16 Mei 2011

5 MOTIVASI DALAM OLAHRAGA

BAB 5
MOTIVASI ATLET

A. Motivasi: Bahan Bakar Prestasi

Penampilan seorang atlet tidak bisa dilepaskan dari daya dorong yang dia miliki. Sederhananya, semakin besar daya dorong yang dimiliki, maka penampilan akan semakin optimal, tentu saja jika ditunjang dengan kemampuan teknis dan kemampuan fisik yang memadai. Daya dorong itulah yang biasa disebut dengan motivasi. Menurut Hodgetts dan Richard (2002) motif adalah sesuatu yang berfungsi untuk meningkatkan dan mempertahankan serta menentukan arah dari perilaku seseorang.
Sedang motivasi adalah motif yang tampak dalam perilaku. Motiflah yang memberi dorongan seseorang dalam melakukan suatu aktivitas. Hampir semua aktivitas manusia didorong oleh motif-motif tertentu yang bersifat sangat individualis.
Aspek motivasi merupakan aspek yang paling banyak disoroti dalam program pembinaan olahraga. Berbagai permasalahan di dalam pembinaan olahraga merupakan tantangan besar yang harus dihadapi oleh para Pembina olahraga di Indonesia karena sebagian kalangan berpendapat bahwa atlet kurang termotivasi untuk berprestasi sehingga berbagai upaya diarahkan untuk meningkatkan motivasi atlet termasuk didalamnya memberdayakan motivator dengan harapan agar atlet lebih termotivasi untuk berprestasi.
Berbicara tentang kebutuhan dalam hubungannya dengan motivasi, kita ingat teori yang diajukan oleh Abraham Maslow tentang tahapan kebutuhan, di mana kebutuhan paling mendasar harus dipenuhi dulu untuk menuju kebutuhan yang lebuh tinggi sifat urgensinya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah:
1. kebutuhan fisiologis; yakni kebutuhan akan makanan, air, sex dan sebagainya
2. kebutuhan rasa aman (safety needs); yaitu keamanan, stabilitas dan keteraturan
3. kebutuhan cinta kasih untuk memiliki dan dimiliki (belongingness and love needs)
4. kebutuhan akan penghargaan (steern needs); seperti keberhasilan dan kesuksesan (self-respect)
5. aktualisasi diri (self-actualization); termasuk kebutuhan akan kebebasan
Secara garis besar, ada dua jenis motivasi jika dilihat dari arah datangnya; yakni motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik (Silva dan Weinberg, 1984). Motivasi intrinsik merupakan motivasi yang datang dari dalam diri individu. Sebagai contoh keinginan untuk mendapat poin sempurna dalam sebuah kejuaraan senam, atau keinginan untuk menyelesaikan sebuah handicap dalam olahraga motocross. Motivasi yang datang dari dalam diri individu tanpa campur tangan faktor luar inilah yang biasa disebut sebagai motivasi intrinsik.
Motivasi ekstrinsik biasa didefinisikan sebagai motivasi yang datang dari luar individu. Keinginan mendapat penghargaan, uang, trophi dan sebagainya merupakan contoh-contoh motivasi yang berasal dari luar individu. Secara umum, motivasi ekstrinsik lebih sering berbentuk kebendaan atau juga pujian.
Meskipun berbeda, kedua jenis motivasi ini sesungguhnya saling berkait satu sama lain dan bentuknya yang saling berubah-ubah. Motivasi intrinsik bisa muncul akibat adanya penghargaan yang menjadi iming-iming pun demikian dengan sebaliknya. Motivasi ekstrinsik adalah kelanjutan dari adanya motivasi intrinsik yang mengawali seseorang melakukan sebuah aktivitas.
Memang banyak ahli yang mengatakan bahwa motivasi intrinsiklah yang sebenarnya diperlukan oleh seorang atlet dalam setiap penampilannya. Karena motivasi intrinsik lebih bersifat tahan lama dibanding motivasi ekstrinsik. Mudahnya, motivasi ekstrinsik akan hilang seiring dengan hilangnya hadiah, reward, atau uang yang diinginkan, tapi tidak demikian jika yang dimiliki adalah motivasi intriksik. Namun sekali lagi, kedua jenis motivasi ini saling bertumpuk dan mempengaruhi satu sama lain.
Olahraga yang berorientasi pada prestasi merupakan salah satu aktivitas yang disadari. Selalu ada tujuan yang ingin dicapai oleh seorang atlet saat mereka melakukan aktivitasnya. Dalam suatu kejuaraan, tentu saja prestasi tertinggi yang ingin dicapai oleh seorang atlet. Namun, tak jarang juga, seorang atlet tampil hanya karena desakan dari pihak-pihak luar yang menginginkannya menjadi seorang juara.
Motivasi tidak bersifat permanen. Ada banyak hal yang bisa dengan mudah menghilangkan atau memunculkan motivasi seorang atlet. Mengambil contoh Piala Asia 2007, para pemain Indonesia seperti mendapat suntikan motivasi yang luar biasa saat puluhan ribu penonton menyaksikan pertandingan Timnas Indonesia. Namun, saat Piala Dunia 1998, Timnas Nigeria yang waktu itu diharapkan menjadi kuda hitam, tiba-tiba melempem akibat gaji yang belum dibayarkan oleh federasi sepakbola negaranya.
Contoh di atas merupakan ilustrasi yang sahih tentang bagaimana rapuhnya motivasi yang dimiliki oleh seseorang. Satu ketika bisa menjadi sangat besar, tapi disaat yang lain tiba-tiba menghilang tanpa bekas. Untuk itulah diperlukan suatu metode yang berlangsung terus menerus agar motivasi atlet tetap terjaga.
Dalam olahraga prestasi, yang tentu saja sudah menjadi sebuah industri tontonan, peran orang yang berperan sebagai penyuntik motivasi menjadi sangat penting. Tidak ayal, olahraga prestasi (dalam cabang apapun) membutuhkan penampilan yang konsisten dari seorang atlet. Penampilan konsisten ini termasuk juga mempunyai motivasi yang selalu tinggi.
Bisa dikatakan, orang-orang terdekat atlet adalah orang-orang yang berpotensi besar menjadi penyuntik motivasi. Baik orang tua, saudara, teman, terlebih pelatih. Seorang pelatih harus memahami benar karakter atlet binaannya. Syarat tersebut mutlak, karena pelatihlah yang mengetahui secara mendalam kemampuan terbaik dari seorang atlet. Pelatih olahraga saat ini tidak cukup hanya membekali dirinya dengan kemampuan melatih teknik, tapi juga harus mengauasai ilmu psikologi sebagai bekal untuk mendampingin atlet dalam menjaga kondisi mentalnya. Banyak pelatih yang dikatakan sukses juga merupakan seorang motivator ulung.
Namun, dewasa ini peran pelatih yang terlalu besar terkadang tidak lagi mampu mengkaver segala sesuatu yang terjadi pada atletnya. Disaat itulah dibutuhkan seorang “pembantu” pelatih yang secara spesifik mengurusi perkembangan emosi atletnya. Biasanya “pembantu” ini adalah seorang motivator atau lebih luasnya adalah seorang psikolog olahraga yang bekerja sama secara penuh dengan pelatih kepala.
Pada umumnya, suntikan motivasi pemain atau atlet masih berbentuk oral atau diucapkan, seperti kata-kata pujian atau semacamnya. Namun, mengikuti perkembangan metode kepalatihan dewasa ini, suntikan motivasi bisa diwujudkan dalam proses latihan teknis yang dilalui. Sebagai contoh, dalam sesi latihan sepakbola untuk usia muda, latihan bisa diset dengan menghadirkan kompetisi internal antar pemain.
Dalam latihan passing, misalnya, pola latihan tidak hanya berhadap-hadapan dua orang pemain. Tapi bisa menghadirkan gawang kecil sebagai salah satu pemancing munculnya kompetisi. Seorang pemain harus mengumpan masuk melalui gawang kecil tersebut, dan yang paling banyak masuk akan mendapat reward tertentu. Sekali lagi, pelatih harus jeli dan cermat dalam membuat pola latihan ini.
Selain untuk memicu motivasi dalam latihan, pola latihan seperti di atas bisa memudahkan pelatih dalam mengajarkan satu gerakan tertentu. Selain itu, diharapkan dengan penguasaan kemampuan teknik tertentu, pemain akan lebih percaya diri ketika menghadapi pertandingan sesungguhnya.
Pola lain dalam menyuntik motivasi adalah dengan membakar secara verbal. Namun harus diingat, memotivasi dengan menggunakan cara-cara verbal ini harus benar-benar memperhatikan kondisi dasar kepribadian pemain. Kita tidak bisa menggunakan metode crash talk atau mengatakan dengan cara meledak-ledak dan langsung jika yang dihadapi pemain-pemain yang mempunyai tipe kepribadian yang cenderung introvert. Sebaliknya, bisa digunakan sandwich talk dengan terlebih dulu memberi pujian di awal baru “membakar” di tengah dan diakhiri dengan pujian-pujian lagi.
C. Motivasi dan Pembagiannya
Terbentuk dari kata Latin motus, yang berarti gerak, move, motivasi menunjuk pada gerakan mendorong. Konsep ini, dengan pemaknaan yang tepat, disepakati sebagai sentral psikologi olahraga. Contoh dari berbagai interpretasi tentang motivasi: Silva dan Weinberg (1984), “intensitas dan arah perilaku”; Green (1996), “proses yang mencakup pencetus/pemicu, arah, dan energisasi perilaku individual”; Reber (1995), “proses intervensi atau kondisi internal organisme yang mendorong individu untuk bertindak”; Alderman (1974), “kecenderungan arah dan selektivitas perilaku untuk dikendalikan oleh koneksi konsekuensinya, dan kecenderungan perilaku ini terus berlangsung hingga tujuan tertentu dicapai”; Hill (2001), “keinginan untuk melibatkan dan menekuni olahraga, walaupun sering mengecewakan, butuh pengorbanan dan terdesak. Intinya, motivasi berarti kondisi atau proses internal yang menggiatkan (energize), mengarahkan, dan memelihara perilaku berorientasi tujuan tertentu.
Motivasi adalah proses aktualisasi generator penggerak internal di dalam diri individu untuk menimbulkan aktifitas, menjamin kelangsungannya, dan menentukan arah atau haluan aktifitas terhadap pencapaian tujuan yang telah ditetapkan (Husdarta, 2010:31). Motivasi juga diartikan sebagai energi psikologis yang bersifat abstrak, wujudnya hanya dapat diamati dalam bentuk manifestasi tingkah laku yang ditampilkan, motivasi sebagai proses psikologis adalah refleksi kekuatan interaksi antara kognisi, pengalaman dan kebutuhan. Menurut Alderman (dalam Husdarta, 2010:32) mengungkapkan bahwa di dalam pendidikan jasmani dan olahraga tidak ada prestasi tanpa motivasi. Prestasi adalah amalgamasi latihan atau keterampilan dengan motivasi (Straup dalam Husdarta, 2010).
Heckhausen (1967) mengemukakan, bahwa motivasi yang potensial adalah apa yang oleh Atkinson diistilahkan dengan “motif” dan sementara yang aktual, diistilahkan dengan “motivasi” atau “tendensi”. Dari sini, Soedibyo (1989) mendefinisikan “motive” (motif) sebagai sumber pendorong dan penggerak perbuatan manusia, sedangkan “motivation” (motivasi) adalah proses aktualisasi sumber penggerak dan pendorong tersebut.

Kebutuhan
Tingkah laku bermotivasi dapat dirumuskan sebagai: “tingkah laku yang dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan dan diarahkan pada pencapaian suatu tujuan agar dengan demikian suatu kebutuhan terpenuhi dan kehendak terpuaskan”. Ini dapat digambarkan sebagai “lingkaran motivasi”:





Gambar 1. Lingkaran Motivasi
Menurut Morgan King, Weisz dan Schoplan, seluruh kegiatan manusia didasarkan atas tiga motivasi utama:
1. motivasi biologis; tercakup di dalamnya motivasi rasa lapar, haus dan seksual;
2. motivasi sosial; termasuk di dalamnya motivasi prestasi (achievement motivation) dan kekuasaan (power motivation);
3. motivasi aktualisasi diri (self-actualization motivation) dan motivasi untuk bertindak efektif (effectivenes motivation);
Elizabeth Duffy (1950) adalah orang pertama yang membuka diskusi literatur motivasional dengan mendefinisikan motivasi sebagai arahan dan intensitas tingkah laku. Maka William F. Straub menekankan pentingnya pertanyaan “mengapa” dalam diskursus motivasi ini sebagai kata tanya penting dalam khasanah Psikologi Olahraga. Dikemukakan Cratty (1973), motif manusia dapat ditinjau dari tiga dimensi:
1. Kesadaran manusia: ada motif yang disadari dan ada yang tak disadari.
2. Kebutuhan: (a) kebutuhan fisiologik, biologis, drives
(b) kebutuhan psikologis
(c) kebutuhan sosial, nilai-nilai.
3. Pengalaman: (a) masa lalu
(b) yang baru saja dialami
(c) yang sedang dialami.
Intinya adalah, “all human behavior is motivated”, demikian kata Sappenfield (1954). Kurangnya motivasi sering disebut sebagai alasan primer kekalahan tim, dan herannya bukan terutama tentang kurangnya keahlian. Padahal dalam kenyataannya, Prestasi = Skill + Motivasi, atau dalam rumus Robert N. Singer:

Performance = Learning + Motivation

(perilaku dalam (latihan yang
suatu situasi) telah dilakukan)

Silva dan Weinberg (1984) membedakan antara motivasi intrinsik dan eksrinsik. Motivasi intrinsik berarti bahwa seseorang berpartisipasi dalam suatu aktivitas tanpa mengharapkan menerima keuntungan eksternal. Sebaliknya, dalam motivasi ekstrinsik partisipasi itu justru dikendalikan oleh keuntungan eksternal (uang, hadiah, tropi), misalnya atlit yang giat berlatih hanya saat ada lomba, dan mengendor latihannya bila tak ada lomba dengan hadiah menarik.
Dr. Halliwell menegaskan bahwa pelatih seharusnya tidak hanya mencegah atlit dari kehilangan motivasi intrinsik, tetapi harus mampu merumuskan strategi untuk mempertingginya. Terdapat tiga pendekatan motivasi individual menurut Dr. Alvin Zander:
1. pendekatan supportive (sokongan)
2. pendekatan reinforcement (penguatan)
3. pendekatan pride-in-performance (bangga/harga diri dalam prestasi).
Sedangkan dua motif dasar dalam motivasi kelompok menurut Zander:
1. hasrat untuk sukses grup
2. hasrat untuk menghindari kesalahan grup.
Olahraga, menurut Singer (1984) merupakan aktivitas unik, dimana terjadi “self-testing system” yang kontinyu, dan juga terhadap orang lain. Ini memerlukan hubungan yang harmonis dan ideal antara proses berpikir, emosi dan gerakan.
Beberapa motivasi berolahraga bagi yang tidak untuk pertandingan:
1. dapat bersenang-senang/kegembiraan
2. melepaskan ketagangan psikis
3. mendapatkan pengalaman estetis
4. mencari teman/hubungan
5. kepentingan kebanggaan kelompok
6. memelihara kesehatan badan
7. keperluan kesehatan praktis sesuai pekerjaannya (contoh: bela diri untuk Satpam).
Sedangkan motivasi yang berkembang di kalangan atlit:
1. untuk menunjukkan kemampuan dan prestasinya
2. untuk menunjukkan kelebihan kemampuan/kekuatannya
3. untuk menyalurkan hasrat/dorongan sukses
4. untuk menyalurkan sifat agresif dengan mengalahkan orang lain
5. kepentingan kebanggan kelompok
6. mencari sensasi dan kegemparan
7. kepentingan karir dan pekerjaan
8. mendapat keuntungan material dan atau popularitas.
Singer (1984) mengajukan alasan seseorang tidak melanjutkan aktivitas dalam olahraga:
1. kegiatan yang menjemukan, kurang menantang atau kurang lucu
2. pengalaman yang didapat menimbulkan frustasi, kecewa
3. merasa takut untuk gagal, atau sebaliknya, takut berhasil
4. tidak mendapat pengakuan
5. tujuan yang muluk-muluk
6. sistem penunjang yang lemah (keluarga, teman, pelatih).
Epuran dan Horghidan merumuskan tiga kategori faktor-faktor motivasional yang dapat menunjukkan ataupun merangsang aktivitas olahraga:
1. kebutuhan gerakan sebagai kebutuhan dasar psikologis
2. pengakuan, self-assertion, atau penegasan diri; sebagai pusat perhatian terus menerus, atlit memiliki tanggung jawab, termasuk menerima konsekuensi-konsekuensi tindakannya
3. kebiasaan-kebiasaan motorik; ini terkait dengan penggunaan dan peningkatan keahlian motoriknya.
Baik oleh Alderman maupun Birch dan Verrof, empat hal berikut merupakan determinan motivasi:
1. availability (Alderman) atau kesempatan (Birch dan Verrof)
2. expectancy
3. incentif
4. motive.
Motivasi yang terlalu kuat, tak terarah, tak terkendali, dengan mudah dapat mengarah pada agresivitas atau kekerasan. Ini akan dieksplorasi di bahasan tentang agresi lebih lanjut.
Seseorang yang memiliki motivasi intrinsik akan relatif tetap melakukan tindakannya karena menikmati tingkah lakunya sekalipun tidak adanya dorongan atau hadiah dari luar. Individu yang memiliki motivasi intrinsik biasanya ulet dalam melakukan tugasnya. Sebaliknya, motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang berasal dari luar individu sehingga tindakan yang dilakukan cenderung didasari oleh keinginan untuk memperoleh hadiah dari lingkungan seperti uang, piala atau penghargaan lainnya.
Dari pandangan beberapa ahli, Gunarsa, Nugroho dan Singer (dalam Husdarta, 2010) menyatakan bahwa sebenarnya motivasi intrinsik lebih efektif daripada motivasi ekstrinsik. Namun demikian dalam struktur realitasnya kedua motivasi tersebut tidak dapat berdiri sendiri, melainkan bersama-sama menuntun tingkah laku atlet, kedua motivasi ini memiliki hubungan saling menambah, menguatkan dan melengkapi satu sama lain ungkap Halliwell dan Clifford (dalam Husdarta, 2010). Dengan begitu perilaku dalam berolahraga dipengaruhi oleh motivasi intrinsik dan ekstrinsik.
Menurud Husdarta (2010: 40) ciri-ciri atlet yang menginternalisasi motivasi intrinsik antara lain
1. Berorientasi pada kepuasan dalam dirinya
2. Biasanya tekun, rajin, bekerja keras, teratur dan disiplin dalam menjalani latihan
3. Tidak suka bergantung kepada orang lain
4. Memiliki karakteristik kepribadian yang positif, matang, jujur, sportif
5. Aktifitas lebih permanen
Sedangkan ciri-ciri atlet yang memiliki motivasi ekstrinsik antara lain :
1. Kurang sportif atau kurang jujur seperti licik atau curang
2. Sering tidak menghargai orang lain, lawannya atau peraturan pertandingan
3. Cenderung berbuat hal-hal yang merugikan, seperti obat perangsang, mudah dibeli atau disuap.
Dalam olahraga prestasi terdapat upaya pengerahan kemampuan fisik dan psikis yang setinggi-tingginya dalam meraih prestasi puncak baik dalam fase latihan maupun dalam fase pertandingan yang sebenarnya. Hal ini berarti bahwa olahraga prestasi terkandung situasi kompetitif yang tinggi. Tingkah laku dalam olahraga prestasi di dorong oleh berbagai macam motivasi yaitu motivasi berprestasi dan motivasi lain yang bukan motivasi berprestasi. Sedangkan Atkinson (dalam Husdarta, 2010) membedakan motivasi dalam 3 macam :
1. Motivasi berprestasi atau need for achievement yang disingkat n-achievement.
2. Motivasi berkuasa atau need power disingkat n-power
3. Motivasi berafialisasi atau need for affialiation yang disingkat n-affialiation.
Yang di maksud dengan motivasi beprestasi adalah kebutuhan untuk mengungguli dalam hubungannya dengan ukuran-ukuran yang dipertandingkan. Sedangkan yang di maksud dengan motivasi berkuasa adalah kebutuhan untuk mengontrol dan mempengaruhi orang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan motivasi berafialisasi adalah kebutuhan untuk merasakan kehangatan dalam pergaulan atau hubungan social. Menurut Subardjah (2000) ada beberapa strategi meningkatkan motivasi dalam berolahraga yaitu:
1. Motivasi Verbal
Motivasi verbal dapat dilakukan dengan penyampaian pep talks, diskusi, individual talks.
2. Motivasi Behavioral
Untuk mencapai sukses atlet harus dibina dan dikendalikan behavioralnya menjadi perilaku yang mencerminkan sportivitas yang terpuji dan dedikasi yang tinggi terhadap tugas-tugas dan latihan.
3. Motivasi Insentif
Motivasi insentif adalah dorongan dengan memberikan insentif.
4. Supertisi
Supertisi merupakan bentuk kepercayaan kepada sesuatu yang merupakan symbol yang dianggap mempunyai daya kekuatan atau daya dorong mental.
5. Citra Mental
Atlet dilatih untuk mampu membentuk citra mental mengenai suatu gerakan atau keterampilan atau apa yang harus dilakukan dalam suatu situasi tertentu.
Dapat di ambil kesimpulan ciri-ciri atlet yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi adalah sebagai berikut :
a. Atlet menjadi bersemangat sekali ketika unggul
b. Menentukan tujuan secara realistis dan mengambil resiko yang diperhitungkan
c. Atlet tidak percaya akan nasib baik atau untung-untungan
d. Atlet mau bertanggung jawab sendiri
e. Atlet tersebut akan memilih sendiri tugas yang menantang dan menunjukkan perilaku yang berinisiatif daripada atlet-atlet lain
f. Atlet menghendaki umpan balik yang kongkrit yang cepat terhadap prestasi mereka
g. Atlet bekerja tidak terutama untuk mendapatkan uang.
Sebenarnya ada banyak metode dan cara dalam memotivasi seorang atlet. Tapi pada prinsipnya, hal pertama yang harus dikuasai adalah ilmu psikologi supaya terlebih dahulu bisa memetakan kondisi atletnya. Cara memotivasi yang salah hanya akan menjadi bumerang yang tidak jarang justru melemahkan motivasi atlet.
B. Metamotivasi
Metamotivasi adalah “cara dengan mana motif-motif seseorang dapat berubah dan berfluktuasi selama beraktivitas dan hidup keseharian” (Frey, 1999)[1]. Kondisi di mana seseorang menemukan dirinya sendiri “mengatur” apa yang diinginkan dan hal ini berkecenderungan mengubah apa yang diinginkan itu sebagai kemajuan interaksi. Frey (1999), yang merupakan penganut teori reversal, mencontohkan permainan bola basket lokal: seorang pemain mungkin hanya ingin bersenang-senang, namun sebaliknya, dia juga bisa berubah ke arah yang serius, merasa cemas dengan penampilan personalnya dan memutuskan untuk menang, meskipun permainan itu sebenarnya tidak signifikan untuk diseriusi. Pertentangan itu bisa terjadi di setiap orang dan melibatkan berbagai motif, persepsi, dan emosi yang berbeda.
Teori reversal (pembalikan) menyatakan bahwa metamotivasional terjadi dalam pasangan pertentangan, sehingga ketika kondisi yang satu aktif, kondisi sebaliknya tidak aktif. Manusia memilih atau bolak-balik di antara kedua pertentangan ini. Perspektif ini menantang konsep yang lebih konvensional, yakni motivasi, yang secara khusus menegaskan bahwa motif-motif manusia berkisar pada satu hal yang optimal. Prefix “meta”, dari bahasa Yunani Kuno “sesudah” atau “melampaui” yang diartikan dalam hal ini sebagai perubahan posisi atau kondisi ke arah yang lain (sebagaimana pada “metabolisme”), mengajukan bagaimana konsep energizer tunggal dari tindakan digantikan oleh dualitas: dualitas yang merubah melalui sepanjang aktivitas tertentu. Model ini intinya memproyeksikan keberadaan manusia sebagai yang tidak konsisten, kontradiksi diri, dan sering berubah-ubah, meniadakan personalitas stabil dan digerakkan oleh kondisi persaingan, daripada dorongan atau impulsi tunggal.

Referensi
William F. Straub (ed.), 1978, Sport Psychology: An Analysis of Athlete Behavior, Mouvement Publication, New York.
Jack H. Hewellyn & Judy A. Blucker, 1982, Psychology of Coaching: Theory and Application, Burgess Publishing Company, USA.
Soedibyo Setyobroto, 1989, Psikologi Olahraga, PT Anem Kosong Anem, Jakarta.



[1] Frey, K.P., 1999, “Reversal Theory: Basic Concepts”, hal. 3-17 dalam Kerr, J.H. (ed.), Experiencing Sport: Reversal Theory, London: Wiley.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar