16 Mei 2011

4 PERSONALITAS DAN OLAHRAGA

PERSONALITAS DAN OLAHRAGA[1]
Made Pramono, S.S., M.Hum.
A. KEPRIBADIAN ATLIT
Di antara persoalan-persoalan paling mendasar yang dihadapi psikologi, salah satunya adalah pertanyaan “mengapa kita semua berbeda”? Tentu saja dengan cara serupa kita semua memiliki banyak kesamaan, misalnya dalam struktur otak kita dan mekanisme persepsi dan memori. Bagaimanapun terdapat perbedaan besar di antara individu-individu dalam cara berpikirnya, dalam merasa, dan mengerjakan sesuatu di situasi yang bereda. Psikologi kepribadian berkaitan dengan perbedaan-perbedaan individual ini.

Tak mudah untuk mendefinisikan kepribadian. Kepribadian tidak tampak dan diketahui, karena kepribadiaan adalah kesatuan kebulatan jiwa yang kompleks. Kepribadian atlit akan tercermin dalam cita-cita, sikap, watak, sifat dan perbuatannya. Pervin (1993) memberikan definisi operasional singkat tentang kepribadian: kepribadian merepresentasikan karakteristik-karakteristik manusia yang menegaskan pola-pola perilaku konsisten.
Untuk mengukur kepribadian atlit, menurut Bryan J. Cratty lebih ditujukan untuk mengetahui:
1. Bagaimana perasaan atlit terhadap diri sendiri
2. Bagaimana sikapnya terhadap orang lain
3. Bagaimana reaksinya dalam situasi-situasi kritis tertentu.
Sejak mula terbukti bahwa atlit sedang membangun karakter yang dibutuhkan dalam dunia nyata, berkenaan dengan posisinya dalam sosial sebagai peran yang diharapkan masyarakat pendukungnya. Inilah makna “Athletics build personality”, yang mengarahkan pada kooperatif dan kompetitif, pada penerimaan kalah dan menang, untuk menunjukkan fair-play dan agar lebih bersosialisasi.
Tekanan untuk menang semakin intensif, dan ini membuka persoalan tentang nilai atletik. Meskipun “winning isn’t everything, it’s the only thing” (Vince Lombardi), namun kemenangan seolah-olah bisa merangsang seseorang untuk merekayasa kepribadian: demi kemenangan!
Terdapat perbedaan antara kepribadian atlit dan non-atlit, seperti yang dideskripsikan Cooper, bahwa atlit:
1. lebih percaya diri secara sosial
2. lebih agresif, dominan dan memimpin
3. memiliki penyesuaian diri lebih tinggi, termasuk gengsi dan status sosialnya
4. kompetitor yang lebih kuat
5. kurang kompulsif (memaksa) dan impulsif (menuruti kata hati)
6. lebih toleran terhadap luka/sakit
7. ketertarikan yang cenderung maskulin, kurang feminim.
Booth berkesimpulan dari penyelidikannya tentang sifat-sifat kepribadian atlit dan non-atlit, bahwa hanya dalam kecemasan dan depresi saja non-atlit lebih unggul dalam mengatasinya daripada atlit.
Berbicara tentang penampilan atlit, di samping memahami kepribadian, kita juga perlu memahami keadaan sikap dan mental atlit. Kemampuan atlit menerima rangsangan emosional seperti pujian, ejekan, dan sebagainya akan menentukan kuat lemahnya mental atlit; karena mental atlit meliputi keseluruhan proses kejiwaan yang terorganisir; jadi gangguan aspek emosional berpengaruh pada keadaan mental sebagai keseluruhan.
“Emotional instability” akan mengakibatkan terjadinya “psychological instability” dan keadaan mental sering goyah, berubah pikiran, konsentrasi kacau.
Menurut Weinberg, pola berpikir atlit akan dapat mempengaruhi penampilan atlit, oleh karena itu perlu adanya “mental training” yang dikaitkan dengan aspek kognitif seperti pemusatan perhatian dan pembentukan citra.©
Umumnya, ada empat faktor yang mempengaruhi bagaimana respon individu dalam aneka situasi: bentukan (make-up) genetika, pengalaman masa lalu, kodrat situasi dengan mana individu menemukan dirinya sendiri dan kehendak bebasnya. Tiap-tiap faktor tersebut ditekankan melalui satu atau lebih teori kepribadian.
Teori watak kepribadian menekankan peran genetika dalam menegaskan individualitas. Teori pembelajaran sosial, sebaliknya, melihat kepribadian sebagai hal yang utama yang ditentukan oleh pengalaman masa lalu. Pandangan situasional dan interaksional lebih menekankan pada situasi khusus dan kurang menekankan pada sifat dasar individual dalam menentukan bagaimana bertindak. Teori watak, pembelajaran sosial, dan interaksional semuanya merupakan pendekatan ambisius terhadap masalah keprbadian yang ditujukan untuk menggambarkan keseluruhan kodrat pribadi. Teori kekerabatan (Narrow-band theories) kurang ambisius, berfokus pada aspek tunggal kepribadian. Tak satupun pendekatan-pendekatan teoritis utama tersebut mendekati permasalahan kepribadian lebih pada kehendak bebas, yakni bagaimana memilih untuk berpikir, merasa, dan bertindak. Kehendak bebas adalah gagasan kontroversial dalam psikologi. Meskipun bisa saja diyakini bahwa seseorang bebas memilih bagaimana untuk bertindak sesuatu, hal itu sepertinya selalu saja dipengaruhi sekian derajat oleh bentukan genetika dan pengalaman masa lalu.
Kajian kepribadian dapat dikatakan mendasari semua kajian psikologi olahraga. Tema-tema seperti sikap (attitude), agresi, motivasi, dan kecemasan, yang menarik adalah bagaimana dan mengapa seseorang berbeda dalam aspek-aspek sikap, agresi, dan sebagainya itu, dan bagaimana memodifikasi hal ini untuk memperbaiki prestasi/penampilan puncak olahraga. Jawaban atas berbagai permasalahan tersebut dapat ditemukan dalam kajian teori kepribadian.
B. Teori Watak
Terdapat dua asumsi utama yang mendasari pendekatan watak terhadap permasalahan kepribadian. Yang pertama, kepribadian individual dibentuk oleh beberapa karakteristik atau watak kunci tertentu. Watak adalah karakteristik seseorang yang paling stabil. Kedua, setiap individu berbeda dalam watak disebabkan perbedaan genetikanya. Watak dapat diukur menurut 3 faktor: frekuensinya, intensitasnya, dan cakupan situasi dengan mana watak dapat diaplikasikan. Sebagai contoh, watak yang paling banyak tampak pada teori-teori utama adalah extroversion - bagaimana semangat, sosiabilitas, dan impulsif itu individualis. Seseorang disebut extrovert jika perilaku nya menampilkan perilaku macam ini, cenderung ekstrim dan dalam variasi situasi yang amat berbeda-beda.
C. Eysenck’s Theory
Eysenck (1952) pada awalnya mengajukan bahwa kepribadian dapat digambarkan secara lengkap melalui dua watak: extroversion dan neurotisisme. Extroversion menggambarkan bagaimana kegairahan, sosiabilitas, dan impulsifnya seseorang, sementara neurotisisme menggambarkan bagaimana stabilitas emosionalnya. Persoalannya adalah mengapa tiga karakteristik berbeda seperti kegairahan, sosiabilitas, dan impulsivitas dikelompokkan bersama sebagai satu watak. Jawabannya adalah melalui suatu proses matematis yang disebut analisis faktor. Eysenck menemukan bahwa pada banyak kasus terdapat orang yang sama yang cenderung untuk ceria, sosiabel, dan impulsif. Ketika perilaku kalarakteristik cenderung menyatu bersama sedemikian itu, bisa dikatakan bahwa ketiganya telah membentuk satu watak. Extroversion dan neurotisisme dapat diukur melalui tes kepribadian yang disebut Eysenck Personality Inventory (EPI). Table 2.1. menunjukkan beberapa item dalam EPI tersebut. Bisa dilihat bahwa pertanyaan 1. 3, 5 dalam daftar tabel 2.1 tersebut merupakan bagian dari skala extroversion (E), sementara 2 dan 4 merupakan bagian dari skala neurotisisme (N). Skala E dan N masing-masing dibatasi pada angka 24. Skore tinggi pada skala E mengindikasikan bahwa seseorang sangat ekstrovert, sementara skor rendah berarti introvert, yakni, pendiam, penyendiri, dan sama sekali tidak impulsif.
Text Box: EPI Score Introvert   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12  E Scale 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Ekstrovert Stable        1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12  N Scale 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Neurotic


Tabel 2.1 Penskoran EPI
Tabel 2.1. Item pertanyaan EPI
Ya Tidak
1 Seringkah anda merasa gembira?
2 Apakah anda sering burtuh memahami teman untuk menggembirakan anda?
3 Apakah anda biasanya bebas lepas tanpa kerisauan?
4 Apakah anda merasa sangat sulit untuk menjawab tidak saat diminta/ditanya?
5 Apakah anda berhenti dan memikirkan terlebih dahulu sebelum melakukan segala sesuatu?
Progress Exercise
Yang mana di anatara cabang olahraga berikut ini yang paling mungkin dipilih untuk diikuti pribadi introvert?
sepakbola berlayar solo rugby
rock-climbing balap sepeda
Skor tinggi pada skala N mengindikasikan sangat neurotik, yakni ketidakstabilan emosional, sedangkan skor rendah menunjukkan pribadi yang sangat stabil, pribadi yang “tangguh”. Ini ditunjukkan pada gambar 2.1.
Skor kebanyakan orang berada antara 5 dan 20 pada tiap skala. Di versi paling akhir, Eysenck (1975) menambahkan watak ketiga, psikotisisme, ukuran bagaimana lemah lembut atau kasarnya pemikiran seseorang. Faktor ini disertakan dalam skala ketiga tes kepribadian Eysenck belakangan, yakni Eysenck Personality Questionnaire (EPQ).
Eysenck (1966) menjelaskan extroversion dan neurotisisme sebagai yang paling ditentukan oleh sifat dasar sistem syaraf individual. Introvert lebih mudah dipengaruhi kejadian/peristiwa daripada ekstrovert, oleh karena itu introvert lebih sedikit membutuhkan stimulasi untuk bisa nyaman. Introvert cenderung mencari situasi yang relatif kurang rangsangannya, tampil pendiam dan penyendiri. Ekstrovert, yang memerlukan lebih banyak stimulasi untuk mencapai tahapan perangsangan yang nyaman, merespon dengan pencarian situasi yang lebih memiliki stimulasi. Perilaku mereka oleh karenanya cenderung lebih ceria dan sosiabel.
Eysenck memandang neurotisisme sebagai hasil respon dari sistem syaraf seseorang terhadap stress. Mereka yang skornya tinggi dalam neurotisisme adalah mereka yang respon sistem syarafnya kuat terhadap stress dan lambat untuk sembuh. Pribadi yang stabil adalah mereka yang respon sistem syarafnya kurang kuat terhadap stress dan lebih cepat dipulihkan.
Progress exercise
Paul Gascoigne and Jimmy White adalah dua olahragawan yang terkenal dan berkepribadian menarik. Akan tetapi, meskipun dikenal biliian, Paul Gascoigne dihentikan dari tim Inggris di World Cup1998, dan Jimmy White tak pernah menang dalam kejuaraan biliar internasional. Merujuk pada teori Eysenck:
1. Faktor kepribadian apa yang paling berkontribusi pada popularitas Paul Gascoigne dan Jimmy White?
2. Faktor kepribadian apa yang paling membatasi prestasi mereka?
C. Teori Cattell
Cattell (1965) tidak sepakat dengan pandangan Eysenck bahwa kepribadian dapat dipahami hanya dengan melihat 3 dimensi perilaku. Sebagai gantinya Cattell berpendapat perlu melihat lebih banyak lagi watak dalam rangka memproleh gambaran utuh kepribadian seseorang. Seperti Eysenck, Cattell menggunakan teknik matematis analisis faktor untuk melihat terhadap apa jenis-jenis perilaku cenderung dikelompokkan bersama dalam diri seseorang. Dia mengidentifikasi 16 faktor kepribadian, yang ditunjukkan di gambar 2.2. Cattell memproduksi tes kepribadian yang mirip dengan EPI yang mengukur ke-16 watak tersebut. 16PF tersebut memiliki total 160 pertanyaan, 10 pertanyaan berkaitan dengan masing-masing faktor kepribadian.
Eysenck mengemukakan bahwa sebenarnya 16 faktor Cattell tersebut cocok dengan tiga faktor kepribadiannya. Sebagai contoh, kesepuluh faktor yang terkait, faktor tenang-gelisah dan faktor stabil-tak stabil semuanya telah tercakup melalui watak neurotisisme Eysenck. Argumentasi antara Eysenck dan Cattell benar-benar merupakan argumentasi matematis. Bagi psikologi olahraga yang menjadi masalah bukanlah hitungan mana yang lebih benar tetapi tes yang mana yang lebihy berguna dalam memahami prestasi/penampilan olahraga.


Gambar 2.2. Enam belas faktor kepribadian (16PF) Cattell
D. Variabel-Variabel Kepribadian Terukur Lain
Teori watak bertujuan menjelaskan semua variasi individual dalam hal kepribadian. Sejumlah teori yang lebih sederhana melihat aspek-aspek khusus kepribadian. Teori itu disebut teori narrow-band. Teori ini nantinya akan berhubungan dengan beberapa faktor seperti kecemasan kompetitif, motivasi berprestasi, dsb. Penelitian terkait teori narrow-band akan tercakup dalam wacana tentang kesalinghubungan antara kepribadian dan olahraga. Dua pendekatan menonjol narrow-band tentang kepribadian, dibahas di bawah ini: pencarian sensasi (sensation seeking) dan dominansi bertujuan (telic dominance).
1. Pencarian Sensasi
Zuckerman (1979) mengidentifikasi pencarian sensasi sebagai satu aspek kepribadian. Sensation seeking merefleksikan sejumlah stimulasi yang akan dicari individu. Zuckerman mengidentifikasi 4 faktor terpisah yang membentuk sensation seeking, yaitu pencarian kegairahan dan petualangan, tendensi untuk bertindak sesuai gerak hati, pencarian pengalaman baru dan menghindari kebosanan. Zuckerman memproduksi tes kepribadian pengukur
sensation seeking (beberapa item bisa dilihat di tabel 2.2.
Beberapa kajian menemukan bahwa sensation seeking, sebagaimana diukur dalam skala Zuckerman, terkait secara positif dengan konsumsi obat bius, eksperimentasi seksual, kemabukan publik, dan kesukarelaan aktivitas penuh resiko. Jelas, yang terakhir ini menarik perhatian psikolog olahraga, dalam hal ini terhadap individu yang melibatkan diri pada olahraga berresiko.
Table 2.2 Item-item dari skala pencarian sensasi Zuckerman
Lingkari pilihan (a) atau (b) yang menggambarkan anda
1. (a) Saya menyukai pekerjaan yang membutuhkan banyak berpergian.
(b) Saya lebih menyukai pekerjaan di satu tempat.
2. (a) Saya dibuat kuat oleh hawa dingin,
(b) Saya tidak bisa terlalu lama di luar saat hawa dingin.
3. (a) Saya bosan melihat wajah yang sama itu-itu saja
(b) Saya menyukai keakraban menyenangkan dari teman-teman tiap hari.
4. (a) Saya memilih hidup dalam masyarakat yang ideal dengan mana setiap orang merasa aman, nyaman, dan bahagia.
(b) Saya lebih memilih hidup dalam ketidakmapanan sehari-hari.
5. (a) Saya kadang-kadang menyukai melakukan sesuatu yang sedikit menakutkan.
(b) Seorang yang berpikiran sehat untuk menghindari aktivitas berbahaya.
2. Dominansi Bertujuan
Gagasan dominansi bertujuan datang dari bidang lebih luas dari teori pembalikan, suatu pendekatan untuk menjelaskan motivasi manusia. Menurut teori pembalikan, manusia berganti-ganti antara keadaan telic (bertujuan) dengan mana manusia menghindari pembangkit emosi (arousal) dan keadaan paratelic dengan mana manusia mencari pembangkit emosi. Seseorang dikatakan didominasi oleh keadaan telic dan yang lainnya oleh keadaan paratelic, dengan mencermati lebih sering mana waktunya dihabiskan di antara keduia keadaan tersebut. Dengan demikian seseorang kemudian disebut dominan telic atau dominan paratelic. Murgatroyd, dkk (1978) memerkenalkan tes kepribadian yang dirancang untuk mengukur dominasi telic yang dikenal dengan Telic Dominance Scale Murgatroyd (TDS). beberapa item tes tersebut bisa dilihat di tabel 2.3.
Table 2.3 Item-item TDS
Berikut ini beberapa alternatif pilihan terbuka, yang mana dari alternatif-alternatif berikut yang lazim anda pilih:
1
Menyusun kamus pendek demi hadiah finansial.

Menulis cerita pendek hanya untuk iseng

Tidak yakin
2
Masuk kelas malam untuk memperbaiki kualifikasi

Masuk kelas malam hanya untuk iseng

Tidak yakin
3
Aktivitas waktu luang yang menggairahkan

Aktivitas waktu luang yang memiliki maksud tujuan tertentu

Tidak yakin
4
Meningkatkan kecakapan olahraga dengan permainan

Meningkatkan kecakapan olahraga dengan latihan sistematis

Tidak yakin
Kerr (1997) berpendapat bahwa individu-individu telic-dominant dan paratelic-dominant berreaksi berbeda terhadap stress. Mereka bisa jadi juga memiliki preferensi berbeda dalam pilihan berolahraga.
E. Penerapan Teori Watak dan Narrow-Band dalam Olahraga
Dari semua pendekatan terhadap masalah kepribadian, kebanyakan penelitian di bidang psikologi olahraga melibatkan pendekatan watak dan narrow-band. Berbagai upaya dibuat untuk membedakan atlet dari non-atlet, dan antara pemain sukses dan pemain kurang sukses. Psikolog olahraga juga melihat apakah faktor-faktor kepribadian berhubungan dengan pemilihan jenis olahraga.
Progress exercise
Buatlah daftar atlet dan non-atlet di antara teman-teman anda. Gunakan teori-teori di atas untuk memikirkan apa saja yang secara umum dimiliki oleh atlet, yang membedakannya dari non-atlet!
Perbedaan Atlet dan Non-Atlet
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menelusuri perbedaan dasar kepribadian atlet dan non-atlet. Eysenck et al. (1982) menyetakan bahwa mereka yang dinilai tinggi dalam skala extroversion dan psikotisme EPQ terlihat lebih cocok sebagai atlet. Namun ini tidak didukung dengan penelitian (Kremer and Scully 1994). Schurr et al. (1977) menguji 1,500 pelajar Amerika dengan 16PF, dalam hal partisipasi mereka di olahraga, olahraga yang dipilih, dan tingkat keberhasilannya. Ditemukan bahwa atlet berbeda dengan non-atlet di tiga skala 16PF: atlet lebih independen, objektif, dan tidak mudah cemas dibandingkan non-atlet. Penelitian ini sayangnya kurang tegas dan penulis berbeda yang juga melakukan penelitian serupa memperoleh hasil yang berbeda tentang apakah ada perbedaan dasar antara kepribadian atlet dan non-atlet.
Perbedaan Atlet Sukses dan Atlet Gagal
Usaha pertama kali untuk mengidentifikasi kesuksesan atlet berdasarkan kepribadiannya adalah oleh Tutko and Ogilvie (1966). Merka menegaskan bahwa kesuksesan dinilai tinggi dari 11 ciri kepribadian: agresi, coachability, kehati-hatian, tekad, dorongan, kontrol emosional, kecenderungan bertindak salah, kepemimpinan, kekuatan mental, kepercayaan diri, dan terpercaya. Tutko dan Ogilvie menyusun tes kepribadian yang disebut Athletic Motivation Inventory (AMI) yang ditujukan untuk mengukur ciri-ciri kepribadian ini. Kebanyakan psikolog olahraga sepakat bahwa AMI cacat dan peneliti kontemporerpun tidak mendukung ide bahwa AMI dapat membedakan antara atlet sukses dengan atlet gagal. Kajian menggunakan tes kepribadian superior menemukan beberapa bukti bahwa aspek-aspek kepribadian memang berkaitan dengan keberhasilan atlet. Garland dan Barry (1990) mengujinya kepada atlet-atlet kampus di Amerika dalam merepresentasikan tingkat kecakapan mereka. Mereka diuji dengan 16PF. Kesalinghubungan statistikal antara kesuksesan mereka sebagai atlet dan faktor-faktor kepribadiannya yang diukur dengan 16PF dihitung. Ditemukan bahwa kekuatan mental, extroversion, ketergantungan terhadap kelompok, dan stabilitas emosional berkisar pada hitungan 29% untuk semua varian kecakapan, Ini menunjukkan bahwa meskipun kepribadian mungkin sudah menjadi faktor penting dalam kesuksesan, namun sangat mungkin masih ada faktor penting lain yang harus dipertimbangkan.
Lerner and Locke (1995) di lain waktu mengukur kekompetitifan danmotivasi berprestasi dari 60 mahasiswa laki-laki Amerika menggunakan tes yang disebut Sport Orientation Questionnaire (SOQ). Para atlet itu kemudian diuji daya tahan termasuk sit-up. Hubungan positip antara kepribadian dan kesuksesan cukup kuat di kajian Garland dan barry ini. Namun ditemukan juga bahwa faktor-faktor psikologis seperti goal-setting dan self-efficacy dapat mengesampingkan pengaruh kepribadian.
Meskipun hasil ini menunjukkan bahwa ada cukup keterkaitan antara keberhasilan dan karakteristik kepribadian dalam olahraga, terdapat beberapa ketentuan penting yang harus dipertimbangkan. Pertama, tak semua penelitian mengkonfirmasi jenis kesalinghubungan ini. Sebagai contoh, Davis (1991) berusaha memprediksi keberhasilan dengan memilih pemain hockey profesional untuk diukur ciri kepribadiannya dan ditemukan tak ada hubungan antara pilihan itu dengan kepribadian. Kedua, ada keterbatasan yang serius dari kemanfaatan mengetahui kesalinghubungan antara kepribadian dan keberhasilan. Meskipun kita dapat membantu meningkatkan motivasi dan fokus individual, dan dapat membantu atlet mengatur kecemasannya, kita tidak dapat mengubah secara mendasar kepribadian seseorang. Selain itu, sebagaimana yang didemonstrasikan Davis tersebut, kita juga tak dapat memilih individu murni berdasarkan kepribadiannya, ketika terdapat faktor-faktor yang lebih penting baik fisik maupun psikis, yang mempengaruhi prestasi.



[1] Diadaptasi dari buku Jarvis, Matt. 2005. Sport Psychology. London & New York: Routledge.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar