi, kesadaran mental, ketegangan dan relaksasi otot serta kepribadian. Dia lalu menerbitkan dua buah buku, The Psychology of Coaching (1926)- buku pertama di dunia Psikologi Olahraga-dan The Psychology of Athletes (1928). Pada tahun yang sama, di Eropa sebenarnya juga berdiri sebuah laboratorium Psikologi Olahraga yang didirikan oleh A.Z Puni di Institute of Physical Culture in Leningrad. Namun Laboratorium Psikologi Olahraga pertama di dunia sebenarnya didirikan tahun 1920 oleh Carl Diem di Deutsce Sporthochschule di Berlin, Jerman.
Setelah periode tersebut psikologi olahraga mengalami kemandekan. Baru pada tahun 1960-an psikologi olahraga kembali mulai berkembang. Perkembangan ini ditandai dengan banyaknya lembaga-lembaga pendidikan membuka konsentrasi pengajaran pada Psikologi Olahraga. Puncaknya adalah pembentukan International Society of Sport Psychology (ISSP) oleh para ilmuan dari penjuru Eropa. Kongres internasional pertama diadakan pada tahun yang sama di Roma, Italia.
Pada tahun 1966, sekelompok psikolog olahraga berkumpul di Chicago untuk membicarakan pembentukan semacam ikatan psikologi olahraga. Mereka kemudian dikenal dengan nama North American Society of Sport Psychology and Physical Activity (NASPSPA). Journal Sekolah pertama yang dipersembahkan untuk psikologi olahraga keluar tahun 1970 dengan nama The International Journal of Sport Psychology. Kemudian diikuti oleh Journal of Sport Psychology tahun 1979. Meningkatnya minat melakukan penelitian dalam bidang psikologi olahraga di luar laboratorium memicu pembentukan Advancement of Applied Sport Psychology (AAASP) pada tahun 1985 dan lebih berfokus secara langsung pada psikologi terapan baik dalam bidang kesehatan maupun dalam konteks olahraga.
Kini Psikologi Olahraga sudah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Kongres International Society of Sport Psychology Conference Di Yunani tahun 2000 telah dihadiri lebih dari 700 peserta yang berasal dari 70 negara. American Psychological Association pun telah memasukkan psikologi olahraga dalam divisi mandiri yakni divisi 47. Penerbitan dan jurnal pun sudah sangat banyak. Beberapa penerbitan dan jurnal tersebut adalah (a) International Journal of Sport Psychology (1970); (b) Journal of Sport Psychology (1979) yang kemudian berubah nama menjadi 1988 Journal of Sport and Exercise Psychology; NASPSPA pada tahun 1988. penerbitan lain adalah The Sport Psychologist (1987)—sekarang, Journal of Applied Sport Psychology (1989)— sekarang, serta The Psychology of Sport and Exercise.
C. Ruang Lingkup Psikologi Olahraga[2]
Seiring dengan semakin besarnya industri olahraga, psikologi olahraga memegang peranan yang cukup signifikan. Dalam olahraga prestasi, peran psikolog olahraga dominan dalam mendongkrak prestasi para atlet. Misalnya dalam peningkatan motivasi, menghilangkan kecemasan, stress. Selain itu, peran seperti proses penyembuhan emotional disorders yang kerap di alami oleh para atlet profesional seperti anorexia, penggunaan obat terlarang, agresifitas, persoalan atlet dengan lingkungan keluarga, penonton, fans. Lihat yang sudah dilakukan oleh psikolog yang menangani Adriano, striker Inter Milan, dalam proses pengembalian perfomanya.
Bidang lain yang menjadi wilayah kerja psikologi olahraga adalah dalam konteks pelatihan. Di Eropa maupun Amerika, psikolog olahraga sudah terlibat dalam proses pelatihan para atlet. Peran vital pun dimainkan disini. Seorang psikolog menjadi partner bagi para pelatih dalam rangka menciptakan metode pelatihan yang efektif. Tentu saja dengan bekal ilmu psikologi. Perpaduan ilmu fisik manusia dengan ilmu psikis membuat pemahaman terhadap manusia lebih komplet. Banyak metode pelatihan yang merupakan sumbangan langsung dari dunia psikologi olahraga.
Selain dengan terjun langsung di lapangan, psikologi olahraga juga memberi sumbangan melalui riset. Riset tentang hubungan antara gerak tubuh dan konsep mental memberikan masukan bagi pengembangan teknik kepelatihan maupun pengembangan cabang olahraga itu sendiri. Di awal kemunculannya, psikologi olahraga memang berperan untuk membantu menemukan teknik pelatihan yang efektif dan efisien dalam mengembangkan kemampuan atletis para atlet. Penelitian tentang waktu tempuh pembalap sepeda adalah tonggak sejarah munculnya psikologi olahraga.
Bidang pendidikan juga tidak luput dari dunia psikologi olahraga. Para psikolog olahraga banyak yang terjun langsung memberi pelatihan-pelatihan atau kursus-kursus bagi pelatih dalam konteks pemahaman terhadap manusia untuk diimplementasikan dalam proses pencetakan para atlet. Tidak hanya dalam konteks olahraga prestasi, psikologi olahraga juga berperan pengembangan olahraga sebagai salah satu sarana mencapai psychological well being atau untuk mencapai kesehatan mental bagi masyarakat. Karena terbukti bahwa olahraga merupakan salah satu sarana yang efektif untuk menghilangkan stress maupun depresi.
Bisa dikatakan bahwa saat ini dunia olahraga profesional maupun amatir sudah sangat tergantung pada kehadiran psikologi olahraga. Pengembangan cabang ilmu ini tentu akan memberi kontribusi yang semakin besar pada peningkatan kualitas atlet maupun cabang olahraga itu sendiri di masa depan.
Sayang memang, dunia olahraga Indonesia belum begitu memperhatikan aspek mental dalam pengembangan atlet. Peran psikolog olahraga di Indonesia pun baru sebatas konsultan bagi tim maupun atlet. Bidang garap dan ruang lingkup lain dari psikologi olahraga belum digarap dengan maksimal. Namun, semua harus dilakukan dengan penuh optimisme bahwa psikologi olahraga di Indonesia akan tumbuh berkembang dalam dunia olahraga Indonesia.
D. Psikologi Olahraga dan Psikologi Latihan[3]
Sekalipun Weinberg dan Gould (1995) memberikan pandangan yang hampir serupa atas psikologi olahraga dan psikologi latihan (exercise psychology), karena banyak kesamaan dalam pendekatannya, beberapa peneliti lain (Anshel, 1997; Seraganian, 1993; Willis & Campbell, 1992) secara lebih tegas membedakan psikologi olahraga dengan psikologi latihan. Weinberg dan Gould, (1995) mengemukakan bahwa psikologi olahraga dan psikologi latihan memiliki dua tujuan dasar:
1. mempelajari bagaimana faktor psikologi mempengaruhi performance fisik individu
2. memahami bagaimana partisipasi dalam olahraga dan latihan mempengaruhi perkembangan individu termasuk kesehatan dan kesejahteraan hidupnya
Di samping itu, mereka mengemukakan bahwa psikologi olahraga secara spesifik diarahkan untuk:
1. membantu para professional dalam membantu atlet bintang mencapai prestasi puncak
2. membantu anak-anak, penderita cacat dan orang tua untuk bisa hidup lebih bugar
3. meneliti faktor psikologis dalam kegiatan latihan dan
4. 4. memanfaatkan kegiatan latihan sebagai alat terapi, misalnya untuk terapi depressi (Weinberg & Gould, 1995).
Sekalipun belum begitu jelas letak perbedaannya, Weiberg dan Gould (1995) telah berupaya untuk menjelaskan bahwa psikologi olahraga tidak sama dengan psikologi latihan. Namun dalam prakteknya biasanya memang terjadi saling mengisi, dan kaitan keduanya demikian eratnya sehingga menjadi sulit untuk dipisahkan. Tetapi Seraganian (1993) serta Willis dan Campbell (1992) secara lebih tegas mengemukakan bahwa secara tradisional penelitian dan praktik psikologi olahraga diarahkan pada hubungan psikofisiologis misalnya responsi somatik mempengaruhi kognisi, emosi dan performance. Sedangkan psikologi latihan diarahkan pada aspek kognitif, situasional dan psikofisiologis yang mempengaruhi perilaku pelakunya, bukan mengkaji performance olahraga seorang atlet. Adapun topik dalam psikologi latihan misalnya mencakup dampak aktivitas fisik terhadap emosi pelaku serta kecenderungan (disposisi) psikologi, alasan untuk ikut serta atau menghentikan kegiatan latihan olahraga, perubahan pribadi sebagai dampak perbaikan kondisi tubuh atas hasil latihan olahraga dan lain sebagainya (Anshel, 1997).
Jelaslah kini bahwa psikologi olahraga lebih diarahkan para kemampuan prestatif pelakunya yang bersifat kompetitif; artinya, pelaku olahraga, khususnya atlet, mengarahkan kegiatannya olahraganya untuk mencapai prestasi tertentu dalam berkompetisi, misalnya untuk menang. Sedangkan psikologi latihan lebih terarah pada upaya membahas masalah-masalah dampak aktivitas latihan olahraga terhadap kehidupan pribadi pelakunya. Dengan kata lain, psikologi olahraga lebih terarah pada aspek sosial dengan keberadaan lawan tanding, sedangkan psikologi latihan lebih terarah pada aspek individual dalam upaya memperbaiki kesejahteraan psikofisik pelakunya.
Sekalipun demikian, kedua bidang ini demikian sulit untuk dipisahkan, karena individu berada di dalam konteks sosial dan sosial terbentuk karena adanya individu-individu. Di samping itu kedua bidang ini melibatkan aspek psikofisik dengan aktivitas aktivitas yang serupa, dan mungkin hanya berbeda intensitasnya saja karena adanya faktor kompetisi dalam olahraga.
Jadi, di satu pihak seorang praktisi psikolog yang memiliki ijin praktik belum tentu memiliki cukup pengetahuan ilmu keolahragaan, di lain pihak, pakar keolahragaan tidak dibekali pendidikan khusus psikoterapi dan konseling. Akibatnya, sampai saat ini masih terjadi kerancuan akan siapa sesungguhnya yang berhak memberikan pelayanan sosial dalam bidang psikologi olahraga. Idealnya adalah seorang konsultan atau psikoterapis memperoleh pelatihan khusus dalam bidang keolahragaan; sehingga sebagai seorang praktisi ia tetap berada di atas landasan professinya dengan mengikuti panduan etika yang berlaku, dan di samping itu pengetahuan keolahragaannya juga cukup mendukung latar belakang pendidikan formalnya.
Dalam upaya mengatasi masalah ini IPO sebagai asosiasi psikologi olahraga nasional tengah berupaya menyusun ketentuan tugas dan tanggung jawab anggotanya. Di samping itu, IPO juga tengah berupaya menyusun kurikulum tambahan untuk program sertifikasi bagi para psikolog praktisi yang ingin memberikan pelayanan sosial dalam bidang psikologi olahraga. Kurikulum tersebut merupakan bentuk spesialisasi psikologi olahraga yang meliputi: 1) Prinsip psikologi olahraga, 2) Peningkatan performance dalam olahraga, 3) Psikologi olahraga terapan, 4) Psikologi senam.
Masalah lain yang juga kerapkali timbul dalam penanganan aspek psikologi olahraga adalah dalam menentukan klien utama. Sebagai contoh misalnya pengguna jasa psikolog dapat seorang atlet, pelatih, atau pengurus. Kepada siapa psikolog harus memberikan pelayanan utama jika terjadi kesenjangan misalnya antara atlet dan pengurus, padahal psikolog dipekerjakan oleh pengurus untuk menangani atlet, dan atlet pada saat tersebut adalah pengguna jasa psikologi. Di satu pihak psikolog perlu menjaga kerahasiaan atlet, di lain pihak pengurus mungkin mendesak psikolog untuk menjabarkan kepribadian atlet secara terbuka demi kepentingan organisasi. Sachs (1993) menawarkan berbagai kemungkinan seperti misalnya menerapkan perjanjian tertulis untuk memberikan keterangan; namun demikian, jika atlet mengetahui bahwa pribadinya akan dijadikan bahan pertimbangan organisasi, ia mungkin cenderung akan berperilaku defensif, sehingga upaya untuk memperoleh informasi tentang dirinya akan mengalami kegagalan. Karenanya, seorang psikolog harus dapat bertindak secara bijaksana dalam menangani masalah ini, demikian pula, hendaknya seorang pelatih yang kerapkali bertindak selaku konsultan bagi atletnya kerap kali harus mampu melakukan pertimbangan untuk menghadapi masalah yang serupa.
Atlet, pelatih dan lingkungan merupakan tiga aspek yang berkaitan satu sama lain dalam membicarakan psikologi olahraga dan psikologi senam. Istilah atlet tidak terbatas pada individu yang berprofesi sebagai olahragawan, tetapi juga mencakup individu secara umum yang melakukan kegiatan olahraga. Pelatih harus dibedakan dari sekedar instruktur, karena pelatih tidak hanya mengajarkan atlet bagaimana melakukan gerakan-gerakan olahraga tertentu, tetapi juga mendidik atlet untuk memberikan respon yang tepat dalam bertingkah laku di dalam dan di luar gelanggang olahraga. Lingkungan tidak terbatas pada lingkungan fisik semata-mata tetapi juga lingkungan sosial masyarakat, termasuk di dalamnya lingkungan kehidupan tempat atlet tinggal. Atlet, pelatih dan lingkungan adalah tiga aspek yang merupakan suatu kesatuan yang menentukan athletic performance. Istilah atlethic performance agak sulit untuk diterjemahkan karena merupakan suatu istilah spesifik yang tidak bisa disamakan artinya dengan misalnya perilaku atletik.
Atlet
Seorang atlet adalah individu yang memiliki keunikan tersendiri. Ia memiliki bakat tersendiri, pola perilaku dan kepribadian tersendiri serta latar belakang kehidupan yang mempengaruhi secara spesifik pada dirinya. Sekalipun dalam beberapa cabang olahraga atlet harus melakukannya secara berkelompok atau beregu, pertimbangan bahwa seorang atlet sebagai individu yang unik perlu tetap dijadikan landasan pemikiran. Karena, misalnya di dalam olahraga beregu, kemampuan adaptif individu untuk melakukan kerjasama kelompok sangat menentukan perannya kelak di dalam kelompoknya.
Adalah sesuatu hal yang mustahil untuk menyamaratakan kemampuan atlet satu dengan lainnya, karena setiap individu memiliki bakat masing-masing. Bakat yang dimiliki atlet secara individual ini lah yang sesungguhnya layak untuk memperoleh perhatian secara khusus agar ia dapat memanfaatkan potensi-potensinya yang ada secara maksimum.
Namun demikian, keunikan individu seorang atlet seringkali disalahartikan sebagai perilaku menyimpang (Anshel, 1997). Sebagai contoh petenis John McEnroe menggunakan perilaku marahnya untuk membangkitkan semangatnya. Namun bagi mereka yang tidak memahami hal ini menganggap McEnroe memiliki kecenderungan pemarah. Masalahnya adalah mungkin perilaku marahnya dapat mengganggu lawan tandingnya sehingga hal ini dirasakan sebagai sesuatu yang kurang sportif untuk menjatuhkan mental lawan tandingnya. Demikian pula Monica Seles sering ditegur karena lenguhannya yang keras pada saat memukul bola, namun sesungguhnya hal ini merupakan keunikan perilakunya, dan karena tidak adanya aturan khusus untuk melarang hal tersebut, sebenarnya memang Seles tidak melakukan pelanggaran apapun. Adalah juga keliru menganggap bahwa setiap atlet membutuhkan masukan dari pelatihnya pada saat menjelang pertandingan. Karena ada atlet-atlet yang lebih cendeung memilih untuk berada sendiri daripada ditemani oleh orang lain. Jadi, setiap atlet memiliki ciri khas masing-masing, dan tidak bisa dilakukan penyamarataan dalam melakukan pendekatan terhadap atlet. Hal-hal seperti inilah yang perlu difahami oleh para pembina dalam membina para atletnya. Karena justru keunikan merekalah yang membuat mereka mampu berprestasi puncak. Sedangkan mereka yang tergolong “normal” memang hanya memiliki prestasi normal-normal (biasa-biasa) saja.
Pelatih
Pelatih, seperti telah disinggung di atas, bukan sekedar instruktur olahraga yang memberitahukan atlet cara-cara untuk melakukan gerakan tertentu dalam olahraga. Pelatih juga merupakan tokoh panutan, guru, pembimbing, pendidik, pemimpin, bahkan tak jarang menjadi tokoh model bagi atletnya. Pelatih sendiri juga mungkin meniru gaya pelatih lain atau pelatih senior yang melatih dirinya. Ada pepatah asing yang mengatakan “monkey see, monkey do”, artinya apa yang dilihat, itulah yang dikerjakan. Demikianlah hal yang harus disadari oleh pelatih bahwa apa yang dilakukannya kelak akan dijadikan contoh oleh atletnya. Dengan kata lain atlet cenderung untuk meniru hal-hal yang dikerjakan oleh pelatihnya. Pelatih harus waspada akan hal-hal yang disampaikan pada atletnya, karena atlet cenderung akan mencamkan yang diutarakan oleh pelatihnya. Hal yang diutarakan pelatih pada atlet dipandang sebagai prinsip oleh atlet, dan atlet cendrung berupaya untuk mentaatinya. Demikian pula ekspressi emosi pelatih terhadap atletnya akan banyak berpengaruh terhadap perilaku atlet (Anshel, 1997).
Kecemasan pelatih menjelang pertandingan dapat mempengaruhi atlet untuk menjadi makin cemas dalam bertanding. Lontaran ucapan pelatih yang kurang layak dapat dirasakan sangat menyakitkan oleh atlet sehingga dapat memberikan pengaruh negatif pada atlet dalam berlatih maupun bertanding. Demikian pula penerapan disiplin yang tidak jelas, terlebih disertai dengan penguatan yang kurang tepat akan memberikan dampak buruk bagi penampilan atlet. Adalah tugas pelatih untuk memainkan peran penting dalam masalah-masalah psikologis seperti di bawah ini:
· Memotivasi atlet sebelum, selama, dan setelah periode latihan maupun pertandingan
· Memberikan pengaruh positif terhadap pembentukan sikap atlet
· Memperbaiki citra diri dan keyakinan diri atlet
· Menjadi pimpinan yang baik untuk meningkatkan moral atlet
· Memahami dan memnuhi kebutuhan atlet
· Mengidentifikasi potensi dan mempromosikan perkembangan atlet
· Mempertahankan konsistensi performance atlet
· Membantu atlet mengatasi tekanan mental, kekecewaan, dan berbagai permasalahan yang berpotensi mengganggu performancenya kelak
· Mempersiapkan atlet dengan memberikan bekal keterampilan dan strategi bertanding.
Lingkungan
Lingkungan mencakup situasi, kondisi, interaksi atlet dengan atlet lain, dengan pelatih, dengan lawan tanding, penonton, peliput olahraga, serta juga terkait dengan kondisi fisik perlengkapan, fasilitas dan lain-lain. Dalam berbagai jenis olahraga, lingkungan juga terkait dengan masalah cuaca dan medan pertandingan. Di samping itu, lingkungan juga mencakup keutuhan kelompok, kebersamaan kelompok, sifat saling membantu di antara anggota kelompok, perasaan bangga dan lain-lain. Lingkungan memiliki aspek cakupan yang demikian luasnya, karenanya sejumlah aspek yang menentukan seringkali luput dari pengamatan.
Adalah penting untuk ditelaah besarnya peran lingkungan terhadap performance atlet, dan tangguh serta tanggapnya atlet terhadap kondisi lingkungan. Atlet yang kurang tanggap terhadap kondisi lingkungan bisa kehilangan kewaspadaan, atlet yang kurang tangguh bisa mudah terpengaruh oleh kondisi lingkungan. Selanjutnya, dukungan lingkungan yang besar mungkin dapat memberi dampak positif bagi performance atlet; sebaliknya kondisi lingkungan yang terlalu menekan cenderung memberi dampak negatif pada atlet.
Ketiga aspek yang tidak terpisahkan ini (atlet, pelatih dan lingkungan) memiliki hubungan interaksi yang demikian kompleks sehingga memang tidak terlalu mudah untuk mengkajinya. Namun demikian berbagai upaya harus terus dilakukan sebagai usaha untuk terus mengembangkan potensi atlet secara maksimal. Kompleksitas hubungan interaktif ketiga aspek ini seringkali kurang memperoleh perhatian serius; sebaliknya sejumlah upaya yang dilakukan juga sering melupakan atau memperkecil peran satu aspek dibandingkan aspek lainnya. Padahal, hambatan yang terjadi pada salah satu aspek tertentu, betapapun kecil tampaknya bisa memberi pengaruh yang besar pada performance atlet.
F. Masa Depan Psikologi Olahraga[4]
Psikologi olahraga, sebagai salah satu cabang dan bidang kajian baru dalam Ilmu Psikologi, menghadapi masa depan yang cukup cerah. Hal ini berkaitan dengan tuntutan olahraga yang semakin tinggi dengan berubah menjadi industri yang melibatkan nominal yang luar biasa besar. selain itu, kebutuhan untuk membangun kesehatan diri sendiri dengan pendekatan kejiwaan memunculkan kesadaran orang untuk berkonsultasi dengan ahli yang memahami kedua bidang.
Seperti disampaikan oleh Schinke, dkk. dari Universitas Laurentian psikologi olahraga akan menemukan jaman dimana industri olahraga sangat bergantung. Perkembangan tersebut meliputi bidang praktis yang tentu saja diikuti dalam bidang akademis seperti penelitian dan pengembangan kurikulum pengajaran. Dalam penelitiannya, Schinke,dkk. Memberikan bukti dari pengakuan beberapa praktisi. Dari beberapa praktisi tersebut diperoleh data bahwa para atlet profesional berhasil mendapatkan kemajuan yang signifikan setelah bekerja sama dengan para praktisi psikologi olahraga. Contoh kasus, seorang pegolf asal Kanada, Ames, berhasil menembus jajaran pegolf PGA setelah menggunakan jasa psikolog olahraga.
Pengakuan lain didapat dari Nicole Dubuc yang menyebutkan perkembangan psikologi olahraga, terutama di arena olimpiade, sungguh menggembirakan. Dalam lokakarya dan seminar-seminar disebutkan bahwa psikologi olahraga terbukti telah memberi efek positif terhadap kemajuan proses pelatihan fisik dan mental. Kondisi ini dipicu oleh semakin tingginya para pelatih menyadari menyesuaikan antara proses latihan fisik dengan kondisi kepribadian, karakter maupun sifat dari atlet.
Bukti lain jelas bisa dibaca ketika melihat perkembangan olahraga di China. Harus diakui, Negeri Tirai Bambu tersebut sudah menjelma menjadi salah satu kekuatan olahraga terbesar di dunia. Dalam penelitiannya, Andrew Hamilton BSc, MRSC. Berhasil membuktikan bahwa China menggunakan olahraga sebagai salah satu alat untuk “menguasai dunia”. Perkembangan olahraga di China tentu saja didasari oleh kesadaran pemerintah menggerakkan masyarakatnya untuk berolahraga. Proses pembibitan dan pembinaan atlet dilakukan secara massal dan menjadi kebijakan nasional.
Kebijakan peningkatan prestasi ini tentu saja melibatkan segala bidang. Sarana dan prasarana yang mutakhir ditunjang dengan sistem kepelatihan yang modern membuat perkembangan atlet seolah tinggal menunggu waktu. Puncaknya adalah dipilihnya China sebagai tuan rumah perhelatan pesta olahraga terbesar di muka bumi, Olimpiade 2008 Beijing.
Kebijakan peningkatan prestasi ini tentu saja melibatkan segala bidang. Sarana dan prasarana yang mutakhir ditunjang dengan sistem kepelatihan yang modern membuat perkembangan atlet seolah tinggal menunggu waktu. Puncaknya adalah dipilihnya China sebagai tuan rumah perhelatan pesta olahraga terbesar di muka bumi, Olimpiade 2008 Beijing.
Selain sarana dan prasarana, tentu saja ilmu pengetahuan memainkan peran yang strategis. Salah satu cabang ilmu yang berperan, tentu saja, adalah psikologi olahraga. Dengan memahami dengan jelas karakter dan sifat masyarakat China, proses pelatihan akan semakin mudah. Secara tidak langsung, Ilmu Psikologi olahraga telah memainkan peranan penting dalam pembangunan olahraga China.
Sinergi Dua Bidang
Untuk menempatkan psikologi olahraga menjadi sejajar dengan ilmu fisik maupun ilmu kedokteran dalam pembangunan atlet, maka dibutuhkan usaha yang cukup keras. Ada dua hal yang perlu bersinergi dalam rangka mengembangkan teori dan sistem dalam ilmu ini, yaitu bidang praktis dan bidang akademis.
Dalam sisi praktis, para praktisi tentu saja perlu mengembangkan teknik dan cara dalam proses konseling maupun terapi bagi para atlet. Tidak hanya dalam konteks permasalahan behavioral disorders, tapi juga dalam proses pengembangan motivasi. Teknik-teknik terapi saat ini memang sudah cukup mutakhir, namun tentu saja, dalam konteks olahraga, perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian. Sedang dalam tataran akademis, para peneliti dituntut untuk tetap berkarya menelurkan teori-teori baru dalam rangka peningkatan performance para atlet dalam sudut pandang psikologi.
Kedua hal ini tentu saja tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Para praktisi mempunyai akses ke atlet secara langsung, sehingga seharusnya dengan mudah mengidentifikasi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh atlet dan dunia olahraga secara langsung. Hal ini kemudian didukung oleh penelitian-penelitian lanjutan untuk mendapat solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut lebih komprehensif. Selain itu memang perlu dikembangbiakkan institusi pendidikan yang secara spesifik memberikan pengajaran bagi para calon psikolog olahraga baru. Saat ini, baru sedikit institusi pendidikan yang seara spesifik membuka program-program pendidikan psikologi olahraga.
Di Indonesia, kondisi ini diyakini belum mendapat perhatian yang besar dari para praktisi psikologi. Terbukti belum banyak lembaga yang mempunyai program studi psikologi olahraga yang secara khusus mencetak para psikolog olahraga. Hal ini barangkali dipengaruhi oleh iklim olahraga Indonesia yang belum begitu menjanjikan. Namun, menurut hemat penulis, kondisi tersebut bisa dimulai dengan mengembangkan bidang keilmuan ini dengan simultan. Dengan pamor ilmu psikologi secara keseluruhan, yang mulai merambah kehidupan bangsa ini, yang mulai meningkat. Maka tidak ada salahnya menempatkan psikologi olahraga dalam salah satu kurikulumnya.
Referensi
Anshel, M. H. (1997). Sport psychology: From theory to practice (3rd ed.). Scottsdale, AZ: Gorsuch Scarisbrick.
Clarke, K. S. (1984). The USOC sports psychology registry: A clarification. Journal of Sport Psychology, 6, 365-366.
Sachs, M. L. (1993). Professional ethics in sport psychology. In R. N. Singer, M. Murphey, & L. K. Tennant (Ed.), Handbook of research in sport psychology (pp. 921-932). New York: Maacmillan.
Seraganian, P. (Ed.). (1993). Exercise psychology: The influence of physical exercise on psychological processes. New York: John Wiley & Sons.
Singer, R. N. (1993). Ethical issues in clinical services. Quest, 45, 88-105
Triplett, N. (1898). The dynamogenic factors in pacemaking and competition. American Journal of Psychology, 9, 507-553.
Weinberg, R. S., & Gould, D. (1995). Foundations of sport and exercise psychology. Champaign, IL: Human Kinetics
Wiffins, D. K. (1984). The history of sport psychology in North America. In J. M. Silva & R. S. Weinberg (Eds.), Psychological foundations of sport (pp.9-22). Champaign, IL: Human Kinetics.
Willis, J. D., & Campbell, L. F. (1992). Exercise psychology. Champaign, IL: Human Kinetic.
http://pojokpenjas.wordpress.com/2007/11/12/pengertian-psikologi-olahraga/
[1] Diadopsi dari http://psikologi-olahraga.blogspot.com/2007/05/sejarah-singkat-psikologi-olahraga.html
[2] Diadopsi dari http://psikologiolahraga.wordpress.com/2007/08/14/ruang-lingkup-psikologi-olahraga/
[4] Diadopsi dari http://psikologiolahraga.wordpress.com/2007/08/27/masa-depan-psikologi-olahraga/
teriama kasih ...atas blogger ini...saya mengopi semuanya..untuk pembelajaran psiko olahraga...
BalasHapus