MATERI 8
KEDISIPLINAN ATLET
A. Pengendalian Diri
Pengendalian diri yang di maksud di sini adalah atlet dapat mengendalikan dirinya dalam berolahraga. Pengendalian diri yang menyangkut kondisi psikologis atlet adalah kemampuan mengendalikan pikiran dan perasaan yang dilakukan pada saat pertandingan (KONI, 1999:46). Secara sederhana disiplin berarti kontrol penguasaan diri terhadap impuls kepada suatu cita-cita atau tujuan tertentu untuk mencapai dampak yang lebih besar (Husdarta, 2010: 91).
Disiplin dalam banyak hal berhubungan dengan kontrol diri (self control), sikap penuh rasa tanggung jawab (self responsibility), rasa harga diri (self esteem), rasa percaya diri (self confidence), persepsi atau konsep diri (self concept). Disiplin bukan merupakan sikap mental yang di bawa sejak lahir, tetapi banyak dipengaruhi oleh pengalaman sekitar, khususnya pengalaman pendidikan, meskipun sifat-sifat kepribadian (personality traints) yang di bawa sejak lahir juga akan ikut menentukan. Untuk itu perlu upaya-upaya untuk menanamkan disiplin antara lain:
a. Meningkatkan kerja sama antara orang tua, pelatih dan atlet.
b. Pemberian reward dan punishment yang tepat.
c. Meningkatkan kualitas tindakan persuasif-edukatif
d. Menciptakan rangkaian acara belajar atau latihan yang padat namun menarik minat (Husdarta 2010:92).
B. Disiplin Diri Versus Disiplin Semu
Disiplin dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu disiplin diri dan disiplin semu (Husdarta, 2010:91). Disiplin diri adalah disiplin yang ditanamkan atas dasar pemahaman dan kesadaran yang lebih mendalam untuk menghargai dan mematuhi segala nilai, norma, dan kaidah yang berlaku, tanpa perduli terhadap ada tidaknya pengawasan, saksi, hukuman dan penghargaan. Disiplin semu di lain pihak, adalah disiplin yang ditanamkan dengan paksaan karena akut hukum atau sanksi, karena perintah tanpa disertai pemahaman dan kesadaran. Disiplin jenis ini tidak akan bertahan lama dan hanya akan muncul apabila diawasi, takut pada ancaman, hukuman atau sangsi guru atau pelatih.
Kesediaan mereaksi atau bertindak terhadap obyek tertentu adalah sikap kejiwaan atau “attitude”, yang disebut sikap mental. Fred N. Kerlinger menengarai bahwa sikap kejiwaan selalu dihadapkan pada pilihan menerima atau menolak bertindak positif atau negatif, dalam hubungannya dengan obyek tertentu.
Disiplin mutlak perlu dimiliki atlit untuk mencapai prestasi setinggi-tingginya. Disiplin dapat ditingkatkan menjadi disiplin diri (self-disciplin) yang sangat erat kaitannya dengan penguasaan diri (self-control), dan lawan dari disiplin semu yang cenderung dipaksakan.
Disiplin semu pada atlit, dapat diamati dalam keseharian atlit yang tampaknya selalu patuh dan menuruti perintah, tetapi karena tidak disertai kesediaan psikologis dan tidak disertai kesadaran untuk melakukan perintah-perintah tersebut, maka pada saat pengawasan dan sangsi-sangsi kendor, dengan seenaknya atlit melanggar ketentuan atau peraturan. Jadi sifat kepatuhan disiplin ini tidak tahan lama dan tampak di permukaan saja.
Sedangkan paralel dengan dua macam disiplin tersebut, Robert S. Ellis (1986) membedakan antara:
1. Disiplin “under-control”: tumbuh dalam pengawasan terus menerus
2. Disiplin “self-control”: tumbuh karena kesadaran dan penguasaan diri.
Inti dari disiplin pada hakikatnya memang rasa tanggung jawab dan penguasaan diri. Menurut Dobson (1986), rasa hormat dan tanggung jawab merupakan hasil cinta kasih dan disiplin; sedangkan rasa tak aman sebagian besar akibat dari kekerasan (paksaan). Pengawasan tetap perlu, disesuaikan dengan perkembangan rasa tanggung jawab atlit. Pengawasaan bukan untuk mencari kesalahan, tetapi untuk menunjukkan hal-hal baik dan kurang baik, memberi kesempatan atlit lebih memahami, menyadari, memotivasi dan mendorong untuk berbuat sesuatu yang membanggakan.
Menurut Tutko dan Richards (1975) disiplin dibutuhkan dalam hal:
1. mengutamakan dan mengatur kondisi fisik
2. pengembangan penguasaan emosi
3. menciptakan citra sebagai olahragawan yang sebenarnya.
Atlet yang disiplin akan berusaha untuk tidak melanggar ketentuan tata tertib, program latihan, peraturan pertandingan, dan juga nilai-nilai yang dianggap baik oleh masyarakat. Biasanya mereka patuh kepada pelatih dan menghormatinya. Peran orang tua dan lingkungan pergaulan masa kecil sangat besar pengaruhnya terhadap pengembangan disiplin anak selanjutnya.
Disiplin sebagai sikap kejiwaan akan selalu diuji tingkat kepatuhannya pada peraturan. Ini berlaku juga bagi disiplin atlit. Disiplin diri ada hubungannya dengan sikap penuh rasa tanggung jawab untuk menepati, mendukung dan mempertahankan nilai-nilai yang dianutnya. Ini mengarah pada timbulnya pemahaman dan kesadaran lebih dalam untuk mematuhi segala nilai/norma/kaidah yang berlaku, meskipun tanpa ada sangsi. Bahkan juga akan mematuhi rencana-rencananya sendiri, sesuai nilai yang diketahuinya.
Jadi atlit yang berdisiplin diri (self-discipline) memiliki kesadaran untuk:
1. berlatih sendiri meningkatkan keterampilan
2. menjaga kondisi fisik dan kesegaran jasmaninya
3. dapat menguasai diri untuk tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan peraturan yang dapat merugikan kesehatan
4. lebih lanjut selalu akan berusaha untuk hidup sehat dan berbuat sebaik-baiknya sesuai citranya sebagai atlit ideal.
Disiplin dapat berkembang memunculkan dampak positif terhadap perkembangan rasa harga diri atlit. “Self-discipline” menumbuhkan citra diri sebagai insan yang sungguh berdisiplin.
C. Peranan Pelatih
Pelatih harus mampu menyeimbangkan secara proporsional dan profesional antara menekankan pada kedisiplinan dengan tuntutan suasana demokratis dan motivatif bagi tim yang dilatih. Di antara beberapa peran pelatih untuk mengembangkan sikap disiplin atlet yang dibinanya adalah:
1. memiliki sikap tegas untuk membawakan pengaruhnya sehingga atlit bersikap dewasa, menerima peraturan dengan penuh kesadaran
2. menguasai prinsip-prinsip pokok untuk menumbuhkan disiplin
3. harus dapat mengarahkan tindakan yang positif-konstruktif
4. memberi bimbingan bila diperlukan
5. mengawasi kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap peraturan.
Suasana demokratis perlu dikembangkan dalam membina atlit, antara lain dengan memperhatikan pendapat, saran dan keluhan atlit. Peraturan mengikat semua anggota, termasuk juga pelatih.
D. Menanamkan Disiplin
Penanaman disiplin dapat melalui dua pilihan:
1. penghargaan dan hukuman
2. cinta kasih dan pemahaman perasaan subyek (James Dobson, 1986).
Jadi, sikap persuasif-edukatif lebih diutamakan dalam menanamkan disiplin, karena pada akhirnya ia tumbuh dari dalam diri atlit itu sendiri. Terry Orlick (1980) mengemukakan beberapa indikator tingkat “self-control” atlit dalam hal arah sasaran upaya peningkatan disiplin diri atlit yang sekaligus menandakan tingkat kuat lemahnya disiplin atlit:
1. mampu melakukan sesuatu dengan baik dalam pertandingan besar seperti yang ia lakukan dalam pertandingan biasa
2. mampu kembali bergairah dan termotivasi setelah mengalami kekalahan atau menerima hukuman
3. mampu mengontrol tabiat yang didorong emosi
4. selalu bertindak positif dan dewasa
5. mampu menghadapi ketegangan dengan tidak melakukan sikap dan tindakan negatif dalam bermain
6. selalu tenang dan percaya diri dalam situasi tertekan.
Disiplin memang sesuatu yang membutuhkan ketelatenan dan keteladanan, atau bahkan paksaan. Dan ini sering membutuhkan waktu yang lama dan strategi yang optimum di tingkat individual atlit maupun seluruh tim. Tetapi apabila masing-masing menyadari dampak jangka panjangnya terhadap performa dan prestasi, Insya Allah hal yang cenderung “wajib” tadi seolah-olah menjadi sesuatu yang mendarah daging. “Perjalanan bermil-mil jauhnya, bermula dari langkah demi langkah”, demikian kata Lao Tze, sang filsuf.©
Tidak ada komentar:
Posting Komentar